Adam dengan cepat menangkap tubuh Jiya yang sempat oleng karena tersenggol motor yang terlihat sangat sengaja ingin menabrak istri Adam itu."Ada yang terluka?" tanya Adam sembari menatap Jiya yang kini ada di dalam pelukannya."Tidak, hanya sedikit ngilu di punggung. Mungkin kesenggol tadi," jawab Jiya yang kini meringis sembari memijat-mijat punggungnya.Langsung saja Adam membalik tubuh Jiya. "Biar aku lihat," ucap Adam."Eh, ndak. Jangan-jangan!" tolak Jiya sembari kembali berbalik."Kalau begitu kita pulang. Nanti biar diobati oleh Mama atau Ibumu," sahut Adam."Jangan juga. Jangan membuat mereka khawatir karena hal ini. Ini sungguh ndak apa-apa.""kalau begitu biar aku lihat," pinta Adam dengan ekspresi serius di wajahnya."Jangan," tolak Jiya lagi.Adam lalu memijat-mijat keningnya karena melihat tingkah istrinya yang terkadang seperti anak kecil itu. "Kalau tidak dilihat, bagaimana kalau itu terluka dan infeksi?" Adam kembali membalik tubuh Jiya dengan sedikit pak
"Ada apa? Apakah ada sesuatu yang salah?" tanya Adam karena tentu saja tahu kalau ibu mertuanya itu sedang menangis."Itu bukan Ibuk," bisik Jiya pada Adam yang ingin melangkah ke arah wanita yang sedang mencuci piring.Dan ketika Adam tengah mencoba mencerna maksud pertanyaan Jiya, tiba-tiba terdengar sahutan. "Tidak apa-apa Nak Adam," jawab Bu Mutia sembari berbalik dan menatap Adam dengan tenang.Seketika, Jiya yang tadi bersembunyi di belakang Adam pun langsung keluar dari persembunyiannya. "Ah, Ibuk … nakutin aja," protesnya karena berpikir kalau Ibunya itu makhluk lain."Nakutin apa?" Bu Mutia tak mengerti maksud anak semata wayangnya itu.Lalu …."Apa ada masalah? Tolong Anda ceritakan. Saya akan membantu sebis—""Ndak-ndak, ndak usah. Ibuk ndak apa-apa," potong Bu Mutia sembari mengukir senyum di bibirnya.Tentu saja sebagai anak satu-satunya, Jiya langsung bisa menangkap kalau Ibunya itu sedang berpura-pura. Kemudian dengan cepat ia menoleh ke arah Adam dan langsung berkata
"Mas, lepas atau aku teriak?" ancam Jiya yang saat ini berada di dalam pelukan Adam."Teriak saja," tantang Adam yang saat ini masih terus memeluk Jiya dengan erat."Kamu gila," ucap Jiya sembari mendorong tubuh Adam dengan kuat, hingga akhirnya dia terlepas. "Dengar ya Mas, itu tadi benar-benar link yang diberikan oleh Nindy. Kalau tidak percaya, akan aku tunjukkan.""Oh," sahut Adam yang sebenarnya sudah tahu tentang hal itu, tetapi sengaja ingin mengerjain istrinya itu.Setelah beberapa saat Jiya mengotak-atik ponselnya, kemudian ia pun langsung menunjukkan chat sahabatnya itu pada Adam. "Tuh, lihat! Link itu benar-benar dari Nindy. Dia itu memang kelihatannya polos, tapi otaknya penuh hal-hal mesum," bebernya."Lalu bagaimana dengan kamu?" tanya Adam sembari beralih menatap wajah Jiya yang sedang serius.Langsung saja Jiya berekspresi aneh ketika mendengar pertanyaan tersebut. "Tentu saja otakku ini bersih, tidak seperti otak kamu," jawabnya dengan penuh percaya diri."Oh ya?" sa
Di halaman sebuah hotel berbintang yang ada di salah satu kota kecil di Jawa Timur, terlihat seorang gadis berlari-lari kecil menuju hotel. "Kampret! Kenapa harus hujan sih," gerutu gadis bersweater hitam itu sambil mengangkat tas di atas kepala, berharap gerimis yang membasahi halaman hotel tersebut tak ikut membasahi kepalanya. Dan ketika ia memasuki hotel … "Brugh! Isshh …" desis gadis itu saat tak sengaja menabrak seseorang. "Hei, hati-hati dong!" teriak orang yang baru saja tertabrak oleh gadis tersebut. "Maaf," ujar gadis itu sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Lalu … "Ji!" p
Dua jam kemudian akhirnya Jiya pun sadar, ia mulai membuka matanya perlahan."Ini di mana," gumam Jiya sambil memegangi kepalanya yang terasa berat. "Hacihhh!" Ia pun bersin seketika."Sudah bangun?" tanya seorang wanita yang kini berjalan ke arahnya."Sudah, kamu siapa? Dan di mana ini?" tanya Jiya yang sangat asing melihat wanita itu.Wanita itu pun tersenyum hangat. "Ini ada di hotel dan saya adalah dokter yang dipanggil oleh Pak Adam untuk merawat kamu?" jawabnya dengan tenang sambil memberikan segelas teh hangat pada Jiya."Terima kasih," ucap Jiya lalu menerima teh tersebut dan segera menyeruputnya.Tapi tiba-tiba Jiya menghentikan aktifitasnya. "Tunggu, hotel? Pak Adam itu orang yang menab
"Bumi tenang. Papa sedang ada di luar kota, sedang mengurus proyek baru," jawab Adam sambil memijat kepalanya."Papa, masih lama di sana?" tanya Bumi—anak yang ada di dalam panggilan tersebut."Masih, mungkin—"Tut … tut … tut! Panggilan tersebut terputus begitu saja."Dasar anak nakal," ujar Adam sambil menatap layar ponselnya.*Di tempat lain. Saat ini Jiya dan Nindi pun bergegas meninggalkan hotel tersebut. Dan ketika mereka sampai di luar hotel …"Gendeng awakmu Ji, wani-wanine awakmu nompo duwike wong kae maeng (gila kamu Ji, berani-beraninya k
Mendengar teriakan terebut Pak Ghofur dan Adam pun langsung saja berlari ke dalam rumah. Di sana terlihat Bu Mutia—Ibu Jiya sedang tergeletak di lantai dengan Jiya yang sedang memangku kepalanya."Bu, kamu kenapa?" tanya Pak Ghofur yang juga langsung duduk di lantai kebingungan menatap istrinya tersebut."Mari Pak kita bawa ke rumah sakit, saya akan siapkan mobilnya dulu," ucap Adam.Pak Ghofur pun langsung menyahut, "Iya Nak, tolong ya."Lalu Adam pun bergegas menyiapkan mobil seperti yang ia katakan, dan tak lama kemudian kembali masuk ke dalam rumah tersebut."Sudah Pak, ayo kita bawa ke mobil," ujar Adam sambil bersiap menggendong Bu Mutia."Kuat apa tidak?" tanya Jiya sambi
"Sudah hentikan, aku mengerti," sahut Adam yang sudah bisa membayangkan apa yang Bumi lakukan."Terima kasih Tuan," sahut Barak dengan suara lega."Lalu kalian sekarang ada di mana?" tanya Adam sambil menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan malam."Kami baru saja masuk kota Surabaya," jawab Barak dengan cepat."Apa kalian hanya berdua?""Iya Tuan," sahut Barak dengan cepat."Huff," Adam menghela napas panjang. "Kalian cari tempat menginap dulu, besok pagi baru melanjutkan perjalanan lagi," sambungnya."Baik Tuan," sahut Barak dengan tenang.Lalu Adam pun mematikan panggilan tersebut dan meletakkan ponselnya di atas meja