Eva menghela napasnya kasar. Ia mangacak rambutnya hingga berantakan. Otaknya secara otomatis terus mengulang kejadian semalam. Ia bahkan tak menyangka akan jadi seperti itu. Padahal sebenarnya ia ingin menyingkirkan sesuatu dari bibir pria itu. Tapi sepertinya sudah terjadi kesalahpahaman.
Eva beranjak ke meja yang di tempati oleh Vira. Nampak wanita itu sedang memoles wajahnya. Ia menepuk bahu wanita itu pelan, hingga membuatnya menoleh."Kenapa, Va?" tanya Vira.Eva menarik kursi milik Ina yang masih kosong karena pemiliknya belum datang, lalu duduk di samping Vira. Ia menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak terasa gatal."Gue mau nanya," gumam Eva pelan.Vira menaikkan kedua alisnya bersamaan. "Hm, nanya apa tuh?""Wajar ga sih kalau ciuman sama orang yang kita ga suka?" tanya Eva.Vira terdiam, ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia masih memproses ucapan Eva yang begitu mengejutkan saraf otaknya."Apa?" tanya Vira dengan wajah bingung."Lo pernah ciuman ga?" tanya Eva.Vira menunjuk dirinya sendiri dengan wajah bingung. "Gue?"Eva menganggukkan kepalanya. Sedangkan Vira menggeleng lemah. Padahal rupa wanita itu seperti sudah berpengalaman, tapi ternyata ciuman saja belum pernah."Lo ciuman sama siapa, Va?" tanya Vira dengan penasaran.Eva menggelengkan kepalanya. "Gue cuma nonton film aja."Vira tersenyum miring. Ia mendekatkan kursinya dengan Eva."Pak guru itu?"Eva membelalakkan kedua matanya saat mendengar ucapan Vira. Ia sontak menggeleng dan beranjak pergi keluar ruangan. Entah mengapa suhu di ruangan itu mendadak berubah menjadi panas. Padahal hari masih pagi, udara dari jendela pun masih begitu sejuk.Vira yang nampaknya sudah terlanjur penasaran pun mengekorinya. Wanita itu sesekali menyerukan namanya cukup keras hingga menarik perhatian orang yang ada di sekitarnya."Gimana rasanya, Va?" teriak Vira yang cukup jauh tertinggal di belakangnya.Eva mendesis pelan, ia merasa menyesal bercerita dengan Vira. Kalau tahu akan jadi seperti ini, lebih baik ia menceritakan hal ini pada Ina yang lebih bisa diandalkan.Eva mengedikkan bahunya. "Ga ada rasa."Vira merangkul bahu Eva dan tersenyum miring. "Masa sih? Bibirnya tebal gitu, pasti enak sih."Eva langsung melotot mendengar ucapan rekan kerjanya tersebut. "Dari mana lo tau? Lo kan ga pernah."Vira hanya nyengir mendengarnya. Ia pun memilih diam karena tak punya pengalaman. Langkah mereka menuju kantin yang masih tak begitu ramai. Hari kamis yang seharusnya menjadi waktu padat, saat ini sedang mengalami perubahan. Hal itu terjadi karena ada pembagian jadwal pada minggu ini.Eva melihat Ina yang baru tiba di pintu masuk. Ia langsung menghambur menuju wanita itu, sedangkan Vira tertinggal di belakang."Ina!" panggil Eva dari kejauhan.Ina tersenyum lebar lalu melambaikan tangannya. Eva langsung menubruk tubuh wanita itu sampai nyaris terhuyung ke belakang. Itu bisa dibilang salah satu rutinitas yang dilakukannya."Tumben sudah datang," ujar Ina.Eva menyandarkan kepalanya di bahu Ina. "Mau cerita.""Kenapa ga cerita sama Vira?" tanya Ina.Vira yang baru datang langsung ikut menggelayut manja di lengan bebas Ina. Kini cewek itu harus menanggung dua beban yang cukup berat tersebut."Lo tau ga? Eva ciuman sama pak guru," celetuk Vira.Eva langsung menjauhkan tubuhnya. Ia membuat matanya sebulat mungkin, lalu jari telunjuknya menunjuk ke arah Vira yang menjulurkan lidahnya."Serius, Va?" tanya Ina.Eva langsung menggelengkan kepalanya. "Jangan dengarin Vira, dia ga waras."Ina memicingkan matanya seraya tersenyum miring. "Pasti rasanya manis ya, Va?"Eva menghela napasnya pelan. Ternyata dugaannya salah, kedua orang ini sama saja. Seharusnya ia tak menceritakan hal itu pada mereka. Ia tersenyum getir, lalu mengusap wajahnya kasar."Manis banget," gumam Eva.~~~Andra menyandarkan kepalanya di sofa ruang guru. Ia masih terpikirkan dengan kejadian semalam. Ia bahkan sama sekali tak bisa menghilangkan kilasan tersebut. Ia memejamkan matanya, lalu membukanya kembali. Setiap ia terpejam, kilasan itu jadi semakin terasa nyata."Apa yang terjadi Pak Andra? Masih pagi kok suram banget wajahnya."Andra menoleh sekilas ke arah pintu yang terbuka. Nampak seorang pria berpakaian olahraga baru saja masuk ke ruangan tersebut. Pria itu bernama Erfan, salah satu guru muda yang juga belum menikah. Mereka sangat dekat sejak mulai mengajar di sekolah tersebut. "Oh, gue kira siapa," gumam Andra."Kok lo masih masuk aja, Ndra? Besok kan acaranya," kata Erfan sambil duduk di sampingnya.Andra menganggukkan kepalanya. "Dia juga masuk kerja kok.""Dia?" Erfan terdiam sejenak, ia nampak sedang memikirkan sesuatu. "Oh, maksudnya calon istri lo?""Apa gue bisa menikah pakai cara seperti ini?" tanya Andra sambil memejamkan kedua matanya.Erfan menoleh tanpa mengatakan apa pun. Jujur saja ia sendiri tak punya pengalaman seperti itu. Ia menikah atas dasar cinta, bukan dijodohkan seperti itu.Erfan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak terasa gatal. "Tapi calon istri lo cantik, 'kan?"Andra mengambil ponsel dari sakunya. Lalu ia beralih pada galeri untuk menunjukkan foto calon istrinya tersebut. Ia punya album khusus yang menyimpan cukup banyak foto Eva. Cukup menyeramkan karena ia terlihat seperti penguntit, tapi semua foto itu dikirim oleh ayahnya. Ia membuka salah satu foto yang menurutnya paling menarik. Terlihat wanita itu sedang menengadahkan kepala dengan mata terpejam. Wajahnya menggambarkan kedamaian yang ia tak pernah rasakan."Ini." Andra menyodorkan ponsel pada temannya tersebut. "Gue ga tau dia cantik atau biasa saja."Erfan langsung merampas ponsel tersebut. Ia terdiam untuk sesaat, menatap wanita yang ada di dalam foto tersebut. Wanita itu jauh dari kata cantik, karena wanita itu terlihat sangat cantik. Ia menoleh sekilas ke arah Andra yang tengah memijat pelipisnya."Kok lo bisa dapat yang secantik ini?" tanya Erfan dengan bingung.Andra menghela napasnya, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Sial banget dia dapat laki-laki kayak gue."Erfan terkekeh mendengar ucapan temannya tersebut. Ia menepuk punggung Andra beberapa kali. "Lo harus percaya diri. Lagi pula lo ga jelek kok."Andra menoleh dengan cepat. "Gue ganteng?"Erfan meringis lalu dengan terpaksa menganggukkan kepalanya. Ia merasa seperti tidak normal saat ini. Bagaimana bisa Andra bertanya seperti itu dengan sesama jenis.Tak lama, terdengar bunyi bel yang menandakan dimulainya jam pelajaran pertama. Andra mengangkat sebelah tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB. Ia bangun dari sofa dan mengambil buku yang akan dibawa untuk mengajar.Andra melangkahkan kakinya menuju pintu keluar, sedangkan Erfan memilih untuk merebahkan tubuhnya di sofa yang cukup nyaman tersebut. Ruangan itu memang hanya dihuni oleh dua pria itu karena tidak terlalu luas.Andra menoleh sekilas ke arah Erfan. "Fan, gue duluan."Pria itu hanya berdeham pelan, matanya sudah terpejam. Andra pun keluar dari ruangan itu. Namun baru satu langkah keluar dari ruangan, Andra dikejutkan dengan kehadiran seorang wanita tepat di hadapannya. Ia terdiam di tempatnya menatap wanita itu."Ka—kamu?""Saya datang untuk menjemput kamu," ujar Eva.Andra mengernyitkan dahinya. "Tapi saya sedang bekerja, Eva."Eva menganggukkan kepalanya. "Saya juga sedang bekerja. Tapi ayah kamu datang ke tempat saya bekerja."Andra mendelik saat mendengar itu. "Lalu?"Eva menarik kedua sudut bibienya dengan paksa. "Kita harus mencari gaun pengantin.""Bukankah besok hanya lamaran?" tanya Andra.Eva menggelengkan kepalanya lemah. "Besok kita akan menikah."Bersambung ....
Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga
Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah
"Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu
Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin
Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla
Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat