Share

8. Gaun

Author: Fit
last update Last Updated: 2021-08-23 20:58:36

Eva memarkir mobilnya di depan sebuah gedung yang cukup besar. Ia memang sudah mempersiapkan tempat untuk mencari gaun pengantinnya jauh sebelum dijodohkan dengan Andra. Ia selalu memimpikan gaun yang ada di dalam gedung tersebut. Ia keluar dari mobil yang dipinjamkan oleh Ina. Sedangkan cowok itu nampaknya masih bingung dengan yang terjadi saat ini.

"Ayo turun," ujar Eva.

Andra menganggukkan kepalanya. Ia keluar dari mobil itu dan mengikuti langkah Eva memasuki gedung berlantai 5 tersebut. Harum semerbak langsung menyeruak masuk ke dalam hidung saat pintu utama terbuka. Ia bisa melihat wajah wanita di sampingnya begitu bersinar melihat kumpulan gaun yang membentang dari sudut ke sudut lainnya.

Ia hanya bisa menurut saat Eva menarik lengannya masuk ke sebuah pintu kaca. Di dalam ruangan itu terlihat gaun yang sangat mewah, tentu harganya tidaklah murah. Walau dari kejauhan, ia bisa melihat 8 digit angka tertempel di tiap gaun. Tentu itu membuatnya kesulitan untuk bernafas. Gajinya selama menjadi guru saja hanya 7 digit.

"Apa ini tidak terlalu mahal?" tanya Andra.

Eva langsung menoleh ke arah Andra, lalu menggeleng sambil tersenyum. Ia sudah mempersiapkan uang untuk membeli gaun impiannya, jadi tentu saja tidak mahal. Ia melambaikan tangannya pada seorang wanita yang menjaga ruangan tersebut. Wanita itu langsung menghampirinya.

"Apakah gaun yang saya pesan sudah selesai?" tanya Eva.

Wanita itu menganggukkan kepalanya. Ia membuka sebelah tangannya dan mempersilakan Eva menuju pintu cokelat yang ada disudut ruangan.

"Terima kasih," ujar Eva.

Eva menarik lengan Andra menuju pintu tersebut. Tapi dengan kuat pria itu menepis lengannya. Tentu saja itu membuatnya merasa bingung.

"Ada apa?" tanya Eva dengan bingung.

Andra menarik napasnya. "Saya merasa kamu yang berkuasa di sini."

Eva mengernyitkan dahinya. "Apa itu salah? Ini pernikahan saya."

"Jangan lupa, saya juga terlibat dalam pernikahan ini—"

"Lalu apa mau kamu?" tanya Eva dengan tangan terlipat di dadanya. Ia menatap Andra dengan sorot tajam.

"Kamu sudah melibatkan saya dari awal, maka kamu harus terus melibatkan saya sampai akhir," jelas Andra.

Eva terkekeh pelan lalu berkata, "Saya melibatkan kamu? Bukankah kamu yang melibatkan saya?"

Andra mengusap wajahnya dengan frustasi. "Saya sama sekali tidak meminta kamu menerima perjodohan ini. Bahkan saya sudah memberikan kamu kesempatan untuk menolak—"

"Berhenti bicara!" potong Eva.

"Hei ... Saya calon suami kamu," kata Andra lirih.

Eva tak lagi berniat menjawab ucapan Andra. Ia segera masuk ke balik pintu cokelat dan menutupnya dengan keras. Ia menghela napas pelan lalu mengacak rambutnya dengan frustasi. 

Ia terdiam memandangi pintu tersebut. Padahal besok adalah hari pernikahannya, tapi mengapa ia sama sekali tak merasa bahagia? Ia pun berbalik menuju pintu yang menjadi tempat asalnya datang. Ia bisa melihat wanita yang menjaga ruangan itu menatapnya dengan senyum tipis. Ia menarik kedua sudut bibirnya lalu keluar dari ruangan tersebut.

Untuk pertama kalinya Andra merasa bau asap kendaraan lebih nikmat daripada harum bunga. Ia merasa lebih baik saat berada di luar gedung tersebut. Ia menghentikan sebuah taxi yang hampir tiba di dekatnya. Ia memutuskan untuk kembali bekerja daripada mencari gaun pengantin yang hanya berujung pada pertengkaran.

Ponselnya bergetar, ia bisa melihat nama Eva di layarnya. Ia sama sekali tak menjawab panggilan tersebut. Ia memasukkan ponsel ke saku kemejanya, pasti wanita itu akan lelah sendiri.

Namun sudah setengah perjalanan, ponselnya masih terus bergetar. Cukup lelah juga merasakan getaran tersebut. Ia pun memutuskan untuk mengambil ponsel dan menjawabnya.

"Apa lagi?!" tanya Andra dengan suara meninggi.

"Ga sopan kamu!"

Andra langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia sangat terkejut saat melihat nama ayahnya.

"Maaf, Andra kira Erfan. Soalnya—"

"Kenapa kamu tidak ikut Eva mencari gaun pengantin?!" bentak ayahnya.

Andra tak menjawab ucapan ayahnya tersebut, ia memilih untuk diam menunggu apa yang akan diucapkan ayahnya setelah ini.

"Cepat temui calon istrimu!"

~~~

Andra sama sekali tak kembali, hal itu membuat Eva menjadi merasa bersalah. Ia melirik jam yang menempel di dinding, sudah lebih dari 30 menit sejak pria itu pergi. Terlebih lagi, panggilannya tak dijawab. Pasti pria itu sangat marah saat ini.

Eva memejamkan matanya frustasi. Ia duduk di kursi tunggu yang ada di depan ruang ganti. Mungkin harusnya ia sedikit mengalah pada pria itu. Semua yang diucapkan oleh Andra tak sepenuhnya salah. Ia merasa sangat egois ketika mengingat kejadian tersebut.

"Mba Eva?"

Eva menoleh ke arah pintu yang ada di belakangnya. "Iya?"

"Silakan masuk ke ruang ganti," ujar seorang wanita berpakaian hitam putih.

Eva tersenyum lalu bangun dari tempat duduknya. Ia melihat gaun pengantin berwarna putih dengan rompi sesuai impiannya. Perlahan ia meraih gaun itu, benar-benar terlihat indah. Ia segera mengenakan gaun itu tanpa berlama-lama.

"Sudah selesai?" tanya wanita penjaga toko itu dari luar.

Eva menundukkan kepalanya lalu berkata, "Saya sudah selesai."

Eva membuka tirai yang menutupi ruang gantinya. Ia terus menundukkan kepalanya, entah mengapa ia mengharapkan kehadiran Andra saat ini. Ia ingin tahu bagaimana respon dari pria tersebut.

"Cantik sekali!"

Eva langsung mengangkat kepalanya saat mendengar suara pria. Namun ia menjadi sangat kecewa saat ternyata pria itu pasangan dari wanita yang ada di ruang ganti sebelahnya. Ia tersenyum kecut menyadari kenyataan bahwa ia menginginkan kehadiran Andra.

Eva memaksakan diri untuk tersenyum di cermin besar yang ada di depannya. Ia memutar tubuhnya, gaun itu benar-benar mengubahnya seperti sang putri. Gaun itu memang tak terlalu meriah, namun memiliki kesan berkarisma.

"Bagaimana menurut calon pengantin pria?" kata wanita berseragam hitam putih tersebut.

Eva mengernyitkan dahinya. Ia sama sekali tak melihat siapapun di sana selain pasangan yang sedang bermesraan. Ia menghela napasnya pelan, lalu berbalik ke dalam ruang ganti.

"Cantik."

Eva langsung menolehkan kepalanya, tanpa sadar senyum mengembang di wajahnya. Ia melihat sosok Andra yang sudah mengenakan tuxedo berwarna hitam dilengkapi dasi berwarna yang sama.

Andra langsung menghampiri wanita itu dengan wajah dinginnya. Walaupun penampilannya sudah sangat berbeda, tapi kebiasaannya itu tak bisa dihilangkan.

"Senyum," bisik Eva saat Andra sudah ada di dekatnya.

Andra menggelengkan kepalanya. "Khusus hari ini saya marah sama kamu."

Eva mengulum senyumnya. Ia langsung melingkarkan lengannya di celah lengan kekar pria tersebut. Lalu ia merebahkan kepalanya di bahu pria itu, tapi ternyata tidak bisa.

"Kamu terlalu tinggi," bisik Eva.

Andra mengangkat sebelah alisnya. "Ya sudah, saya aja yang nyandar di kamu."

Eva mendelikkan matanya. Tapi belum sempat melarang, Andra sudah menyandarkan kepala di bahunya. Ia merasakan jantungnya berdebar sangat kencang, terutama saat pria itu membisikkan sesuatu ke telinganya.

"Senyum."

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SIMBIOSIS   94. Lamaran

    Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga

  • SIMBIOSIS   93. Seribu kupu-kupu

    Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah

  • SIMBIOSIS   92. Pengakuan

    "Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu

  • SIMBIOSIS   91. Rindu

    Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin

  • SIMBIOSIS   90. Adik

    Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla

  • SIMBIOSIS   89. Sebuah kenyataan

    Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status