"Sudah hentikan, aku mengerti," sahut Adam yang sudah bisa membayangkan apa yang Bumi lakukan.
"Terima kasih Tuan," sahut Barak dengan suara lega.
"Lalu kalian sekarang ada di mana?" tanya Adam sambil menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan malam.
"Kami baru saja masuk kota Surabaya," jawab Barak dengan cepat.
"Apa kalian hanya berdua?"
"Iya Tuan," sahut Barak dengan cepat.
"Huff," Adam menghela napas panjang. "Kalian cari tempat menginap dulu, besok pagi baru melanjutkan perjalanan lagi," sambungnya.
"Baik Tuan," sahut Barak dengan tenang.
Lalu Adam pun mematikan panggilan tersebut dan meletakkan ponselnya di atas meja dengan kasar.
"Anak itu selalu membuat masalah, mirip dengan ibunya," keluh Adam sambil memijat-mijat keningnya.**
Keesokan harinya.
Seperti yang direncanakan, setelah makan siang Adam pun pergi ke rumah Pak Ghofur. Ia menggunakan motor sport sambil menggendong tas ransel di punggungnya.
Dan ketika sampai di halaman rumah tersebut, Adam pun dengan cepat melepas helm dan turun dengan santai dari motornya tersebut. Tiba-tiba …
"Awas!" teriak seseorang.
Lalu Adam pun refleks, ia langsung menjauh dari tempatnya berdiri saat ini.
"Mangga," gumamnya ketika melihat beberapa buah mangga jatuh di tempatnya berdiri tadi. Adam pun langsung menatap pohon mangga yang memang ada di sana."Kamu yang di bawah gak papa kan?"
Adam pun langsung kembali ke tempatnya tadi untuk mencari asal suara tersebut. "Ternyata kamu," ucap Adam ketika melihat seorang gadis yang sedang duduk di cabang pohon mangga tersebut.
"Kamu kenapa ke sini?" tanya gadis yang ada di atas cabang tersebut.
"Aku—" Kalimat adam pun terhenti ketika ada suara lain yang memanggilnya.
"Nak Adam," panggil seorang wanita paruh baya sambil menatap Adam dari teras rumah.
"Iya Bu," sahut Adam dengan sopan lalu berjalan ke arah wanita tersebut.
"Bagaimana keadaan Ibu?" tanya Adam dengan sopan.
"Alhamdulillah Nak, Ibuk sudah sehat. Terima kasih ya atas bantuannya semalam," jawab Bu Mutia dengan hangat. "Ayo silahkan duduk," imbuhnya sambil menarik kursi yang ada di teras rumah tersebut.
"Iya Bu," sahut Adam lalu melepas sepatunya dan naik ke teras rumah tersebut.
"Maaf ya Nak, Bapak belum pulang," ucap Bu Mutia dengan sebuah senyum ramah di wajahnya.
"Tidak apa-apa Bu saya mengerti, lagi pula duduk di sini sangat menyenangkan dan hawanya juga segar," sahut Adam yang mengerti kecanggungan wanita paruh baya itu karena tak mempersilahkan dirinya masuk ke dalam rumah.
Setelah mendengar jawaban Adam tersebut Ibu Mutia pun bernapas lega, tapi tiba-tiba ...
BUGHHHH! AHHH!
Lalu Bu Mutia dan Adam langsung menatap ke asal suara tersebut.
"JIYAAA!" teriak Bu Mutia dengan volume level 5 dan mata yang melotot menyertai teriakan tersebut.
"Ah Ibuk," sahut Jiya pelan sambil meringis ke arah ibunya.
"Ya Allah Ji, kamu itu abis ngapain?" tanya Bu Mutia yang sangat kesal melihat tingkah anak gadisnya yang suka sembarangan itu.
"Metik mangga Bu, kan eman(sayang) kalau dimakan codot," sahut Jiya sambil terus tersenyum manis ke arah ibunya.
"Mandi sana, setelah itu antarkan Nak Adam," perintah Bu Mutia seperti sedang memerintah anak kecil.
Jiya tak menyahut lagi, ia pun segera berdiri dan berjalan lewat samping rumah sambil menepuk-nepuk bajunya yang kotor.
Sedangkan Bu Mutia segera duduk di salah satu kursi yang ada di dekat Adam sambil memijat keningnya. "Aku nggak habis pikir, kalau dia saja begitu bagaimana dengan murid-muridnya," gumamnya.
"Anak ibu itu guru?" tanya Adam yang merasa aneh dengan apa yang ia dengar.
Bu Mutia pun menatap ke arah Adam. "Bukan guru sekolahan. Dia itu katanya jadi relawan bersama teman-temannya, tapi Ibuk sendiri juga tidak mengerti hal-hal seperti itu," jawabnya.
"Hemmm," gumam Adam.
"Tapi ibu itu pusing melihat tingkahnya sudah umur 21 tahun masih saja begitu, kapan anak itu bisa bertingkah seperti gadis lainnya," gerutu Bu Mutia lalu menghela napas dalam. "Tapi untung saja dia sudah gak pernah ikut tawuran lagi," sambungnya.
"Tawuran?" tanya Adam sambil mengernyitkan dahinya.
"Iya, dia dulu suka ikut tawuran. Bahkan beberapa waktu lalu dia melamar kerja jadi satpam, tapi untung akhirnya dia bekerja sama dengan temannya membuka toko roti."
'Tawuran, satpam kemudian menjadi pembuat roti ... pantas saja tingkahnya seperti itu,' pikir Adam sambil mengingat kejadian saat Jiya mengusir calon suaminya semalam.
Setelah itu Bu Mutia pun menceritakan semua tingkah anak gadisnya yang membuat dirinya sering sakit kepala, dan juga beberapa hal yang membuat gadis tomboi itu begitu disayang oleh keluarga dan orang di sekitarnya. Hingga ...
"Kalau mungkin ada teman, kenalan atau siapa pun yang mencari jodoh, tolong—"
"Kalian sedang membicarakan apa?" tanya Jiya sambil keluar dari dalam rumah dengan tangan yang sedang sibuk mengikat rambutnya.
"Membicarakan kamu," sahut Bu Mutia dengan cepat.
"Aku?" sahut Jiya.
"Iya, Ibuk mau minta tolong pada Nak Adam untuk mencarikan jodoh untuk kamu," tandas Bu Mutia dengan cepat.
Jiya pun langsung duduk di dekat ibunya. "Ibu apa-apaan sih, Mas Hendra yang tentara aja mlenyo(tidak setia) apa lagi yang pengusaha seperti dia," ucap Jiya sambil menunjuk Adam.
"Ehem," dehem Adam.
"Eh," ujar Jiya yang kaget dan langsung menarik jarinya.
"Orang setia atau tidak, semua itu bukan karena pekerjaannya tapi karena orangnya," ucap Bu Mutia dengan tenang. "Benarkan Nak Adam?" Mengalihkan pertanyaan itu pada Adam.
Adam pun langsung menyahut, "Benar."
Jiya pun menggeleng-gelengkankan kepalanya mendengar hal tersebut. "Baiklah, sekarang aku harus mengantarkan Mas Adam kemana?" tanyanya.
"Antarkan ke rumah kamu," sahut Bu Mutia dengan cepat.
"Rumahku?" tanya Jiya heran lalu menatap ke arah Adam. "Jadi kau orang yang mau menyewa rumah itu?"
"Iya," sahut Adam.
"Kenapa?"
Bu Mutia pun menyahut, "Sudah, kalian ngobrolnya di jalan saja, ibu mau ke belakang dulu."
Shassy pun menatap dengan aneh ke arah ibunya yang terburu-buru masuk ke dalam rumah. 'Ibu pasti sengaja mau menjodohkanku lagi,' batinnya.
Setelah itu mereka pun berangkat ke rumah yang ingin disewa oleh Adam tersebut dengan berjalan kaki sambil mengobrol santai di sepanjang jalan. Hingga beberapa menit kemudian, mereka pun sampai di rumah tersebut.
"Ini Mas rumahnya," ucap Jiya sambil membuka pintu rumah itu, setelah itu ia pun langsung duduk santai di sofa rumah tersebut.
"Bagus," gumam Adam sambil mengecek isi rumah tersebut, hingga akhirnya ia masuk ke bagian dapur. "Siapa yang tinggal di sini?" tanyanya.
"Ya Allah lupa," sahut Jiya lalu bergegas ke dapur rumah itu.
Adam pun terkejut melihat Jiya yang berlari ke ruangan itu.
"Maaf Mas, bekas mie dan kopi itu milikku, tadi pagi aku membuatnya dan lupa belum membersihkannya," ucap Jiya dengan sedikit rasa bersalah. "Kamu duduk di sofa saja, aku akan membersihkannya dan membuatkan kopi untuk kamu ya ..." bujuk Jiya dengan sebuah senyum manis di wajahnya.
"Ya," sahut Adam sambil menghela napas panjang lalu meninggalkan ruangan tersebut.
Dan beberapa menit kemudian, Jiya pun keluar dari dapur sambil membawa dua gelas kopi di tangannya.
"Kamu sering di rumah ini?" tanya Adam sambil menatap Jiya yang meletakkan kopi di hadapannya.
"Aku kalau malam memang tidur di sini," sahut Jiya dengan santai.
"Oh seperti itu," gumam Adam.
Lalu Jiya pun menatap ke arah Adam. "Itu Mas, kamu jangan dengerin omongan ibuk."
"Maksud kamu soal jodoh, kenapa?"
"Aku sebenarnya nggak pengen men—" Kalimat Jiya terhenti ketika tiba-tiba seorang laki-laki masuk ke dalam rumah tersebut dan ...
BUGHH! Laki-laki itu memukul Adam dengan tangan kosong. "Mampus kamu!" teriak laki-laki tersebut.
Adam pun langsung berdiri tapi tiba-tiba ...
PLAKKK!
PLAKKK! Sebuah tamparan menebas pipi laki-laki yang baru saja memukul Adam. "Kamu itu yang mampus!" teriak Jiya setelah menampar pipi laki-laki itu sekuat tenaga."Ternyata selama ini kamu juga jalang," ujar laki-laki itu sambil menarik kemeja Jiya hingga membuat beberapa kancing kemejanya terlepas.Jiya pun tersenyum sinis. "Apa yang ingin kamu lakukan? Apa orang tua Sherin belum berbicara pada paman dan bibi?""Mereka tetap ingin aku menikah dengan kamu. Dan aku harus menikah dengan kamu," tegasnya.Jiya pun tersenyum menghina, "Aku … menikah dengan kamu yang sudah selingkuh di depan mataku? Otakmu itu ada di mana?""Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan dengan laki-laki sial ini?" ucap laki-laki itu seolah mengintrogasi.
"Maafkan saya Tuan Muda," sahut orang tersebut sambil membungkukkan badannya."Orang nggak berguna!" teriak anak itu dengan gaya tengil.'Duh anak siapa ini, kok bisa begini bentukannya,' batin Jiya yang merasa heran melihat tingkah super anak tersebut.Sesaat kemudian …."Turunkan dia," ucap Adam yang entah sejak kapan sudah ada di belakang Jiya.Jiya pun langsung menoleh dan segera menurunkan anak laki-laki tersebut."Siapa yang mengajarimu seperti itu?" tanya Adam sambil menatap tajam ke arah anak tersebut.Anak itu pun menunduk tapi wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah."Katakan!" bentak Adam.
"Tidakkkkk!" teriak Bumi sambil mengacak-ngacak rambutnya. "Tidak mungkin, aku ini juara catur kenapa bisa kalah," ucap anak laki-laki itu sambil menatap papan catur di hadapannya dengan rasa tak terima.Jiya pun tersenyum santai. "Bagaimana? Aku sudah mengalahkanmu tiga kali," ucapnya dengan tenang.Bumi pun langsung menunjuk wajah Jiya. "Kamu pasti curang," tukas Bumi, menolak kekalahannya.Jiya pun menyenderkan tubuhnya di kursi yang ia duduki. "Katanya laki-laki dewasa … laki-laki kok mewek," ejek Jiya seperti anak kecil."Aku nggak nangis!" serunya sambil turun dari kursi yang didudukinya.Jiya pun menatap Bumi dengan remeh. "Kalau begitu buktikan. Laki-laki itu kalau punya janji harus ditepati," sahutnya sambil bersikap sok malas menghadapi B
Akhirnya Bumi pun pergi mencari toko penjual es krim bersama anak-anak itu."Ke mana mereka?" tanya Adam sambil terus menatap ke arah anak-anak kecil tersebut."Mencari toko," jawab Jiya dengan santai."Mencari toko, apa maksud kamu?" tanya Adam."Ya mencari toko," sahut Jiyamasih dengan nada santai."Bukannya tadi ada toko.""Ada, tapi jam segini toko yang menjual es krim jarang yang sudah buka," terang Jiya.Adam pun bergumam menanggapi hal tersebut."Mana," ucap Jiya sambil menengadahkan tangannya di depan Adam.Adam pun mengernyitkan keningnya melihat tangan Jiya. "Apa?" tanyanya."Ganti uangku," jawab Jiya singkat.Adam menghela napasnya saat melihat hal itu, ia pun segera mengeluarkan dompetnya. "Ini," ucapny
"A-a-aku …" Jiya kebingungan harus menjawab apa. Adam pun memejamkan matanya. "Ehem," dehemnya, "sudah aku tidak ingin mendengar omong kosong lagi. Apa yang terjadi?" tanyanya sambil menatap ke arah Jiya. Kemudian Lina pun langsung menyahut, "Ini Pak, saya Lina. Saya salah satu temannya Jiya, saya ingin melamar menjadi pengasuh untuk anak Bapak." Adam pun langsung menatap ke arah Lina. "Jadi kamu?" "Iya Pak, saya," sahut Lina sambil tersenyum manis pada Adam. 'Apa orang seperti ini bisa menangani Bumi,' pikir Adam sambil menatap ke arah Lina beberapa saat. "Ya baiklah kamu ikuti saja bagaimana perkataan Jiya," ucap Adam dengan tatapan dingin menyertai kalimatnya. "Baik Pak," sahut Lina dengan lembut. Lalu Adam kembali menatap ke arah Jiya yang masih sibuk menggoda Bumi kecil. "Kamu," panggilnya.
"Ini …" Ia kemudian dengan cepat menutupi hidungnya dengan kain lap yang dipegangnya saat bau dari benda tersebut menusuk hidungnya.'Siapa yang bikin gara-gara begini,' batinnya sambil mengambil sapu dan pengki lalu membawa kotak tersebut keluar dari toko."Kamu mau bawa kemana?" tanya Dila yang baru selesai memuntahkan sarapan paginya."Kedepan," sahut Jiya sambil berjalan dengan cepat."Jangan. Bawa kebelakang saja," ujar Dila sambil menunjuk ke arah tempat pembakaran sampah yang ada di samping rumahnya.Jiya pun langsung berbalik dan pergi ke tempat yang ditunjuk oleh Dila."Sialan," ujarnya sambil melemparkan benda tersebut ke dalam tempat membakar sampah.Tak lama kemudian Dila pun menyusul ke tempat itu. "Bagaimana?" tanyanya
"Tenanglah Lin, katakan ada apa?" tanya Jiya sambil membawa gadis yang baru saja memeluknya itu sedikit menjauh.Lina pun menatap Jiya dengan sendu. "Aku hampir dibawa ke kantor polisi," ujarnya."Kantor polisi?" Jiya bertanya sambil menatap Lina dengan heran dan sedikit bingung.Dan sebelum Lina menjawab tiba-tiba seorang anak mendekati mereka berdua. "Bu, ada yang bertengkar," ujar anak itu sambil menarik baju Jiya.Jiya pun langsung menoleh dan melihat ke arah anak tersebut. "Bertengkar?"Anak itu pun langsung menunjuk ke arah tempatnya mengajar tadi."Hei, stop!" teriaknya sambil berlari ke tempat itu dan melerai."Bu, anak ini nakal," ujar salah satu anak yang bertengkar.
"Kamu ….""Aku kenapa," tukas Bumi dengan gaya tengilnya. "Lagi pula selera kamu rendah sekali, memangnya kamu mau ditemani orang yang berdandan seperti itu sepanjang hari?"Jiya pun menelan ludahnya mendengar perkataan anak laki-laki tengil tersebut. 'Benar juga, dia memang agak … memang cukup menor sih,' batin Jiya yang membenarkan hal tersebut sambil menatap ke arah Lina dan mengamati dandanannya."Tapi apa pun alasannya, memfitnah orang itu tidak dibenarkan," ucapnya mencoba menasehati Bumi kecil.Bumi pun langsung menyahut, "Memangnya siapa yang memfitnah?"Jiya pun mengernyitkan keningnya."Aku tadi hanya mengambil barang di mini market, lalu orang mini market bertanya di mana orang tuaku. Karena dia yang bertanggung jawab menemaniku, m