Share

SI KAYA YANG DIKIRA MISKIN
SI KAYA YANG DIKIRA MISKIN
Penulis: Yunita

Bab 1. DI RENDAHKAN

“Mas, apa tidak sebaiknya Mas Gilang, dan Mbak Fitri cari kerja di kampung ini?” ucap Dea. Ia merasa risi, semenjak kedatangan keluarga Gilang Kakak iparnya, yang baru pindah dari kota sekitar dua minggu lalu.

Gilang dan Fitri, bersama satu anaknya yang berusia enam tahun, bernama Mentari. Sementara rumah yang mereka tinggali saat ini, hanya rumah berukuran kecil, itu pun milik Ibu mereka.

Meskipun demikian, Gilang dan keluarganya selalu terlihat santai. Membuat Dea merasa tidak nyaman.

“Kerja? Kerja apa Dea? Di desa ini, mata pencaharian penduduk rata-rata bertani. Mas Gilang, dan Mbak Fitri ini tidak bisa tani, ”jawab Fitri dengan santai.

“Ya sudah, kalau tidak bisa bertani, Mas Gilang bisa kerja bangunan, dan Mbak Fitri bisa berjualan.”

Fitri dan Gilang hanya saling tatap satu sama lain, keduanya melepas senyum ke arah Dea.

“Iya, iya. Nanti Mas nyari kerja,” jawabnya sembari meminum teh hangat yang ada di hadapannya.

Pagi hari, terlihat Ibu sedang duduk seorang diri, tangannya menggenggam sesuatu, seperti bulatan kain.

“Yuur,,,,, sayuuuurrr.”

Terdengar teriakan pedagang sayur di depan rumah.

“Fitri, tolong belikan ibu sayur, Nak.” pinta Ibu.

Fitri pun dengan sigap mendekat ke arah Ibu. Sementara Ibu berusaha membuka sesuatu yang ada di genggamannya.

Beberapa lembar uang kertas yang menggumpal terbungkus oleh kain lusuh. Ibu mencoba merapikannya pelan-pelan.

“Tidak perlu pakai uang Ibu, nanti habis. Biar Mbak Fitri yang belanja dengan uangnya Bu,” teriak Dea, yang diam-diam berdiri di dekat pintu masuk.

“Tidak apa -apa, pakai saja uang ibu ini.” Ibu menyodorkan sejumlah uang.

“Nanti kalau uang Ibu habis, Mas Diki yang repot,” timpal Dea sembari mendelik.

Fitri yang mulai memahami maksud dari ucapan Dea, segera menahan tangan Ibu.

“Benar apa kata Dea Bu, jadi baiknya Ibu simpan saja uang ini. Fitri juga masih ada uang belanja.”

“Tidak, tidak. Ibu mau kamu belanja pakai uang ini.”

Ibu menarik lengan Fitri dan memaksanya untuk menerima uang itu. Tak bisa menolak, dengan terpaksa Fitri pun menerima uang pemberian Ibu, dan bergegas mendatangi tukang sayur.

“Jadi berapa Bang?’’

“90 ribu Mbak.”

Fitri segera membayar belanjaannya. Saat ia kembali ke rumah, dari kejauhan wajah Dea terlihat begitu sinis dengan tangan melipat di depan dada, pandangannya tajam ke arah Fitri. Namun tak lama, Dea dengan cepat berlalu sebelum Fitri sampai di hadapannya.

Melihat Fitri yang belanja begitu banyak, membuat hati Dea semakin kesal. Pikirnya, Fitri mulai menghabiskan uang simpanan Ibu.

Beberapa jam berlalu, di setiap sudut ruangan tiba-tiba tercium aroma masakan yang begitu harum, membuat perut orang yang mencium aromanya akan merasa lapar. Begitu pun dengan Dea, dengan cepat bergegas menghampiri Fitri yang sibuk memasak.

“Masak apa Mbak?”

“Masak sayur bayam, dan goreng ayam saja, De. Kamu mau berangkat kerja ya?”

“Iya,” jawab Dea singkat. Matanya memandangi masakan yang sudah matang.

“Mbak Fitri, beli ayamnya dua kilo?”

“Iya De, sengaja nanti sebagian mau di ungkep, kalau nanti ada yang mau, tinggal di goreng saja.”

“Dua kilo itu kebanyakan Mbak.”

“Ah, tidak apa-apa. Lagi pula kan Icha dan Mentari suka banget ayam goreng.”

“Iya, tapi aku selama ini tidak pernah masak sebanyak ini. Ingat Mbak, kita harus hemat.”

“Iya, iya. Oya, kamu sudah makan belum? Makan dulu sana, tadi Mbak sudah beli nasi uduk 5 bungkus, tuh, ada di meja makan.”

Dea mengalihkan pandangannya ke arah meja makan, terdapat beberapa bungkus nasi uduk dan gorengan di atas meja.

“Mbak beli nasi uduk juga?” tatapan Dea kali ini terlihat tidak ramah, namun Fitri bisa membalasnya dengan tersenyum sambil mengangguk.

“Iya ....” jawab Fitri santai.

Akhirnya Dea tak bisa lagi menyembunyikan perasaan kesalnya atas jawabannya Fitri.

(“ Boros sekali Mbak Fitri ini. Dia pikir kerja nggak capek apa? Aku yang kerja, dia yang enak -enak nikmatin hasilnya.”) gerutu Dea.

*****

“Mas, mulai sekarang, aku nggak mau, ngasih uang lagi ke Ibu. Rugi!” Ujar Dear pada suaminya.

“Astaghfirullah, kamu ini kenapa Dea? Ngasih uang ke orang tua ko rugi?”

“Ya rugilah Mas, kita yang kerja Mbak Fitri dan Mas Gilang yang nikmati hasilnya.”

“Maksud kamu itu, apa Dea?” tanya Diki kurang mengerti.

“Mas, Mbak Fitri itu aku lihat, setiap hari belanja sayur dan dagingnya selalu banyak, kamu tau nggak? Dari mana uang belanjanya itu?”

Diki menggelengkan kepalanya dan terlihat bingung.

“Uangnya dari mana lagi kalau bukan dari Ibu? Dan, Ibu dari mana lagi kalau bukan dari kita?” ucap Dea meyakinkan suaminya.

“Kamu ini berprasangka buruk terus sama keluarga kakak aku, De. Mas Gilang dan Mbak Fitri juga punya pegangan uang, De .”

“Ini kenyataan Mas. Aku lihat sendiri Ibu memberikan uangnya pada Mbak Fitri.”

Diki Sesaat Diki terdiam.

“Oh, kalau begitu nggak apa-apa De, Mbak Fitri kan, sekarang bantu kita jagain Icha.’’

“Gak! Pokoknya aku nggak mau ngasih uang lagi ke Ibu. Dan aku mau cari pengasuh buat Icha,” jawab Dea yang terlanjur kesal.

Diki hanya menghela nafas dan menggeleng gelengkan kepalanya.

Hari itu, Diki dan Dea bersiap-siap untuk berangkat kerja.

Dea bekerja sebagai guru honorer di Sekolah Dasar, sementara Diki sudah di angkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di sekolah yang sama.

Sementara hari itu Gilang tengah membantu Ibunya menanam jagung di ladang.

“Bu, seharusnya Ibu tidak usah capek capek lagi kerja begini, Ibu lebih baik istirahat saja di rumah,” tutur Gilang dengan tangan yang tetap fokus melubangi tanah menggunakan tongkat, sementara Bu Aminah yang memasuk-masukan biji jagung ke dalamnya.

“Kalau nggak ke ladang, badan ibu rasanya sakit semua Lang. Jadi tidak apa capek sedikit yang penting badan rasanya enteng.”

“Hmm, ya sudah, kalau begitu. Gilang cuma nggak mau Ibu kecapean.”

“Lang, uang yang dari kamu kemarin 5 juta sudah ibu simpan di Bank, buat biaya haji ibu.”

“Allhamdulillah, iya Bu, tidak apa-apa simpan saja, untuk keperluan lain kalau Ibu butuh apa-apa, bilang saja ke aku atau ke Fitri, ya? Jangan sungkan Bu, Fitri juga tidak pernah keberatan.”

Bu Aminah mengangguk, senyuman bahagia mengembang di bibirnya.

“Allhamdulillah....” lirihnya.

Sepulang dari ladang, Gilang dan Ibunya di suguhi kue buatan Fitri.

“Kue apa ini Fit?”

“Brownis Bu, ayok Bu di coba. Tadi aku iseng-iseng buat kue, eh, ternyata anak-anak juga pada suka.”

Icha dan Mentari terlihat tengah menikmati kue buatan Fitri dengan wajah suka cita.

“Hmmm, enak Fit. Kamu pintar juga buat kue,” puji Bu Aminah. Setelah menikmati kue, Bu Aminah izin untuk istirahat ke kamarnya.

“Bund, buat Diki dan Dea di sisakan ya?”

“Tenang Mas, aku sudah amankan. Kebetulan aku buatnya cukup banyak.”

“Ah syukurlah, kalau begitu Mas ke kamar dulu ya, mau kerja,” bisik Gilang sembari tertawa menampakan barisan giginya yang tampak rapi.

“Iya, iya sana. Aku juga masih banyak kerjaan di belakang.” balas Fitri.

Fitri kembali ke dapur membereskan semua pekerjaan yang belum selesai.

“Assalamualaikum?”

Suara Dea yang baru saja datang dari sekolahan, di ikuti Diki dari belakangnya.

“Waalaikumsalam. Eh, sudah pulang?” sambut Fitri berdiri menyambut keduanya.

“Icha anak mamah makan apa? Ko belepotan begitu?”

“Makan kue Mah, kuenya enak banget.” jawab Icha dengan wajah polosnya.

“Oooh, kue dari mana sayang?”

“Dari uwa,” jawabnya sambil menoleh ke arah Fitri.

“Beli kue Mbak?”

“Enggak beli, tadi sengaja bikin.”

“Oh, ya sudah, itu tolong bersihkan mulut Ichanya ya Mbak, bajunya juga, kotor banget. “ jawab Dea dengan nada ketus. Kemudian keduanya langsung masuk ke dalam kamar.

“Kamu dengar sendiri kan Mas? Enak-enaknya dia bikin kue, dia pikir semua itu gak pake uang apa?”

“Apalagi sekarang sembako itu mahal.” Sambung Dea membanting tubuhnya ke atas ranjang.

“Mbak Fitri pakai uang pribadinya kali De.”

“Uang pribadi dari mana? Udah Dua Minggu mereka di sini, apa kamu lihat kakak kamu bekerja? Dari mana mereka dapat duit kalau nggak kerja?”

“Mah, Icha mau pup, Mah!” teriak Icha dari ruang keluarga.

“Iya nanti, minta tolong ke uwa dulu,” balas Dea dari dalam kamar.

“Maaah, icha mau pup mah...” teriaknya lagi.

“Ya ampun ke mana si Mbak Fitri? Ngurus anak segitu aja nggak mau?” gerutunya kesal.

“Ya sudah sana sama kamu saja. Kasian tuh Icha nunggu kelamaan.” ujar Diki.

“Mbak? Mbak Fitri? Tolong anter Icha ke kamar mandi dulu ya?” Dea berteriak memanggil Fitri dari balik pintu kamarnya.

“Lho, itu si Dea nggak salah nyuruh kamu yang?” tanya Gilang saat mendengar teriakan Dea.

“Sudah, tidak apa-apa. Mungkin dia capek baru pulang kerja.”

Fitri pun segera menghampiri Icha dan membawanya ke kamar mandi.

Sore hari selepas salat magrib, Gilang, Fitri dan Mentari, biasa dengan rutinitasnya meluangkan waktu beberapa menit untuk tadarus Quran di dalam kamar.

Setelah selesai mereka akan bergabung dengan anggota keluarga lain.

Sementara keluarga Diki dan Dea sudah berada di ruang keluarga menyaksikan film kesukaan mereka.

“Mah, aku mau kue bikinan uwa lagi.” Rengek Icha.

“Oh, sebentar Mamah ambilkan.”

Dea bergegas membuka kulkas, dan membawa semua sisa kue yang terlihat masih cukup banyak ke hadapan putrinya.

“Nih, Cha. Dan yang ini sisanya kamu simpan di kamar mamah ya?”

Icha mengangguk beranjak pergi menuruti perintah Mamahnya.

“Lho De, ko kuenya di bawa ke kamar kita semua? Itu kuenya masih banyak lho? Punya. Mbak Fitri,” ujar Diki.

“Kenapa memangnya Mas? Itu kan kue aku. Ya bagaimana aku.”

“Itu kue Mbak Fitri, De.”

“Iya, tapi pakai duit aku.” jawab Dea dengan nada penekanan.

Diki terdiam, ia tak ingin mendebat Dea karena Dea tak akan pernah mau kalah.

*****

Pagi hari menjelang.

Fitri tengah sibuk mencuci, di bantu suaminya Gilang. Mereka terlihat begitu kompak dalam hal pekerjaan rumah.

Tiba-tiba Dea mendatangi mereka dengan membawa satu bak penuh baju kotor keluarganya.

“Mbak, ini sekalian ya!” ucapnya dan langsung menyimpan bak di hadapan Fitri. Kemudian dengan santainya ia kembali ke depan.

“Kenapa dia jadi nyuruh kamu yang?’’ tanya Gilang mengerenyitkan keningnya.

“Entahlah Mas, mungkin dia nggak ada waktu buat nyuci.”

“Ya, tapi jangan seenaknya begitu, nyuruhnya kaya ke pembantu aja. Nggak enak aja dengernya.”

“Sudah tidak apa-apa Mas, sekali ini aja kita cuci in baju mereka, besok-besok enggak usah.”

“Bener ya! Awas ya, kalau kamu besok nyuci lagi baju mereka. Nanti biar Mas tegur dia.”

“Sudah, ah.” jawab Fitri sedikit mencubit bahu suaminya.

*****

“Andi, bagaimana keadaan perusahaan? Ada masalah?”

“Allhamdulillah semuanya berjalan baik-baik saja Pak.”

“Syukurlah. Nanti siang kita adakan zoom meeting untuk membahas proyek yang baru saja kita dapatkan kemarin.”

“Siap Pak Gilang,” jawab Andi salah seorang karyawan yang dipercaya oleh Gilang untuk memegang perusahaannya di luar kota.

Tidak banyak orang tau, Gilang adalah seorang pembisnis handal. Beberapa perusahaan ia pegang. Bahkan Bu Aminah sekalipun tidak pernah tau pekerjaan anak tertuanya itu, iya hanya tau Gilang menjadi seorang pembisnis yang setiap bulannya mengirim uang sebesar 5 juta untuk pegangannya.

Bu Aminah, meminta agar Gilang pindah ke kampung menemaninya yang semakin tua, keberadaan Dea dan Diki tak bisa di andalkan, menurut sang Ibu, bahkan Icha di titipkan pada Bu Aminah selama mereka berdua bekerja.

Gilang pernah meminta agar Bu Aminah pindah ke kota dan tinggal bersamanya, tepat pada saat Gilang sudah mampu membeli rumah yang cukup besar dan mewah.

Namun dengan lembut Bu Aminah menolak, alasannya ia tak mau meninggalkan rumah peninggalan dari suaminya.

Tak ada pilihan lain, Gilang pun memutuskan pindah ke kampung bersama anak dan isterinya untuk menemani sang Ibu.

Mereka rela meninggalkan harta kekayaan di kota, berupa rumah megah dan kendaraan mewah yang tidak bisa ia bawa ke kampung karena rumah Bu Aminah tidak memiliki garasi.

Namun di mata orang sekitar, Gilang dan keluarganya tidak ayal hanya sekelompok orang yang menumpang hidup di rumah Bu Aminah, dan menikmati gaji adiknya yang saat ini jelas terlihat bekerja.

****

“Baju siapa nih? Bagus juga. Kayanya punya Mbak Fitri. Aneh, Mbak Fitri bajunya bagus- bagus dan bermerk semua ya? Hmmm, pantas saja miskin, seleranya tinggi, sementara penghasilan nggak punya.” celetuk Dea dalam hatinya.

Karena penasaran dan tertarik ia pun segera mencoba satu persatu pakaian milik Fitri, dan hasilnya terlihat begitu cocok di tubuh Dea.

Sampai ia merasa ingin memiliki barang tersebut.

“Waaah, pas. Cocok banget di aku. Oke! aku pakai baju ini saja buat acara besok,” ucapnya sambil memutar tubuhnya di depan cermin.

“Maah..., ada tamu,” teriak Icha dari luar kamar.

“Ya, sebentar.”

Dea segera menemui tamunya dengan pakaian milik Fitri.

“Eh, Niken. Ayo masuk!”

“Dea kamu pangling banget, sumpah ini bajunya bagus loh.” Niken berkomentar baik, hingga Dea merasa puas dengan tampilannya.

“Ah, masa si Ken?”

“Iya, pasti belinya bukan di pasar, iya kan?”

“Ya bukanlah, masa baju begini di pasar? Mana ada Ken.” Jawab Dea sambil terkekeh.

“Terus, di mana belinya?” Niken pun turut penasaran.

“Di Butik, Ken. Kamu mau? Nanti deh, aku antar. Kamu siapin saja duitnya yang banyak .

“Hahahah, siap, siap... Oya, ini aku mau ngasih surat undangan buat acara besok acara aku dan Joe, kalau nggak ada surat ini, kita kamu enggak bisa masuk gedung, di simpan ya baik-baik.”

“Ooh, begitu? Oke deh. Bener nih nggak main dulu?”

“Enggak usah Dea. Ya sudah aku pamit ya?”

“Oke...”

Dea terus tersenyum dan melihat penampilannya yang baru saja di puji Niken. Sementara itu dari balik dinding ada dua pasang mata yang menatapnya.

“Kenapa Dea pakai baju kamu yang?” bisik Gilang dari arah belakang.

“Enggak tau Mas. Mungkin dia suka baju itu.”

“Tapi nggak sopan kalau dia pakai baju orang tanpa izin pemiliknya. Biar nanti ku tegur dia!”

Gilang bergerak untuk menghampiri Dea, namun dengan cepat Fitri melarangnya.

“Jangan Mas, biar aku saja. Ya?”

“Ya sudah, sekalian kamu nasehatin dia soal adab.”

Gilang tampak kesal melihat sikap Dea yang semakin hari, semakin tak menghargai dan merendahkan keberadaan keluarganya di rumah Ibu.

“Ehmmm, De. Kamu pakai baju siapa?”

Mendengar suara yang menegurnya sontak membuat Dea terperanjat.

“Mbak Fitri?”

“Kamu suka baju itu?’’

“Ya, aku suka dan akan memakainya untuk acara besok,” jawab Dea santai tanpa bersalah.

“Boleh, tapi baiknya kamu izin dulu sama yang punyanya.”

“Lho, kenapa aku harus izin sama Mbak?’

“Itu baju miilk Mbak, De?”

“Ooh, jadi harus izin ya? Ingat nggak Mbak? Selama ini Mbak juga makan dari gaji suami aku Mas Diki. Pakai kebutuhan keluarga Mbak juga semua itu pakai uang dari suami aku. Mbak mau apa-apa, mau bikin apa-apa, juga pakai uang suami aku, apa Mbak izin dulu sama aku dan Mas Diki?”

Dea begitu lancang mengungkapkan uneg-unegnya selama ini.

Sementara Fitri hanya bisa menatap Dea dengan wajah kebingungan.

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Helmy Abdullah
jujur saya suka dngn alur ceritanya, tapi juga jujur saya tak membuka lagi part yang terkunci . terlalu mahal menurut saya . 1 part harus menggunakan 24 bonus/ koin sangat mahal . untuk masukan bagi penulis , lihat dn baca di penulis lain mereka menggunakan bonus / koin yang jauh lebih murah.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status