Home / Romansa / SIMBIOSIS / 6. Mengantar Andra

Share

6. Mengantar Andra

Author: Fit
last update Last Updated: 2021-08-19 07:50:51

Eva mendelikkan matanya ke arah Andra yang sedang meminum kopinya. Sejak mereka pulang dari taman bermain, pria itu sama sekali tak menjelaskan tentang panggilan dari kontak bernama 'Kekasihku' tersebut.

"Saya akan beritahukan hal itu kepada ayah dan ibu," ujar Eva.

Andra menganggukkan kepalanya. "Baiklah."

Eva semakin jengkel mendengar jawaban dari pria tersebut. Ia meletakkan gelas di atas meja makan dengan kekuatan penuh. Suara gelas itu bahkan sampai terdengar ke ruang tengah.

Ibu Eva datang dengan membawa sepiring buah. Mereka tiba di rumahnya sejak sore hari. Tetapi ia sama sekali tak mengizinkan Andra pulang sebelum menjelaskan siapa wanita yang menghubunginya.

"Kalian kenapa, sih? Kok bertengkar?" tanya Ibu Eva.

Eva menatap sinis Andra yang terlihat tak peduli. "Dia punya pacar, Bu."

Ibu Eva menarik kursi yang ada di samping Andra, lalu menempatinya. "Benar begitu, Andra?"

Andra langsung menoleh ke arah Ibu Eva, lalu menggeleng. "Bohong, Bu."

Eva membelalakkan matanya. "Jelas-jelas tadi pacar kamu telepon!"

Andra mengernyitkan dahinya. "Bukankah saya sudah bilang kalau yang telepon itu—"

Eva mencebikkan bibirnya. "Saya tidak dengar."

Andra menghela napasnya pelan. Ia meletakkan gelasnya di meja. Lalu ia mengambil ponsel dari saku kemejanya. Eva langsung berdiri dari kursinya. Setelah itu ia pun mengikuti wanita itu menuju ke ruang tamu. Di sana terlihat ayahnya sedang sibuk dengan laptopnya.

Andra yakin wanita itu pasti akan memberitahukan kejadian ini pada ayahnya. Ia harus segera bersiap menyusun kalimat. Sebenarnya mudah saja, ia hanya perlu menghapus riwayat panggilan dan semuanya akan baik-baik saja. Tapi ia tak akan melakukan itu. Ia langsung duduk di sofa yang sangat nyaman itu, lalu menundukkan kepala layaknya orang yang bersalah.

Eva langsung menarik laptop ayahnya tersebut. "Ayah, aku mau bicara."

Hendri menghela napasnya pelan. "Ada apa, Eva? Ayah harus menyelesaikan pekerjaan ini."

"Ayah, tolong dengarkan Eva," kata Eva dengan wajah memelas. Ia langsung menudingkan telunjuknya pada Andra. "Dia sudah punya pacar, Ayah. Aku ga mau menikah sama dia."

Andra mengangkat kepalanya, lalu menggeleng lemah. "Saya tidak melakukan hal seperti itu."

Eva sontak menoleh ke arah Andra dengan mata melotot. Ia langsung menyebrang ke sofa yang ada di samping pria itu. Ia mencari ponsel di seluruh saku pria itu tanpa permisi.

"Ka—kamu," ujar Andra dengan gugup. Ia langsung berdiri dan duduk di sofa lainnya.

"Mana hp kamu? Jangan jadi pengecut seperti ini!" seru Eva dengan suara meninggi.

Andra menarik nafasnya panjang, ia mencoba untuk sabar. Ia segera mengambil ponsel yang ada di saku kemejanya. Lalu memberikannya pada Eva yang menatap dengan sorot tajam. Wanita itu langsung menyambarnya dengan ganas.

Ia menggelengkan kepalanya dengan lemah. Ia masih tak percaya akan menikah dengan wanita super ganas seperti ini. Sangat sulit untuk membuat wanita itu mengerti. Bahkan saat ingin memberi penjelasan, wanita itu langsung memotong ucapannya.

"Lihat ini, Ayah."

Suasana mendadak sunyi saat Hendri menatap layar ponsel milik Andra dengan saksama. Lalu ia menatap kedua orang yang sedang beradu tatap itu secara bergantian.

"Andra," panggilnya.

Andra langsung menoleh ke arah Hendri dengan senyum manisnya. "Iya, Ayah."

"Kamu mencintai anak saya?" tanya Hendri dengan tatapan tajamnya.

Andra membuka mulutnya, tapi sama sekali tak ada suara yang keluar. Ia mengatupkan kembali mulutnya, lalu memikirkan jawaban yang cocok.

"Dia pasti ga cinta sama aku," celetuk Eva.

Andra mendelikkan matanya. Ia langsung mengangguk tanpa berpikir lebih lama lagi.

"Saya mencintai Eva," ucap Andra.

Hendri tertawa kecil, lalu memberikan ponsel itu pada Andra. Ia meraih laptopnya yang disita oleh Eva. Tapi nampaknya, wanita itu masih belum menyerah. Ia menahan laptop itu sekuat tenaganya.

"Ayah, ini serius!" Eva kembali merampas ponsel dari genggaman Andra, lalu memberikan ponsel itu pada ayahnya. "Lihat sekali lagi, Ayah. Dia punya pacar."

Ayahnya tertawa, kali ini cukup keras. "Jelas saja dia punya pacar. Kamu kan pacarnya, Va. Nah, itu kontak kamu."

Mulut Eva langsung terbuka lebar. Ia memandang kontak bertuliskan 'Kekasihku' tersebut. Ia sangat terkejut saat menyadari bahwa itu benar kontak miliknya. Ia bahkan tak bisa menatap Andra karena terlalu malu. Ia memilih untuk memasukkan ponsel pria itu ke sakunya. Lalu ia segera pergi menuju kamarnya.

~~~

"Eva, ayo keluar dulu. Andra mau pulang, nih."

Eva dengan malas keluar dari kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam, memang sudah sepantasnya pria itu pulang. Jika tidak, pasti tetangga akan berpikiran yang buruk. Ia bisa melihat Andra yang berdiri di bibir pintu. Pria itu sudah sangat siap, sepatunya juga sudah terpasang dengan baik.

"Saya pamit pulang," ucap Andra sambil menyalami ayah dan ibu Eva.

Mereka tersenyum manis, lalu memerintahkan Eva untuk mengantar sampai ke gerbang. Mungkin orang tuanya takut jika Andra diculik nenek lampir yang terobsesi dengan pria tampan.

Eva berjalan dengan langkah gontainya mendahului Andra. Selama perjalanan menuju gerbang, tak ada satupun yang membuka pembicaraan. Hanya terdengar sayup-sayup suara binatang malam seperti jangkrik dan kawan-kawannya.

Andra menghentikan langkahnya. "Sampai sini saja, Va."

Eva menunjuk gerbang komplek yang sudah cukup dekat. "Tanggung loh, gerbangnya di sana."

Andra mengernyitkan dahinya. "Rumah kamu jauh loh, Va. Terlebih lagi ini sudah malam."

Eva menunjuk satpam yang sedang menonton televisi di posnya. "Ada pak satpam. Saya bisa teriak, suara saya cukup keras loh."

Eva menarik lengan Andra untuk melanjutkan perjalanan menuju gerbang komplek tersebut. Ia masih tak percaya sedang bersama pria saat ini, apalagi pria itu sangat tampan. Padahal sudah lebih dari 25 tahun ia menjaga jarak dengan pria mana pun.

Ia tiba-tiba teringat dengan kejadian hari ini. Ia masih tak menyangka kalau Andra menyimpan kontaknya dengan nama seperti itu. Tanpa sadar senyum yang cukup lebar terbit, hal itu cukup membuat pria di sampingnya bingung. Setelah sampai di gerbang, ia masih tak berhenti. Pikirannya masih berada di tempat lain.

"Sudah, Va."

Eva mengerjapkan kedua matanya. "Oh iya, saya ga lihat gerbangnya."

"Sebenarnya kamu ga perlu mengantar saya seperti ini," kata Andra lirih.

Eva tersenyum tipis. "Iya sih. Tapi ga masalah kok, saya jadi bisa jalan-jalan."

"Kenapa kamu mau menikah sama saya?" tanya Andra.

Eva terdiam sejenak, matanya terus menatap wajah datar Andra. "Karena kamu tampan."

"Selain itu?"

Eva tersenyum tipis, tangannya bergerak dengan sendirinya menyentuh bibir tebal pria dihadapannya.

"Aku suka—"

Andra tak ingin menyia-nyiakan moment seperti ini. Ia pun langsung mendaratkan bibirnya di atas bibir Eva. Tapi ia sama sekali tak melakukan sesuatu yang lebih dari itu. Ia langsung menjauhkan tubuhnya. Ia tersenyum tipis menatap wanita yang saat ini mematung di tempatnya.

"Eva," panggil Andra pelan.

Eva mengerjapkan matanya. "I—iya."

"Saya pamit," ucap Andra.

Eva mengangguk kaku, lalu menundukkan kepalanya. Andra menjadi gemas sendiri melihat tingkah wanita tersebut. Ia menolehkan kepalanya ke arah pos satpam. Nampak seorang pria paruh baya yang sudah memejamkan matanya.

Andra menyentuh pipi wanita itu dengan telapak tangannya. Hal itu membuat Eva langsung mengangkat kepalanya. Bertepatan dengan itu, ia kembali mendaratkan ciumannya pada wanita tersebut. Kali ini ia tak ingin terlalu cepat mengakhirinya. Ia memberikan sedikit lumatan yang membuat wanita itu melingkarkan kedua tangan di lehernya. Ia menarik pinggang ramping wanita itu agar semakin dekat dengannya. 

'Terima kasih, pak satpam,' batin Andra.

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SIMBIOSIS   94. Lamaran

    Eva memandang hasil lukisan pertamanya di atas kanvas yang ukurannya terbilang cukup besar tersebut. Ia sudah tiba di galeri sebelum matahari terbit, ia sengaja memilih tempat yang strategis agar Andra bisa melihatnya saat masuk. Walaupun membayar mahal untuk mendapat tempat itu, ia merelakan uangnya. Eva mengambil ponsel di sakunya, ia menghidupkan layar ponsel untuk melihat jam. Ternyata satu jam lagi pameran akan segera di buka. Eva segera menghubungi Robi yang belum juga datang. Selain itu, ia juga menghubungi Ina, Vira, dan Erfan yang ikut andil dalam menjalankan rencananya hari ini. Mereka sempat ragu, tapi saat melihat wajah Eva yang begitu semangat, akhirnya mereka mengalah."Gue udah di depan nih, Va!" kata Ina melalui pesan suara.Eva mendekatkan ponsel ke bibirnya. "Gue keluar ya. Jangan ke mana-mana."Setelah itu Eva langsung berlari keluar dari galeri. Benar saja, sosok Ina sudah ada di luar tengah menyandar di mobilnya. Ia melambaikan sebelah tanga

  • SIMBIOSIS   93. Seribu kupu-kupu

    Setelah perbincangannya dengan Eva, kini Robi merasa pikirannya sudah lebih ringan dari sebelumnya. Ia bisa tertawa lepas, bukan lagi tertawa yang seolah ditahan. Robi mengulurkan sebelah tangannya pada Eva."Mari kita berteman sekarang, Kak," kata Robi.Eva mengernyitkan dahinya, walau begitu ia tetap membalas uluran tangan tersebut. "Kak?"Robi mengangguk cepat. "Aku jauh lebih muda dari kamu loh.""Serius?" tanya Eva dengan terkejut.Robi mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebarnya. Eva tidak bisa lagi menahan senyumnya. Untuk pertama kalinya ada yang memanggilnya dengan sebutan seperti ini. Robi melirik jam yang melingkar di tangannya. Ternyata sudah lebih dari tiga jam ia berada di sana. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu."Kak, apa kamu sudah benar-benar melupakan Kak Andra?" tanya Robi."Saya—""Aku, Kak. Jangan pakai saya," kata Robi lagi. "Jangan terlalu formal."Eva tertawa, sebenarnya ia tidak pernah

  • SIMBIOSIS   92. Pengakuan

    "Gila aja lo, Ndra!"Andra hanya tertawa, ia menatap lurus ke arah Fadil. Ia sama sekali tidak memberitahukan Fadil kalau ia menghapus ceritanya karena ingin menghilang dari Eva. Ia merasa benar-benar sangat kecil saat mengetahui seberapa tidak berguna dirinya. Bahkan papanya sampai mengadopsi anak agar ada yang bisa meneruskan usahanya. Andra merebahkan tubuhnya di kasur, tidak peduli dengan Fadil yang melotot ke arahnya."Itu kan satu-satunya karya lo yang lagi booming," kata Fadil sambil mengacak rambutnya. Ia terlihat sangat frustasi.Andra hanya menjawabnya dengan dehaman pelan. Seandainya ia tidak datang kemarin, apa hidupnya akan tetap tenang seperti sebelumnya? Ia akan tetap seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Andra menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berharap kalau semua yang ia rasakan selama ini hanya mimpi. Sangat berat rasanya setiap mengingat apa yang terjadi saat ini. Bagaimana bisa orang yang merupakan adik tirinya itu berusaha untu

  • SIMBIOSIS   91. Rindu

    Andra memandangi layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Setibanya di rumah, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai, kedua lututnya seakan tak mampu untuk menopang tubuhnya. Andra memejamkan kedua matanya, kepalanya menyandar di tembok. Lagi-lagi kilasan tentang pertemuannya dengan papanya itu memasuki ingatannya. Ia meletakkan ponselnya di lantai, kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri. Seolah ia ingin menyingkirkan isi kepalanya yang berkaitan dengan papanya dan Robi.Flashback on."Kamu dengar papa kan, Ndra?" tanya Bambang.Andra tidak mampu mengeluarkan jawaban apa pun selain tertawa. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditertawakannya saat ini. Apakah ia tertawa karena Robi yang selama ini berusaha merebut Eva adalah adik tirinya? Atau karena ia baru tahu kalau papanya itu menganggapnya sebagai anak yang tidak bisa diandalkan?Andra menoleh ke arah Robi, pria itu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyalahkan Robi, karena setiap anak yang tin

  • SIMBIOSIS   90. Adik

    Andra tiba di depan kantor papanya setelah menempuh perjalanan lebih dari 40 menit. Perjalanannya ke kantor papanya itu memang tidak terlalu jauh, tapi kalau naik angkutan umum, tentu saja akan memakan waktu lama, terutama karena akses jalannya yang terbilang ramai. Ia mempercepat langkahnya, mencoba untuk mempersingkat waktu sebelum sesuatu yang besar itu dimulai. Bertepatan saat dirinya tiba di pintu utama, lift langsung tertutup. Andra mendecak pelan, mau tidak mau ia harus lewat tangga darurat agar tidak terlalu lama menunggu lift.Andra berlari, seolah ia sudah menghafal tinggi setiap anak tangga. Satu per satu lantai berhasil ia lewati. Kini ia sudah berada di lantai lima, tersisa lima lantai lagi untuk tiba di ruangan papanya. Cukup melelahkan hingga membuatnya harus berhenti sejenak untuk memulihkan staminanya.Tiga menit rasanya sudah cukup untuk membuat tenaganya pulih kembali. Ia segera melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga yang entah berapa ratus jumla

  • SIMBIOSIS   89. Sebuah kenyataan

    Robi semakin curiga saat melihat bab yang baru dikirim oleh penulis cerita berjudul Kupu-Kupu tersebut. Ia tersenyum miring, saat membaca kedatangan seorang tokoh baru bernama Roni. Mungkinkah itu dirinya? Jika dilihat dari profesinya yang merupakan pemilik restoran terkenal, itu pasti dirinya. Robi membaca bagian terbaru dari cerita itu dengan cermat tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sempat kesal saat digambarkan sebagai karakter yang seolah merebut istri orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, kekuasaan digenggam penuh oleh penulisnya. Ia bisa saja berkomentar, tapi itu tidak akan menghentikan penulis membuatnya menjadi karakter yang jahat."Andra atau Eva ya?" tanyanya pada diri sendiri.Robi melanjutkan kegiatannya. Untung saja saat ini tidak ada keluhan di restoran pusat atau pun cabang. Jadi ia bisa beristirahat di ruangannya dengan nyaman. Ia mengernyitkan dahinya saat tiba-tiba membaca bagian yang terasa tidak asing.Tokoh wanita itu mengalami hilang ingat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status