PLAKKK! Sebuah tamparan menebas pipi laki-laki yang baru saja memukul Adam.
"Kamu itu yang mampus!" teriak Jiya setelah menampar pipi laki-laki itu sekuat tenaga."Ternyata selama ini kamu juga jalang," ujar laki-laki itu sambil menarik kemeja Jiya hingga membuat beberapa kancing kemejanya terlepas.
Jiya pun tersenyum sinis. "Apa yang ingin kamu lakukan? Apa orang tua Sherin belum berbicara pada paman dan bibi?"
"Mereka tetap ingin aku menikah dengan kamu. Dan aku harus menikah dengan kamu," tegasnya.
Jiya pun tersenyum menghina, "Aku … menikah dengan kamu yang sudah selingkuh di depan mataku? Otakmu itu ada di mana?"
"Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan dengan laki-laki sial ini?" ucap laki-laki itu seolah mengintrogasi.
Jiya pun menggeleng pelan. "Ck-ck-ck," Ia berdecak remeh. "Mas Hendra … Mas Hendra, kamu tidak lihat aku sedang membuatkan kopi untuk Mas Adam. Dan dia ini calon penyewa rumah ini, jadi di mana yang salah?"
Hendra pun terdiam dan langsung melirik ke arah Adam. "Aku tidak mau tahu, pernikahan kita satu bulan lagi akan tetap terjadi. Jika tidak …"
"Apa?" sahut Jiya dengan berani.
"Lihat saja nanti," ancam Hendra sambil menunjuk wajah Jiya disertai tatapan tajamnya.
Lalu Hendra pun keluar begitu saja dari rumah tersebut.Setelah itu Jiya pun langsung menoleh dan menatap Adam yang masih berdiri sambil memegangi pipinya.
"Sakit Mas?" tanyanya.
"Sa—" Belum selesai Adam menjawab tiba-tiba Jiya berlari begitu saja meninggalkan rumah tersebut.
Adam pun terkejut melihat sikap Jiya tersebut. "Gadis aneh itu kemana lagi," gumamnya.Dan beberapa menit kemudian, Jiya pun kembali dengan sebuah es batu dan handuk kecil di tangannya. "Tunggu sebentar aku kompreskan," ujarnya lalu pergi ke dapur dan menyiapkan kompres tersebut.
"Kamu sepertinya sangat terbiasa dengan hal ini?" tanya Adam saat Jiya kembali ke ruang tamu.
"Ibuk yang dulu suka mengompres aku begini jika aku pulang berantem," sahut Jiya dengan santai sambil duduk di dekat Adam.
"Mas, maaf ya kamu yang tidak tahu apa-apa jadi kena pukul seperti ini," ucap Jiya sambil mengompres sudut bibir Adam yang memerah dengan hati-hati.
"Ya," sahut Adam singkat,
Tiba-tiba Jiya terpaku saat menatap wajah Adam.
'Laki-laki ini memang ganteng,' batinnya sambil menatap bibir tipis Adam dengan hidung mancung dan mata hitam tajam bak elang membuat Jiya lupa berkedip untuk sesaat, di tambah dengan rahang tegas yang dihiasi jambang rapi sungguh membuat darah Jiya tiba-tiba berdesir dan sontak membuat wajahnya memerah."Belum selesai melihatnya," ucap Adam yang langsung membuyarkan lamunan Jiya.
Jiya yang terkejut dan langsung mengalihkan pandangannya, ia pun dengan cepat meletakkan handuk di tangannya ke dalam wadah kompres. "Kamu kompres saja sendiri," ujarnya yang sudah salah tingkah.
"Dasar aneh," celetuk Adam lalu mengambil kompres tersebut.
"Hei jangan mengatakan hal seperti itu, aku tidak aneh," sahut Jiya lalu mengambil kopi miliknya.
Tapi Adam tak menjawab perkataan Jiya tersebut dan memilih mengomentari hal lain. "Oh ya aku hanya ingin kamu tahu, aku ini laki-laki normal," ujarnya santai.
Jiya pun terkejut sekaligus bingung mendengar perkataan tersebut. Ia pun langsung menatap laki-laki di sampingnya itu sambil mengernyitkan dahinya.
Dan Adam pun menanggapi tatapan Jiya tersebut dengan matanya yang turun ke bawah. Ia menatap tepat ke bagian kancing kemeja Jiya yang lepas akibat insiden tadi.
Jiya pun langsung mengarahkan pandangannya ke bawah, matanya terbelalak saat melihat kedua bukit yang ber-cup C miliknya terlihat mengintip di sana.
"Isssh," desisnya lalu dengan cepat menutup pakaiannya dengan rapat."Tenang saja, aku juga tidak tertarik melihatnya," tandas Adam lalu dengan santai menyeruput kopi buatan Jiya.
Jiya pun langsung memberikan ekspresi aneh di wajahnya. 'Dia pasti aslinya nggak normal,' gerutu Jiya di dalam hati.
"Baiklah-baiklah terserah kamu, aku juga nggak tertarik dengan laki-laki model batu marmer seperti kamu."'Batu marmer,' batin Adam yang merasa geli dengan sebutan yang disematkan untuknya itu.
"Oh iya lalu bagaimana, kamu suka dengan rumah ini atau tidak?" tanya Jiya dengan ketus.
"Suka," sahut Adam dengan santai lalu menyesap kopinya lagi.
"Terus barang-barang kamu?"
Adam pun meletakkan gelas kopi tersebut ke tatakannya. "Barangku ada di tas," sahutnya sambil menunjuk ke arah tas punggungnya yang saat ini ada di lantai.
Jiya pun mengernyitkan keningnya saat melihat tas punggung tersebut. 'Bukannya dia orang kaya, kenapa dia tidak membawa koper?' pikirnya.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Adam yang juga penasaran dengan apa yang sedang dipikirkan oleh gadis di depannya itu.
"Tidak, aku hanya penasaran kenapa orang kaya seperti kamu ingin menyewa rumah ini. Kenapa tidak tinggal saja di hotel," jawabnya dengan santai. "Tapi sudahlah itu juga bukan urusanku, yang penting kamu tidak aneh-aneh di sini." imbuh Jiya yang kemudian meninggalkan rumah itu begitu saja sambil terus memegangi kemejanya.
Adam pun kembali mengangkat gelas kopinya dengan santai. "Dasar gadis aneh," gumamnya sebelum menyeruput kopi itu lagi.
Setelah itu Adam pun dengan santai menghabiskan kopi ditangannya, lalu segera memilih salah satu kamar untuk tempatnya istirahat hari itu.
*
Malam harinya.
Tok! Tok! Tok! Pintu rumah tersebut diketuk.
"Ya, tunggu sebentar," sahut Adam lalu dengan cepat memakai kaos dan membuka pintu rumah tersebut.
Dan ketika pintu tersebut dibuka terlihatlah seorang gadis yang sedang berdiri di depan pintu rumah tesebut.
"Tingginya," gumam gadis itu sambil menatap Adam dari bawah hingga atas.
Adam pun mengernyitkan dahinya ketika gadis dengan pakaian ketat di hadapannya itu memandangi dirinya seperti sebuah patung. "Siapa kamu?" tanya Adam dengan dingin.
Gadis itu pun tersentak. "Ah maaf-maaf, perkenalkan aku Sherin keponakannya Pak Ghofur," ujarnya ramah sambil mengulurkan tangan.
Adam pun menatap tangan Sherin dengan acuh. 'Oh pantas sepertinya aku pernah melihat gadis ini, ternyata dia yang ada di ponselnya gadis aneh,' batin Adam.
Karena sadar jabat tangannya tak diterima, Sherin pun menarik kembali tangannya. "Emm, maaf kalau aku lancang. Aku ke sini—"
"Iya kamu memang lancang," sahut gadis lain yang baru saja tiba di tempat itu.
Sherin pun langsung menoleh. "Jiya," gumamnya.
"Kenapa, kaget?" sungut Jiya.
"Tidak, aku hanya—"
Jiya pun langsung menyahut. "Hanya apa? Hanya ingin menggoda atau hanya ingin menawarkan jasa?"
Mendengar ucapan Jiya, Sherin pun langsung terisak dan mulai mengiba. "Aku tahu kita punya salah paham Mbak tapi kamu jangan memfitnah aku di depan orang lain. Dia itu orang baru, apa kamu sengaja membuat namaku buruk di matanya?"
Jiya pun menggeleng perlahan mendengar perkataan sepupunya itu. "Sudahlah kamu diam, aku bosan meladeni tingkahmu. Sana pergi ke rumah ayah, Mas Hendra ada di sana," usirnya.
Lalu Sherin pun kembali menyahut, "Mbak kamu tega, aku tidak ada apa-apa dengan Mas Hendra," kemudian ia menatap ke arah Adam. "Mas kamu jangan percaya pada Mbak Jiya, semua ini—"
"Husssst!" Jiya menyela. "Laki-laki ganteng, tinggi, brewok ini sudah melihat foto kamu. Jadi nggak usah membuat drama di sini, atau kamu ingin mencoba merubah drama menjadi tragedi?" tanya Jiya dengan ancaman yang tersirat di dalamnya.
Sherin pun mundur beberapa langkah ketika melihat senyum menyeringai yang menyertai ancaman Jiya tersebut.
"Kamu mau pergi atau ..." Jiya menggantung kalimatnya sambil memainkan gunting yang ada di tangannya dengan santai.
Dan seperti yang seharusnya, Sherin pun berbalik dan segera melangkah pergi tapi tiba-tiba ...
BRUGHHH!
"Ahhh! Sialan!" ucap Sherin ketika seseorang menabraknya hingga terjatuh.
"Aduhh!" teriak anak itu bersamaan.
Lalu Sherin pun segera bangun dan memaki, "Hei anak setan! Kenapa malam-malam keluyuran, minggir!" ucapnya sambil menendang kaki anak tersebut dengan kesal.
Anak itu pun meringis menahan sakit akibat tendangan Sherin.
Jiya yang melihat hal itu, ia pun segera mengangkat tubuh anak laki-laki tersebut. "Kamu tuh yang setan! Main nendang anak kecil seenaknya, pergi nggak!"—ia mengambil batu bata di dekatnya—"Kalau nggak pergi aku sambit!" teriaknya sambil benar-benar melempar batu bata tersebut ke arah Sherin.
Lalu ...
"Tuan Muda, Anda tidak apa-apa?" tanya seseorang yang muncul setelahnya.
Kemudian anak yang ada di gendongan Jiya pun berteriak, "Dasar bodoh! Aku hampir mati!"
'Whatttt!' batin Jiya sambil menatap aneh ke arah anak yang digendongnya itu.
"Maafkan saya Tuan Muda," sahut orang tersebut sambil membungkukkan badannya."Orang nggak berguna!" teriak anak itu dengan gaya tengil.'Duh anak siapa ini, kok bisa begini bentukannya,' batin Jiya yang merasa heran melihat tingkah super anak tersebut.Sesaat kemudian …."Turunkan dia," ucap Adam yang entah sejak kapan sudah ada di belakang Jiya.Jiya pun langsung menoleh dan segera menurunkan anak laki-laki tersebut."Siapa yang mengajarimu seperti itu?" tanya Adam sambil menatap tajam ke arah anak tersebut.Anak itu pun menunduk tapi wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah."Katakan!" bentak Adam.
"Tidakkkkk!" teriak Bumi sambil mengacak-ngacak rambutnya. "Tidak mungkin, aku ini juara catur kenapa bisa kalah," ucap anak laki-laki itu sambil menatap papan catur di hadapannya dengan rasa tak terima.Jiya pun tersenyum santai. "Bagaimana? Aku sudah mengalahkanmu tiga kali," ucapnya dengan tenang.Bumi pun langsung menunjuk wajah Jiya. "Kamu pasti curang," tukas Bumi, menolak kekalahannya.Jiya pun menyenderkan tubuhnya di kursi yang ia duduki. "Katanya laki-laki dewasa … laki-laki kok mewek," ejek Jiya seperti anak kecil."Aku nggak nangis!" serunya sambil turun dari kursi yang didudukinya.Jiya pun menatap Bumi dengan remeh. "Kalau begitu buktikan. Laki-laki itu kalau punya janji harus ditepati," sahutnya sambil bersikap sok malas menghadapi B
Akhirnya Bumi pun pergi mencari toko penjual es krim bersama anak-anak itu."Ke mana mereka?" tanya Adam sambil terus menatap ke arah anak-anak kecil tersebut."Mencari toko," jawab Jiya dengan santai."Mencari toko, apa maksud kamu?" tanya Adam."Ya mencari toko," sahut Jiyamasih dengan nada santai."Bukannya tadi ada toko.""Ada, tapi jam segini toko yang menjual es krim jarang yang sudah buka," terang Jiya.Adam pun bergumam menanggapi hal tersebut."Mana," ucap Jiya sambil menengadahkan tangannya di depan Adam.Adam pun mengernyitkan keningnya melihat tangan Jiya. "Apa?" tanyanya."Ganti uangku," jawab Jiya singkat.Adam menghela napasnya saat melihat hal itu, ia pun segera mengeluarkan dompetnya. "Ini," ucapny
"A-a-aku …" Jiya kebingungan harus menjawab apa. Adam pun memejamkan matanya. "Ehem," dehemnya, "sudah aku tidak ingin mendengar omong kosong lagi. Apa yang terjadi?" tanyanya sambil menatap ke arah Jiya. Kemudian Lina pun langsung menyahut, "Ini Pak, saya Lina. Saya salah satu temannya Jiya, saya ingin melamar menjadi pengasuh untuk anak Bapak." Adam pun langsung menatap ke arah Lina. "Jadi kamu?" "Iya Pak, saya," sahut Lina sambil tersenyum manis pada Adam. 'Apa orang seperti ini bisa menangani Bumi,' pikir Adam sambil menatap ke arah Lina beberapa saat. "Ya baiklah kamu ikuti saja bagaimana perkataan Jiya," ucap Adam dengan tatapan dingin menyertai kalimatnya. "Baik Pak," sahut Lina dengan lembut. Lalu Adam kembali menatap ke arah Jiya yang masih sibuk menggoda Bumi kecil. "Kamu," panggilnya.
"Ini …" Ia kemudian dengan cepat menutupi hidungnya dengan kain lap yang dipegangnya saat bau dari benda tersebut menusuk hidungnya.'Siapa yang bikin gara-gara begini,' batinnya sambil mengambil sapu dan pengki lalu membawa kotak tersebut keluar dari toko."Kamu mau bawa kemana?" tanya Dila yang baru selesai memuntahkan sarapan paginya."Kedepan," sahut Jiya sambil berjalan dengan cepat."Jangan. Bawa kebelakang saja," ujar Dila sambil menunjuk ke arah tempat pembakaran sampah yang ada di samping rumahnya.Jiya pun langsung berbalik dan pergi ke tempat yang ditunjuk oleh Dila."Sialan," ujarnya sambil melemparkan benda tersebut ke dalam tempat membakar sampah.Tak lama kemudian Dila pun menyusul ke tempat itu. "Bagaimana?" tanyanya
"Tenanglah Lin, katakan ada apa?" tanya Jiya sambil membawa gadis yang baru saja memeluknya itu sedikit menjauh.Lina pun menatap Jiya dengan sendu. "Aku hampir dibawa ke kantor polisi," ujarnya."Kantor polisi?" Jiya bertanya sambil menatap Lina dengan heran dan sedikit bingung.Dan sebelum Lina menjawab tiba-tiba seorang anak mendekati mereka berdua. "Bu, ada yang bertengkar," ujar anak itu sambil menarik baju Jiya.Jiya pun langsung menoleh dan melihat ke arah anak tersebut. "Bertengkar?"Anak itu pun langsung menunjuk ke arah tempatnya mengajar tadi."Hei, stop!" teriaknya sambil berlari ke tempat itu dan melerai."Bu, anak ini nakal," ujar salah satu anak yang bertengkar.
"Kamu ….""Aku kenapa," tukas Bumi dengan gaya tengilnya. "Lagi pula selera kamu rendah sekali, memangnya kamu mau ditemani orang yang berdandan seperti itu sepanjang hari?"Jiya pun menelan ludahnya mendengar perkataan anak laki-laki tengil tersebut. 'Benar juga, dia memang agak … memang cukup menor sih,' batin Jiya yang membenarkan hal tersebut sambil menatap ke arah Lina dan mengamati dandanannya."Tapi apa pun alasannya, memfitnah orang itu tidak dibenarkan," ucapnya mencoba menasehati Bumi kecil.Bumi pun langsung menyahut, "Memangnya siapa yang memfitnah?"Jiya pun mengernyitkan keningnya."Aku tadi hanya mengambil barang di mini market, lalu orang mini market bertanya di mana orang tuaku. Karena dia yang bertanggung jawab menemaniku, m
Jiya pun keluar dari ruangan tersebut diikuti oleh orang-orang yang ada di ruangan tersebut."Kenapa?" tanya Jiya pada Bumi yang kini berdiri tidak jauh dari pintu masuk ruangan tersebut."Itu," ujar Bumi sambil menunjuk ke arah tempat parkir.Jiya dan semua orang pun langsung menatap ke arah parkiran dan melihat beberapa orang berlari menjauh dari tempat itu."Berhenti!" teriak Jiya sambil berlari ke arah orang tersebut.Tapi saat Jiya baru beberapa langkah, orang itu sudah lebih dulu kabur bersama temannya yang telah menunggu tidak jauh dari tempat parkir."Sial!" teriak Jiya kesal."Sudahlah, mereka sudah kabur," ujar teman Jiya yan