Share

8. Gaun

Eva memarkir mobilnya di depan sebuah gedung yang cukup besar. Ia memang sudah mempersiapkan tempat untuk mencari gaun pengantinnya jauh sebelum dijodohkan dengan Andra. Ia selalu memimpikan gaun yang ada di dalam gedung tersebut. Ia keluar dari mobil yang dipinjamkan oleh Ina. Sedangkan cowok itu nampaknya masih bingung dengan yang terjadi saat ini.

"Ayo turun," ujar Eva.

Andra menganggukkan kepalanya. Ia keluar dari mobil itu dan mengikuti langkah Eva memasuki gedung berlantai 5 tersebut. Harum semerbak langsung menyeruak masuk ke dalam hidung saat pintu utama terbuka. Ia bisa melihat wajah wanita di sampingnya begitu bersinar melihat kumpulan gaun yang membentang dari sudut ke sudut lainnya.

Ia hanya bisa menurut saat Eva menarik lengannya masuk ke sebuah pintu kaca. Di dalam ruangan itu terlihat gaun yang sangat mewah, tentu harganya tidaklah murah. Walau dari kejauhan, ia bisa melihat 8 digit angka tertempel di tiap gaun. Tentu itu membuatnya kesulitan untuk bernafas. Gajinya selama menjadi guru saja hanya 7 digit.

"Apa ini tidak terlalu mahal?" tanya Andra.

Eva langsung menoleh ke arah Andra, lalu menggeleng sambil tersenyum. Ia sudah mempersiapkan uang untuk membeli gaun impiannya, jadi tentu saja tidak mahal. Ia melambaikan tangannya pada seorang wanita yang menjaga ruangan tersebut. Wanita itu langsung menghampirinya.

"Apakah gaun yang saya pesan sudah selesai?" tanya Eva.

Wanita itu menganggukkan kepalanya. Ia membuka sebelah tangannya dan mempersilakan Eva menuju pintu cokelat yang ada disudut ruangan.

"Terima kasih," ujar Eva.

Eva menarik lengan Andra menuju pintu tersebut. Tapi dengan kuat pria itu menepis lengannya. Tentu saja itu membuatnya merasa bingung.

"Ada apa?" tanya Eva dengan bingung.

Andra menarik napasnya. "Saya merasa kamu yang berkuasa di sini."

Eva mengernyitkan dahinya. "Apa itu salah? Ini pernikahan saya."

"Jangan lupa, saya juga terlibat dalam pernikahan ini—"

"Lalu apa mau kamu?" tanya Eva dengan tangan terlipat di dadanya. Ia menatap Andra dengan sorot tajam.

"Kamu sudah melibatkan saya dari awal, maka kamu harus terus melibatkan saya sampai akhir," jelas Andra.

Eva terkekeh pelan lalu berkata, "Saya melibatkan kamu? Bukankah kamu yang melibatkan saya?"

Andra mengusap wajahnya dengan frustasi. "Saya sama sekali tidak meminta kamu menerima perjodohan ini. Bahkan saya sudah memberikan kamu kesempatan untuk menolak—"

"Berhenti bicara!" potong Eva.

"Hei ... Saya calon suami kamu," kata Andra lirih.

Eva tak lagi berniat menjawab ucapan Andra. Ia segera masuk ke balik pintu cokelat dan menutupnya dengan keras. Ia menghela napas pelan lalu mengacak rambutnya dengan frustasi. 

Ia terdiam memandangi pintu tersebut. Padahal besok adalah hari pernikahannya, tapi mengapa ia sama sekali tak merasa bahagia? Ia pun berbalik menuju pintu yang menjadi tempat asalnya datang. Ia bisa melihat wanita yang menjaga ruangan itu menatapnya dengan senyum tipis. Ia menarik kedua sudut bibirnya lalu keluar dari ruangan tersebut.

Untuk pertama kalinya Andra merasa bau asap kendaraan lebih nikmat daripada harum bunga. Ia merasa lebih baik saat berada di luar gedung tersebut. Ia menghentikan sebuah taxi yang hampir tiba di dekatnya. Ia memutuskan untuk kembali bekerja daripada mencari gaun pengantin yang hanya berujung pada pertengkaran.

Ponselnya bergetar, ia bisa melihat nama Eva di layarnya. Ia sama sekali tak menjawab panggilan tersebut. Ia memasukkan ponsel ke saku kemejanya, pasti wanita itu akan lelah sendiri.

Namun sudah setengah perjalanan, ponselnya masih terus bergetar. Cukup lelah juga merasakan getaran tersebut. Ia pun memutuskan untuk mengambil ponsel dan menjawabnya.

"Apa lagi?!" tanya Andra dengan suara meninggi.

"Ga sopan kamu!"

Andra langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia sangat terkejut saat melihat nama ayahnya.

"Maaf, Andra kira Erfan. Soalnya—"

"Kenapa kamu tidak ikut Eva mencari gaun pengantin?!" bentak ayahnya.

Andra tak menjawab ucapan ayahnya tersebut, ia memilih untuk diam menunggu apa yang akan diucapkan ayahnya setelah ini.

"Cepat temui calon istrimu!"

~~~

Andra sama sekali tak kembali, hal itu membuat Eva menjadi merasa bersalah. Ia melirik jam yang menempel di dinding, sudah lebih dari 30 menit sejak pria itu pergi. Terlebih lagi, panggilannya tak dijawab. Pasti pria itu sangat marah saat ini.

Eva memejamkan matanya frustasi. Ia duduk di kursi tunggu yang ada di depan ruang ganti. Mungkin harusnya ia sedikit mengalah pada pria itu. Semua yang diucapkan oleh Andra tak sepenuhnya salah. Ia merasa sangat egois ketika mengingat kejadian tersebut.

"Mba Eva?"

Eva menoleh ke arah pintu yang ada di belakangnya. "Iya?"

"Silakan masuk ke ruang ganti," ujar seorang wanita berpakaian hitam putih.

Eva tersenyum lalu bangun dari tempat duduknya. Ia melihat gaun pengantin berwarna putih dengan rompi sesuai impiannya. Perlahan ia meraih gaun itu, benar-benar terlihat indah. Ia segera mengenakan gaun itu tanpa berlama-lama.

"Sudah selesai?" tanya wanita penjaga toko itu dari luar.

Eva menundukkan kepalanya lalu berkata, "Saya sudah selesai."

Eva membuka tirai yang menutupi ruang gantinya. Ia terus menundukkan kepalanya, entah mengapa ia mengharapkan kehadiran Andra saat ini. Ia ingin tahu bagaimana respon dari pria tersebut.

"Cantik sekali!"

Eva langsung mengangkat kepalanya saat mendengar suara pria. Namun ia menjadi sangat kecewa saat ternyata pria itu pasangan dari wanita yang ada di ruang ganti sebelahnya. Ia tersenyum kecut menyadari kenyataan bahwa ia menginginkan kehadiran Andra.

Eva memaksakan diri untuk tersenyum di cermin besar yang ada di depannya. Ia memutar tubuhnya, gaun itu benar-benar mengubahnya seperti sang putri. Gaun itu memang tak terlalu meriah, namun memiliki kesan berkarisma.

"Bagaimana menurut calon pengantin pria?" kata wanita berseragam hitam putih tersebut.

Eva mengernyitkan dahinya. Ia sama sekali tak melihat siapapun di sana selain pasangan yang sedang bermesraan. Ia menghela napasnya pelan, lalu berbalik ke dalam ruang ganti.

"Cantik."

Eva langsung menolehkan kepalanya, tanpa sadar senyum mengembang di wajahnya. Ia melihat sosok Andra yang sudah mengenakan tuxedo berwarna hitam dilengkapi dasi berwarna yang sama.

Andra langsung menghampiri wanita itu dengan wajah dinginnya. Walaupun penampilannya sudah sangat berbeda, tapi kebiasaannya itu tak bisa dihilangkan.

"Senyum," bisik Eva saat Andra sudah ada di dekatnya.

Andra menggelengkan kepalanya. "Khusus hari ini saya marah sama kamu."

Eva mengulum senyumnya. Ia langsung melingkarkan lengannya di celah lengan kekar pria tersebut. Lalu ia merebahkan kepalanya di bahu pria itu, tapi ternyata tidak bisa.

"Kamu terlalu tinggi," bisik Eva.

Andra mengangkat sebelah alisnya. "Ya sudah, saya aja yang nyandar di kamu."

Eva mendelikkan matanya. Tapi belum sempat melarang, Andra sudah menyandarkan kepala di bahunya. Ia merasakan jantungnya berdebar sangat kencang, terutama saat pria itu membisikkan sesuatu ke telinganya.

"Senyum."

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status