Share

Bab 6. Hasutan Dea

"Benar-benar nggak bisa di biarin tuh bocah, semakin hari semakin jadi aja songongnya."

Fitri bergegas menuju rumah Bu Aminah, di ikuti langkah Gilang dari belakang.

"Sabar Sayang, nasehatin saja dia, ingat jangan sampe kasar lagi," ucap Gilang yang terus mengikuti langkah Fitri.

Saat tiba di rumah Bu Aminah, terlihat Dea tengah berbicara di ruang makan dengan Ibu mertuanya.

"Fit, ini kenapa di bawa kesini semuanya? Yang tadi pagi saja masih banyak," tutur Bu Aminah memegang mangkuk kaca berisi rendang.

"Sepertinya ada yang mau lagi Bu, sampe ngambilnya nggak bilang-bilang."

Fitri menoleh ke arah Dea yang mematung.

"Loh, siapa? Dea?"

"Siapa lagi Bu? Dia tuh emang punya ilmu tapi nggak pernah di pake ya? Main nyelonong ke rumah orang aja, ngambil makanan, apa nggak malu?" Hardik Fitri di hadapan wajah Dea.

"Sudah yang, jangan begini. Mungkin Dea nggak tau."

"Kalau nggak tau seharusnya dia nanya dong Mas, jangan begini caranya. Bukan masalah rendangnya, tapi dia udah nuduh aku kelewatan Mas."

"Dea, kamu ini kenapa? Rendang itu Mbak Fitri yang masak, dan Mbak Fitri yang sudah memberi Ibu, kenapa kamu ambil semua punya Mbak Fitri?" Diki ikut menegur Dea di depan anggota keluarganya.

Wajah Dea nampak memerah karena menahan malu, ia hanya terdiam, tanpa berkata apapun.

"Dan saya ingatkan kamu ya De, jangan sesekali kamu tuduh kami pengangguran yang tak punya penghasilan, sampai-sampai kamu mengira kami makan dari uang gajimu dan suamimu. Gak! Itu semua tidak benar.

Suami saya pekerja keras, dia pembisnis , apa perlu saya sebutkan nominal keuntungan yang di dapat suami saya? Hah?" hardik Fitri yang mulai naik pitam.

"Sayang, tidak perlu seperti ini, cukup yang," ujar Gilang mencoba menahan emosi Fitri yang meluap-luap.

"Biarkan saja! Biar dia tau, dan tidak terus merendahkan kita."

Dea tersenyum miring menanggapi ucapan Fitri.

"Kenapa kamu senyum-senyum? Kamu pikir saya sedang bercanda?"

"Nih, ngomong sama telapak tangan aku! Percuma kalau sekedar ngomong semua orang juga bisa, buktikan dong? Suami istri pada di rumah saja sok ngaku-ngaku jadi pembisnis," jawab Dea tidak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun.

"Astaghfirullahalazim ... Aku harus buktiin gimana sama kamu? Perlu aku ajak kamu ke Jakarta buat liat kantor, rumah, mobil keluarga kami?" Fitri yang mulai tidak tahan dengan sangkalan adik iparnya itu, ingin rasanya ia pamerkan kekayaannya saat itu juga, namun semua itu rasanya begitu berlebihan.

"Terserah! Terserah kalian mau ngomong apa!" ucap Dea berlalu, namun dengan cepat Bu Aminah memegangi tangannya.

"Jangan seperti itu Dea! Fitri kakak iparmu, kamu harus hormati Fitri dan Gilang."

"Ibu belain dia? Selama ini aku yang ngasih uang buat kebutuhan Ibu setiap bulan loh..., kenapa sekarang Ibu nyalahin aku?"

"Karena kamu memang salah De!" jawab Bu Aminah.

"Bangga kamu ngasih uang ke Ibu segitu? Bangga, Hah? Sampe berani ngerendahin orang lain? Berapa si kamu ngasih uang ke Ibu tiap bulannya? Hah?" tegur Fitri, dengan melipat tangannya di depan perut.

"Sayang, kenapa kamu bicara sampai ke hal ini si? Jangan di tanggapi, aku mohon." Gilang hanya bisa berusaha mengingatkan Fitri, namun apalah daya, emosi Fitri tengah membludak.

"Dua juta, aku ngasih uang ke Ibu setiap bulannya Dua juta, Mau apa? Kamu ngasih berapa? Katanya pembisnis? Katanya orang kaya? Berapa?'' Dea kembali menentang ucapan Fitri. Sementara Fitri terkekeh mendengar ucapan Dea.

"Sayang, sudah jangan begini, ayok kita pulang, ayok!" Gilang menarik tangan Fitri untuk pulang, berkoar-koar tentang pemberian ke orang tua itu sangatlah tak pantas menurut pikiran Gilang, semua itu demi menjaga hati adiknya Diki.

"Hahahaha dua juta, dua juta ya? Hahahahahaha..." Fitri terus tertawa sembari meninggalkan rumah Ibu.

"Emang stres dia, ngasih nggak bisa, bisanya ngetawain!" tukas Dea.

"Jaga ucapan mu De, perlu kamu tau, pemberian mereka sama Ibu lebih besar jika di banding pemberian mu dan Diki." tutur Ibu yang sedari tadi menahan kekesalannya pada Dea.

"Bu! Seharusnya Ibu tidak perlu bilang seperti itu, menurut aku, jumlah uang yang kami beri itu sudah cukup besar, kenapa Ibu malah membandingkannya dengan Mas Gilang?"

Diki yang merasa tersinggung atas ucapan Ibunya kini buka suara.

"Istri kamu yang minta Ki, ibu cuma tidak mau Dea terus menerus merendahkan Kakakmu."

Bu Aminah berlalu meninggalkan Dea dan Diki.

"Liat Ibu mu Mas, sudah tidak butuh kita lagi sekarang, selalu saja kakakmu yang di belanya."

Diki terdiam menahan kesal, namun entah pada siapa.

****

Semua orang terlihat bekerja membangun rumah milik Gilang, sebagian ada yang membuat jalan, karena sawah dan kebun yang ada di depan rumahnya berhasil di beli oleh Gilang.

Bangunan sudah tujuh puluh persen jadi, rumah mewah bermodelkan minimalis modern berdiri dengan kokohnya di belakang rumah Bu Aminah.

Semua mata yang melihat rumah Gilang terpana dan merasa kagum.

"Bu Dea, rumah Mbak Fitri itu bagus sekali ya modelnya? Seperti model model rumah di perkotaan," ucap seorang wanita muda yang bernama Ima.

"Hm..." jawab Dea malas.

"Saya juga kalau renovasi rumah mau ngikutin gitu ah modelnya, bagus." Sambung Tia.

"Kalian ini rumah model begitu saja ko di kagumi? Apanya si yang istimewa? Menurut aku biasa aja," ucap Dea ketus.

"Itunya loh Bu, tampilan depannya apik banget, lantai duanya juga, di buat ada taman kecil begitu bagus."

Hati Dea menjadi terasa panas, saat mendengar semua orang memuji rumah Fitri.

Ia menoleh ke arah rumah Bu Aminah, rasanya jauh sekali perbandingannya dengan tampilan rumah mereka berdua. Tak terasa timbul rasa iri di hatinya.

Seiring berjalannya waktu melihat perekonomian keluarga Gilang yang naik pesat, membuat Dea penasaran dengan usaha Gilang.

Penjelasan Fitri tentang usahanya tidak pernah bisa Dea terima, baginya mana mungkin penghasilan pembisnis sebesar itu.

"De, lagi ngapain berdiri aja si situ? Mikirin apa?" tanya Diki saat melihat Dea mematung dengan tatapan kosong.

Dea menoleh ke arah Diki, perlahan ia duduk di samping suaminya.

"Mas, kamu aneh nggak si, sama kekayaan Mas Gilang?"

"Aneh kenapa?"

"Kamu perhatikan deh, Mas Gilang dan Fitri itu kan baru di kampung ini, selama beberapa bulan mereka nganggur nggak kerja, tapi tiba-tiba mereka sekarang jadi kaya raya, bangun rumah mewah apa menurutmu nggak aneh?"

"Astaghfirullah, Mas Gilang kan pembisnis De, yang aneh itu apanya?"

"Sesukses suksesnya pembisnis, mana mungkin secepat itu ngumpulin uang, rumah yang dia bangun itu entah habis berapa ratus juta, dan itu tidak mungkin dalam waktu singkat mereka mengumpulkan uang sebanyak itu Mas."

"Lalu, menurut mu, itu uang dari mana?"

"Itulah yang sedang aku pikirkan Mas, jangan-jangan kakak mu pemuja pesugihan Mas? Hih takut!"

Dea begidik menanggapi ucapan sendiri.

"Astaghfirullahalazim... De, nggak baik nuduh orang begitu."

"Ah, kamu itu Mas, nggak bisa di kasih tau. Nanti kalau sudah ada korbannya baru kamu percaya apa yang aku katakan ini."

Diki menggeleng gelengkan kepalanya,sambil tersenyum miring.

******

Pagi hari ibu-ibu seperti biasanya mengerubungi penjual sayur, Dea yang baru saja datang merasa ada yang berbeda karena melihat beberapa orang terlihat bercerita sambil berbisik.

"Iya Mbak, udah sering banget. Sampe dongkol lama-lama saya."

"Iya, soalnya ini kejadian bukan sekali dua kali lho Mbak."

"Iya, aku juga kemarin dengar binatang itu lewat."

Dea merasa penasaran dengan obrolan para tetangganya.

"Ada apa si Mbak?" tanyanya mendekat.

"Eh Bu Dea, enggak Bu, ini warga banyak yang kehilangan uangnya, curiga di kampung kita ini ada yang jadi celeng atau miara tuyul."

"Apa? Celeng? Tuyul? Emang banyak yang kehilangan uang?"

"Banyak Bu Dea, malam ini aja ada tiga rumah yang ngelaporin uangnya hilang."

"Hmmm, siapa ya yang udah jadi celeng di kampung kita ini?"

"Jangan susah-susah nyari Bu, gampang nyari pelaku celeng atau yang miara tuyul di kampung ini," ujar Dea begitu semangat menimpali ucapan para ibu-ibu.

"Gimana Bu Dea cirinya?"

"Ya liat saja siapa di kampung ini yang nganggur, nhgak kerja, tapi duitnya banyak. Nah, itu pasti celengnya."

Semua orang saling menoleh ke arah yang lain, seakan sama sama memcari jawaban.

"Siapa dong Bu Dea? Di kampung ini emang ada pengangguran?"

"Hmm, cari saja sendiri. Saya mah nggak aneh lagi, udah curiga dari dulu. Dia nganggur tapi mendadak kaya, sampe bisa bangun rumah mewah segala."

Mendengar ucapan Dea, sontak semua orang manggut-manggut, seakan memahami kemana arah maksud ucapan Dea, karena di kampung nya tak ada lagi yang membangun rumah mewah selain Gilang.

"Jadi dia pelakunya?"

"Siapa lagi?" tukas Dea memastikan.

"Iya ya, di pikir-pikir Mas Gilang ini kerjaannya apa ya? Ko bisa bangun rumah mewah begitu?"

"Apa Bu Dea yakin?"

"Ya namanya ghaib Bu, nggak bisa di buktikan kecuali celeng itu di tangkap dulu, baru deh tuh ketauan," jawab Dea tanpa beban, menebar fitnah baru.

"Kalau begitu kita harus buat siasat untuk nangkep celeng itu, menurut kabar dari Mbok Inah, hampir setiap malam mendengar suara babi hutan lewat kebelakang rumahnya," tutur seorang Ibu yang menggendong bayi.

"Rumah Mbok Inah kan deket banget sama rumah Mas Gilang? Apa iya dia jadi celeng?"

"Ya udah Bu, bilang saja sama Pak RT biar kita jebak tuh celengnya."

"Iya bener."

"Iya bener,"

Semua pun setuju untuk buat siasat menangkap hewan yang dikira babi jadi-jadian itu.

Dan beberapa hari berlalu...

****

"Astaghfirullahalazim ... Innalilahi wa innailaihi rojiun, apa ada korban Di?"

"Tidak ada Pak, hanya saja ada korban luka sekitar lima belas orang."

"Segera tangani Di, dan beri santunan pada keluarganya."

"Baik Pak. Apa Bapak mau melihat kantor?"

"Nanti saya usahakan datang."

"Baik, Pak."

Telepon pun terputus.

"Ada apa Mas? Ko panik begitu wajahnya?" tanya Fitri ikut khawatir saat melihat suaminya menerima telepon.

"Kantor mengalami kebakaran yang."

"Innalilahi ... Lalu bagaimana Mas?"

"Semua sudah di tangani Andi dan para staf, tapi sepertinya aku harus melihat keadaan mereka."

"Iya Mas, kamu harus melihatnya. Tapi bagaimana sekarang sudah malam? Apa besok pagi saja?

Gilang dan Fitri pun sama-sama berpikir.

Di saat bersamaan, di satu rumah telah berkumpul beberpa orang lelaki yang telah merencanakan sesuatu.

Semua itu atas ide para istri yang merasa terganggu oleh suara Babi hutan setiap malamnya.

Malam semakin sepi, jam menunjukan pukul 10 malam.

"Mas kamu nggak ikut kumpulan Bapak-bapak?"

"Kumpulan apa De?"

"Para warga mau nangkap celeng Mas," jawab Dea berbisik.

"Apa di kampung kita ada celeng?"

"Ada Mas, setiap malam suaranya selalu terdengar."

"Mas gak berani De, ikut ikutan nangkap yang begituan, mending nunggu kabar aja lah di rumah."

"Sebaiknya memang begitu, kamu tunggu kabar saja di rumah, pasti kamu akan terkejut saat tau siapa yang tertangkap basah itu," gumam Dea sambil tersenyum miring.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status