Share

Bab 2. KECURIGAAN DEA

“Apa? Kamu barusan bilang apa De?” tanya Fitri serius menatap Dea.

“Sudahlah, intinya aku nggak suka Mbak Fitri memakai uang tanpa perhitungan. Pemborosan saja!”

“Mbak tanya sama kamu. Yang buat boros itu siapa De?”

“Masih nggak ngerasa juga ya Mbak? Sering masak ini, masak itu, bikin kue segala, apa itu nggak bikin boros?” tukas Dea dengan lancang.

“Loh..., memangnya kenapa? Toh, makanannya habis semua, nggak ada yang terbuang sia-sia?” timpal Fitri.

Dea memutar bola matanya malas. Tak lama ia pun berlalu meninggalkan Fitri seorang diri.

“Apaan si maksud si Dea?” gumam Fitri sembari menggaruk-garuk kepalanya bingung.

****

Sore hari Fitri sedang menyuapi Mentari di teras rumah, tiba-tiba seorang penjual baju berhenti dan menggelar dagangannya begitu saja di teras rumah Bu Aminah.

Sesekali memanggil para ibu-ibu dengan panggilan khasnya.

Tak lama para tetangga pun berbondong-bondong datang menghampiri si pedagang dan langsung memilih barang barang yang tergelar.

“Ini berapa Bang?”

“Lima puluh ribu.”

“Kalau yang ini?”

“Ah.... mahal sekali. Kalau yang ini berapa?”

“Yang ini berapa?”

“Yang ini berapaan?”

Suasana pun menjadi ramai, Fitri hanya berdiri santai di belakang.

Tak lama Dea pun datang, dengan cepat Dea memilih baju yang ia sukai.

Tiga baju telah berada di tangan, matanya sesekali menoleh ke arah Fitri seolah meminta perhatian.

“Mbak Dea banyak banget beli bajunya?" tanya seorang ibu-ibu berambut pirang.

“Hehehe...., iya Bu. Soalnya baju di lemari saya sudah pada jelek.”

“Oh begitu. Itu Mbaknya Mbak Dea nggak beli juga?” tanya Bu Rani menoleh kearah Fitri.

“Oh iya Bu, silahkan di pilih. Saya nanti saja,” jawab Fitri santai sembari melempar senyum.

“Mah, minum ...” pinta Mentari.

“Oh, iya mamah lupa bawa minumnya, sebentar mamah ambilkan dulu ya."

Firti berlalu ke dalam rumah, dengan cepat Dea menyenggol tangan Bu Rani.

“Mana mungkin dia beli baju, duit dari mana?” sindirnya.

Beberapa ibu-ibu yang jaraknya berdekatan pun akhirnya mendengar bisikan Dea, dan ikut menyimak.

“Lah, emang suaminya belum kerja juga ya Mbak Dea?”

“Belum, pusing saya jadinya. Semenjak ada dia pengeluaran membengkak terus.”

“Kasihan sekali Mbak Dea dan Mas Diki, jadi tambah repot kalau begitu?"

“Iyalah Bu, repot saya jadinya.”

Bu Rani dan yang lainnya mangut-mangut, lalu mereka seketika terdiam karena Fitri telah kembali.

****

Pagi hari, Dea dan Diki terlihat rapi sepertinya mereka akan menghadiri undangan Niken.

“Mbak, ini buat jajan Icha. Jangan lupa nanti jamnya makan siang suapi dia ya Mbak, dan waktunya tidur siang suruh Icha tidur.

Oya, jangan jajan sembarangan. Karena aku nggak biasain Icha makan begituan.” tutur Dea sembari menyodorkan uang lima ribu rupiah ke hadapan Fitri.

Fitri terdiam tak cepat mengambil uang pemberian Dea.

“Kenapa Mbak? Ini ambil! Apa kurang? Apa aku harus kasih jatah jajan buat Mentari juga ya?” hardik Dea.

Gilang dan Diki saat itu pun mendengar ucapan Dea, namun keduanya hanya terdiam dan langsung menoleh secara bersamaan ke arah Fitri.

“Dea. Jaga ucapan kamu! Tak sepantasnya kamu bicara seperti itu pada Fitri.”

Gilang ikut angkat bicara melihat istrinya diperlakukan kurang sopan oleh Dea adik iparnya.

“Loh, ada apa memangnya? Kita saling membutuhkan, kan? Jadi ya wajar saja aku minta tolong sama Mbak Fitri buat jaga dan ngurusin anak aku dong?”

“Ini bukan soal butuh-membutuhkan. Ini soal adab bicara kamu yang harus diperbaiki. Kamu tau sedang bicara dengan siapa? Dia kakak iparmu, dan dia istri saya, saya tidak terima kamu suruh-suruh Fitri seperti itu. Paham?”

Kali ini Gilang merasa sikap Dea sudah sangat keterlaluan pada istrinya, matanya membulat tajam, membuat Dea seketika tertunduk.

“Mas bilang apa? Kamu belajar sopan sedikit sama Mbak Fitri,” ucap Diki menyesali kejadian yang tak mengenakan.

Dea menatap Diki dengan tatapan kecewa, lalu ia pun beranjak pergi keluar rumah.

“Mbak Fitri, dan Mas Gilang, aku minta maaf atas sikap Dea ya? Nanti aku coba nasehatin lagi dia.”

“Iya, Ki. Tidak apa-apa, kedepannya Mas harap, kamu sebagai suami harus bisa didik dia lebih baik lagi “ ucap Gilang menepuk bahu adiknya.

“Iya Mas. Kalau begitu, aku berangkat dulu ya Mas, Mbak.”

Gilang dan Fitri pun mengangguk bersamaan.

“Mas, kenapa sikap Dea begitu ya? Sepertinya dia nggak suka dengan keberadaan kita di sini?” keluh Fitri.

Gilang tak langsung menjawab pertanyaan istrinya, perlahan ia menuntun Fitri dan mengajaknya duduk santai.

“Iya, Mas juga ngerasa begitu.”

“Apa mungkin ya Mas, pikirnya kita numpang hidup ke dia?”

“Hah? Apa iya? Ko bisa kamu nebak kesitu?”

“Ya, soalnya dia selalu protes kalau aku masak dan buat makanan, dia bilang jangan boros.”

Fitri dan Gilang saling tatap dan akhirnya mereka berdua terkekeh bersama.

“Hahahaha... Bisa jadi, bisa jadi, dia pikir kamu pakai uang dia,” ucap Gilang yang belum berhenti tertawa.

“Hihihi... Ada ada saja, jadi aku harus gimana dong Mas? Apa perlu aku unjuk uangku ke dia?”

“Apa? Hahahahah... Tidak, tidak sayang... Sudah biarkan saja.”

“Tapi nggak enak Mas, jadinya dia curigai aku terus.”

“Nanti Mas yang bilang sama Diki, bahwa kebutuhan kita di sini bukan dari uang dia.”

“Lang, rumah sepi banget, pada kemana?”

Tiba-tiba suara ibu terdengar dari arah belakang.

“Eh, Ibu. Diki sama Dea sedang ada acara di luar Bu. Anak-anak tuh, lagi pada main di luar.”

“Oooh iya. Lang, gimana kamu betah tinggal disini? Kalau kamu tidak betah, dan mau kembali ke Jakarta, tidak apa-apa, jangan mikirin ibu Lang.”

“Betah Bu, Mentari juga kelihatannya betah, Fitri juga. Gilang mau kembali ke Jakarta kalau bawa Ibu juga.”

“Hmm, kamu ini. Ibu nggak bisa tinggalin rumah ini Lang.”

“Iya Bu, tidak apa-apa. Rencananya Gilang juga mau cari rumah dekat-dekat sini, tapi sepertinya belum ada yang mau jual rumah, atau tanah ya Bu?”

“Iya Lang, di sini susah cari rumah.”

“Mamah, ayok kita jalan-jalan, kenapa selama di sini kita tidak pernah jalan-jalan?” Mentari tiba-tiba merengek.

“Mau jalan-jalan kemana sayang?”

“Kemana saja Mah, ke mall yuk mah?”

Bu Aminah seketika tertawa, mengingat di kampung nya tidak ada mall.

“Mana ada mall di sini Tari, ada juga toko Mang Ujang tuh, hihihi...”

Gilang dan Fitri pun ikut tertawa, sementara Tari mampak kesal, permintaannya menjadi bahan tertawaan.

Melihat putrinya ngambek, Fitri mengajak Gilang untuk pergi.

“Kemana Yang?”

“Kemana aja, yang penting jalan. Atau kita ke arah kota aja, barangkali ada mini market di sana Mas, sekalian kita beli kebutuhan bulanan.”

“Ooh, ya sudah. Ajak Ibu sekalian ya?’

“Iya dong, masa Ibu dan Icha mau di tinggal? Yuk Bu, ikut kami.”

“Kemana Fit?”

“Nurutin kemauan cucunya Ibu tuh,” ucap Fitri tersipu.

“Oalaah, ke warung Mang Ujangnya nggak jadi toh?” Bu Aminah terkekeh lagi.

“Ya sudah, Nenek siap-siap dulu ya?”

Ia pun beranjak ke kamarnya.

Semua anggota keluarga terlihat bersiap.

“Lah, Mas? Kita naik apa?" tanya Fitri kebingungan menatap Gilang.

“Iya juga ya? Ya sudah kita jalan dulu saja ke depan, nanti di depan kita pesan grab.”

Keluarga Gilang pun berjalan hingga berada di pinggir jalan raya. Ternyata pemesanan grab care di kampung tak semudah di kota, sampai beberapa menit berlalu mereka belum mendapatkan tumpangan.

“Mas Gilang? Mau kemana nih, bawa rombongan begini?" sapa Toni teman sekolahnya dulu.

“Eh Mas Toni. Ia nih mau ngajak jalan-jalan tapi nyari mobil di sini susah ya Mas?”

“Wah susah Mas kalau di sini. Pakai mobilku saja Mas, kebetulan tidak di pakai.”

"Beneran boleh Mas? Sebelumnya terimakasih banyak Mas, atas tawarannya kami terima.”

“Boleh, boleh Mas. Mari Mas ikut ke rumahku.”

Gilang menyuruh yang lainnya untuk menunggu sementara ia berjalan menuju rumah Toni.

Rumah Toni tak terlalu jauh, sekitaran lima belas menit Gilang telah sampai.

“Ini Mas, mobilnya.” ujar Toni sembari membuka sarung mobil, nampak sebuah mobil X*nia berwarna hitam.

“Ooh, iya Mas, jadi berapa biaya sewanya?”

“200 saja Mas.” jawab Toni.

“300 ribu! Enak aja 200 ribu. 300 ribu Mas." terdengar suara lain menimpali dari arah belakang Toni, yang ternyata istri Toni.

Gilang tersenyum menanggapinya, sementara Toni terlihat tidak enak hati.

“Tidak apa-apa Mas, aku bayar 300 ya?” Tiga lembar uang seratus ribu an di sodorkan ke Istrinya Toni.

“Ini Bu uangnya, kalau begitu aku pinjam ya Bu mobilnya.”

“Ingat ya Mas, jangan lebih dari 3 jam. Dan hati-hati bawanya jangan sampe mobilnya tergores. Dalamnya juga jangan sampai kotor,” tuturnya penuh khawatir.

“Baik Bu.”

“Dan juga, barang-barang di dalamnya jangan sampai ada yang hilang ya Mas?”

“Baik Bu.”

Kalau saja tidak sedang butuh, rasanya enggan meminjam mobil punya orang lain seperti ini. Namun tak ada jalan lain.

Gilang pun segera membawa mobil milik Toni menjemput keluarganya yang tengah menunggu.

Mereka mendatangi tempat hiburan anak-anak seadanya, meskipun permainan sederhana namun cukup membuat Mentari dan Icha senang. Sementara Fitri dan Bu Aminah berkeliling membeli kebutuhan rumah.

“Fitri, banyak sekali belanjaannya?”

“Tidak apa-apa Bu, keluarga di rumah kan banyak.”

“Berapa total semuanya Mbak?”

“Dua Juta, enam ratus ribu Bu.”

Fitri segera menyerahkan yang terlihat cukup tebal, sementara Bu Aminah menatapnya segan.

Setelah puas bermain, mereka pun kembali pulang.

*****

“Icha....? Bu....? Icha...? Pada kemana si ini orang?” teriak Dea yang baru tiba di rumah.

“Mungkin lagi ke ladang, De.”

“Apa? Icha di bawa ke ladang? Keterlaluan kakakmu itu Mas, aku nggak mau ya anak kita kepanasan di ladang! Kamu susul dia, cepat!”

“Kenapa si De, kamu gak bisa tenang? Mentari saja tidak masalah pergi ke ladang?”

“Mentari dan Icha ya jelaslah beda. Mentari itu emang harus siap prihatin ikut sama orang tuanya ke ladang, kalau icha janganlah, enak aja!”

“Kamu itu sebenarnya ada masalah apa si Dek sama keluarga Mas Gilang? Sikap kamu itu buat Mas malu tau De?”

“Sudah, sudah, jangan mikirin aku. Pikirin anak kamu yang lagi di bawa ke ladang. Cepat susul dia!’sentak Dea pada suaminya.

Diki membalikan tubuhnya, rasanya malas setiap hari selalu berdebat dengan Dea hanya karena hal sepele.

Baru saja sampai teras, terlihat Mentari dan Icha berlari menghampiri Diki dengan tawa bahagia

“Icha, Mentari? Kalian dari mana?’

“Jalan-jalan Om,”jawab Mentari.

“Ooh, jalan-jalan, om kira kemana.”

Tak lama di susul Bu Aminah, Fitri dan Gilang yang terlihat repot membawa belanjaan.

Semuanya melepas lelah di dalam rumah, belanjaan masih menumpuk di atas lantai.

“Ibu, belanja lagi?” tanya Dea dengan mata menoleh ke arah barang-barang.

“Iya, itu tadi Fitri yang beli."

“Lain kali kalau Ibu mau belanja titip aku aja Bu. Aku juga bisa.”

“Iya Dea,”jawab Ibu santai.

“Mamah, ini aku tadi di beliin boneka sama Uwa,” ucap Icha dengan wajah cerianya.

“Ya ampun Mbak ini apa-apaan si Mbak? Aku udah bilang kan ke Mbak, aku nggak suka pemborosan. Mbak enak di rumah aja, aku sama Mas Diki capek Mbak, kerja. Jadi, jangan pikir aku akan setuju dengan pengeluaran semua ini, sekalipun Mbak belikan Icha boneka. Aku bisa beliin Icha boneka yang lebih banyak dan mahal. Tapi pikirin dong Mbak, buat kebutuhan lain?”

“Kamu ngomong apa Dea?” tukas Gilang.

“Mas, aku mau kita pindah rumah! Biar mereka bisa mikir.” Dea tak menjawab pertanyaan Gilang, ia langsung bicara pada Diki, tanpa mempedulikan Gilang.

“Dea, itu Mas Gilang nanya.”ucap Diki.

“Tanya apa si? Masa belum paham juga? Jangan pikir aku nggak tau. Kalian beli ini, ini, ini, ini semua pakai uang Ibu kan? Dan uang Ibu itu uang dari Aku dan Mas Diki. Jelas sekarang?”

“Jaga ucapan kamu Dea! Kami beli semua ini pakai uang kami. Bukan uang Ibu, atau uang kamu.”

“Dea! Aku bilang juga apa? Mas itu pakai uangnya sendiri, bukan uang dari kita.”

Dea terdiam, namun tatapannya masih terlihat emosi.

“Heuh! Aku nggak percaya! Aku baru bisa percaya kalau kita pisah rumah. Silahkan hidup sendiri dengan keluarga kakak, jangan recoki keuangan kami di sini. Bisa nggak seperti itu? Paling-paling nanti sibuk datang kerumah kita nyari pinjaman.” tanpa segan Dea menantang Fitri dan Gilang.

Plak...

Dengan cepat tamparan keras Fitri mendarat di pipi Dea.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status