Di pagi hari yang cerah, seorang wanita muda mendatangi rumah Bu Aminah.
"Assalamualaikum?" Dea yang saat itu sedang berada di teras rumah, langsung menyambutnya dengan ramah."Waalaikumsalam... Eh, Mbak Rini, tumben. Ada apa Mbak? Ayok, silahkan masuk.""Iya Mbak." jawab Rini sedikit kaku, lalu ia pun mengikuti langkah Dea menuju ruang tamu."Silahkan duduk.""Maaf Mbak Dea, saya dengar dari orang-orang, Mbak Dea sedang mencari pengasuh ya? Kalau benar, saya bersedia Mbak.""Ooh, iya benar. Boleh, kalau Mbak berminat.""Allhamdulillah, terimakasih Mbak Dea," ucapnya bersemangat."Oya, bukannya Mbak Rini ini, anaknya ada yang di kelas lima ya?'""Benar Mbak, si Agus kelas lima.""Ooh, dia murid saya mbak, jadi jangan panggil saya, " Mbak "ya? Panggil aja Bu Guru,"ucap Dea dengan nada menekan. "Oh, iya Bu guru, maaf.""Begini Rin, kamu di rumah ini khusus buat jagain anak saya si Icha, jangan lupa jam makannya, jam tidur siangnya, dan jangan sampe Icha jajan sembarangan ya Rin."Rini menganguk, mendengar kan pesan Dea."Satu lagi, jangan sampai Icha maen sama Mentari, paham?""Mentari anaknya Mas Gilang Bu?""Iya, Mentari itu. Kenal kan? Saya nggak mau ya, anak saya deket-deket sama dia."Rini pun kembali mengangguk."Ya sudah, sekarang kamu bisa mulai kerja hari ini. Nyuci dulu saja ya, cucian di kamar mandi sudah numpuk.$"Maaf Bu, bukannya tugas saya cuma buat ngasuh Icha ya, Bu?""Kan anaknya masih tidur, dari pada kamu nggak ada kerjaan? Ya udah nyuci saja dulu. Nyuci juga pake mesin nggak bakal capek." pinta Dea sedikit memaksa.Rini tertunduk , dalam hatinya menolak, namun tidak ada pilihan lain, ia harus menurutinya karena butuh uang. Rini menuju kamar mandi untuk mencuci, sementara Dea kembali ke kamarnya untuk bersiap kerja. "Tamu siapa De?" tanya Diki."Si Rini, tetangga yang rumahnya di ujung dekat sawah itu Mas.""Mau apa dia?" tanya Diki penasaran."Sengaja dia datang buat jagain Icha, ada apa Mas?" Dea balik bertanya, dengan gerakan tangan yang terus memoles bedak ke wajahnya."Apa? Ngasuh Icha? Kamu kasih gaji berapa?" "300 ribu." jawabnya santai."Mau dia di bayar segitu?""Maulah, kerjanya kan enteng, cuma jagain Icha saja, lagi pula Icha juga udah gede nggak harus di gendong-gendong."Diki tidak lagi berkomentar, keinginan istrinya selalu tidak bisa di ganggu gugat.Keduanya nampak siap untuk berangkat ke tempat kerja, seragam yang di pakai keduanya pun nampak rapi, dengan bangganya Dea tersenyum menghadap ke cermin. "Kenapa ko senyum-senyum gitu?""Aku bangga Mas, karena seragam ini, semua orang menghormati kita.""Sebenarnya bukan karena seragam De, tapi Karena pekerjaan kita sebagai guru, jadi tunjukan sikap yang baik pada masyarakat.""Loh aku juga baik, emang salahnya aku di mana?" tukas Dea mengerenyitkan keningnya."Mas cuma ngingetin kamu De, hilangkan perasaan membanggakan diri, itu sama saja sombong.""Mas denger ya, wajar dong aku bangga diri, secara, kerjaan aku ini terhormat, dan kamu juga. Kalau si Fitri yang bangga diri, itu baru gak pantas, kalau dia malu-maluin diri. Siapa si yang ngasih penghormatan ke pengangguran?""De, jaga bicaramu. Mas Gilang sudah bantu kita. Kamu nggak pantas bicara seperti itu, kamu tau uang bayaran hotel itu dari mana? Dari dia, dari Mas Gilang, yang istrinya selalu kamu rendahkan. Dengan cuma-cuma dia ngasih uang tujuh juta sama Mas, jadi Mas mohon berhenti berkata buruk tentang Mbak Fitri.""Heuh! Paling Kakakmu itu pakai uang tabungan Ibu, dan tabungan Ibu itu dari kita, jadi anggap aja itu uang balik ke kita. Udahlah Mas, aku malas kalau bahas mereka," hardik Dea berlalu meninggalkan suaminya yang mematung."Astaghfirullah, bagaimana cara menasehati istriku ini?" gumam Diki mengusap wajahnya. ****Hari beranjak siang ... Gilang terlihat sibuk membantu orang-orang yang sedang membangun rumahnya. "Mas Gilang, model rumahnya mau seperti apa?" tanya Pak Rudi, seorang lelaki yang sudah terbiasa membangun rumah warga. "Sebentar Pak, saya ambilkan dulu gambarnya." jawab Gilang bergegas kedalam rumah.Tak berselang lama Gilang kembali dengan membawa secarik kertas bergambar denah rumah minimalis."Begini Pak, untuk luas tanahnya di sesuaikan saja."Pak Rudi seketika terperangah saat melihat gambar rumah yang di tunjukan Gilang. "Ini gambar rumahnya Mas?" tanyanya lagi, tak percaya dengan apa yang akan dia kerjakan."Iya Pak, bagaimana? Ada kesulitan?""Anu Mas Gilang, kalau rumahnya model begini, sepertinya bukan kerjaan saya lagi, itu si sudah harus pakai jasa arsitek Mas."Gilang manggut-manggut, ia mengerti maksud ucapan pak Rudi, awalnya Gilang juga akan pakai jasa Arsitek, namun ia merasa tidak enak hati andai melemparkan pekerjaannya begitu saja pada arsitek, tanpa menawari terlebih dulu pada para tetangganya."Oh, jadi harus pakai jasa ya Pak. Hmmm, ya sudah nanti saya coba cari.""Anu Mas Gilang, itu calon rumah Mas Gilang besar sekali. Di kampung ini belum ada rumah macam itu." sahut seorang laki-laki lainnya yang tengah berdiri di samping Pak Rudi."Ah, masa si Pak? Allhamdulillah, semoga rencana saya ini di lancarkan ya Pak, sampai rumahnya selesai dengan rapi.""Aamiin Mas Gilang," ujar Pak Rudi, dengan hati yang di penuhi pertanyaan saat melihat penampakan calon rumah Gilang."Kalau begitu, saya tinggal dulu ya Bapak- bapak, silahkan di minum kopinya.""Ooh, iya Mas Gilang silahkan. Iya Mas terimakasih, nanti kami minum kopinya."Gilang pun berlalu dari hadapan para tetangganya."Ini Mas Gilang apa kurang waras ya? Yang benar saja, dia bilang mau bangun rumah macam istana. Gayanya udah kaya bos aja, padahal pengangguran. Sepertinya bener-bener stres Mas Gilang ini." Gumam Pak Rudi sembari menatap punggung Gilang yang semakin menjauh.****"Sayang, biar Mas bantu nyucinya?""Tidak usah Mas, katanya mau ada tamu yang datang ya? Siapa Mas?""Oh itu, kita Rencananya mau pakai jasa desain rumah, udah nyuruh tukang di kampung ini, tapi pada nggak bisa.""Oh, begitu. Ya sudah kamu siap-siap saja. Oya, makan dulu gih, tadi aku udah masak.""Perlu orang nggak, buat bantu - bantu kamu di rumah? Karena sepertinya selama kita bangun rumah, aku nggak bisa bantuin kerjaan rumah, kamu pasti capek.""Untuk saat ini, belum butuh Mas.""Atau mau beli mesin cuci saja? Biar nyucinya nggak capek.""Tidak usah Mas, nanti saja kalau rumahnya sudah selesai. Kalau sekarang listriknya nggak bakal kuat di pakai mesin cuci.""Hmmm, ya sudah, aku kedepan dulu ya?"Fitri mengangguk, ia segera mengambil mangkuk dan menuangkan sebagian masakannya ke dalam mangkuk, lalu di antaranya ke rumah Bu Aminah."Hmmmm, wangi sekali masakanmu Fit, masak apa itu?""Cuma rendang Bu.""Apa nggak sibuk masak sendirian Fit, buat yang kerja juga?""Tidak repot ko Bu, kalau buat yang kerja, aku pesan nasi kotak saja Bu, dari tetangga desa biar simple.""Ooh, begitu. Syukurlah. Gimana Fit, tidur di sana pasti banyak nyamuk ya?" Bu Aminah menatap Fitri khawatir."Nyamuk ada Bu, tapi masih bisa di atasi ko' hehe.." timpal Fitri berusaha agar Ibu mertuanya tidak selalu memikirkannya."Wa ..... Wa, Mentari mana Wa? Aku mau maen sama Mentari." teriak Icha yang tiba-tiba menghampiri Fitri dan menarik-narik tangannya. "Mentari tadi lagi nonton tv, ya sudah Icha ke rumah saja sana ya?""Asyiiik.." Soraknya senang, sembari berlari menuju keluar rumah, namun dengan cepat Rini menahannya. "De Icha, jangan kesana.... , jangan kesana, di sini saja mainnya ya?' bujuk Rini menghalangi Icha."Kenapa? Aku mau maen ke Mentari.""Gak boleh De Icha, nanti Mamah marah, disini saja ya sama Mbak.""Aku mau maen ke Mentari pokoknya!."Icha pun menangis dengan kencangnya. Rini pun terlihat kebingungan, ia merasa serba salah."Loh, ko nangis? Memangnya kenapa Mbak Rin?" tanya Fitri."Mau maen ke Mentari, Mbak.""Ya sudah antarkan saja kerumah, sudah biasa ko mereka maen bareng.""Anu Mbak, Bu Dea nya tadi pesan ke saya, biar Icha maennya di rumah aja.""Ooh begitu, tapi kan anaknya nangis? Ya sudah biar Icha ikut aku, nanti kalau Mamahnya marah, bilang saja aku yang bawa ya?"Rini mengangguk, ia dan Bu Aminah pun mengikuti Fitri dari belakang. Icha dan Mentari terlihat akrab dan asyik menonton film kartun bersama.Saatnya Dea dan Diki pulang dari sekolah, keduanya langsung menuju ruang makan."Wah enak nih ada rendang," ucap Diki semangat mengambil nasi."Ibu masak rendang?" tanya Dea dengan senyum mengembang."Iya sepertinya, makan yuk, Mas lapar banget nih.""Ibumu sudah terpengaruh ajarannya si Fitri, liat saja masak kaya begini kan pemborosan!""Ya nggak gak apa-apalah De, sekali-kali.""Kalau masakan enak itu bikin ketagihan Mas, kalau udah nagih pasti bikin lagi, bikin lagi, yang ada nanti Ibumu minta tambahan uang belanja lagi sama kita!"Diki tak pedulikan ocehan istrinya, ia terus mengisi perutnya suapan demi suapan, sementara Dea hanya meminum air putih, jangankan untuk makan, melihatnya saja membuat hatinya sakit hati. "Cepatlah makan, apa nggak lapar?" "Nggak! Aku mau nyari Icha," ucap Dea berlalu memanggil manggil anaknya."Ichaaa? Chaa?" teriak Dea mengelilingi isi rumahnya."Bu, bu Dea, ini Ichanya ada di rumah Mbak Fitri."Rini mengatakannya dengan gugup."Ya ampun! Saya kan udah bilang. Jangan sampe Icha maen ke situ! Gimana si kamu?""Maaf Bu, tadi Ichanya nangis, dan langsung di bawa sama Mbak Fitri.""Ya sudah, biar saya yang susul." Dengan cepat Dea menuju rumah Fitri, sesampainya di rumah, terlihat dua anak kecil tengah asyik makan bersama. "Icha, lagi apa kamu di sini?""Makan Mah, enak. Sama Mentari."Dea menoleh ke piring Icha, ada nasi dan beberapa potong daging sapi. "Oooh, jadi Ibu ngasih rendang juga ke si Fitri? Enak saja! Liat aja, bakalan aku ambil lagi!"Saat itu Fitri sedang di kamar membereskan baju yang baru di lipat. Ia tak tau kedatangan Dea kerumahnya. Tanpa ragu Dea langsung nyelonong masuk ke tempat makan, mencari lemari tempat Fitri menyimpan lauk pauknya. Matanya tertuju pada rak kaca terlihat semangkuk rendang yang terlihat masih banyak di tutupi mangkuk kaca. "Ibu ngasih rendang ke si Fitri banyak banget. Kebiasaan. Nggak bisa di biarin. Gak ikhlas aku, liat saja nih, masakan bakal aku bawa lagi semua ke rumah." Gerutu Dea dengan cepat membawa mangkuk rendang dan menghampiri Icha. "Ayok pulang!""Gak mau Mah, Icha bisa pulang sendiri, kan deket.""Icha! Mamah bilang pulang, pulang!" Kedua mata Dea membulat, membuat Mentari ketakutan. Namun Icha tetap tidak mau pulang."Kamu ini mau belajar nakal hah? Sejak main sama Tari kamu jadi nakal begini, nggak bisa di atur. Ayok pulang!"Dea dengan cepat mencubit dan menarik tangan Icha, hingga anak itu menangis.Fitri terkejut mendengar suara tangisan anak kecil dan keributan di luar kamarnya ia segera mendatangi Dea yang tengah berdiri memarahi Icha. "Cepat pulang!" Hardik Dea tetap memaksa."Biarkan saja dia maen di sini De," ucap Fitri pelan. "Apaan si? Ikut campur saja!" tukas Dea.Fitri menoleh ke tangan Dea yang tengah membawa mangkuk kaca milikmya. "Loh, mau di bawa kemana mangkuk itu De?""Di bawa kerumah. Nanti ambil sendiri mangkuknya kalau rendangnya sudah habis!" Seketika Fitri merasa bingung dengan ucapan Dea, yang dengan cepat menggendong Icha ikut bersamanya."Tapi di rumah Ibu sudah ada De," ucap Fitri berusaha mengejar Dea.Fitri terus mengikuti langkah Dea menuju rumah Bu Aminah.Akhirnya Dea berhenti sejenak, tatapan amarahnya menatap ke arah Fitri."Kurang banyak? Harusnya masakan seperti ini nggak usah pake di dua-dua in, kamu kalau mau, masak saja sendiri, maunya di kasih terus!" ucap Dea dengan cepat ia pun kembali mempercepat langkahnya."Maksud kamu apa Dek?"Bruk... Fitri berpapasan dengan Gilang, yang menghentikan langkahnya."Ada apa si Yang? Ribut lagi?""Itu Mas, rendang ku," jawab Fitri sembari menunjuk ke arah Dea yang berlalu."Rendang? Kenapa dengan rendangnya?""Dea bawa rendang punya kita semuanya Mas," ucap Fitri menyesal."Hah? Ko bisa?" Gilang tidak kalah kebingungannya."Aku nggak tau, tadi dia datang kerumah main ambil saja rendang punya kita di rak makan.""Lho?"Gilang dan Fitri saling bertatapan bingung, namun akhirnya keduanya saling tertawa tak henti-hentinya."Benar-benar nggak bisa di biarin tuh bocah, semakin hari semakin jadi aja songongnya."Fitri bergegas menuju rumah Bu Aminah, di ikuti langkah Gilang dari belakang. "Sabar Sayang, nasehatin saja dia, ingat jangan sampe kasar lagi," ucap Gilang yang terus mengikuti langkah Fitri.Saat tiba di rumah Bu Aminah, terlihat Dea tengah berbicara di ruang makan dengan Ibu mertuanya."Fit, ini kenapa di bawa kesini semuanya? Yang tadi pagi saja masih banyak," tutur Bu Aminah memegang mangkuk kaca berisi rendang."Sepertinya ada yang mau lagi Bu, sampe ngambilnya nggak bilang-bilang." Fitri menoleh ke arah Dea yang mematung. "Loh, siapa? Dea?""Siapa lagi Bu? Dia tuh emang punya ilmu tapi nggak pernah di pake ya? Main nyelonong ke rumah orang aja, ngambil makanan, apa nggak malu?" Hardik Fitri di hadapan wajah Dea. "Sudah yang, jangan begini. Mungkin Dea nggak tau.""Kalau nggak tau seharusnya dia nanya dong Mas, jangan begini caranya. Bukan masalah rendangnya, tapi dia udah nuduh aku kele
Malam itu, semua mata terjaga menunggu di dalam rumah Pak Agus, dan ada dua orang menunggu di rumah Mbok Inah, untuk menangkap sosok binatang yang di duga celeng itu. "Pak Agus, tadi aku liat Mas Gilang keluar Pak, dia jalan ke arah sana, keliatannya buru-buru," ucap seorang warga yang baru saja datang dengan napas tersengal-sengal. "Mau kemana dia?" jawab Pak Agus yang dijadikan ketua dalam penjebakan malam itu."Tidak tau Pak, kalau begitu malam ini kita harus benar-benar fokus, tangkap itu Celeng.""Oke! Kita tunggu aba-aba dari si Udi yang sedang menunggu di rumah Mbok Inah."Jam menunjukan pukul 1 malam. Kring..kring..kring... Suara ponsel Pak Agus berdering. Ia segera mengangkatnya dengan semangat."Si Udi!""Angkat!""Hallo Di? Gimana?""Suara binatang itu sudah terdengar Pak, tepatnya ada di belakang rumah Mbok Inah.""Oke, oke, kita menuju ke sana sekarang."Semua orang bersiap dari berbagai arah, hingga beberapa ekor anjing pun di turunkan untuk menangkap binatang yang me
Part 8Tak begitu lama dua orang berpakaian rapi,ikut keluar dari mobil, mendekat dan mendampingi Gilang. Sementara itu, semua orang di pekarangan rumah menundukan kepala. "Loh, ko pada diam? Ada apa Pak? Coba jelaskan pada saya kenapa babi hutan ini ada di sini?""Pak Agus, jelaskan saja apa adanya pak!" teriak seorang lelaki dari arah belakang. Sontak membuat semua mata berpindah ke arah Pak Agus. "Pak Agus? Bisa Bapak jelaskan?""Anu Mas Gilang, anu, ...." Pak Agus terlihat gugup, karena dia yang telah menjadi ketua dari warga yang menuduh Gilang menjadi Celeng. "Sayang, tolong ambilkan minum, sepertinya Pak Agus ini kelelahan,"ucap Gilang pada Fitri yang sedari tadi menantikan penjelasan warga. Tak lama Fitri kembali dengan membawa segelas air bening, dan menyodorkannya pada Pak Agus. "Diminum dulu Pak, tenang saja Pak, suami saya tidak akan marah, Bapak tinggal jelaskan saja apa adanya.""Begini Mas Gilang, saya coba jelaskan dari awal, berawal dari laporan warga yang bany
Part 9Sepulangnya dari kantor polisi, Diki merasa gelisah memikirkan keadaan Dea, ia takut Dea berbuat nekad mencelakai diri dan bayinya. "Aku harus bicara pada Mbak Fitri, agar ia segera mencabut tuntutannya. Tapi bagaimana kalau Mbak Fitri masih tak mau melakukannya?" tanya hati Diki semakin gelisah. Pagi hari Diki mendatangi rumah kakaknya, berniat untuk menyampaikan maksud dan tujuan, tentang kebebasan Dea. "Ki, sudah sarapan? Ikut sarapan sana sama Mas mu, Icha juga baru bangun tidur tuh, sama Tari."Terlihat Gilang dan anak-anak tengah menikmati sarapan pagi. "Iya Mbak," jawab Diki masih tetap berdiri didekat pintu dapur. Wajahnya terlihat bingung."Ada apa Ki? Ada masalah?""Euu, tidak Mbak. Hmmm.... ""Ki? Ada apa?" tanya Fitri penasaran."Anu Mbak, ada yang mau aku omongin sama Mbak.""Soal apa?""Dea Mbak.""Kenapa dengan Dea? Minta bebas? Heuh!" Fitri berlalu meninggalkan Diki, namun dengan cepat Diki menyusulnya. "Mbak, aku mohon Mbak, kasihanilah Dea Mbak, kasih kes
Sepulang dari sekolah Diki tak menemukan istrinya di rumah. Ia mencoba mencari ke rumah Fitri namun hanya ada Icha saja yang tengah bermain dengan Mentari."Cha, liat Mamah tidak?"Icha menggeleng acuh, karena fokus dengan mainannya. "Dea gak ada di rumah Ki, Mbak juga nggak liat dia kemana.""Iya Mbak, dari tadi aku tunggu di rumah belum datang juga. ""Kamu sudah makan belum Ki? Makan dulu gih, Mas Gilang juga barusan makan.""Mas Gilang kemana Mbak?""Ada di ruang kerjanya, sudah sana makan, kakak siapin ya?" tawar Fitri "Tidak Mbak, tadi aku udah makan mie instan.""Hmmm, istrimu ini gimana si Ki, udah nggak gak kerja tapi nggak ak sempat masak buat suami.""Mungkin lagi malas Mbak.""Ya sudah, kamu sabar ya ngadepin Dea, mungkin dia lagi mual bau masakan. Kalau kamu lapar makan saja di sini.""Iya Kak, terimakasih. Kalau gitu, aku pulang kak."Fitri mengangguk dan Diki pun berlalu. Tak berselang lama, Dea datang dengan wajah berbinar. Di tangannya terlihat membawa beberapa pap
"Apa? Mau apa? Kamu pikir aku bercanda? Kamu pikir aku nggak berani bunuh bayi ini? Hah?"Diki terdiam, nafasnya naik turun, kini ia benar-benar tak berkutik dengan ancaman Dea, ia tak mau hal buruk terjadi dengan anaknya. "Tunggu disini!" pinta Dea.Dea beranjak mendekati lemari, diambilnya sebotol obat berukuran kecil dan menunjukkannya pada Diki. "Kamu liat apa ini? Ini obat, dan kalau aku minum obat ini, hmmm ya kamu tau apa yang akan terjadi sama anak kamu Mas.""Astaghfirullah, Dea. Kenapa kamu begitu memaksakan diri Dea.""Karena aku ingin seperti Kakak iparmu Mas! Aku ingin di kagumi banyak orang. Aku ingin di hormati, dulu saat aku jadi guru, orang-orang menghormati aku, sekarang? Apa yang mereka liat dari aku? Mereka bahkan selalu merendahkan aku Mas!""Itu cuma perasaan kamu De.""Itu kenyataan!"jawab Dea dengan berteriak.Diki akhirnya terdiam. "Kita beli mobil besok! Harus!" Hardik Dea."Pikirkan De, dimana mobil itu nanti di simpan? Tidak ada jalan mobil ke rumah ini.
Kini hutang Dea kian menumpuk, banyak orang yang datang ke rumahnya sekedar untuk menagih. Tak jarang Dea sering bersembunyi di dalam rumahnya karena tidak bisa membayar hutang. Pagi hari di hari minggu, Diki tengah membenarkan kipas yang rusak. Tok tok tok. Assalamualaikum? ucap seorang wanita berusia empat puluh tahunan, dengan wajah yang nampak sedikit kesal."Waalaikumsalam," terdengar sahutan seorang lelaki, sembari membukakan pintu. " ya Bu?""Mbak Dea nya ada Mas?""Ada di belakang, sebentar ya saya panggil kan."Tak lama Diki kembali bersama Dea."Biar aku yang temani dia," pinta Dea pada suaminya, Diki pun mengiyakan dan membiarkan , Dea menemui tamunya di teras rumah. "Disini saja ya Bu Erah, di dalam ada suami saya.""Iya nggak apa-apa, gimana nih Bu Dea, ko cicilannya macet terus? Sudah tiga bulan loh ini.""Iya Bu, ekonomi lagi susah nih. Minggu besok lagi saja ke sini ya?""Tidak bisa Mbak Dea, sekarang waktunya bayar. Hutang Mbak sudah tujuh juta loh.""Apa? Tujuh
"Tidak! Aku tidak mau cerai. Aku tidak mau cerai Mas!""Cukup Dea! Cukup kamu buat aku pusing. Istri seperti kamu tidak bisa di nasehati dengan cara lembut.""Aku minta maaf, Mas. Aku janji, aku akan berubah lebih baik lagi.""Tidak! Sekarang juga serahkan mobil itu ke sowrum sekarang!"teriak Diki. Amarahnya saat ini tak bisa di tahan lagi, kekecewaannya sudah begitu besar pada Dea."Tidak Mas, jangan. Aku janji, aku bisa menyicilnya, aku akan bekerja keras untuk membayar semua hutang-hutang ku."Diki langsung mengambil kunci mobil dan bergegas menuju ke arah mobil Dea yang di simpan di kebun pinggir jalan raya. Tak tinggal diam Dea mengejar Diki untuk menghalanginya, hatinya tak ikhlas andai mobil itu harus di tarik."Mas, tunggu Mas, aku gak akan membiarkan kamu kembalikan mobilku ke sowrum. Kamu harus percaya sama aku, aku bisa kerja buat bayar cicilannya Mas,"ujar Dea dengan langkah cepat mengejar suaminya.Sementara Diki sudah tak peduli lagi dengan ocehan Dea, kepalanya terasa