Share

7. Bimbang

Eva menghela napasnya kasar. Ia mangacak rambutnya hingga berantakan. Otaknya secara otomatis terus mengulang kejadian semalam. Ia bahkan tak menyangka akan jadi seperti itu. Padahal sebenarnya ia ingin menyingkirkan sesuatu dari bibir pria itu. Tapi sepertinya sudah terjadi kesalahpahaman.

Eva beranjak ke meja yang di tempati oleh Vira. Nampak wanita itu sedang memoles wajahnya. Ia menepuk bahu wanita itu pelan, hingga membuatnya menoleh.

"Kenapa, Va?" tanya Vira.

Eva menarik kursi milik Ina yang masih kosong karena pemiliknya belum datang, lalu duduk di samping Vira. Ia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak terasa gatal.

"Gue mau nanya," gumam Eva pelan.

Vira menaikkan kedua alisnya bersamaan. "Hm, nanya apa tuh?"

"Wajar ga sih kalau ciuman sama orang yang kita ga suka?" tanya Eva.

Vira terdiam, ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia masih memproses ucapan Eva yang begitu mengejutkan saraf otaknya.

"Apa?" tanya Vira dengan wajah bingung.

"Lo pernah ciuman ga?" tanya Eva.

Vira menunjuk dirinya sendiri dengan wajah bingung. "Gue?"

Eva menganggukkan kepalanya. Sedangkan Vira menggeleng lemah. Padahal rupa wanita itu seperti sudah berpengalaman, tapi ternyata ciuman saja belum pernah.

"Lo ciuman sama siapa, Va?" tanya Vira dengan penasaran.

Eva menggelengkan kepalanya. "Gue cuma nonton film aja."

Vira tersenyum miring. Ia mendekatkan kursinya dengan Eva."Pak guru itu?"

Eva membelalakkan kedua matanya saat mendengar ucapan Vira. Ia sontak menggeleng dan beranjak pergi keluar ruangan. Entah mengapa suhu di ruangan itu mendadak berubah menjadi panas. Padahal hari masih pagi, udara dari jendela pun masih begitu sejuk.

Vira yang nampaknya sudah terlanjur penasaran pun mengekorinya. Wanita itu sesekali menyerukan namanya cukup keras hingga menarik perhatian orang yang ada di sekitarnya.

"Gimana rasanya, Va?" teriak Vira yang cukup jauh tertinggal di belakangnya.

Eva mendesis pelan, ia merasa menyesal bercerita dengan Vira. Kalau tahu akan jadi seperti ini, lebih baik ia menceritakan hal ini pada Ina yang lebih bisa diandalkan.

Eva mengedikkan bahunya. "Ga ada rasa."

Vira merangkul bahu Eva dan tersenyum miring. "Masa sih? Bibirnya tebal gitu, pasti enak sih."

Eva langsung melotot mendengar ucapan rekan kerjanya tersebut. "Dari mana lo tau? Lo kan ga pernah."

Vira hanya nyengir mendengarnya. Ia pun memilih diam karena tak punya pengalaman. Langkah mereka menuju kantin yang masih tak begitu ramai. Hari kamis yang seharusnya menjadi waktu padat, saat ini sedang mengalami perubahan. Hal itu terjadi karena ada pembagian jadwal pada minggu ini.

Eva melihat Ina yang baru tiba di pintu masuk. Ia langsung menghambur menuju wanita itu, sedangkan Vira tertinggal di belakang.

"Ina!" panggil Eva dari kejauhan.

Ina tersenyum lebar lalu melambaikan tangannya. Eva langsung menubruk tubuh wanita itu sampai nyaris terhuyung ke belakang. Itu bisa dibilang salah satu rutinitas yang dilakukannya.

"Tumben sudah datang," ujar Ina.

Eva menyandarkan kepalanya di bahu Ina. "Mau cerita."

"Kenapa ga cerita sama Vira?" tanya Ina.

Vira yang baru datang langsung ikut menggelayut manja di lengan bebas Ina. Kini cewek itu harus menanggung dua beban yang cukup berat tersebut.

"Lo tau ga? Eva ciuman sama pak guru," celetuk Vira.

Eva langsung menjauhkan tubuhnya. Ia membuat matanya sebulat mungkin, lalu jari telunjuknya menunjuk ke arah Vira yang menjulurkan lidahnya.

"Serius, Va?" tanya Ina.

Eva langsung menggelengkan kepalanya. "Jangan dengarin Vira, dia ga waras."

Ina memicingkan matanya seraya tersenyum miring. "Pasti rasanya manis ya, Va?"

Eva menghela napasnya pelan. Ternyata dugaannya salah, kedua orang ini sama saja. Seharusnya ia tak menceritakan hal itu pada mereka. Ia tersenyum getir, lalu mengusap wajahnya kasar.

"Manis banget," gumam Eva.

~~~

Andra menyandarkan kepalanya di sofa ruang guru. Ia masih terpikirkan dengan kejadian semalam. Ia bahkan sama sekali tak bisa menghilangkan kilasan tersebut. Ia memejamkan matanya, lalu membukanya kembali. Setiap ia terpejam, kilasan itu jadi semakin terasa nyata.

"Apa yang terjadi Pak Andra? Masih pagi kok suram banget wajahnya."

Andra menoleh sekilas ke arah pintu yang terbuka. Nampak seorang pria berpakaian olahraga baru saja masuk ke ruangan tersebut. Pria itu bernama Erfan, salah satu guru muda yang juga belum menikah. Mereka sangat dekat sejak mulai mengajar di sekolah tersebut. 

"Oh, gue kira siapa," gumam Andra.

"Kok lo masih masuk aja, Ndra? Besok kan acaranya," kata Erfan sambil duduk di sampingnya.

Andra menganggukkan kepalanya. "Dia juga masuk kerja kok."

"Dia?" Erfan terdiam sejenak, ia nampak sedang memikirkan sesuatu. "Oh, maksudnya calon istri lo?"

"Apa gue bisa menikah pakai cara seperti ini?" tanya Andra sambil memejamkan kedua matanya.

Erfan menoleh tanpa mengatakan apa pun. Jujur saja ia sendiri tak punya pengalaman seperti itu. Ia menikah atas dasar cinta, bukan dijodohkan seperti itu.

Erfan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak terasa gatal. "Tapi calon istri lo cantik, 'kan?"

Andra mengambil ponsel dari sakunya. Lalu ia beralih pada galeri untuk menunjukkan foto calon istrinya tersebut. Ia punya album khusus yang menyimpan cukup banyak foto Eva. Cukup menyeramkan karena ia terlihat seperti penguntit, tapi semua foto itu dikirim oleh ayahnya. Ia membuka salah satu foto yang menurutnya paling menarik. Terlihat wanita itu sedang menengadahkan kepala dengan mata terpejam. Wajahnya menggambarkan kedamaian yang ia tak pernah rasakan.

"Ini." Andra menyodorkan ponsel pada temannya tersebut. "Gue ga tau dia cantik atau biasa saja."

Erfan langsung merampas ponsel tersebut. Ia terdiam untuk sesaat, menatap wanita yang ada di dalam foto tersebut. Wanita itu jauh dari kata cantik, karena wanita itu terlihat sangat cantik. Ia menoleh sekilas ke arah Andra yang tengah memijat pelipisnya.

"Kok lo bisa dapat yang secantik ini?" tanya Erfan dengan bingung.

Andra menghela napasnya, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Sial banget dia dapat laki-laki kayak gue."

Erfan terkekeh mendengar ucapan temannya tersebut. Ia menepuk punggung Andra beberapa kali. "Lo harus percaya diri. Lagi pula lo ga jelek kok."

Andra menoleh dengan cepat. "Gue ganteng?"

Erfan meringis lalu dengan terpaksa menganggukkan kepalanya. Ia merasa seperti tidak normal saat ini. Bagaimana bisa Andra bertanya seperti itu dengan sesama jenis.

Tak lama, terdengar bunyi bel yang menandakan dimulainya jam pelajaran pertama. Andra mengangkat sebelah tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB. Ia bangun dari sofa dan mengambil buku yang akan dibawa untuk mengajar.

Andra melangkahkan kakinya menuju pintu keluar, sedangkan Erfan memilih untuk merebahkan tubuhnya di sofa yang cukup nyaman tersebut. Ruangan itu memang hanya dihuni oleh dua pria itu karena tidak terlalu luas.

Andra menoleh sekilas ke arah Erfan. "Fan, gue duluan."

Pria itu hanya berdeham pelan, matanya sudah terpejam. Andra pun keluar dari ruangan itu. Namun baru satu langkah keluar dari ruangan, Andra dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita tepat di hadapannya. Ia terdiam di tempatnya menatap wanita itu.

"Ka—kamu?"

"Saya datang untuk menjemput kamu," ujar Eva.

Andra mengernyitkan dahinya. "Tapi saya sedang bekerja, Eva."

Eva menganggukkan kepalanya. "Saya juga sedang bekerja. Tapi ayah kamu datang ke tempat saya bekerja."

Andra mendelik saat mendengar itu. "Lalu?"

Eva menarik kedua sudut bibienya dengan paksa. "Kita harus mencari gaun pengantin."

"Bukankah besok hanya lamaran?" tanya Andra.

Eva menggelengkan kepalanya lemah. "Besok kita akan menikah."

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status