Part 8Tak begitu lama dua orang berpakaian rapi,ikut keluar dari mobil, mendekat dan mendampingi Gilang. Sementara itu, semua orang di pekarangan rumah menundukan kepala. "Loh, ko pada diam? Ada apa Pak? Coba jelaskan pada saya kenapa babi hutan ini ada di sini?""Pak Agus, jelaskan saja apa adanya pak!" teriak seorang lelaki dari arah belakang. Sontak membuat semua mata berpindah ke arah Pak Agus. "Pak Agus? Bisa Bapak jelaskan?""Anu Mas Gilang, anu, ...." Pak Agus terlihat gugup, karena dia yang telah menjadi ketua dari warga yang menuduh Gilang menjadi Celeng. "Sayang, tolong ambilkan minum, sepertinya Pak Agus ini kelelahan,"ucap Gilang pada Fitri yang sedari tadi menantikan penjelasan warga. Tak lama Fitri kembali dengan membawa segelas air bening, dan menyodorkannya pada Pak Agus. "Diminum dulu Pak, tenang saja Pak, suami saya tidak akan marah, Bapak tinggal jelaskan saja apa adanya.""Begini Mas Gilang, saya coba jelaskan dari awal, berawal dari laporan warga yang bany
Part 9Sepulangnya dari kantor polisi, Diki merasa gelisah memikirkan keadaan Dea, ia takut Dea berbuat nekad mencelakai diri dan bayinya. "Aku harus bicara pada Mbak Fitri, agar ia segera mencabut tuntutannya. Tapi bagaimana kalau Mbak Fitri masih tak mau melakukannya?" tanya hati Diki semakin gelisah. Pagi hari Diki mendatangi rumah kakaknya, berniat untuk menyampaikan maksud dan tujuan, tentang kebebasan Dea. "Ki, sudah sarapan? Ikut sarapan sana sama Mas mu, Icha juga baru bangun tidur tuh, sama Tari."Terlihat Gilang dan anak-anak tengah menikmati sarapan pagi. "Iya Mbak," jawab Diki masih tetap berdiri didekat pintu dapur. Wajahnya terlihat bingung."Ada apa Ki? Ada masalah?""Euu, tidak Mbak. Hmmm.... ""Ki? Ada apa?" tanya Fitri penasaran."Anu Mbak, ada yang mau aku omongin sama Mbak.""Soal apa?""Dea Mbak.""Kenapa dengan Dea? Minta bebas? Heuh!" Fitri berlalu meninggalkan Diki, namun dengan cepat Diki menyusulnya. "Mbak, aku mohon Mbak, kasihanilah Dea Mbak, kasih kes
Sepulang dari sekolah Diki tak menemukan istrinya di rumah. Ia mencoba mencari ke rumah Fitri namun hanya ada Icha saja yang tengah bermain dengan Mentari."Cha, liat Mamah tidak?"Icha menggeleng acuh, karena fokus dengan mainannya. "Dea gak ada di rumah Ki, Mbak juga nggak liat dia kemana.""Iya Mbak, dari tadi aku tunggu di rumah belum datang juga. ""Kamu sudah makan belum Ki? Makan dulu gih, Mas Gilang juga barusan makan.""Mas Gilang kemana Mbak?""Ada di ruang kerjanya, sudah sana makan, kakak siapin ya?" tawar Fitri "Tidak Mbak, tadi aku udah makan mie instan.""Hmmm, istrimu ini gimana si Ki, udah nggak gak kerja tapi nggak ak sempat masak buat suami.""Mungkin lagi malas Mbak.""Ya sudah, kamu sabar ya ngadepin Dea, mungkin dia lagi mual bau masakan. Kalau kamu lapar makan saja di sini.""Iya Kak, terimakasih. Kalau gitu, aku pulang kak."Fitri mengangguk dan Diki pun berlalu. Tak berselang lama, Dea datang dengan wajah berbinar. Di tangannya terlihat membawa beberapa pap
"Apa? Mau apa? Kamu pikir aku bercanda? Kamu pikir aku nggak berani bunuh bayi ini? Hah?"Diki terdiam, nafasnya naik turun, kini ia benar-benar tak berkutik dengan ancaman Dea, ia tak mau hal buruk terjadi dengan anaknya. "Tunggu disini!" pinta Dea.Dea beranjak mendekati lemari, diambilnya sebotol obat berukuran kecil dan menunjukkannya pada Diki. "Kamu liat apa ini? Ini obat, dan kalau aku minum obat ini, hmmm ya kamu tau apa yang akan terjadi sama anak kamu Mas.""Astaghfirullah, Dea. Kenapa kamu begitu memaksakan diri Dea.""Karena aku ingin seperti Kakak iparmu Mas! Aku ingin di kagumi banyak orang. Aku ingin di hormati, dulu saat aku jadi guru, orang-orang menghormati aku, sekarang? Apa yang mereka liat dari aku? Mereka bahkan selalu merendahkan aku Mas!""Itu cuma perasaan kamu De.""Itu kenyataan!"jawab Dea dengan berteriak.Diki akhirnya terdiam. "Kita beli mobil besok! Harus!" Hardik Dea."Pikirkan De, dimana mobil itu nanti di simpan? Tidak ada jalan mobil ke rumah ini.
Kini hutang Dea kian menumpuk, banyak orang yang datang ke rumahnya sekedar untuk menagih. Tak jarang Dea sering bersembunyi di dalam rumahnya karena tidak bisa membayar hutang. Pagi hari di hari minggu, Diki tengah membenarkan kipas yang rusak. Tok tok tok. Assalamualaikum? ucap seorang wanita berusia empat puluh tahunan, dengan wajah yang nampak sedikit kesal."Waalaikumsalam," terdengar sahutan seorang lelaki, sembari membukakan pintu. " ya Bu?""Mbak Dea nya ada Mas?""Ada di belakang, sebentar ya saya panggil kan."Tak lama Diki kembali bersama Dea."Biar aku yang temani dia," pinta Dea pada suaminya, Diki pun mengiyakan dan membiarkan , Dea menemui tamunya di teras rumah. "Disini saja ya Bu Erah, di dalam ada suami saya.""Iya nggak apa-apa, gimana nih Bu Dea, ko cicilannya macet terus? Sudah tiga bulan loh ini.""Iya Bu, ekonomi lagi susah nih. Minggu besok lagi saja ke sini ya?""Tidak bisa Mbak Dea, sekarang waktunya bayar. Hutang Mbak sudah tujuh juta loh.""Apa? Tujuh
"Tidak! Aku tidak mau cerai. Aku tidak mau cerai Mas!""Cukup Dea! Cukup kamu buat aku pusing. Istri seperti kamu tidak bisa di nasehati dengan cara lembut.""Aku minta maaf, Mas. Aku janji, aku akan berubah lebih baik lagi.""Tidak! Sekarang juga serahkan mobil itu ke sowrum sekarang!"teriak Diki. Amarahnya saat ini tak bisa di tahan lagi, kekecewaannya sudah begitu besar pada Dea."Tidak Mas, jangan. Aku janji, aku bisa menyicilnya, aku akan bekerja keras untuk membayar semua hutang-hutang ku."Diki langsung mengambil kunci mobil dan bergegas menuju ke arah mobil Dea yang di simpan di kebun pinggir jalan raya. Tak tinggal diam Dea mengejar Diki untuk menghalanginya, hatinya tak ikhlas andai mobil itu harus di tarik."Mas, tunggu Mas, aku gak akan membiarkan kamu kembalikan mobilku ke sowrum. Kamu harus percaya sama aku, aku bisa kerja buat bayar cicilannya Mas,"ujar Dea dengan langkah cepat mengejar suaminya.Sementara Diki sudah tak peduli lagi dengan ocehan Dea, kepalanya terasa
"Aneh deh, masa kamu yang nemenin aku di sini? Mas?" teriak Dea memanggil manggil Gilang, namun Gilang tetap berlalu meninggalkan Dea dan Fitri."Udah, diem kalau ngerasa sakit. Tapi kalau ngerasa udah sembuh cepet pulang. Lagian gak betah aku lama-lama harus nungguin kamu di sini."hardik Fitri.Dea terdiam, wajahnya nampak sedih menatap pintu. Hatinya terasa begitu sakit saat keadaannya sakit, suami yang ia butuhkan perhatiannya memilih untuk pergi.(begitu pikirnya)**** "Masih ada yang terasa sakit Bu Dea?"tanya seorang dokter."Ini dok, sebelah dada terkadang nyeri.""Oh iya Bu, itu karena benturan. Lambat laun akan pulih dengan sendirinya.""Jadi kapan bisa pulangnya dok?" tanya Fitri. "Hmmm, hari ini juga boleh, semuanya terlihat membaik.""Allhamdulillah."Dan dokter pun meninggalkan ruangan Dea. "Cepat siap-siap kita pulang hari ini."Dea menuruti ucapan Fitri, ia bersiap membersihkan dirinya. Sementara Fitri menelepon Gilang untuk menjemput mereka. Setelah semua biaya suda
Part 14. Dea salah paham dalam menilai kebaikan Gilang. Hatinya begitu rapuh, saat ia begitu mengharapkan perhatian dari seseorang, kini Gilang bisa memberinya tanpa ia sadari hal itu akan menjadi bumerang untuk dirinya.[Mas ... Terimakasih ya, makanannya. Enak banget,] Ketiknya dengan bibir yang terus tersenyum. Centang biru pun langsung terlihat, tak sabar hatinya menunggu balasan dari Gilang.[Iya] balas Gilang. (Hmmmm, gitu doang balasannya? Panjangan dikit kek. Tapi.... Gak apa-apa deh, aku lebih suka nih di buat penasaran begini, hihihi) gumamnya. Kini hidup Dea bagaikan tak ada beban, ia hanya memikirkan untuk dirinya sendiri, karena Icha terlihat bahagia tinggal bersama Fitri. ***** Pagi hari seperti biasa para karyawan satu per satu memasuki ruangan, dan mulai bekerja dengan serius. Hari itu Dea terlambat datang, sehingga semua mata bisa menoleh kearahnya. Penampilan Dea tak seperti biasanya, ia menggunakan blazer hitam, di padukan dengan celana panjang, sementara ra