Susah payah Elkan menolak ajakan Tiara.
Hujan semalam belum benar-benar berhenti. Kini udara pagi di rumah Hartawan terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaan Elkan yang masih membawa sisa resah dari malam sebelumnya—mulai dari telepon mengejutkan Paman Tirta, suara lirih Anya di balik pintu, hingga kedatangan Tiara yang nyaris membakar imannya.
Setelah cuci muka di wastafel belakang, Elkan berjalan menuju dapur. Ia ingin membuat kopi sendiri karena tahu persis tak ada satu pun wanita di rumah ini yang sudi membuatkan minuman hangat untuknya, bahkan sekadar air putih.
Namun, pagi ini berbeda.
“Mas El, kamu mau kopi, ya?” suara Citra muncul tiba-tiba dari balik kulkas, mengejutkan Elkan.
Dengan tank top ketat dan celana pendek yang terlalu pendek untuk cuaca mendung, Citra tersenyum sok manis. Aroma parfumnya lebih kuat daripada aroma kopi instan yang ia seduh asal-asalan.
“Kamu habis mandi? Beda banget aura kamu. Kayak cowok-cowok di sinetron yang biasanya awalnya pembantu, eh, ternyata anak konglomerat,” katanya sambil tertawa kecil.
Elkan menatapnya sebentar. “Gitu ya? Mungkin efek sabun cuci baju. Aku barusan nyikat celana dalam bolong keluarga Hartawan yang mewah ini.”
“Ya ampun, nyindir ya? Tapi yang pasti bukan celana dalem aku, kan?” Citra tersipu, lalu menggoda, “Eh, semalam... suara di kamarmu kok kayak ada dua orang ya? Seru banget tuh, sampai pintu kamar Anya diketok pelan-pelan segala.”
Elkan tersenyum kecil. Ia tak menjawab, hanya menyesap kopinya dengan tenang. Namun, hatinya berdebar. Apakah suara semalam terdengar? Apakah kejadian semalam itu akan jadi bumerang?
Atau justru... akan menjadi pintu masuk menuju perbaikan dalam hidupnya?
Menjelang siang, Elkan berniat naik ke lantai atas untuk mengambil laundry-nya yang ditumpuk sembarangan di depan kamarnya. Seperti biasa, tak ada satu pun dari penghuni rumah yang peduli pakaiannya bersih atau tidak.
Di tengah tangga, ia berpapasan dengan Tiara. Kali ini, bukan handuk atau kimono seksi yang Tiara kenakan, melainkan dress semi-formal yang entah mengapa justru lebih menggoda karena memberi ruang imajinasi.
Tiara menghentikan langkahnya. “Elkan,” sapanya, sedikit lebih formal dari biasanya.
“Pagi, Kak Tiara.”
“Aku cuma mau bilang... soal tadi malam, maaf ya. Mungkin aku terlalu... impulsif. Sudah lama aku enggak ada yang buat aku merasa hidup.”
Elkan mengangguk pelan. Ia tak ingin memperpanjang. Tapi Tiara mendekat, suaranya melunak.
“Aku enggak tahu kenapa... tapi kamu beda. Ada sesuatu di matamu. Kamu bukan cuma pria miskin yang diam-diam pasrah. Kamu menyimpan sesuatu, ya kan?”
Elkan tertawa kecil, sinis. “Mungkin aku cuma pria miskin yang sudah terbiasa direndahkan, sampai akhirnya jadi kebal.”
Tiara menatapnya dalam. “Aku enggak akan maksa. Tapi satu hal... kalau kamu butuh teman cerita, atau... tempat bernapas, kamarku terbuka. Tapi jangan malam-malam banget, nanti disangka aku ngajak zina.”
“Bukan disangka, Kak. Sudah hampir kejadian,” balas Elkan pelan, setengah bercanda.
Mereka tertawa kecil bersama, namun ada ketegangan tersisa di udara. Ketegangan antara yang pernah hampir terjadi... dan yang belum selesai.
Saat siang menjelang, datang seorang kurir membawa amplop tebal. Elkan yang menerima langsung di halaman depan.
“Untuk Bapak Elkan Mahendra,” kata kurir sambil menyerahkan dokumen dengan kop surat resmi.
Elkan membeku sesaat. Nama belakang itu—Mahendra—tak pernah digunakan sejak ia masuk rumah ini. Ia bahkan lebih sering dipanggil “itu tuh” oleh Bu Mirna dan “si miskin” oleh para iparnya.
Citra muncul dari balik tirai ruang tamu, kepo seperti biasa. “Elkan, itu paket ya? Siapa tuh Mahendra? Nama baru kamu?”
“Nama sebelum dijatuhkan martabatnya,” gumam Elkan sambil masuk kembali ke dalam kamar untuk memeriksa secara diam-diam isi dokumen tersebut.
Isinya: dokumen legalisasi waris, rincian pertemuan selanjutnya dengan notaris Mahendra Group, dan akses awal ke salah satu akun bisnis—hanya percobaan, katanya. Tapi nominal di sana sudah membuat jantungnya nyaris copot: 12 miliar rupiah, ready-to-use.
Dan ini baru permulaan, batin Elkan.
Ia menatap cermin. Wajahnya masih sama. Tapi ada cahaya baru di mata itu. Bukan cahaya bangga, tapi... rencana.
Menjelang sore, Elkan berniat ke ruang TV untuk menonton berita. Tapi baru satu langkah, Anya menyapanya dari ruang tamu.
“Elkan… bentar.”
Ia menoleh.
Anya, dengan wajah tanpa makeup dan sweater tipis, terlihat jauh berbeda dari biasanya. Tidak angkuh. Tidak menyebalkan. Bahkan... agak manis.
“Aku... mau minta maaf. Tentang kemarin. Ulang tahun pernikahan. Dan kue itu.”
Elkan diam.
“Aku enggak tahu... kamu masih perhatian kayak gitu. Aku pikir kamu sudah nyerah,” lanjut Anya pelan, suaranya lirih.
“Kalau aku nyerah, mungkin aku sudah tidur sama kakakmu,” jawab Elkan tanpa tedeng aling-aling.
Anya membelalak. “APA?!”
Elkan tersenyum samar. “Tapi aku enggak. Karena meski aku dihina, aku masih punya akal dan harga diri. Setidaknya... sekarang.”
Anya terdiam. Wajahnya memucat. Tapi di sudut matanya, ada kilat berbeda. Bukan marah... tapi gentar.
“Kalau kamu berubah... aku juga mau berubah,” gumamnya akhirnya. “Kamu bisa... peluk aku enggak, sekarang?”
Elkan menatapnya lama.
Lama sekali.
Lalu ia menunduk sedikit, membisikkan satu kalimat di telinganya:
“Maaf... tapi pelukan dari aku yang sekarang... mahal harganya.”
Kemudian ia meninggalkan Anya yang hanya berdiri membeku.
Suara deru mesin mobil sport memecah pagi yang biasanya sepi di kompleks elite Taman Nirwana. Getarannya menggema, menggelegar seperti singa lapar yang sedang memamerkan kekuasaan.Sebuah mobil Lamborghini Urus hitam doff berhenti tepat di depan garasi rumah keluarga AHartawan. Plat nomornya polos, hanya satu huruf dan tiga angka. Satu tanda: ini bukan mobil sembarangan.Dari dalam rumah, semua penghuni menoleh hampir bersamaan.Mirna—ibu mertua Elkan—menyibak tirai dengan cemas. “Siapa yang parkir segila itu di halaman kita?! Mau flexing di pagi hari? Gak tahu tata krama!”Tiara—kakak ipar Elkan yang baru datang dari Australia—melongok sambil memegang cangkir kopi. “Bisa jadi itu tetangga baru… atau tamu Daddy?”Tiba-tiba, supir berpakaian formal turun dari mobil. Mengenakan jas hitam dengan emblem emas di dada kiri bertuliskan:“Mahendra Group | VVIP Division.”Pria itu berjalan menuju pintu rumah dengan langkah pasti. Rapi. Elegan. Dominan. Seperti sedang menuju pentas, bukan pekara
“CEO...?”Thomas nyaris terbatuk kata-kata itu, seperti menelan serpihan ego sendiri. Wajahnya yang semula penuh percaya diri kini pias, matanya melirik kiri-kanan, mencari semacam pelarian—apa pun, bahkan kebohongan—untuk menutupi kenyataan.Tapi sayang, dunia nyata tidak menyediakan tombol rewind.Elkan menyandarkan punggung ke sofa, menyilangkan kaki dengan tenang.“Lucu ya, Thomas. Dulu kamu bilang aku cuma cowok kere yang nggak pantas dapat Anya. Sekarang, kamu kerja di bawah aku. Secara harfiah.”Thomas membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Bahkan Bu Mirna pun terdiam. Baru kali ini dia melihat menantunya—yang dulu dicibir sebagai ‘pengangguran ganteng’—berubah menjadi pria dengan kekuatan mutlak di genggamannya.Anya sendiri seperti kehilangan napas. Jemarinya mencengkeram sisi sofa. Matanya terpaku pada nama “Elkan Mahendra Putra” yang tertera tebal di layar ponsel. Itu bukan deepfake. Bukan editan. Itu nyata.“Mas...” ucap Anya pelan. “Kenapa kamu nggak pernah bila
Sunyi menyelimuti ruang tamu. Hanya denting halus sendok mengenai cangkir yang terdengar, ketika Elkan duduk di kursi favorit Bu Mirna—yang kini entah mengapa terasa lebih nyaman dari sebelumnya.Di hadapannya, seluruh penghuni rumah berkumpul seperti menghadiri pemakaman diam-diam.Bukan kematian seseorang, melainkan kematian ilusi kekuasaan. Ilusi yang selama ini mereka banggakan, kini perlahan dikuliti satu-satu oleh lelaki yang selama dua tahun mereka anggap tak berguna.Elkan menyilangkan kaki.“Mulai hari ini, kalian boleh tetap tinggal di sini,” katanya, kalem. “Tapi jangan lupa... kalian tinggal di rumah saya.”Anya tampak menahan napas. Citra mengatupkan rahang, sementara Bu Mirna seperti kehilangan kemampuan bicara.Hanya Tiara yang duduk dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. Seperti sedang menyaksikan thriller nyata dalam rumah sendiri.“Apa kamu pikir ini lelucon, Elkan?” ujar Bu Mirna akhirnya. “Apa kamu sengaja mau balas dendam, hah?”Elkan menatapnya sebentar. Senyum
Elkan menoleh perlahan. Ia mengamati perempuan yang dua tahun lalu ia nikahi, perempuan yang dulu ia cintai sepenuh hati… tapi sekarang terasa seperti mimpi buruk dalam balutan parfum mahal, yang selalu tak mau ia sentuh. Kini, ia datang menawarkan diri. Anya pasti sedang mabuk saat ini, pikir Elkan, keheranan dengan sikap Anya.“Aku enggak bisa tidur,” lanjut Anya sambil memeluk dirinya sendiri. “Boleh aku tidur bersamamu malam ini?”Elkan menghela napas.“Kenapa bukan Thomas? Bukannya dia yang biasa kamu telepon diam-diam tengah malam?”Anya menunduk. “Dia jahat, Elkan. Aku… aku salah. Dia cuma manfaatin aku. Setelah dia tahu aku enggak punya kontrol atas harta keluarga, dia menjauh, setelah dia tahu ekonomi keluargaku sedang tidak baik-baik saja.”Elkan berdiri, perlahan.“Baru tahu rasanya ditolak karena miskin?” tanyanya, datar, sedikit menyindir. “Aku sudah dua tahun merasakannya. Setiap hari. Di rumah ini.”Anya menangis. “Aku minta maaf…”Elkan menatapnya. Lama. Dalam.Kemudian
Sore itu, rumah keluarga Hartawan tampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa kerabat jauh dan teman-teman bisnis Bu Mirna datang berkunjung, kabarnya ingin membahas proyek kerja sama properti. Elkan hanya duduk di ujung ruang makan, seperti biasa—tak dianggap.“Eh, Mas Elkan, kamu jangan duduk di kursi situ, ya. Itu buat tamu penting,” tegur Anya pelan, tapi tajam. “Kamu biasa duduk di bangku dekat dapur, kan?”“Sudah biasa didudukkan, bukan diposisikan,” jawab Elkan datar sambil berdiri. Ia membawa gelas air ke dapur, kembali memposisikan dirinya sebagai pelengkap suasana.Namun diam-diam, Elkan memperhatikan.Salah satu pria paruh baya yang duduk berdampingan dengan Bu Mirna... wajahnya tak asing.Pak Herman Wijaya. Komisaris utama dari PT Citra Jaya Properti.Elkan menahan senyum. Jadi ini proyek yang akan mereka garap?Ia menarik napas panjang.Menarik. Mereka belum tahu siapa yang mereka ajak bicara.Setelah acara selesai, Elkan diam-diam kembali ke kamarnya. Ia membuka laptopnya,
“Sosisku mungkin besar, tapi bukan untuk dicicipi sembarang orang, apalagi sama kakak ipar sendiri!” tegas Elkan, suaranya sedikit bergetar.Susah payah Elkan menolak ajakan Tiara.Hujan semalam belum benar-benar berhenti. Kini udara pagi di rumah Hartawan terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaan Elkan yang masih membawa sisa resah dari malam sebelumnya—mulai dari telepon mengejutkan Paman Tirta, suara lirih Anya di balik pintu, hingga kedatangan Tiara yang nyaris membakar imannya.Setelah cuci muka di wastafel belakang, Elkan berjalan menuju dapur. Ia ingin membuat kopi sendiri karena tahu persis tak ada satu pun wanita di rumah ini yang sudi membuatkan minuman hangat untuknya, bahkan sekadar air putih.Namun, pagi ini berbeda.“Mas El, kamu mau kopi, ya?” suara Citra muncul tiba-tiba dari balik kulkas, mengejutkan Elkan.Dengan tank top ketat dan celana pendek yang terlalu pendek untuk cuaca mendung, Citra tersenyum sok manis. Aroma parfumnya lebih kuat dari