"Mutia, kita bicara sebentar, boleh?" tanyaku pada Mutia yang sedang menggantung pakaian kerjaku, malam-malam begini belum habis juga pekerjaannya. Tentu saja dia tidak pernah lagi mengeluh akan kelelahan yang dialaminya, meskipun setelah seharian penuh dia mengerjakan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya itu. Dapat kulihat saat ini Mutia begitu menikmati tugasnya sebagai ibu rumah tangga dan melayaniku sepenuh hatinya."Sebentar, ya, Mas. Aku selesaikan ini dulu." Dia menoleh lalu tersenyum.Sekitar sepuluh menit aku menunggu,akhirnya Mutia selesai dengan setumpuk pakaian itu."Mau bicara apa, Mas?" Dia duduk di atas ranjang di sampingku."Mas akan secepatnya melamar Maura. Kamu tidak keberatan bukan?" tanyaku. Aku mengamati setiap ekspresi yang muncul di wajah Mutia.Dia tidak langsung menjawabnya, hanya diam dan membisu, untuk beberapa saat tatapan itu nampak kosong."Ya, tentu saja, bukankah lebih cepat lebih baik, jangan menunda-nunda niat baik. Untuk waktu aku serahkan padam
Saat tiba di rumah Maura, jantungku berdegup kencang. Padahal ini bukan yang pertama kali, tapi tetap saja hal seperti ini membuatku berdebar. Kulihat Mutia yang berdiri tegap di sampingku. Dia benar-benar tegar, ah, Mutiaku, kau memang luar biasa.Keluarga Maura sudah menyambut di depan pintu, terlihat ibu dan ayah dari Maura menyambut kedatangan kami dengan ramah. Sangat berbeda saat dulu aku datang untuk menjemput atau mengantar Maura. Terlihat sekali kalau mereka tidak menyukaiku. Aku sempat bingung dengan keadaan ini, bagaimana bisa keadaan berubah seratus delapan puluh derajat. Bahkan aku berpikir orang tuaku akan menghabisiku saat mereka tahu menantu kesayangannya telah aku campakkan, tapi ternyata tidak. Mereka setuju dengan keinginanku."Selamat datang, mari silakan masuk." Calon ayah mertuaku mempesilakan kami masuk.Kami semua duduk di sofa yang telah disiapkan."Kedatangan kami ke sini, untuk melamar anak Bapak yang bernama Maura untuk anak kami yang bernama Putra, apakah
Waktu begitu cepat berlalu, hari ini adalah hari yang paling aku tunggu-tunggu, menikahi Maura merupakan satu impian yang saat ini sudah terwujud, kini kami sudah sah menjadi sepasang suami istri. Aku dan Maura berdiri di atas pelaminan, anehnya aku merasa kebahagian ini hanya milikku dan Maura saja. Tidak dengan keluarga kami. Ayah dan ibu mertuaku hanya menunjukan wajah datar, tidak seperti orang tua pada umumnya yang merasa terharu dan bangga ketika menikahkan anak gadis mereka. Seharusnya ayah dan ibu ikut berbahagia juga, karena ini adalah momen sakral untuk Maura, putri satu-satunya yang mereka miliki.Lalu saat aku mengalihkan pandangan pada kedua orang tua yang telah membesarkanku itu, semua tetap tak sesuai harapan. Ibu lebih banyak bersedih hari ini, sedangkan bapak hanya mampu menatap tajam ke arahku tanpa adanya garis senyum yang menghiasi bibirnya, beliau terlihat seperti sedang menahan amarah. Aku sungguh tidak mengerti dengan keadaan ini. Aku pikir mereka akan ikut bah
Acara tadi siang sungguh sangat melelahkan, membuat badanku terasa remuk. Termasuk hatiku yang tak karuan saat menyaksikan Mutia pergi bersama Aldiansyah. Mutia tidak pernah menatapku setajam itu, tatapannya selalu lembut, teduh dan menyejukan. Mutia juga tidak pernah berbicara sekeras itu padaku, bahkan saat aku mengatakan bahwa aku tak lagi mencintainya, dia tidak marah padaku, karena aku yakin Mutia sangat mencintaiku.'Semua gara-gara Aldiansyah si be**ngsek itu.' umpatku dalam hati.Bahkan setelah acara selesai, aku tidak lagi melihat Mutia di rumah Maura. Aku harus menemuinya dulu, jangan sampai mutia tergoda dan jatuh ke dalam pelukan pria modus itu. Aku yakin Aldiansyah bukanlah pria baik-baik. Lagi pula dari mana datangnya laki-laki itu, tiba-tiba saja datang di kehidupan Mutia.Maura masih di kamar mandi, aku berniat untuk menemui Mutia terlebih dahulu. Untuk menyelesaikan masalah tadi siang, aku tidak ingin dia salah paham dan membenciku.Baru saja aku melangkah hendak mera
Apa yang sedang kamu rasakan saat ini, Mutia?Benarkah tak ada rasa sesalmu telah bertahan dan membiarkanku membagi kasih?**********Aku masih di sini, duduk di dalam mobil dengan kaca terbuka, memandangi Mutia dari kejauhan. Aku tersenyum sendiri. Untuk apa aku melakukan ini, padahal Mutia adalah istriku, aku bisa menatapnya dari dekat sepuasnya, sebisa yang aku mau. Akhir-akhir ini aku merasa cintaku untuk Mutia tumbuh kembali. Jika ada yang bertanya sejak kapan, maka jawabanya sejak Mutia tidak lagi peduli padaku, sejak dia berhenti cerewet, berhenti membangunkanku, berhenti bertanya apa aku sudah makan. Aku merasa bahwa aku tidak bisa kehilangan dia. Aku butuh perhatiannya. Lalu dengan Maura? Dia tetap istri yang kusayangi, saat ini aku hanya sedang kecewa padanya. Aku benar-benar tak berkedip, kulihat mutia berganti posisi. Sebelah tangannya bertumpu pada pagar, sebelahnya lagi memegangi perutnya. Tubuhnya sedikit membungkuk, kulihat dia seperti sedang kesakitan.Aku keluar d
POV MutiaSaat pertama kali aku membuka mata, yang pertama kulihat hanyalah dinding yang berwarna putih. Pandanganku masih kabur dan membayang, kulirik keadaan sekitar hanya terlihat gorden berwarna hijau. Ahh, ya. Ternyata aku di rumah sakit. Pasti Mas Putra yang membawaku ke sini. Aku masih ingat saat berada dalam pelukannya aku kehilangan kesadaran.Aku pikir aku akan kuat menahannya, ternyata tubuh ini tidak bisa lagi di ajak kompromi. Aku terlalu lemah, atau mungkin penyakit ini sudah semakin tak terkendali. 'Pergi kamu dari sini, aku tidak sudi istriku di tangani olehmu. Masih banyak dokter yang lain 'kan?' Aku sangat tau itu suara Mas Putra. Kenapa dia berteriak seperti itu, dengan siapa pula dia berbicara.'Mutia pasienku. Dokter yang lain tidak akan mau menanganinya jika bukan aku yang menyuruhnya.' Kini suara itu berganti dengan suara tenang milik Aldiansyah. Arrgh, mereka memang selalu membuat keributan. Tidak bisakah mereka akur walau hanya sebentar, bahkan ini di rum
Kini badannya ambruk dalam dekapanku, Mutia kehilangan kesadarannya saat dalam pelukku.Aku meraung-raung memanggil namanya seperti orang kese tanan. Seumur hidupku, aku tidak pernah melihat istriku begitu terpuruk seperti ini. Apakah aku penyebabnya?*******Menyadari Mutia dalam keadaan tidak sadarkan diri, dengan cepat aku membopongnya, membawa Mutia ke rumah sakit terdekat.Perawat dengan gesit membawa Mutia masuk ke IGD. Salah satu dari mereka menahanku saat aku hendak mengikuti Mutia ke dalam ruangan."Maaf, Pak. Bapak tidak di izinkan masuk, silahkan lengkapi data diri pasien di bagian administrasi." Perawat muda itu menunjuk ke bagian depan."Baik, terimakasih, Sus."Aku pun segera menuju bagian yang di sebutkan perawat tadi. Karena aku tidak membawa kartu identitas Mutia, aku hanya memberikan keterangan secara lisan."Nama pasien Mutiara Andini sudah pernah terdaftar di sini, Pak. Beliau pasien dari Dokter Aldian Syahputra," ucapnya dengan lugas.'Mutia pernah berobat ke sin
Saat ini aku masih berada di parkiran, menimang kemana sebaiknya aku pergi.Bingung, harus menemui Maura yang sedang aku kurung atau pergi ke rumah Mutia terlebih dahulu. Kalau ke rumah Mutia terlebih dahulu, maka aku akan kemalaman sampai di rumah Maura. Kasihan juga dia, tadi aku meninggalkannya dalam keadaan emosi. Aku juga menguncinya di dalam kamar, takutnya dia lapar atau haus.Untuk mencari tau tentang surat tes lab Mutia yang di maksud Aldiansyah bisa besok-besok saja. Yang penting saat ini Mutia sudah di tangani dokter, besok juga pasti sudah sembuh, pikirku.Aku melajukan mobil ke arah rumah baruku dengan Maura dengan kecepatan empat puluh kilometer per jam. Jalanan lumayan sepi, ini sudah lewat tengah malam. Kulirik arloji menunjukan pukul dua belas lewat lima menit.Ada perasaan bersalah juga aku meninggalkannya begitu saja, meski tadi aku sempat kecewa harusnya ini bisa di bicarakan secara baik-baik. Benar kata Mutia, aku sendiri yang telah memilih Maura untuk kujadikan i