"Benar-benar nggak bisa di biarin tuh bocah, semakin hari semakin jadi aja songongnya."
Fitri bergegas menuju rumah Bu Aminah, di ikuti langkah Gilang dari belakang."Sabar Sayang, nasehatin saja dia, ingat jangan sampe kasar lagi," ucap Gilang yang terus mengikuti langkah Fitri.Saat tiba di rumah Bu Aminah, terlihat Dea tengah berbicara di ruang makan dengan Ibu mertuanya."Fit, ini kenapa di bawa kesini semuanya? Yang tadi pagi saja masih banyak," tutur Bu Aminah memegang mangkuk kaca berisi rendang."Sepertinya ada yang mau lagi Bu, sampe ngambilnya nggak bilang-bilang."Fitri menoleh ke arah Dea yang mematung."Loh, siapa? Dea?""Siapa lagi Bu? Dia tuh emang punya ilmu tapi nggak pernah di pake ya? Main nyelonong ke rumah orang aja, ngambil makanan, apa nggak malu?" Hardik Fitri di hadapan wajah Dea."Sudah yang, jangan begini. Mungkin Dea nggak tau.""Kalau nggak tau seharusnya dia nanya dong Mas, jangan begini caranya. Bukan masalah rendangnya, tapi dia udah nuduh aku kelewatan Mas.""Dea, kamu ini kenapa? Rendang itu Mbak Fitri yang masak, dan Mbak Fitri yang sudah memberi Ibu, kenapa kamu ambil semua punya Mbak Fitri?" Diki ikut menegur Dea di depan anggota keluarganya.Wajah Dea nampak memerah karena menahan malu, ia hanya terdiam, tanpa berkata apapun."Dan saya ingatkan kamu ya De, jangan sesekali kamu tuduh kami pengangguran yang tak punya penghasilan, sampai-sampai kamu mengira kami makan dari uang gajimu dan suamimu. Gak! Itu semua tidak benar.Suami saya pekerja keras, dia pembisnis , apa perlu saya sebutkan nominal keuntungan yang di dapat suami saya? Hah?" hardik Fitri yang mulai naik pitam."Sayang, tidak perlu seperti ini, cukup yang," ujar Gilang mencoba menahan emosi Fitri yang meluap-luap."Biarkan saja! Biar dia tau, dan tidak terus merendahkan kita."Dea tersenyum miring menanggapi ucapan Fitri."Kenapa kamu senyum-senyum? Kamu pikir saya sedang bercanda?""Nih, ngomong sama telapak tangan aku! Percuma kalau sekedar ngomong semua orang juga bisa, buktikan dong? Suami istri pada di rumah saja sok ngaku-ngaku jadi pembisnis," jawab Dea tidak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun."Astaghfirullahalazim ... Aku harus buktiin gimana sama kamu? Perlu aku ajak kamu ke Jakarta buat liat kantor, rumah, mobil keluarga kami?" Fitri yang mulai tidak tahan dengan sangkalan adik iparnya itu, ingin rasanya ia pamerkan kekayaannya saat itu juga, namun semua itu rasanya begitu berlebihan."Terserah! Terserah kalian mau ngomong apa!" ucap Dea berlalu, namun dengan cepat Bu Aminah memegangi tangannya."Jangan seperti itu Dea! Fitri kakak iparmu, kamu harus hormati Fitri dan Gilang.""Ibu belain dia? Selama ini aku yang ngasih uang buat kebutuhan Ibu setiap bulan loh..., kenapa sekarang Ibu nyalahin aku?""Karena kamu memang salah De!" jawab Bu Aminah."Bangga kamu ngasih uang ke Ibu segitu? Bangga, Hah? Sampe berani ngerendahin orang lain? Berapa si kamu ngasih uang ke Ibu tiap bulannya? Hah?" tegur Fitri, dengan melipat tangannya di depan perut."Sayang, kenapa kamu bicara sampai ke hal ini si? Jangan di tanggapi, aku mohon." Gilang hanya bisa berusaha mengingatkan Fitri, namun apalah daya, emosi Fitri tengah membludak."Dua juta, aku ngasih uang ke Ibu setiap bulannya Dua juta, Mau apa? Kamu ngasih berapa? Katanya pembisnis? Katanya orang kaya? Berapa?'' Dea kembali menentang ucapan Fitri. Sementara Fitri terkekeh mendengar ucapan Dea."Sayang, sudah jangan begini, ayok kita pulang, ayok!" Gilang menarik tangan Fitri untuk pulang, berkoar-koar tentang pemberian ke orang tua itu sangatlah tak pantas menurut pikiran Gilang, semua itu demi menjaga hati adiknya Diki."Hahahaha dua juta, dua juta ya? Hahahahahaha..." Fitri terus tertawa sembari meninggalkan rumah Ibu."Emang stres dia, ngasih nggak bisa, bisanya ngetawain!" tukas Dea."Jaga ucapan mu De, perlu kamu tau, pemberian mereka sama Ibu lebih besar jika di banding pemberian mu dan Diki." tutur Ibu yang sedari tadi menahan kekesalannya pada Dea."Bu! Seharusnya Ibu tidak perlu bilang seperti itu, menurut aku, jumlah uang yang kami beri itu sudah cukup besar, kenapa Ibu malah membandingkannya dengan Mas Gilang?"Diki yang merasa tersinggung atas ucapan Ibunya kini buka suara."Istri kamu yang minta Ki, ibu cuma tidak mau Dea terus menerus merendahkan Kakakmu."Bu Aminah berlalu meninggalkan Dea dan Diki."Liat Ibu mu Mas, sudah tidak butuh kita lagi sekarang, selalu saja kakakmu yang di belanya."Diki terdiam menahan kesal, namun entah pada siapa.****Semua orang terlihat bekerja membangun rumah milik Gilang, sebagian ada yang membuat jalan, karena sawah dan kebun yang ada di depan rumahnya berhasil di beli oleh Gilang.Bangunan sudah tujuh puluh persen jadi, rumah mewah bermodelkan minimalis modern berdiri dengan kokohnya di belakang rumah Bu Aminah.Semua mata yang melihat rumah Gilang terpana dan merasa kagum."Bu Dea, rumah Mbak Fitri itu bagus sekali ya modelnya? Seperti model model rumah di perkotaan," ucap seorang wanita muda yang bernama Ima."Hm..." jawab Dea malas."Saya juga kalau renovasi rumah mau ngikutin gitu ah modelnya, bagus." Sambung Tia."Kalian ini rumah model begitu saja ko di kagumi? Apanya si yang istimewa? Menurut aku biasa aja," ucap Dea ketus."Itunya loh Bu, tampilan depannya apik banget, lantai duanya juga, di buat ada taman kecil begitu bagus."Hati Dea menjadi terasa panas, saat mendengar semua orang memuji rumah Fitri.Ia menoleh ke arah rumah Bu Aminah, rasanya jauh sekali perbandingannya dengan tampilan rumah mereka berdua. Tak terasa timbul rasa iri di hatinya.Seiring berjalannya waktu melihat perekonomian keluarga Gilang yang naik pesat, membuat Dea penasaran dengan usaha Gilang.Penjelasan Fitri tentang usahanya tidak pernah bisa Dea terima, baginya mana mungkin penghasilan pembisnis sebesar itu."De, lagi ngapain berdiri aja si situ? Mikirin apa?" tanya Diki saat melihat Dea mematung dengan tatapan kosong.Dea menoleh ke arah Diki, perlahan ia duduk di samping suaminya."Mas, kamu aneh nggak si, sama kekayaan Mas Gilang?""Aneh kenapa?""Kamu perhatikan deh, Mas Gilang dan Fitri itu kan baru di kampung ini, selama beberapa bulan mereka nganggur nggak kerja, tapi tiba-tiba mereka sekarang jadi kaya raya, bangun rumah mewah apa menurutmu nggak aneh?""Astaghfirullah, Mas Gilang kan pembisnis De, yang aneh itu apanya?""Sesukses suksesnya pembisnis, mana mungkin secepat itu ngumpulin uang, rumah yang dia bangun itu entah habis berapa ratus juta, dan itu tidak mungkin dalam waktu singkat mereka mengumpulkan uang sebanyak itu Mas.""Lalu, menurut mu, itu uang dari mana?""Itulah yang sedang aku pikirkan Mas, jangan-jangan kakak mu pemuja pesugihan Mas? Hih takut!"Dea begidik menanggapi ucapan sendiri."Astaghfirullahalazim... De, nggak baik nuduh orang begitu.""Ah, kamu itu Mas, nggak bisa di kasih tau. Nanti kalau sudah ada korbannya baru kamu percaya apa yang aku katakan ini."Diki menggeleng gelengkan kepalanya,sambil tersenyum miring.******Pagi hari ibu-ibu seperti biasanya mengerubungi penjual sayur, Dea yang baru saja datang merasa ada yang berbeda karena melihat beberapa orang terlihat bercerita sambil berbisik."Iya Mbak, udah sering banget. Sampe dongkol lama-lama saya.""Iya, soalnya ini kejadian bukan sekali dua kali lho Mbak.""Iya, aku juga kemarin dengar binatang itu lewat."Dea merasa penasaran dengan obrolan para tetangganya."Ada apa si Mbak?" tanyanya mendekat."Eh Bu Dea, enggak Bu, ini warga banyak yang kehilangan uangnya, curiga di kampung kita ini ada yang jadi celeng atau miara tuyul.""Apa? Celeng? Tuyul? Emang banyak yang kehilangan uang?""Banyak Bu Dea, malam ini aja ada tiga rumah yang ngelaporin uangnya hilang.""Hmmm, siapa ya yang udah jadi celeng di kampung kita ini?""Jangan susah-susah nyari Bu, gampang nyari pelaku celeng atau yang miara tuyul di kampung ini," ujar Dea begitu semangat menimpali ucapan para ibu-ibu."Gimana Bu Dea cirinya?""Ya liat saja siapa di kampung ini yang nganggur, nhgak kerja, tapi duitnya banyak. Nah, itu pasti celengnya."Semua orang saling menoleh ke arah yang lain, seakan sama sama memcari jawaban."Siapa dong Bu Dea? Di kampung ini emang ada pengangguran?""Hmm, cari saja sendiri. Saya mah nggak aneh lagi, udah curiga dari dulu. Dia nganggur tapi mendadak kaya, sampe bisa bangun rumah mewah segala."Mendengar ucapan Dea, sontak semua orang manggut-manggut, seakan memahami kemana arah maksud ucapan Dea, karena di kampung nya tak ada lagi yang membangun rumah mewah selain Gilang."Jadi dia pelakunya?""Siapa lagi?" tukas Dea memastikan."Iya ya, di pikir-pikir Mas Gilang ini kerjaannya apa ya? Ko bisa bangun rumah mewah begitu?""Apa Bu Dea yakin?""Ya namanya ghaib Bu, nggak bisa di buktikan kecuali celeng itu di tangkap dulu, baru deh tuh ketauan," jawab Dea tanpa beban, menebar fitnah baru."Kalau begitu kita harus buat siasat untuk nangkep celeng itu, menurut kabar dari Mbok Inah, hampir setiap malam mendengar suara babi hutan lewat kebelakang rumahnya," tutur seorang Ibu yang menggendong bayi."Rumah Mbok Inah kan deket banget sama rumah Mas Gilang? Apa iya dia jadi celeng?""Ya udah Bu, bilang saja sama Pak RT biar kita jebak tuh celengnya.""Iya bener.""Iya bener,"Semua pun setuju untuk buat siasat menangkap hewan yang dikira babi jadi-jadian itu.Dan beberapa hari berlalu...****"Astaghfirullahalazim ... Innalilahi wa innailaihi rojiun, apa ada korban Di?""Tidak ada Pak, hanya saja ada korban luka sekitar lima belas orang.""Segera tangani Di, dan beri santunan pada keluarganya.""Baik Pak. Apa Bapak mau melihat kantor?""Nanti saya usahakan datang.""Baik, Pak."Telepon pun terputus."Ada apa Mas? Ko panik begitu wajahnya?" tanya Fitri ikut khawatir saat melihat suaminya menerima telepon."Kantor mengalami kebakaran yang.""Innalilahi ... Lalu bagaimana Mas?""Semua sudah di tangani Andi dan para staf, tapi sepertinya aku harus melihat keadaan mereka.""Iya Mas, kamu harus melihatnya. Tapi bagaimana sekarang sudah malam? Apa besok pagi saja?Gilang dan Fitri pun sama-sama berpikir.Di saat bersamaan, di satu rumah telah berkumpul beberpa orang lelaki yang telah merencanakan sesuatu.Semua itu atas ide para istri yang merasa terganggu oleh suara Babi hutan setiap malamnya.Malam semakin sepi, jam menunjukan pukul 10 malam."Mas kamu nggak ikut kumpulan Bapak-bapak?""Kumpulan apa De?""Para warga mau nangkap celeng Mas," jawab Dea berbisik."Apa di kampung kita ada celeng?""Ada Mas, setiap malam suaranya selalu terdengar.""Mas gak berani De, ikut ikutan nangkap yang begituan, mending nunggu kabar aja lah di rumah.""Sebaiknya memang begitu, kamu tunggu kabar saja di rumah, pasti kamu akan terkejut saat tau siapa yang tertangkap basah itu," gumam Dea sambil tersenyum miring.Cukup jauh keduanya baru menemukan pom mini, Bastian langsung membeli bensin yang di masukan kedalam botol, setelah selesai mereka pun kembali ke jembatan."Ayok cepat isikan!" seru Fitri. Bastian langsung menurutinya, tak lama motor Fitri pun kembali menyala. " Alhamdulillah.... nyala. Makasih ya?""Oke! Silahkan kamu duluan hati-hati. "Fitri mengangguk dan melepas senyum sebelum berlalu meninggalkan Bastian. ***"Ya Allah... kamu dari mana sayang? Jam segini baru sampe rumah?" tanya Gilang dengan penuh kekhawatiran, sementara Fitri hanya menatapnya sekilas lalu berlalu ke arah kamar.Gilang merasa ada yang aneh dari sikap istrinya, ia mengikuti Fitri kedalam kamar dan memastikan bahwa Fitri baik-baik saja."Kamu baik-baik saja kan Bu?""Ponsel mu nggak aktif, aku khawatir nunggu kamu, sebenarnya kamu dari mana?"Gilang menodong Fitri dengan pertanyaannya. Fitri terlihat terdiam, sesekali terlihat ia mengatur nafasnya. "Aku dari kantor mu, dan kamu pergi, dari mana kamu Mas?"F
"Jangan Ge' Er kamu! Aku kenal suamiku, dia tidak serendah itu!" Hardik Fitri. "Oya? Jadi Mbak mau bukti, serendah apa suami mbak di hadapan aku?""Hmmm, sebentar!" Dea mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, lalu membuka-buka galerinya. "Kita pernah menikmati malam bersama berdua, nih." Ucapnya dengan semangat menunjukkan photo saat keadaan Gilang tengah tak sadar. Fitri membuang muka, seakan jijik melihat photo yang Dea unjukkan pada dirinya."Oya, satu lagi yang harus Mbak tau, sebenarnya aku capek jadi kekasih gelap kakak iparku sendiri, dari itu aku memutuskan untuk memberitahu Mbak juga hal ini.'' sambungnya. Dea menyodorkan testpack di atas meja tepat di hadapan Fitri. "Itu hasil hubungan kami selama ini. Maafin aku ya Mbak." ujar Dea menatap lekat wajah Fitri."Apa ini? Kamu?" Bola mata Fitri seketika membesar saat menatap barang bergaris dua di hadapannya. Bagai petir menyambar dirinya, Ingin menjerit saat itu juga, namun ia menahannya sekuat tenaga. "Ya, itulah yang s
"Bagaimana dia bisa hamil? Aku sama sekali tidak sadar melakukannya.""Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku katakan pada Fitri?"Pertanyaan satu persatu memenuhi isi kepala Gilang, kegelisahannya kembali muncul. "Pak, rapat hari ini sudah bisa di mulai?" tanya Rendi yang menyembulkan kepalanya ke ruangan Gilang. "Rendi, rapat kita tunda.""Di tunda lagi pak?""Ya, saya sedang tidak fokus hari ini.""Baik Pak. Apa pak Gilang sedang sakit?""Ya, sepertinya begitu, saya izin pulang cepat." ucap Gilang terburu-buru meninggalkan ruangan. Gilang menaiki mobilnya melaju dengan kecepatan sedang. tak lama berselang, Fitri yang baru sampai kantor suaminya, sekilas melihat sebuah mobil yang ia kenali melaju keluar."Mas Gilang? Mau kemana dia?" tanya Fitri penasaran. Dengan cepat ia pun mengikuti mobil Gilang dari belakang. "Apa sebaiknya aku telepon Mas Gilang?""Ah, tidak. Sebaiknya aku ikuti saja, di jam kerja mau kemana dia?" bisik hati Fitri gelisah. Gilang menuju kesebuah
Dea masih mematung di hadapan Gilang, ia tak tau apa yang harus di lakukannya. sementara ia tak pernah melakukan kesalahan. Hatinya menjadi kesal dan ingin berontak, namun ia tersadar siapa kah dirinya?"Baik, jika itu kemauan kalian, aku akan keluar dari kantor ini." Ucap Dea tegas sembari berlalu.Fitri tersenyum miring, semenjak kejadian malam itu, Fitri tak mau dekat dengan mantan adik iparnya itu. "Alhamdulillah... terima kasih ya Mas," lembut suara Fitri menolehkan ke arah Gilang. Gilang merasa bahagia, karena sikap Fitri telah kembali hangat, apapun akan ia lakukan demi keharmonisan rumah tangganya. "Iya, sayang .."Dea bergegas masuk ruangannya dengan mata merah padam dan nafas naik turun. "Ada apa De? serius banget keliatannya?" tanya Rina penasaran. "Gila, gue di pecat, Rin.""Serius?""Ya, dan gue yakin ini keinginan Fitri, Bukan Mas Gilang."Rina mendekat dan berdiri di hadapan Dea seakan masih tak percaya. "Kamu serius?""Iya Rin. Sekarang juga aku harus beresin bar
Hari berganti hari, sikap Fitri perlahan berubah tak seperti biasanya, wanita berkulit putih itu lebih banyak diam. Ia tau keadaan rumah tangganya sedang tidak baik. melihat sikap Gilang yang begitu lembut akhir-akhir ini, Fitri berniat untuk melupakan kejadian malam itu. Namun entah mengapa, selalu saja ada rasa sesak yang menyelimuti pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan? Bertanya detail kah pada Mas Gilang tentang malam itu? Atau aku pura-pura tak tau dan melupakanny? Ya Allah... mengapa berat sekali memaafkannya..." lirihnya dengan mata memandang ke arah langit. "Bu, ada tamu...." ucap Bibi mendekatnke arah Fitri yang duduk di pinggir kolam."Siapa Bi?""Katanya teman Ibu, saya lupa nggak tanya nama.""Baik Bi. "Fitri beranjak menemui tamunya. Perempuan berambut sebahu terlihat duduk di teras rumah. "Assalamualaikum?'"Waalaikumsalam... Fitri...."Keduanya terlihat terkesima, dan pada akhirnya saling berpelukan. Dia Nisa, teman kuliah Fitri dulu di kebidanan. Suasana ber
"Cerai?" Gilang menatap mata wanita yang selama ini menemaninya, begitu menakutkan kata itu dalam pikiran Gilang. Perlahan bibirnya tersenyum tipis. Pandangannya menunduk di hadapannya Fitri, di raihnya jemari Fiitri dengan lembut. "Mas tau kamu sering bercanda in Mas. Tapi untuk kata itu Mas mohon jangan kita jadikan candaan sayang ... "Fitri terdiam, ia merasa sedang tak bercanda mengapa Gilang menganggapnya sedang bercanda? "Mas sangat takut, meskipun hanya sekedar mendengar," tuturnya dengan mata yang tak berani menatap wajah Fitri. Perlahan Fitri melepaskan genggaman tangan Gilang. "Aku serius Mas, dan tidak sedang bercanda. Aku mau pisah saja dari kamu,"Kini Gilang menanggahkan kepalanya, matanya nampak berkaca-kaca. "Salah aku apa sayang? Tidak! aku tidak mau kita bercerai.""Apa tidak merayakan ulang tahun kamu anggap itu kesalahan besar? sambungnya. Sementara itu Fitri nampak gemetar menahan amarahnya."Kamu ini kenapa si Mas, jangan hanya keputusan cerai ada padam
Fitri membekap mulut dengan kedua tangannya, hatinya benar-benar hacur, ia ingin berontak memaki suaminya, namun tenaganya tak tersisa lagi, Fitri hanya mampu menggeser badannya ke arah ruang tamu dan menangis sesegukan. "Apa yang kamu lakukan Mas? Kamu manusia kejam!" Ucapnya dalam hati dengan airmata yang terus berderai. Beberapa menit Fitri bersimpuh di lantai, ia tengah mengumpulkan tenaganya untuk bangkit, dan membangunkan suaminya. Perlahan Fitri kembali ke dalam kamar, matanya merah menyoroti dua insan yang tengah tidur bertelanjang dada, detak jantungnya semakin cepat. Kesedihannya dengan cepat berganti menjadi amarah. ingin rasanya saat itu juga, ia membun*h keduanya. Beruntung hati dan pikirannya masih bisa di tenangkan, Fitri beberapa menit dengan susah payah mengendalikan emosinya yang menggebu-gebu dengan ucapan dzikir. Perlahan kakinya bergerak ke arah belakang, melangkah perlahan demi perlahan, lalu dengan cepat beranjak keluar rumah, dan menuju mobilnya lalu berl
Dea meringkuk di meja kerjanya, merasakan pusing dan lemasnya badan. Jam menunjukan pukul lima sore. Sementara itu Gilang tengah bersiap untuk pulang, membereskan semua berkas-berkas di mejanya. ia pun keluar dan langsung mengarah keruangan Dea. Terlihat Dea tengah tertidur di kursinya. tok...tok...tok..."De? Kamu belum pulang?" Ucap Gilang. "Mas, badan aku lemas. Tolong pesankan taksi untukku,"jawabnya dengan mata sayup."Kamu masih sakit De?""Aku rasa aku sudah baikkan Mas, tapi hari ini badanku lemas banget, kepalaku pusing.""Kamu yakin pulang pakai taksi?"Dea mengangguk, meskipun hatinya berharap Gilang yang mengantarnya. "Baiklah, sebentar Mas pesankan taksinya,"ujar Gilang, merogoh ponselnya di dalam saku. Dengan cepat Dea beranjak dari tempat duduknya. Dan tiba-tiba... Brukk... tubuhnya ambruk ke lantai, membuat Gilang terkejut panik. "Dea? Asstagfirallah....""Rend! Rendi... kemari Rend!"Seakan tak ingin sendirian, Gilang segera meminta pertolongan pada Rendi, den
"Kenapa aku tidak tau Dea kena musibah Mas?""Maaf Bu, Dea sendiri yang melarangnya memberitahumu, Dea takut kamu jadi ikut sibuk." "Apa yang terjadi?""Entahlah, motifnya masih jadi tanda tanya, pulang lembur di tengah jalan dia di berhentikan beberapa orang laki-laki, dan Dea terjatuh dari motor.""Serem banget si Mas, kalau bisa Dea jangan sampai ikut lembur-lemburan begitu Mas, diakan cewek, rawan pulang sendirian.""Iya Bu, sudah Mas sampaikan ke Dea.""lalu....""Lalu apa?""Apa kamu setiap hari menjemput dan memgantarkan Dea?" tanya Fitri dengan serius. "Tidak, yang benar saja, masa aku setiap hari jadi supirnya? Kalau tadi itu, aku sekalian mau ambil berkas penting didia, ternyata dia ikut sekalian." jawab Gilang menutupi kebenarannya. Kini hati Fitri cukup tenang, dan langsung menpercayai penjelasan Gilang. "Mas, minta maaf ya, atas kejadian di ruangan tadi, tadinya Mas mau sarapan di kantin, tapi nggak enak sama niat baik Dea yang bawain bekal ke ruangan tadi. ""Iya Mas