Share

Ch.06 Marah

Di sisi lain, Rex masih bertelpon ria dengan kekasihnya. “Malam pertama? Aku dengan perawat yang gila itu? Lebih baik aku mati daripada malam pertama dengannya!” sinisnya, tak peduli bahwa dia dapat didengar Lyra.

“Tenang saja, Sayang. Cintaku hanya buat kamu! Mana mungkin aku bisa mencintai perempuan lacur kampungan seperti Lyra?”

“Nanti kalau aku sudah kembali ke Jakarta, pasti aku akan segera menemuimu. Kita check in di hotel seperti biasa, ya?” rayu Rex dengan suara mendayu. “Aku merindukan pelukan serta sentuhanmu.”

“Oke, love you, Marina Sayang!” pungkas Rex kemudian selesai menerima telepon.

Lalu, ia berseru kencang. “Dengar itu, Lacur? Wanita yang aku cintai bernama Marina! Dia anak orang terhormat! Anak pejabat! Tidak seperti kamu yang anaknya petani desa! Bukan seperti kamu yang anaknya Suripto pengumpul kotoran ayam!”

Rex menghina keluarga Lyra bukan kepalang tanggung. Ayah wanita itu dikatakan pengumpul kotoran ayam karena rumahnya kemarin banyak ayam berkeliaran saat dikunjungi.

Tak berani menjawab apa pun, Lyra terus menyembunyikan wajahnya di antara lutut dan dada. Ia menangis, menitikkan air mata untuk melepas pedih. Walau meski telah sekian butir turun deras, tak ada rasa sakit yang berkurang di dalam asa. Justru semakin kencang menggilas tiap titik batin.

Setelahnya, Rex benar-benar tak mengijinkan istrinya naik ke atas ranjang sepanjang malam.

Hingga jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari, ia telah mengorok di atas peraduan, sementara Lyra terkulai lemas dan meringkuk kedinginan di atas lantai tanpa selimut sama sekali.

Akhirnya fajar menjelang dan Lyra yang sudah terbiasa bangun di jam-jam seperti itu mulai membuka mata. Udara dingin kamar menusuk ke tulang hingga ia menggigil. Ujung jari sedikit kebas mati rasa. Mengumpulkan semua tenaga yang ia punya, mencoba untuk duduk.

Sekujur raga kaku dan sakit karena tidur di atas benda keras yaitu lantai yang hanya berlapis karpet tak terlalu tebal. Menarik napas panjang, dada pun sesak akibat teringat apa yang terjadi dengannya semalam.

“Aku akan membuat pernikahan kita menjadi neraka!”

Suara Rex kembali teringiang, membuat ulu hati nyeri dan takut. Melirik ke atas ranjang, lelaki itu masih tertidur lelap, bahkan mengorok cukup kencang.

‘Tuhan, kuatkan aku melalui ini semua. Aku sudah menandatangani surat perjanjian dengan Tuan Harlan. Kalau aku mundur sekarang, bagaimana jika aku hamil? Anakku lahir tanpa ayah.’

‘Dan bagaimana aku bisa membayar lima kali lipat dari apa yang sudah diberikan oleh beliau? Satu milyar, aku bisa dapat uang sebanyak itu dari mana?’

Menguatkan diri, Lyra sadar kalau ia harus kuat melalui semua yang telah ia putuskan sebelumnya. Apa pun yang terjadi, dia tidak bisa meminta cerai dari Rex.

Menopang diri dengan kedua kepal tangan, akhirnya ia bisa berdiri lagi. Mengambil pakaian ganti dan memasuki kamar mandi, lalu ia membuka pakaian. Melihat di depan kaca, pundak serta lengannya ada lebam tipis akibat perbuatan Rex semalam.

Tak hanya itu, ujung bibirnya juga sedikit lecet karena ditampar sangat keras. Bahkan. Di bagian rahang masih terlihat memerah.

Dada kembang kempis, karena seumur hidup baru kali ini dia dipukul dan dikasari seperti tadi malam. Sakit! Sungguh sakit! Mata kembali berkaca-kaca, dan air mata berjatuhan.

Melangkah menuju shower, mulai menyiram diri dengan berharap kepedihannya bisa ikut tersiram.

***

Pukul tujuh pagi, semua sudah berkumpul di restoran hotel untuk sarapan pagi. Setelahnya, mereka harus segera berangkat ke Surabaya untuk menaiki pesawat dan kembali ke kota Jakarta.

Lyra berjalan bersama Rex, di mana sang suami kemudian berbisik. “Awas, ya, kalau kamu ceritakan kejadian semalam. Aku akan menghajarmu lebih keras lagi!”

“Di depan Papaku, kita harus terlihat harmonis. Paham?”

Tak berani memandang wajah Rex, wanita berkulit kuning langsat itu hanya mengangguk lesu. Apa saja yang diinginkan sang suami, ia tidak akan melawan.

Mendadak, Rex menggandeng tangan Lyra dengan erat. Bahkan, ia usap lembut jemari sang istri seakan benar-benar menyayanginya.

Sontak, Lyra menoleh dengan wajah bertanya-tanya.

Akan tetapi, Rex tersenyum dingin, “Jangan besar kepala! Sudah kubilang, kita harus terlihat harmonis, Bodoh! Paham atau tidak? Jawab!”

“Pa-paham … paham, Rex,” angguk Lyra gugup.

“Bagus! Tumben, kamu pintar!” desis Rex kemudian memasuki restoran dan disambut dengan senyum sang ayah.

Harlan berseri-seri melihat putranya menggandeng Lyra. “Wah, sepertinya tadi malam ada yang sudah mulai berbaikan?”

Ajeng dan Eva spontan menoleh pada Rex dan terbelalak karena melihat keduanya bergandengan. Akan tetapi, karena pemuda itu memberi kode-kode tertentu lewat kedipan mata, membuat ibu dan adiknya paham kalau itu hanya pura-pura.

Duduk di samping ayahnya, “Iya, dong, Pa! Punya istri kalau hanya dibuat menganggur saat malam, rugi sekali! Apalagi cantik begini!” tawa Rex bermain peran, membelai pipi Lyra.

Harlan menoleh pada Lyra. “Kamu dan Rex sudah berbaikan, Lyra? Dia sudah tidak membentak atau memarahimu lagi?”

“Tidak, Tuan Harlan,” geleng Lyra tersenyum kecut.

“Ah, jangan panggil Tuan! Panggil Papa, lalu Bu Ajeng itu kamu harus panggil dengan Mama. Kan kita sudah jadi keluarga.” Harlan menggeleng sambil tertawa. “Eva kalau memanggil Lyra juga harus dengan kata Mbak atau Kak.”

Eva tersenyum malas, tidak mempedulikan ucapan ayahnya dan kembali bermain dengan gadget-nya.

Namun, mendadak Harlan melihat sesuatu di wajah menantunya. “Kenapa pipi bagian bawahmu seperti memar? Lalu, itu di ujung bibir seperti lecet?”

Harlan melihat bekas merah di wajah Lyra dan mulai bertanya. “Wajahmu memar?”

Rex langsung menunduk sambil menahan geram. ‘Awas saja, kalau sampai dia mengadukan aku, akan kubanting dia di kamar nanti!’

Lyra tersenyum datar, “Tadi terpeleset di kamar mandi, Pa. Ini terbentur tembok, makanya seperti memar,” dustanya melindungi sang suami. Bukannya apa, ia juga tidak tahu apa yang akan terjadi jika berkata jujur.

Rasanya, jika berkata jujur akan semakin menyakitkan Harlan yang sudah begitu baik kepadanya. Belum lagi Rexanda pasti akan semakin marah, nanti mereka kian bermasalah.

“Makanya kalau punya mata dipakai! Apa sudah silau melihat Kak Rex sampai terpeleset?” cibir Eva melirik malas dan mengejek.

Ajeng menyahut, “Biasalah, Eva. Orang kampung belum pernah tahu kamar mandi hotel. Saking terkejutnya sampai jalan saja tidak be—“

“DIAM!” bentak Harlan menggebrak meja. Tatapannya marah pada istri serta anak perempuan, sementara Rex tetap terdiam.

Ajeng dan Eva saling lirik sebelum akhirnya menunduk dengan wajah bersungut-sungut. Beberapa orang yang menikmati sarapan di sekitar mereka menoleh, memandang penasaran ada apa dengan keluarga tersebut.

“Harus berapa kali aku katakan pada kalian semua untuk jaga mulut? Lyra jadi seperti ini juga karena kelakuan Rex yang bejat! Dan siapa yang selalu membiarkan Rex mabuk saat aku tidak di rumah, hah? Kamu, Ajeng!” sembur sang ayah.

“Ih, Papa ini bagaimana? Kenapa jadi Mama yang salah?” protes Ajeng mendelik. “Yang salah itu Lyra karena sudah dengan sengaja menjebak Rex! Lihat saja, lama-lama pasti akan terbukti ucapanku ini!”

“Kalau Rex tidak mabuk, semua ini tidak akan terjadi! Kerjamu setiap hari hanya mabuk dan mabuk! Bersenang-senang dengan teman-teman sesat di klub malam seperti tidak punya masa depan!” amuk Harlan pada putra pertamanya.

Rex mendengkus panjang, “Ya, ya ... salahkan saja aku terus menerus. Aku sudah menikahi Lyra masih saja disalahkan?”

“Awas, ya, Papa tidak mau dengar lagi kalian menghina Lyra! Mulai sekarang, perlakukan dia sebagai keluarga kita! Sampai ada yang menghinanya, akan Papa cabut fasilitasnya!” ancam Harlan meremas gelas kaca.

Ajeng berdesis kesal, “Membela perawat kampung sampai sebegitunya? Terserah kamu saja, Mas!”

“Sekarang, kita cepat selesaikan sarapan ini dan kembali ke Jakarta!” tandas Harlan menghela sungguh berat. Ia terkadang berpikir, dosa apa yang telah diperbuat hingga memiliki keluarga seperti ini?

Namun, biar bagaimana semua adalah anak dan istri yang sangat dia sayangi. Hanya bisa berharap ke depannya akan ada sesuatu yang mengubah semua ini.

Lyra menunduk pedih. ‘Terjebak dalam keluarga Adiwangsa seperti ini tidak pernah ada dalam mimpiku meski hanya satu kali. Apalagi menjadi istrinya Rexanda, sama sekali tidak pernah kubayangkan.’

‘Tapi, bagaimana aku bisa bersyukur atau bahagia jika mereka semua membenciku seperti ini? Jika saja aku tidak terancam hamil, sudah pasti aku tidak mau berada di situasi seperti sekarang.’

Menyendok nasi ke dalam bibir, bagi Lyra menelan makanan pun sulit. Seisi meja makan menjadi hening akibat perdebatan barusan. Di mana semua itu terjadi karena dirinya.

***

Pesawat kini telah mendarat, keluarga Adiwangsan telah kembali ke Jakarta yang sangat ramai. Sopir telah menunggu para majikan untuk datang. Satu mobil Alphard siap membawa kembali ke rumah.

Di jok belakang, Ajeng dan Eva duduk menjauh dari Lyra seakan gadis itu memiliki penyakit. Keduanya tidak mau berdekatan, apalagi sampai bersentuhan.

Sepanjang perjalanan, suasana tidak jauh berbeda dengan di meja makan tadi. Hening, senyap, masing-masing sibuk dengan diri sendiri.

Sampai di rumah, Harlan memanggil putranya untuk masuk ke ruang kerja.

“Ada apa lagi, Pa? Aku lelah! Mau istirahat!” kesal Rex duduk sambil cemberut.

‘”Kamu apakan Lyra? Kenapa di wajahnya ada memar?” tukas Harlan memandang penuh curiga.

Terhentak, jantung Rex berdenyut lebih cepat. Telapak tangannya pun terasa dingin. Akan tetapi, ia masih menyangkal. “Aku tidak tahu. Dia bilang terpeleset di kamar mandi, ‘kan?” jawabnya mengendikkan bahu.

“Kamu pikir Papa bodoh, hah? Kamu menamparnya? Kamu memukulnya? Pengecut kamu, Rex! Laki-laki macam apa memukuli wanita tak berdaya macam Lyra?”

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status