Share

Bab 5. Selalu Curiga

Di pagi hari yang cerah, seorang wanita muda mendatangi rumah Bu Aminah.

"Assalamualaikum?" 

Dea yang saat itu sedang berada di teras rumah, langsung menyambutnya dengan ramah.

"Waalaikumsalam... Eh, Mbak Rini, tumben. Ada apa Mbak? Ayok, silahkan masuk."

"Iya Mbak." jawab Rini sedikit kaku, lalu ia pun mengikuti langkah Dea menuju ruang tamu.

"Silahkan duduk."

"Maaf Mbak Dea, saya dengar dari orang-orang, Mbak Dea sedang mencari pengasuh ya? Kalau benar, saya bersedia Mbak."

"Ooh, iya benar. Boleh, kalau Mbak berminat."

"Allhamdulillah, terimakasih Mbak Dea," ucapnya bersemangat.

"Oya, bukannya Mbak Rini ini, anaknya ada yang di kelas lima ya?'"

"Benar Mbak, si Agus kelas lima."

"Ooh, dia murid saya mbak, jadi jangan panggil saya, " Mbak "ya? Panggil aja Bu Guru,"ucap Dea dengan nada menekan. 

"Oh, iya Bu guru, maaf."

"Begini Rin, kamu di rumah ini khusus buat jagain anak saya si Icha, jangan lupa jam makannya, jam tidur siangnya, dan jangan sampe Icha jajan sembarangan ya Rin."

Rini menganguk, mendengar kan pesan Dea.

"Satu lagi, jangan sampai Icha maen sama Mentari, paham?"

"Mentari anaknya Mas Gilang Bu?"

"Iya, Mentari itu. Kenal kan? Saya nggak mau ya, anak saya deket-deket sama dia."

Rini pun kembali mengangguk.

"Ya sudah, sekarang kamu bisa mulai kerja hari ini. Nyuci dulu saja ya, cucian di kamar mandi sudah numpuk.$

"Maaf Bu, bukannya tugas saya cuma buat ngasuh Icha ya, Bu?"

"Kan anaknya masih tidur, dari pada kamu nggak ada kerjaan? Ya udah nyuci saja dulu. Nyuci juga pake mesin nggak bakal capek." pinta Dea sedikit memaksa.

Rini tertunduk , dalam hatinya menolak, namun tidak ada pilihan lain, ia harus menurutinya karena butuh uang. 

Rini menuju kamar mandi untuk mencuci, sementara Dea kembali ke kamarnya untuk bersiap kerja. 

"Tamu siapa De?" tanya Diki.

"Si Rini, tetangga yang rumahnya di ujung dekat sawah itu Mas."

"Mau apa dia?" tanya Diki penasaran.

"Sengaja dia datang buat jagain Icha, ada apa Mas?" Dea balik bertanya, dengan gerakan tangan yang terus memoles bedak ke wajahnya.

"Apa? Ngasuh Icha? Kamu kasih gaji berapa?" 

"300 ribu." jawabnya santai.

"Mau dia di bayar segitu?"

"Maulah, kerjanya kan enteng, cuma jagain Icha saja, lagi pula Icha juga udah gede nggak harus di gendong-gendong."

Diki tidak lagi berkomentar, keinginan istrinya selalu tidak bisa di ganggu gugat.

Keduanya nampak siap untuk berangkat ke tempat kerja, seragam yang di pakai keduanya pun nampak rapi, dengan bangganya Dea tersenyum menghadap ke cermin. 

"Kenapa ko senyum-senyum gitu?"

"Aku bangga Mas, karena seragam ini, semua orang menghormati kita."

"Sebenarnya bukan karena seragam De, tapi Karena pekerjaan kita sebagai guru, jadi tunjukan sikap yang baik pada masyarakat."

"Loh aku juga baik, emang salahnya aku di mana?" tukas Dea mengerenyitkan keningnya.

"Mas cuma ngingetin kamu De, hilangkan perasaan membanggakan diri, itu sama saja sombong."

"Mas denger ya, wajar dong aku bangga diri, secara, kerjaan aku ini terhormat, dan kamu juga. Kalau si Fitri yang bangga diri, itu baru gak pantas, kalau dia malu-maluin diri. Siapa si yang ngasih penghormatan ke pengangguran?"

"De, jaga bicaramu. Mas Gilang sudah bantu kita. Kamu nggak pantas bicara seperti itu, kamu tau uang bayaran hotel itu dari mana? Dari dia, dari Mas Gilang, yang istrinya selalu kamu rendahkan. Dengan cuma-cuma dia ngasih uang tujuh juta sama Mas, jadi Mas mohon berhenti berkata buruk tentang Mbak Fitri."

"Heuh! Paling Kakakmu itu pakai uang tabungan Ibu,  dan tabungan Ibu itu dari kita, jadi anggap aja itu uang balik ke kita. Udahlah Mas, aku malas kalau bahas mereka," hardik Dea berlalu meninggalkan suaminya yang mematung.

"Astaghfirullah, bagaimana cara menasehati istriku ini?" gumam Diki mengusap wajahnya. 

****

Hari beranjak siang ... Gilang terlihat sibuk membantu orang-orang yang sedang membangun rumahnya. 

"Mas Gilang, model rumahnya mau seperti apa?" tanya Pak Rudi, seorang lelaki yang sudah terbiasa membangun rumah warga. 

"Sebentar Pak, saya ambilkan dulu gambarnya." jawab Gilang bergegas kedalam rumah.

Tak berselang lama Gilang kembali dengan membawa secarik kertas bergambar denah rumah minimalis.

"Begini Pak, untuk luas tanahnya di sesuaikan saja."

Pak Rudi seketika terperangah saat melihat gambar rumah yang di tunjukan Gilang. 

"Ini gambar rumahnya Mas?" tanyanya lagi, tak percaya dengan apa yang akan dia kerjakan.

"Iya Pak, bagaimana? Ada kesulitan?"

"Anu Mas Gilang, kalau rumahnya model begini, sepertinya bukan kerjaan saya lagi, itu si sudah harus pakai jasa arsitek Mas."

Gilang manggut-manggut, ia mengerti maksud ucapan pak Rudi, awalnya Gilang juga akan pakai jasa Arsitek, namun ia merasa tidak enak hati andai melemparkan pekerjaannya begitu saja pada arsitek, tanpa menawari terlebih dulu pada para tetangganya.

"Oh, jadi harus pakai jasa ya Pak. Hmmm, ya sudah nanti saya coba cari."

"Anu Mas Gilang, itu calon rumah Mas Gilang besar sekali. Di kampung ini belum ada rumah macam itu." sahut seorang laki-laki lainnya yang tengah berdiri di samping Pak Rudi.

"Ah, masa si Pak? Allhamdulillah, semoga rencana saya ini di lancarkan ya Pak, sampai rumahnya selesai dengan rapi."

"Aamiin Mas Gilang," ujar Pak Rudi, dengan hati yang di penuhi pertanyaan saat melihat penampakan calon rumah Gilang.

"Kalau begitu, saya tinggal dulu ya Bapak- bapak, silahkan di minum kopinya."

"Ooh, iya Mas Gilang silahkan. Iya Mas terimakasih, nanti kami minum kopinya."

Gilang pun berlalu dari hadapan para tetangganya.

"Ini Mas Gilang apa kurang waras ya? Yang benar saja, dia bilang mau bangun rumah macam istana. Gayanya udah kaya bos aja, padahal pengangguran. Sepertinya bener-bener stres Mas Gilang ini." Gumam Pak Rudi sembari menatap punggung Gilang yang semakin menjauh.

****

"Sayang, biar Mas bantu nyucinya?"

"Tidak usah Mas, katanya mau ada tamu yang datang ya? Siapa Mas?"

"Oh itu, kita Rencananya mau pakai jasa desain rumah, udah nyuruh tukang di kampung ini, tapi pada nggak bisa."

"Oh, begitu. Ya sudah kamu siap-siap saja. Oya, makan dulu gih, tadi aku udah masak."

"Perlu orang nggak, buat bantu - bantu kamu di rumah? Karena sepertinya selama kita bangun rumah, aku nggak bisa bantuin kerjaan rumah, kamu pasti capek."

"Untuk saat ini, belum butuh Mas."

"Atau mau beli mesin cuci saja? Biar nyucinya nggak capek."

"Tidak usah Mas, nanti saja kalau rumahnya sudah selesai. Kalau sekarang listriknya nggak bakal kuat di pakai mesin cuci."

"Hmmm, ya sudah, aku kedepan dulu ya?"

Fitri mengangguk, ia segera mengambil mangkuk dan menuangkan sebagian masakannya ke dalam mangkuk, lalu di antaranya ke rumah Bu Aminah.

"Hmmmm, wangi sekali masakanmu Fit, masak apa itu?"

"Cuma rendang Bu."

"Apa nggak sibuk masak sendirian Fit, buat yang kerja juga?"

"Tidak repot ko Bu, kalau buat yang kerja, aku pesan nasi kotak saja Bu, dari tetangga desa biar simple."

"Ooh, begitu. Syukurlah. Gimana Fit, tidur di sana pasti banyak nyamuk ya?" Bu Aminah menatap Fitri khawatir.

"Nyamuk ada Bu, tapi masih bisa di atasi ko' hehe.." timpal Fitri berusaha agar Ibu mertuanya tidak selalu memikirkannya.

"Wa ..... Wa, Mentari mana Wa? Aku mau maen sama Mentari." teriak Icha yang tiba-tiba menghampiri Fitri dan menarik-narik tangannya. 

"Mentari tadi lagi nonton tv, ya sudah Icha ke rumah saja sana ya?"

"Asyiiik.." Soraknya senang, sembari berlari menuju keluar rumah, namun dengan cepat Rini menahannya. 

"De Icha, jangan kesana.... , jangan kesana, di sini saja mainnya ya?' bujuk Rini menghalangi Icha.

"Kenapa? Aku mau maen ke Mentari."

"Gak boleh De Icha, nanti Mamah marah, disini saja ya sama Mbak."

"Aku mau maen ke Mentari pokoknya!."

Icha pun menangis dengan kencangnya. Rini pun terlihat kebingungan, ia merasa serba salah.

"Loh, ko nangis? Memangnya kenapa Mbak Rin?" tanya Fitri.

"Mau maen ke Mentari, Mbak."

"Ya sudah antarkan saja kerumah, sudah biasa ko mereka maen bareng."

"Anu Mbak, Bu Dea nya tadi pesan ke saya, biar Icha maennya di rumah aja."

"Ooh begitu, tapi kan anaknya nangis? Ya sudah biar Icha ikut aku, nanti kalau Mamahnya marah, bilang saja aku yang bawa ya?"

Rini mengangguk, ia dan Bu Aminah pun mengikuti Fitri dari belakang.  

Icha dan Mentari terlihat akrab dan asyik menonton film kartun bersama.

Saatnya Dea dan Diki pulang dari sekolah, keduanya langsung menuju ruang makan.

"Wah enak nih ada rendang," ucap Diki semangat mengambil nasi.

"Ibu masak rendang?" tanya Dea dengan senyum mengembang.

"Iya sepertinya, makan yuk, Mas lapar banget nih."

"Ibumu sudah terpengaruh ajarannya si Fitri, liat saja masak kaya begini kan pemborosan!"

"Ya nggak gak apa-apalah De, sekali-kali."

"Kalau masakan enak itu bikin ketagihan Mas, kalau udah nagih pasti bikin lagi, bikin lagi, yang ada nanti Ibumu minta tambahan uang belanja lagi sama kita!"

Diki tak pedulikan ocehan istrinya, ia terus mengisi perutnya suapan demi suapan, sementara Dea hanya meminum air putih, jangankan untuk makan, melihatnya saja membuat hatinya sakit hati. 

"Cepatlah makan, apa nggak lapar?" 

"Nggak! Aku mau nyari Icha," ucap Dea berlalu memanggil manggil anaknya.

"Ichaaa? Chaa?" teriak Dea mengelilingi isi rumahnya.

"Bu, bu Dea, ini Ichanya ada di rumah Mbak Fitri."

Rini mengatakannya dengan gugup.

"Ya ampun! Saya kan udah bilang. Jangan sampe Icha maen ke situ! Gimana si kamu?"

"Maaf Bu, tadi Ichanya nangis, dan langsung di bawa sama Mbak Fitri."

"Ya sudah, biar saya yang susul." Dengan cepat Dea menuju rumah Fitri, sesampainya di rumah, terlihat dua anak kecil tengah asyik makan bersama. 

"Icha, lagi apa kamu di sini?"

"Makan Mah, enak. Sama Mentari."

Dea menoleh ke piring Icha, ada nasi dan beberapa potong daging sapi. 

"Oooh, jadi Ibu ngasih rendang juga ke si Fitri? Enak saja! Liat aja, bakalan aku ambil lagi!"

Saat itu Fitri sedang di kamar membereskan baju yang baru di lipat. Ia tak tau kedatangan Dea kerumahnya. 

Tanpa ragu Dea langsung nyelonong masuk ke tempat makan, mencari lemari tempat Fitri menyimpan lauk pauknya. 

Matanya tertuju pada rak kaca terlihat semangkuk rendang yang terlihat masih banyak di tutupi mangkuk kaca. 

"Ibu ngasih rendang ke si Fitri banyak banget. Kebiasaan. Nggak bisa di biarin. Gak ikhlas aku, liat saja nih, masakan bakal aku bawa lagi semua ke rumah." Gerutu Dea dengan cepat membawa mangkuk rendang dan menghampiri Icha. 

"Ayok pulang!"

"Gak mau Mah, Icha bisa pulang sendiri, kan deket."

"Icha! Mamah bilang pulang, pulang!" Kedua mata Dea membulat, membuat Mentari ketakutan. Namun Icha tetap tidak mau pulang.

"Kamu ini mau belajar nakal hah? Sejak main sama Tari kamu jadi nakal begini, nggak bisa di atur. Ayok pulang!"

Dea dengan cepat mencubit dan menarik tangan Icha, hingga anak itu menangis.

Fitri terkejut mendengar suara tangisan anak kecil dan keributan di luar kamarnya ia segera mendatangi Dea yang tengah berdiri memarahi Icha. 

"Cepat pulang!" Hardik Dea tetap memaksa.

"Biarkan saja dia maen di sini De," ucap Fitri pelan. 

"Apaan si? Ikut campur saja!" tukas Dea.

Fitri menoleh ke tangan Dea yang tengah membawa mangkuk kaca milikmya. 

"Loh, mau di bawa kemana mangkuk itu De?"

"Di bawa kerumah. Nanti ambil sendiri mangkuknya kalau rendangnya sudah habis!" 

Seketika Fitri merasa bingung dengan ucapan Dea, yang dengan cepat menggendong Icha ikut bersamanya.

"Tapi di rumah Ibu sudah ada De," ucap Fitri berusaha mengejar Dea.

Fitri terus mengikuti langkah Dea menuju rumah Bu Aminah.

Akhirnya Dea berhenti sejenak, tatapan amarahnya menatap ke arah Fitri.

"Kurang banyak? Harusnya masakan seperti ini nggak usah pake di dua-dua in, kamu kalau mau, masak saja sendiri, maunya di kasih terus!" ucap Dea dengan cepat ia pun kembali mempercepat langkahnya.

"Maksud kamu apa Dek?"

Bruk... 

Fitri berpapasan dengan Gilang, yang menghentikan langkahnya.

"Ada apa si Yang? Ribut lagi?"

"Itu Mas, rendang ku," jawab Fitri sembari menunjuk ke arah Dea yang berlalu.

"Rendang? Kenapa dengan rendangnya?"

"Dea bawa rendang punya kita semuanya Mas," ucap Fitri menyesal.

"Hah? Ko bisa?" Gilang tidak kalah kebingungannya.

"Aku nggak tau, tadi dia datang kerumah main ambil saja rendang punya kita di rak makan."

"Lho?"

Gilang dan Fitri saling bertatapan bingung, namun akhirnya keduanya saling tertawa tak henti-hentinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status