Share

SHE'S SPECIAL
SHE'S SPECIAL
Penulis: Mirah Official

BERTEMU UNTUK PERTAMA KALI

Kembali membaca proposal, dan setelah itu ditutup kembali lantaran waktu sudah habis. Hayden segera menandatangani proposal itu dan memberikannya pada sekretaris.

Matanya yang lelah mulai melirik pada jam yang berada di pergelangan tangan, ternyata sudah waktunya jam pulang. Hayden segera bangkit dan tak lupa untuk memasukkan beberapa benda pada tas kerjanya untuk dibawa pulang ke apartemen mewah miliknya, berguling-guling di kasur empuk mungkin sangat menyenangkan.

Sampai di pertengahan perjalanan, Hayden terjebak macet yang diinformasikan cukup panjang. Pria itu berpikir keras untuk bisa cepat pulang, dan pilihannya terjatuh pada jalan lain yang bisa dikatakan jarang dilewati oleh orang.

Jalan itu memang sedikit jauh, namun akan memakan waktu lebih lama jika dirinya hanya mengikuti kemacetan saja. Jalanan yang cukup sepi berhasil membuat Hayden sedikit lebih tenang tanpa takut ada orang lain yang menghadang dan merampas harta bendanya. Toh jalanan ini aman, hanya tidak banyak orang yang tahu saja.

"Siapa dia?" tanya Hayden pada dirinya sendiri ketika melihat seorang gadis yang tampak menangis sesegukan dibawah pohon yang rindang. Tubuh gadis itu bahkan dipenuhi warna kebiruan khas seperti orang yang telah dipukul bertubi-tubi.

Mobil Hayden berhenti tepat di hadapan seorang gadis tadi, pria itu segera turun dari mobilnya dan mulai menawarkan bantuan.

"Kau sedang apa di sini?" tanya Hayden sebaik mungkin, gadis itu mulai mendongakkan wajahnya yang berhasil membuat Hayden semakin terkejut. Hidung mancung nan mungilnya mengeluarkan darah, jangan lupakan sisi bibirnya yang mengeluarkan darah juga.

"Astaga ... kau terluka. Mari saya antar untuk ke rumah sakit, luka-luka ini harus segera diobati," ucap Hayden yang kini mulai membawa gadis yang tidak diketahui namanya masuk ke dalam mobil dan melesat pergi menuju rumah sakit.

Selama di perjalanan pun tidak ada yang bersuara kecuali isak tangis gadis di samping Hayden. Pria itu ingin membuka suara, namun melihat gadis itu kesulitan berbicara pun niatnya kembali diurungkan. Mungkin meminta penjelasan bisa lain kali jika gadis disampingnya telah merasa lebih baik.

Sampai di rumah sakit, para pihak medis segera mengobati luka gadis yang dibawa oleh Hayden. Gadis itu pun harus dirawat terlebih dahulu selama beberapa hari agar dokter bisa mengontrolnya secara jelas.

Hayden telah menandatangani surat persetujuan perawatan Kanaya. Ya, Hayden tidak tahu namanya, maka dari itu ia memberi namanya asal saja. Lagi pula, ketika ditanyakan tentang nama ataupun tempat tinggal, gadis itu hanya diam dengan kedua mata yang mengeluarkan cairan bening. Hal itu membuat Hayden tak tega dan memberikannya nama secara asal saja.

"Sekarang, nama kau Kanaya. Itu nama dari saya, jika kau sudah bisa menyebutkan atau mengingat nama aslimu, pakai nama asli saja," ujar Hayden pada gadis yang kini tengah menatapnya.

Dokter pun berkata jika Kanaya mengalami depresi tingkat sedang dan belum terlalu parah. Gadis itu sangat trauma sampai psikisnya terganggu. Dan dokter juga menyarankan agar ia sering dibawa ke psikiater agar menjadi gadis yang normal kembali.

"Oh ya, kedua orang tua kau di mana? Biar saya yang menghubungi mereka untuk menjemput kau di sini." Kanaya menggeleng lemah, wajahnya kembali pucat ketika mengingat sesuatu yang sangat menakutkan itu.

"Orang tua mati, pria pembunuh penggal mereka di depan mata aku. Aku takut ..." Keringat dingin mulai mengalir di dahi Kanaya, tubuh mungilnya mulai bergetar takut membuat Hayden tidak tega melihatnya.

Pria itu segera memeluk gadis di depannya dan menenangkan sebisa mungkin. Mungkin lain kali dirinya tidak akan membahas perihal orang tua di hadapan Kanaya, traumanya sangat parah. Jika terus dipancing, maka depresi yang dialami oleh Kanaya akan sulit disembuhkan.

"Istirahatlah, saya tidak akan pergi," ucap Hayden membuat Kanaya mengangguk pelan, gadis itu mulai mencoba tidur sebisa mungkin dan meyakinkan hatinya jika semua akan baik-baik saja. Semua akan kembali normal ketika dirinya kembali terjaga nanti.

Hayden tersenyum tipis melihat Kanaya yang mulai kembali terpejam, gadis itu tampak lebih tenang dengan mata yang tertutup rapat.

Hayden yang sedari tadi duduk di samping Kanaya kini mulai bangkit, menarik selimut untuk menutupi gadis itu sampai sebatas dada dan tak lupa untuk menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajah cantik Kanaya.

"Saya keluar sebentar," pamit Hayden yang tidak dibalas sedikit pun oleh Kanaya, gadis itu hanya diam dengan pikiran yang sudah berkelana di alam mimpi.

***

Kini Hayden tengah duduk berdua bersama Brian—teman dekatnya, di sebuah cafe yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit tempat Kanaya dirawat.

Hayden juga telah menceritakan kejadian tadi pada Brian yang ditanggapi dengan benar oleh temannya itu.

"Menurutku, mungkin lebih baik jika Kanaya dimasukkan saja ke dalam Rumah Sakit Jiwa. Ya ... kau tahu sendiri jika keadaannya memang seperti itu dan harus ditempatkan pada tempat yang seharusnya. Mungkin di sana dia bisa menjadi gadis yang kembali normal," ujar Brian membuat Hayden diam dan memikirkan kata-katanya dengan baik.

"Tapi ... Dokter berkata jika Kanaya hanya mengalami depresi ringan. Juga ada trauma yang sangat mendalam membuatnya harus lebih banyak ketenangan agar perlahan-lahan bisa melupakan apa yang membuatnya trauma. Lagi pula, dia tidak terlalu gila. Mungkin aku yang mengurusnya saja." Brian menatap Hayden heran. Meskipun Brian tahu jika Hayden tinggal seorang diri di apartemen, tapi bukan berati jika pria itu mencari teman yang tidak waras bukan?

"Yang benar saja! Kau seorang pria yang sempurna, masih banyak gadis atau perempuan cantik di luar sana yang bisa kau ajak tinggal bersama di apartemenmu itu. Dia hanya gadis gila—"

"Aku yang bertindak! Terimakasih atas masukannya," ujar Hayden, pria itu mulai beranjak pergi meninggalkan Brian yang menatapnya bingung.

"Awas saja jika ikut gila!" kesal Brian yang kini tengah duduk seorang diri dengan hati yang menggerutu kesal.

Hayden sendiri kini sedang membersihkan diri di apartemennya dan tak lupa untuk mengisi perut yang terasa kosong. Ia memang tinggal sendiri, namun setiap harinya selalu ada orang yang mengurus apartemen ataupun makanan. Orang-orang itu hanya beberapa jam datang dalam sehari dan kembali pulang tanpa tinggal bersama dengan Hayden sendiri. Pria itu memang tidak terlalu suka jika ada keramaian di tempatnya.

Selesai melakukan itu semua, Hayden mulai mempersiapkan diri untuk kembali ke rumah sakit. Tak lupa juga untuk membawa buah tangan yang semoga saja bisa membuat hati Kanaya lebih senang dari sebelumnya. Pria itu hanya membeli beberapa buah-buahan dan makanan lainnya saja.

Sampai di rumah sakit dan masuk ke dalam ruangan Kanaya, hal yang pertama kali Hayden lihat adalah seorang gadis yang tengah disuapi makanan oleh suster.

"Permisi," dua perempuan yang sedang berhadapan itu sama-sama menoleh ke arah pintu yang di mana terdapat Hayden dengan salah satu tangan yang membawa sesuatu.

Bisa pria itu lihat jika Kanaya sedang tersenyum ke arahnya.

"Oh Tuan, maaf saya telah lancang memberi makan pada Kanaya. Beliau mengeluh ingin makan tadi," ujar suster itu yang hanya dibalas senyuman oleh Hayden sebelum berkata, "tidak masalah, terimakasih telah membantu Kanaya. Biar saya saja yang melanjutkan," pinta Hayden yang segera diberi anggukan oleh suster itu.

Kini Kanaya kembali ditemani oleh Hayden, pria itu juga membantunya untuk makan dengan benar.

Ketika sedang asik membantu Kanaya makan, tiba-tiba saja pikiran tentang ucapan Brian agar memasukkan Kanaya ke rumah sakit jiwa mulai terlintas di pikiran Hayden. Pria itu menggeleng pelan dan terdiam.

Kanaya yang merasa heran pun mulai bertanya. "Kakak kenapa?" tanya Kanaya yang berhasil memecah fokus Hayden.

"Tadi saya telah bertemu dengan teman saya untuk menceritakan kejadian hari ini dan menceritakan tentang kau. Dia memberi masukan untuk memasukkan kau ke dalam Rumah Sakit khusus untuk orang yang memiliki gangguan lain. Dia berkata seperti itu mungkin bertujuan untuk membuat kau agar lebih bisa menjadi gadis yang normal kembali. Dan pertanyaan saya, apakah kau mau dirawat di sana?" tanya Hayden yang berhasil membuat Kanaya beku.

Pikiran gadis itu kembali berputar, sebisa mungkin menormalkan detak jantungnya yang semakin menggila untuk bisa menjawab pertanyaan Hayden dengan tenang dan benar.

"Tidak. Tinggalkan saja saya sendiri daripada harus dimasukkan ke dalam tempat itu. Biarkan saja saya terlunta-lunta di jalanan, saya tidak mau!" Hayden diam, sepertinya tindakan yang salah menawarkan perihal tadi. Kanaya terlihat sangat membencinya.

"Ya, saya tahu itu. Tidak salah juga saya menolak usulannya. Karena saya tahu, kau tidak gila dan kau hanya sedikit berbeda dari yang lainnya. Kau gadis kuat yang saya yakini akan kembali bisa seperti dulu. Jangan takut, orang tuamu memang tidak ada, namun saya selalu ada untukmu." Tidak tega. Dua kata itu yang bisa mewakili perasaan Hayden saat ini.

Gadis di depannya ini sudah tidak memiliki siapa-siapa selain dirinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status