“Aku enggak bisa tidur,” lanjut Anya sambil memeluk dirinya sendiri. “Boleh aku tidur bersamamu malam ini?”
Elkan menghela napas.
“Kenapa bukan Thomas? Bukannya dia yang biasa kamu telepon diam-diam tengah malam?”
Anya menunduk. “Dia jahat, Elkan. Aku… aku salah. Dia cuma manfaatin aku. Setelah dia tahu aku enggak punya kontrol atas harta keluarga, dia menjauh, setelah dia tahu ekonomi keluargaku sedang tidak baik-baik saja.”
Elkan berdiri, perlahan.
“Baru tahu rasanya ditolak karena miskin?” tanyanya, datar, sedikit menyindir. “Aku sudah dua tahun merasakannya. Setiap hari. Di rumah ini.”
Anya menangis. “Aku minta maaf…”
Elkan menatapnya. Lama. Dalam.
Kemudian ia menggeser tubuh, memberi ruang di sisi kasurnya. “Kalau cuma butuh tempat tidur… silakan. Tapi jangan salah paham. Aku belum lupa kamu injak-injak harga diriku di ulang tahun pernikahan kita.”
Anya menahan tangis, lalu perlahan merebahkan tubuhnya. Tidak menyentuh Elkan. Hanya terdiam dalam jarak satu jengkal.
Dan dalam sunyi itu, Elkan mendengar napasnya mulai teratur. Seperti perempuan yang baru pertama kali merasa aman.
Ironis.
Justru sekarang.
Pagi harinya, Citra mendapati pemandangan mengejutkan. Ia menyaksikan Anya keluar dari kamar Elkan… dengan wajah tanpa makeup dan senyum yang anehnya… bahagia.
“Eh… lo ngapain keluar dari kamar Elkan?”
Anya hanya tersenyum. “Tidur. Emang kenapa?”
Citra mendengus. “Tidur? Sama Elkan? Gila, jangan bilang kamu sekarang balik ke pelukan si perjaka miskin itu?”
Anya tak menjawab. Ia hanya masuk kamar mandi dan mengunci pintu, meninggalkan Citra yang menatap pintu kamar Elkan seperti sedang menghadapi portal ke dunia lain.
Beberapa menit kemudian, giliran Tiara yang tiba-tiba sudah berdiri di depan kamar Elkan dengan secangkir teh.
Tok tok.
“Mas El... boleh ngobrol sebentar?”
Elkan membuka pintu. Wajahnya lelah, tapi mata tetap jernih.
“Ada apa?”
Tiara menggoda. “Kata Citra tadi malam... Anya tidur di sini ya?”
Elkan hanya tersenyum. “Cuma tidur. Tapi mungkin di rumah ini, tidur bareng suami sendiri sudah jadi hal yang luar biasa, ya?”
Tiara mendengus, tapi ada rasa tak nyaman di dadanya. Ia menyerahkan teh ke tangan Elkan.
“Ini teh. Katanya bagus buat relaksasi. Tapi... kalau kamu butuh relaksasi yang lebih dari teh... kamu tahu di mana kamarku, kan?”
Elkan tidak menanggapi langsung. Ia hanya menatap teh itu.
“Aku minum air putih aja. Lebih jujur rasanya.”
Beberapa jam kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Seorang pria tua turun dengan koper dan map hitam.
“Selamat siang. Saya dari PT Citra Jaya Properti. Bisa bertemu dengan pemilik rumah?”
Bu Mirna menyambut dengan senyum palsu. Tapi begitu pria itu menyebutkan agenda akuisisi aset properti dan perpindahan nama atas kepemilikan rumah, senyumnya luntur seperti maskara kena hujan.
“A-apa maksudnya ini? Kami beli rumah ini dua puluh tahun lalu!”
“Betul, Bu. Tapi rumah ini sempat diagunkan dan berpindah tangan ke perusahaan kami melalui proses legal. Kami tidak datang untuk menggusur. Hanya ingin rapat dengan pemilik baru,” jelas pria tua itu dengan penuh wibawa.
Bu Mirna memucat.
“Siapa pemilik barunya?!”
Elkan tiba-tiba turun dari lantai atas. Dan seketika berbicara dengan suaranya yang tenang, tapi tegas.
“Saya.”
Semua mata menoleh. Anya menjatuhkan gelas yang sedang ia pegang. Citra menutup mulut. Tiara muncul dari balik tangga.
“APA?!” jerit Bu Mirna. “Jangan gila kamu, Elkan!”
“Betul, Bu. Rumah ini sudah resmi tercatat di bawah nama saya. Saya membelinya melalui perusahaan saya sendiri. Suratnya lengkap, notarisnya pun ada,” jelas Elkan.
Rumah tampak lebih sunyi dari biasanya, namun udara tetap tebal oleh ketegangan dan hasrat yang tak tersampaikan. Elkan berdiri di ruang tengah, menatap Anya yang duduk di sofa dengan ekspresi campuran antara penasaran, bangga, dan sedikit cemburu. Matanya tak lepas dari setiap gerak tubuhnya, dari rambut yang tergerai sampai lekuk gaun yang jatuh anggun mengikuti bentuk tubuhnya. Langkah-langkah halus terdengar dari arah tangga. Tiara dan Citra, dua sosok yang sebelumnya menghilang, muncul perlahan. Mereka menatap Elkan dengan senyum tipis penuh misteri. Hadirnya mereka membuat aura rumah berubah—lebih panas, lebih menantang. "Elkan," bisik Citra sambil melangkah lebih dekat, aroma parfumnya memikat. "Kamu tampak berbeda malam ini… lebih… percaya diri." Elkan menatap tajam, mencoba tetap tenang. "Aku tetap sama," jawabnya, walau hatinya merasakan godaan yang semakin kuat. Tiara duduk di kursi dekatnya, menyingkirkan jarak. "Sungguh? Aku rasa banyak yang berbeda dari dirimu," kata
Pagi datang dengan cahaya keemasan yang menembus tirai tipis ruang keluarga Hartawan. Aroma teh dan kue sarapan berputar di udara, namun apa yang terjadi di meja pagi itu bukan lagi sekadar makan bersama—melainkan pengadilan keluarga, dengan Elkan sebagai terdakwa sekaligus hakimnya sendiri. Semua anggota keluarga besar telah berkumpul. Bu Mirna dengan blus mewahnya, Paman Arif, Bibi Rina, sepupu-sepupu seperti Linda dan Claudia, hingga para menantu lain yang selalu memandang Elkan setengah mata. Anya duduk tenang di samping suaminya, sementara Elkan mengambil posisi di kursi paling ujung—tempat yang memberi pandangan penuh ke seluruh ruangan. "Elkan," buka Bu Mirna, menyilangkan tangan, "karena semalam kau membuat pernyataan besar di pesta keluarga Mendoza, hari ini kau harus menjelaskan semuanya. Kalau kau memang pewaris besar seperti yang digembar-gemborkan… tunjukkan buktinya." Elkan mendongak perlahan, sorot matanya tenang namun tajam. Ia menatap satu per satu wajah di sekelil
rtawan belum beranjak dari ruang tamu megah yang kini ditelan hawa panas tak kasat mata. Kristal pada lampu gantung berkilauan, memantulkan tatapan penuh penasaran setiap mata yang menatap Elkan bagai menatap teka-teki terbesar dalam hidup mereka. Setiap kalimat manis dibalut racun, setiap senyum menyimpan niat tersembunyi.Elkan duduk tenang di sofa tengah, bercangkir teh hangat yang tak pernah ia teguk. Di satu sisi, Anya duduk mendekat, menyentuhkan lututnya ke paha Elkan, sebagai isyarat kepemilikan. Claudia bersender di kursi seberang, menatap mereka bagai pemangsa. Katya—masih dengan tatapan khilaf sensualnya—menyilang kaki tanpa malu, sekali-sekali memperlihatkan paha porselen untuk menguji fokus Elkan yang tetap dingin.Bu Mirna berjalan pelan membawa nampan buah, mencoba terlihat keibuan padahal matanya begitu tajam memperhitungkan posisi. "Elkan, kau membuat kejutan semalam. Kau bilang akan selamatkan keluarga Mendoza. Sekarang seluruh dunia sedang membicarakanmu. Kau pikir
Elkan menutup pintu apartemennya dengan lembut, namun napasnya masih berat karena sisa adrenalin dari pesta malam sebelumnya. Cahaya lampu kota menembus jendela besar, memantulkan kilauan malam yang elegan. Di sisinya, Anya berdiri dengan memakai gaun malam yang lembut, rambutnya yang basah diguyur hujan sore tadi masih menetes perlahan di bahunya. Tatapan mereka bertaut lama, penuh kata yang tak terucap, ketegangan yang bercampur antara cinta, keingintahuan, dan godaan. “Aku… tak menyangka kau bisa melakukan itu,” bisik Anya, suaranya lirih namun tegas. “Mengambil alih kendali begitu saja, di hadapan semua orang. Kau… menakutkan sekaligus memikat.” Elkan tersenyum tipis, tangannya meraih jemari Anya. “Kalau ingin dijaga… kau harus tahu siapa yang benar-benar memegang kendali. Tidak ada kompromi, tidak ada kebohongan.” Anya menghela napas. Tubuhnya bergetar, namun matanya tetap menatap tajam. “Dan kalau aku jatuh di hadapanmu lagi? Bagaimana kalau aku tak bisa menahan… hasrat ini?
Elkan menutup pintu apartemennya dengan lembut, namun napasnya masih berat, sisa adrenalin dari pesta malam sebelumnya. Cahaya lampu kota menembus jendela besar, memantulkan kilauan malam yang elegan. Di sisinya, Anya berdiri dalam gaun rumah yang lembut, rambutnya yang basah diguyur hujan sore tadi masih menetes perlahan di bahunya. Tatapan mereka bertaut lama, penuh kata tak terucap, ketegangan yang bercampur antara cinta, keingintahuan, dan godaan.“Aku… tak menyangka kau bisa melakukan itu,” bisik Anya, suaranya lirih namun tegas. “Mengambil alih kendali begitu saja, di hadapan semua orang. Kau… menakutkan sekaligus memikat.”Elkan tersenyum tipis, tangannya meraih jemari Anya. “Kalau ingin dijaga… kau harus tahu siapa yang benar-benar memegang kendali. Tidak ada kompromi, tidak ada kebohongan.”Anya menghela napas. Tubuhnya bergetar, namun matanya tetap menatap tajam. “Dan kalau aku jatuh di hadapanmu lagi? Bagaimana kalau aku tak bisa menahan… hasrat ini?”Elkan memandangnya dal
Anya di sisinya, gaunnya jatuh anggun mengikuti lekuk tubuhnya. Ada sesuatu di tatapan mata Anya malam itu—campuran bangga, khawatir, dan rasa percaya yang dalam. Ia tahu Elkan bukan sekadar pria yang berdiri pasif di pesta ini. Bisikan-bisikan mulai terdengar."Siapa pria itu?" "Kenapa bersama Nyonya Anya?" "Kurir? Bodyguard? Atau sekadar tamu bayangan?"Elkan menahan senyum tipis. Ia sudah terbiasa diremehkan.Malam semakin larut saat alunan musik berubah menjadi jazzy sensual, menggoda siapa pun yang mendengarnya. Sebuah tepukan di bahu menyadarkan Elkan dari lamunannya. Saat ia menoleh, Claudia berdiri sambil menyeringai, segelas martini di tangan."Tebakan mereka makin liar, Elkan," bisik Claudia genit. "Ada yang bilang kamu itu gigolo pribadi yang disewa Anya. Menarik sekali, bukan?"Elkan hanya tertawa kecil, menyambar gelas sampanye miliknya. "Gigolo yang bisa beli gedung pesta ini kalau mau, ya? Biarkan mereka berkhayal, Claudia."Claudia mendekat, aromanya provokatif. "Tapi