Share

Bab 3. MEMAKAI BARANG TANPA IZIN

"Apa yang Mbak lakukan pada istriku?" hardik Diki menatap Fitri tajam.

"Jaga ucapan kamu ya De, kamu pikir kami penjilat? Seenak kata kamu tuduh kami memakai uang kamu!''

"Buktikan! Buktikan kalau ucapanku salah. Kamu pikir aku nggak berani sama kamu?" 

Dengan cepat Dea menyerang Fitri. Diki dan Gilang mencoba memisahkan keduanya dengan memegangi istri mereka masing-masing.

"Sudah Sayang.... Sabar, jangan begini."

"Dia terus terusan nuduh kita memakai uangnya Mas,  pantang bagi aku di rendahkan seperti ini!'' jawab Fitri sambil terus meronta. 

"Nuduh? Siapa yang nuduh? Kalian memang memakai uangku, uang suamiku, orang -orang malas dan miskin seperti kalian memang pantas di rendahkan!" balas Dea yang sama tak mau kalah.

"Diki! Bawa istrimu ke kamar! Cepat!'

"Baik, Mas." 

Dengan sedikit paksaan Diki menarik tubuh Dea dan masuk kedalam kamar.

Sementara Gilang terus menenangkan Fitri. 

Beruntung Mentari dan Icha tidak menyaksikan keributan yang terjadi, saat melihat Dea yang mulai berkata kasar pada Fitri tentang boneka Icha, Diki langsung menarik anak-anak  agar menjauh dari  obrolan orang tuanya,  dan mengantar mereka bermain di halaman samping rumah. 

"Ya Allah, Lang, kenapa ini? Ada apa dengan para mantuku?" Isak Bu Aminah yang sedari tadi bingung menyaksikan keributan di antara anak-anaknya. 

"Hanya salah paham Bu, jangan Ibu pikirkan, nanti kami coba bicara baik-baik dengan Diki dan Dea," jawab Gilang. 

Bu Aminah masih terlihat syok, Gilang langsung membawa Ibunya ke kamar.

"Ibu istirahat saja ya."

"Tapi, benar tidak ada apa-apa Lang?"

"Semua baik-baik saja Bu, Ibu tenang saja ya..." Gilang khawatir penyakit darah tinggi Ibunya kambuh karena kejadian ini.

Bu Aminah menganguk, dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sementara Gilang kembali menghampiri Fitri. 

"Tadi kamu kenapa harus sekasar itu pada Dea, Yang?"

"Maaf Mas, aku tidak bisa mengontrol emosiku. Benar dugaanku, Dea mengira kita hidup disini memakai uangnya. Seharusnya dia tanyakan baik-baik, biar aku juga bisa jawab baik-baik. Jangan main tuduh!"

"Iya Mas ngerti, sudah ... sudah, istighfar ya?"

"Apa perlu kita jelaskan pada Dea, bahwa kamu itu sebenarnya punya perusahaan, sekalian kita kasih tau dia rumah dan mobil yang kita punya di Jakarta, biar dia tidak merendahkan kita Mas?"

"Astaghfirullah, buat apa yang? Tidak perlu berlebihan seperti itu, Mas khawatir nanti jatuhnya kita jadi takabur, sudah biarkan saja. Nanti dia akan tau dengan sendirinya, ya?"

"Aku mau balik ke Jakarta. Pokoknya aku gak mau di sini!"

Gilang terdiam, ia merasa dilema atas masalah yang sedang menimpanya,  tidak mudah mengikuti keinginan Fitri, ia pun harus memikirkan keadaan Ibunya di kampung jika ia tinggalkannya lagi. 

Apalagi prilaku Dea yang seenaknya menyuruh Ibu untuk menjaga anaknya, belum lagi pekerjaan rumah. 

Sebenarnya bisa saja Gilang mengambil ART untuk membantu dan menjaga Ibunya, namun sudah empat orang di coba semuanya tak betah berlama-lama bekerja di rumah Bu Aminah, karena alasan tidak tahan dengan sikap Dea yang selalu berkata kasar.

"Baiklah, kita ke Jakarta, tapi bukan untuk pindah ya yang? Ya itung-itung cari ketenangan dulu saja di sana sementara waktu, bagaimana?"

"Nanti kita balik lagi ke sini? Bareng lagi sama si lemes itu?"

"Dea nama ya, yang. Bukan Lemes."

"Tapi mulutnya lemes Mas," sahut Fitri kesal.

"Tapi bukan namanya kan?"

Fitri terkekeh, di tengah kegundahannya. Karena ucapannya sendiri, dan timpalan dari suaminya.

"Berapa hari kita di Jakarta Mas?"

"Satu minggu cukup? Sekalian aku mau liat kantor."

"Kenapa gak Dua, atau tiga minggu?"

"Ibu yang.... Aku mikirin Ibu. Ibu pasti capek kalau kita tinggal kelamaan."

Fitri terdiam, wajahnya nampak sendu, ia bisa memahami pikiran suaminya yang tengah dilema.

"Ya sudah, tidak apa-apa seminggu saja, yang penting kita menghindar dulu dari si Lemes itu."

"Sayang... Siapa namanya?" tanya Gilang mencandai istrinya.

"Dea..." jawab Fitri nyengir kuda, Gilang pun segera mengusap kepala istrinya. 

"Ingat ya, Yang. Jangan sesekali menyebut nama orang dengan sebutan yang buruk. Allah melarangnya."

Artinya kurang lebih begini, Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (maksudnya, janganlah kamu mencela orang lain,) Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar (yang buruk). Seburuk-buruk panggilan ialah (penggilan) yang buruk (fasik) sesudah iman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim. 

Bagaimana bisa di pahami?" Gilang menjelaskan panjang lebar ayat Alquran sembari menasehati Fitri.

Fitri pun mengangguk, hatinya merasa lebih tenang. 

"Maaf ya Mas, aku masih kesal."

"Ya sudah, kamu ajak Tari mandi dan shalat ashar sana, Mas juga mau ke masjid."

"Iya Mas," jawab Fitri, hatinya merasa beruntung mempunyai suami seperti Gilang yang selalu menasehatinya dengan lembut jika dirinya berbuat salah. 

*** 

"Jadi kamu mau ke Jakarta lagi Lang?" tanya Bu Aminah menatap Gilang serius.

"Cuma seminggu Bu, Ibu mau ikut?"

"Benar cuma seminggu?"

"Ia Bu, Gilang mau nengok rumah."

"Ya sudah, kalau begitu biar Ibu tunggu di sini saja, kapan kamu berangkat?"

"Insyaallah besok pagi Bu."

"Ya sudah, baiknya kamu sekarang istirahat biar tidak kelelahan besok di jalan."

"Iya Bu."

Tenang rasanya hati Gilang, sudah mendapat izin dari sang Ibu. Ia pun kembali ke kamarnya menemui Fitri yang sedang melipat baju.

"Jangan banyak-banyak bawa bajunya yang, kan baju kita masih banyak di rumah sana."

"Enggak ko Mas. Hmmm, kira-kira baju-bajuku aman nggak ya Mas, di sini?"

"Loh, memangnya kenapa?"

"Heheheh, takut di pakai Dea," jawab Fitri spontan menutup mulut dengan jemarinya. 

"Huust, nggak baik berburuk sangka gitu ah."

"Soalnya kemarin begitu kan, Mas? Dia pake baju aku?"

"Ya, kamu simpan saja baik-baik di lemari."

Gilang pun langsung membantu membereskan barang yang sekiranya di butuhkan selama di perjalanan. 

Malam itu, Fitri dan Dea tidak saling bertemu lagi. Hingga pagi hari. 

"Mas Gilang dan Mbak Fitri mau kemana?" tanya Diki saat mendapati keluarga kakaknya nampak berpakaian rapi.

"Mau ke Jakarta dulu Ki, Mas nitip Ibu dulu ya?"

"Loh, ko mendadak begini? Apa karena masalah kemarin Mas dan Mbak Fitri sampai harus pergi?"

"Tidak Ki, Mas mau liat rumah dan kerjaan di sana, tidak lama cuma seminggu."

"Ooh begitu, ya sudah hati-hati ya Mas."

"Iya Ki, istrimu mana?"

Gilang saat itu hendak berpamitan pada Dea, namun Diki nampak terlihat ragu, karena keadaan Dea yang masih marah pada kakaknya.

"Dea ada di dalam Mas, nanti biar aku sampaikan."

"Oh ya sudah kalau begitu. Bu, Gilang pamit dulu ya ?"

Fitri dan Mentari pun ikut menyalami tangan Bu Aminah. 

****** 

Setelah melalui perjalanan beberapa jam, akhirnya Gilang bersama keluarganya tiba di rumah.

"Hmmmmmm, akhirnya, aku bisa datang lagi ke rumah yang sangat menenangkan ini," ucap Fitri saat sampai di rumahnya, ia langsung merebahkan tubuhnya di sofa.

Gilang hanya tersenyum memperhatikan sikap istrinya. 

Rumah itu nampak terlihat bersih dan terawat karena asisten rumah tangga, dan seorang satpam   mereka yang berstatus suami istri, sengaja menetap di rumah itu. 

 Ke esokan harinya Gilang berpamitan untuk melihat kantornya, sementara Fitri mengajak Mentari jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. 

"Mamah apa kita tidak ke rumah Nenek lagi?"

"Kenapa sayang? Kamu kangen Nenek ya?" tanya Fitri yang tetap fokus mengendarai mobilnya.

"Iya, aku kangen Nenek, dan De Icha."

"Iya, nanti kita pulang kampung lagi kok."

wajah Mentari terlihat begitu bahagianya. 

Fitri dan Mentari menuju ke salah satu restoran, sembari menunggu makanan di antar. Fitri membuka aplikasi berwarna biru,  dan menggeser-geserkan jarinya ke layar ponsel, sekedar melihat kabar berita teman-temannya. 

Tambahkan teman Dea Lestari. 

Nampak terpangpang jelas photo adik iparnya itu membuat mata Fitri sedikit menajamkan tatapannya. 

"Dea? Ini rupanya fbnya?" tanya hati Fitri. 

Ia pun membuka profil f* Dea dengan penasaran.

Semuanya hanya berisi tentang postingan photo-photo kebahagiaan di segala macam acara. 

Hingga mata Fitri berhenti di salah satu photo terbaru yang Dea posting, dengan caption "Jalan-jalan dulu gaes."

Namun bukan itu yang membuat Fitri tiba-tiba berubah kesal. 

Berkali-kali Fitri meneliti tas yang sedang di pakai Dea, hingga hanya photo itu yang penuh dengan komentar teman-temannya. 

"Wih keren tasnya."

"Wow mantaaaap, gue pinjem dong tasnya,"

"Waah sekarang udah jadi istri sultan ya, tasnya aja mewah."

Dan masih banyak Komentar pujian dari teman-temannya. 

"Astaghfirullahalazim ... Tas Christian Di*r  ku di pake?" gerutu Fitri kesal. 

"Mah, di makan Mah, nanti dingin." pinta Mentari yang memperlihatkan Fitri belum menyentuh makanannya.

"Iya sayang, kamu makan duluan ya?"

Saat itu hatinya sangat marah, bisa-bisanya Dea memakai tas koleksinya tanpa izin. 

Andai aku bisa memberikan komentar, sayangnya Dea hanya bisa menerima komentar dari orang-orang yang berteman dengannya saja. 

Gerutu Fitri.

Ia segera mencari kontak Dea di ponselnya, tak sabar hatinya ingin menegur Dea segera, namun kenyataan kontak Fitri kini di blokirnya. 

"Deaa! Astaghfirullah. Kamu nggak ada adabnya sama sekali. Sampai kapan buat aku kesal  begini terus?''

Fitri pun langsung menelepon Diki. 

Sambungan telepon terhubung.

"Hallo Mbak? Assalamualaikum?"

"Waalaikumsalam. Diki, apa kamu sedang bersama Dea?"

"Hmmm, iya Mbak. Ada apa Mbak?"

"Mbak mau bicara sama dia."

"Baik Mbak." ucap Diki sembari menyerahkan ponselnya pada Dea. 

"De, Mbak Fitri mau bicara."

"Mau ngomong apa dia?"

"Mana Mas tau, ya sudah ini terima." paksa Diki.

Dengan malas Dea menerima teleponnya.

"Ada apa?"

"Dea! Lancang sekali kamu pakai barang-barang aku tanpa izin ya?"

"Barang apa?"

"Kamu pikir aku nggak liat photo yang kamu share di f* itu? Tas siapa yang kamu pakai?"

"Apaan si, tas murah aja belagu. Udah aku balikin."

"Apa? Dengar ya Dea, berapapun harga tas itu, kamu tidak berhak memakainya tanpa izin pemiliknya, paham?"

"Nih ah, malas aku ngomong sama dia!"

Telepon pun seketika berpindah ke tangan Diki lagi.

"Ya Mbak?"

"Diki, tolonglah nasehatin istri kamu itu, jangan berani-berani dia memakai barang-barang Mbak tanpa izin. Jujur ya Ki, Mbak nggak suka!"

"Memangnya Dea pakai barang Mbak apa?"

"Kamu tanya saja istri kamu, tolong ya Ki. Nasehatin istrimu."

"Baik Mbak, nanti aku nasehatin dia "

Telepon pun. Terputus tiba-tiba.

"Memangnya kamu pakai barang punya Mbak Fitri?"

"Cuma tas Mas, halah tas murah juga."

"Pasti harganya mahal De, Mbak Fitri saja sampe marah begitu."

"Murah Mas, di pasar juga banyak! Kamu nggak percaya? Biar aku ambilkan barangnya!"

Dea segera bergegas mengambil tas yang masih tersimpan di kamarnya. 

"Nih, tas gini doang. Emang ya, dia itu orangnya norak, tas ginian di pinjem sebentar aja marahnya kaya kemalingan emas lima gram."

Diki meneliti tas yang ada di tangannya. 

Terlihat' nama merk di dekat bagian resleting CHRISTIAN Di*R

"Sebentar De, sepertinya ini tas memang mahal De." ucap Diki, ia pun langsung mencari tau harga tas dengan nama merk yang tertera. 

"Astaghfirullah, De liat harga tas ini. Dua puluh enam juta De?"

"Apa? Kamu salah liat kali mas?"

"Mana mungkin aku salah liat, kamu liat sendiri ini harganya."

"Hahahahah, kamu bisa aja kena tipu. Mbak Fitri, mana bisa beli produk asli. Ini palingan yang Kw.

Sudah, sini mau aku simpan lagi."

"Gak aneh Mas, orang macam mereka itu selalu ingin kelihatan kaya. caranya, ya tinggal beli aja barang kw. Aku yakin, Mas Gilang itu ke Jakarta, paling mau cari kerja. Capek dia terus terusan aku ledek!" ucap Dea berlalu menyimpan Tas ke kamar Fitri. 

Sementara Diki hanya menggeleng gelengkan kepalanya, menanggapi ucapan istrinya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Helmy Abdullah
pingin tak kruwes mulutnya si dea
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status