Kakiku rasanya gemetar. Aku tidak yakin bisa melompat dari jembatan. Tempat tinggi adalah kelemahan.
Di waktu yang tepat, seseorang menarikku menjauh dari jembatan. Ya, dia adalah lelaki yang sempat menuduhku.
"Aku sungguh minta maaf. Jangan sampai mengakhiri hidupmu hanya masalah seperti ini! Pikirkan ibumu!"
Aku hanya terdiam saat William menjauhiku dari jembatan. Bekas air mataku masih terlihat sangat jelas. Dia mengelap air mataku dengan jari ibunya.
"Maaf, aku sudah percaya pada penipu. Aku tidak ingin kehilanganmu. Jangan lakukan hal bodoh seperti tadi lagi," ujarnya seperti ingin menangis.
"Aku ... ingin kamu menelaah dari dua sisi, bukan hanya menyalahkan orang dari satu sisi saja," pintaku entah kenapa tidak berani menatap matanya, setelah melihatnya membentak tadi.
"Iya, seharusnya aku lakukan itu, tapi aku terlalu percaya dengan Ben sialan itu. Maaf, ya?" Dia sudah me
William dengan semangat mengajakku ke mall dengan pakaian pergi dan wangi dari bau parfum. Rambut dia sisir dengan rapi, bahkan juga memakai gel rambut.Aku tidak tahu tujuannya berdandan seperti itu untuk apa. Mungkin menebar pesona pada semua perempuan di mall."Ayo, kita langsung main," ajaknya langsung mengajak ke tempat mainan.Kita banyak bermain seperti menari di atas papan berpanah? Aku tidak tahu namanya apa. Jarang sekali pergi ke mall. Sekalinya ke mall, tidak pernah bermain seperti ini.Lalu, bermain basket. Bersaing mendapatkan nilai tertinggi. Dia menang dan aku kalah.Setelah itu, kita bermain tembak-tembakan. Karena ini bukan keahlianku, aku mati dengan cepat. Sambil menunggunya selesai, kuperhatikan dia dengan serius.Dia membuatku tersadar, ketika menodongkan pistol mainan ke arahku. "Angkat tanganmu!"Kuikuti perkataannya dengan wajah
Hari ini, aku berangkat sekolah sendiri, karena William mulai kembali ke rumahnya, sekaligus membantu urusan keluarganya.Hari kedua setelah menjadi pacarnya, harus pergi sendirian. Tidak masalah, keluarga nomor satu. Aku juga bukan anak manja.Di kelas masih sepi, walaupun ada beberapa murid yang sudah datang. Menunggu sampai bel masuk, aku menyibukkan tangan untuk menggambar."Halo, Zoe Veronica." Dia temannya William, Sammy Parker. "Bagaimana liburanmu? Akhir-akhir ini kamu sering muncul ditelevisi bersama William. Semakin dekat saja kalian," godanya."Ja-jangan begitu." Tidak ada bedanya dengan William."Hey, kamu kenapa tidak bergabung saja dengan klub gambar?" Sepertinya dia memperhatikan gambarku. "Gambarmu bagus. Gambar perempuan yang sedang tiduran?"Aku tersadar saat Sam mengatakan itu. Kenapa ya, saat aku menggambar, aku seperti tidak sadar?"Hey Sam, apa kamu sudah mengerjakan tugas fisika?" tanya Noah yang baru masuk kelas, dia
Kenapa ranjangku terasa keras sekali? Huh? Ini ... jalan raya! Sepi sekali dan ada kabut di sekitar. Sepertinya aku berada di mimpi.Kulihat sesuatu di depan. Tempat karaoke yang kudatangi bersama Karen. Pasti ada kasus pembunuhan di sini, itulah mengapa aku bisa ada di sini dan gambarnya! Ah sial, kenapa baru sadar sekarang?Kumasuki tempat itu dengan perlahan. Sepi. Tidak adakah petunjuk yang kudapatkan?Resepsionis ini tempat Annie. Tidak banyak yang kutemukan selain buku pelanggan. Banyak sekali nama laki-laki di sini. Ada juga nama perempuan, hanya beberapa saja.Ada namaku juga di sini, bukan bersama Karen tapi William. Aneh. Seharusnya, kemarin itu hari Senin, kenapa di sini hari Selasa?Kuperiksa juga bagian laci besar di bawah. Tidak mungkin jika hanya itu saja. Setelah ini selesai, akan kuperiksa seluruh ruangan. Tidak peduli, jika aku
Anthony sudah mengunci tubuhku di sofa, supaya tidak bisa pergi ke mana-mana. Tubuhnya berat. Aku bisa merasakan napasnya yang mulai mendekat ke kulitku."Kemarin kamu dengan cepat pergi dari sini, tapi sekarang kamu datang berdua bersama William. Apa kalian ingin melakukan hal buruk? Aku bisa membocorkan hal ini pada murid sekolah." Dia mengancamku."Kamu salah paham! Aku ke sini bukan untuk itu, tapi ada seseorang yang membutuhkan bantuan," belaku."Ya ... aku sempat dengar perbincanganmu dengan Annie tadi. Menyuruh para pekerja ayahku untuk keluar? Aku sudah melaporkan hal itu padanya."A-ayah? "Jangan bilang, Kenny Lopez adalah ayahmu?" Ini sungguh mengejutkan. Rencana harus segara diganti.Dia tersenyum licik. "Perkenalkan, aku Anthony Lopez," ujarnya memperkenalkan diri lagi. Dia mulai menggigit pelan leherku tanpa bersalah."Mi-minggir ...," pintaku lemah.
Karena kejadian kemarin, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Rasanya seperti dihantui oleh tangan Anthony yang tiba-tiba meraba tubuhku."Tidur saja dulu. Aku bangunkan kalau guru sejarah sudah datang," suruh William sambil mengelus kepalaku.Lihat saja, jika dia tidak membangunkanku, aku akan diamkan dia selamanya. Dia pernah seperti itu, sampai aku dihukum mengerjakan piket sendirian. Ya ... itu sudah sangat lama, saat kita belum menjadi rekan.Samar-samar aku melihat ada tubuh yang tergeletak di dalam ... sebuah ruangan ... ganti baju, dengan- Astaga ... punggungnya tertancap sepatu skating.Aku tidak bisa melihat wajahnya. Jasad itu telungkup dan menghadap ke arah dinding. Tapi aku yakin, kalau jasad itu perempuan.Apa yang bisa kubantu? Aku tidak bisa bergerak di sini.Tunggu, siapa itu? Lelaki? Dia mendekat pada jasad itu dengan keadaan panik, sambil memanggil-manggil nam
Mumpung aku berada di ruang ganti, aku ingin melihat isi tas Gladys, hanya sebentar. Tidak ada salahnya untuk mencari kebenaran, 'kan? Daripada menuduh?Alat dandan, handuk, dompet, ponsel, buku diari? Mari kita lihat. Iri yang mendalam. Sangat mendalam.Kufoto semua isi curhatannya.Besok, sebelum pertunjukan dimulai, Gladys akan melakukan pembunuhan."Tertulis pada hari Minggu. Aku benci melihat Melissa yang selalu mendapatkan pujian dari pelatih, sedangkan aku selalu dimarahi oleh pelatih. Tidak hanya itu saja, Melissa selalu bermesraan dengan pacarnya di depan mataku! Aku bunuh saja dia besok, sebelum lomba dimulai.""Itu isi dari diarinya?" tanya William melalui panggilan video dilaptop. Dia tertawa sambil menggelengkan kepala."Begitulah," balasku sambil membaca hasil foto diari Gladys. "Kalau aku iri melihatmu dengan perempuan lain, aku akan melakukan itu," usilku membuat
Aku menceritakan semua kejadian kemarin pada Vinny sambil memakai sepatu.Semenjak Vinny satu sekolah denganku, kami sering berangkat sekolah bersama, kecuali pulang. William mengerti akan hal ini."Bu, kami berangkat," ijinku sambil membuka pintu."Tunggu." Ibu mendekat dengan wajah sedih. "Zoe, teman Ibu baru saja telpon. Dia ... meminta bantuanmu untuk mencari anaknya yang hilang ... "Hilang? Ada penculikan lagikah?"Katanya, anaknya kemarin bermain bersama teman-temannya, tapi sampai sekarang belum pulang. Tapi, teman-temannya sudah pulang kemarin malam," lanjut ibu."Ibu berikan saja alamat rumah teman Ibu. Nanti aku dan William akan mengunjungi rumahnya," pintaku. "Kami berangkat," ijinku sekali lagi."Hati-hati di jalan!" teriak ibu khawatir.Sampai di sekolah, aku berpisah dengan Vinny karena kelas kami berbeda pastinya. Tapi saat ke kela
Aku terlalu banyak menghela napas di meja belajar. Entah kenapa hatiku menjadi tidak karuan saat bersama William. Tidak, jantung normal, tapi hati risih.Tidak ada salahnya murid populer berpacaran dengan murid yang biasa saja, 'kan? Apalagi bersama gadis indigo sepertiku.Diperjalanan ke rumah Teddy dan pulang tadi, kami tidak berbicara sama sekali.Dia sempat menahanku sebelum masuk rumah dan bertanya kenapa. Aku jawab saja sedang pusing dan tidak enak badan.Apakah ini ujian untuk orang yang berpacaran?Kusibukkan saja tanganku dengan pensil dan jurnal. Menenangkan pikiranku dengan menggambar itu cukup bagus untukku. Mungkin saja aku dapat pencerahan.Kenapa? Kenapa tidak ada perasaan ingin menggambar? Biasanya aku menggambar tanpa sadar.Kutaruh kembali jurnal dan pensil, lalu menjatuhkan diri ke ranjang. "Aku ini kenapa? Saat jantungku berdisko di dekat Will