"Maafkan saya Tuan Muda," sahut orang tersebut sambil membungkukkan badannya.
"Orang nggak berguna!" teriak anak itu dengan gaya tengil.
'Duh anak siapa ini, kok bisa begini bentukannya,' batin Jiya yang merasa heran melihat tingkah super anak tersebut.
Sesaat kemudian ….
"Turunkan dia," ucap Adam yang entah sejak kapan sudah ada di belakang Jiya.
Jiya pun langsung menoleh dan segera menurunkan anak laki-laki tersebut.
"Siapa yang mengajarimu seperti itu?" tanya Adam sambil menatap tajam ke arah anak tersebut.
Anak itu pun menunduk tapi wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah.
"Katakan!" bentak Adam.
Jiya pun langsung tersentak saat mendengar bentakan tersebut tapi anehnya anak itu terlihat biasa saja.
'Ada apa ini dan siapa anak ini?' batin Jiya yang penasaran melihat kedekatan aneh di antara Adam dan anak laki-laki di hadapannya itu."Maaf Pa," sahut anak itu pelan.
Adam pun langsung menghela napasnya dalam. "Bumi, Papa tidak pernah mengajari kamu bersikap seperti itu pada orang lain. Jangan diulang lagi," ucap Adam menjadi lebih lembut dari sebelumnya.
'Kalimat yang aneh, bukankah apa yang dilakukan anak ini mirip dengannya,' batin Jiya yang masih mengingat kejadian di hotel kemarin.
"Iya Pa," sahut anak laki-laki tersebut.
Setelah keadaan lebih tenang, Jiya pun mulai berbicara. "Ehem! Oh iya Mas tadi aku disuruh sama ayah untuk mengundang kamu dan semuanya makan malam di rumah."
Adam pun langsung menjawab, "Maaf, kami—"
"Apa ada ikan goreng?" tanya anak laki-laki tersebut memotong kalimat papanya.
Jiya pun tersenyum mendengar pertanyaan anak tersebut. "Jadi kamu suka ikan goreng?" tanyanya ramah.
"Bumi," sentak Adam yang tak senang dengan sikap anak laki-lakinya tersebut.
"Jadi nama kamu Bumi ya?" tanya Jiya yang kemudian mendekat ke arah anak laki-laki itu.
"Iya," sahut Bumi dengan cepat.
"Kalau kamu bisa mengajak papamu ke rumah Tante, Tante janji akan membuat ikan goreng spesial untuk kamu. Bagaimana?"
Mendengar tawaran Jiya, anak laki-laki itu pun langsung mengangkat jempolnya sambil tersenyum manis.
"Baiklah kalau begitu aku akan pulang dulu," ujar Jiya lalu pergi meninggalkan rumah tersebut.
Bumi pun tersenyum menatap ke arah Jiya yang berjalan semakin jauh dari rumah itu. "Sasaran selanjutnya," gumamnya sambil tersenyum menyeringai.
**
Setelah setengah jam, akhirnya Adam dan Bumi pun datang ke rumah keluarga Jiya. Dan saat mereka sampai di halaman rumah tersebut, terlihat seseorang menyambut kedatangan mereka.
"Ayo masuk," ujar Pak Ghofur dengan ramah.
"Terima kasih Pak," sahut Adam dengan sopan.
Setelah itu mereka bertiga pun langsung menuju ke ruang makan.
"Jadi ini yang namanya Bumi?" Bu Mutia menyambut kedatangan mereka.
"Iya Bu Mutia, dia bernama Bumi," sahut Adam dengan santai sambil meletakkan sebuah bingkisan yang dibawanya.
"Kenapa harus repot begini," ujar Bu Mutia sambil meletakkan bingkisan tersebut di tempat lain.
Tak lama kemudian Jiya pun muncul dari ruangan lain sambil membawa sebuah nampan.
"Nah, ini dia ikan goreng spesial pesanan kamu," ucap Jiya sambil menurunkan masakannya di atas meja makan.
Bumi pun langsung menatap ke arah ikan goreng tersebut.
Lalu Jiya pun mengalihkan pandangannya pada Adam. "Oh iya, di mana teman kamu Mas?" tanyanya.
"Dia tidak ikut," jawab Adam singkat.
Kemudian Bu Mutia pun menyela, "Sudah, ngobrolnya dilanjutkan nanti saja. Sekarang kita makan dulu," ujarnya dengan ramah.
Akhirnya mereka pun makan malam bersama dengan hangat, bahkan Bumi pun tak tanggung-tanggung menghabiskan semua yang ada di piringnya tanpa sisa.
"Siapa kokinya?" tanya Bumi sambil menatap ke arah Jiya.
"Koki?" Jiya pun balik bertanya karena sedikit bingung dengan pertanyaan tersebut.
"Iya, koki yang membuat masakan ini," jawab Bumi sambil menunjuk ke arah ikan goreng yang kini hanya tersisa tulangnya.
Jiya pun tersenyum geli. "Tidak ada koki, itu Tante yang membuatnya," sahutnya sambil tersenyum hangat.
Mendengar hal itu Bumi pun terdiam. Kemudian ia memandangi sisa ikan goreng yang ada di hadapannya.
"Kenapa?" tanya Jiya yang merasa penasaran dengan sikap Bumi yang aneh.
Bumi pun menjawab dengan tenang, "Bekerjalah di rumahku, aku akan membayar kamu dua kali lipat dari yang lainnya."
Kemudian ....
"Uhuk-uhuk!" Adam pun langsung tersedak saat mendengar ucapan anak laki-lakinya tersebut.
"Iya kan Pa?" tanya Bumi pada Adam yang saat ini sedang meminum segelas air putih untuk melegakan tenggorokannya.
Dan setelah selesai minum, Adam pun menatap ke arah semua orang. "Maaf, dia ini—"
Bu Mutia pun langsung menyahut, "Tidak apa-apa Dam, namanya juga anak-anak."
"Terima kasih," sahut Adam kemudian membalikkan sendoknya tanda selesai makan.
Akhirnya acara makan malam itu pun selesai. Dan selanjutnya Adam pun berbincang dengan Pak Ghofur, sedangkan Bumi terus menempel pada Jiya.
"Siapa nama kamu?" tanya Bumi yang saat ini sedang duduk santai di teras rumah itu bersama Jiya.
"Namaku Jiya." Jiya pun tersenyum hangat saat memberi tahukan namanya.
"Jelek," sahut Bumi dengan santai.
"Jelek?"
"Iya jelek, nama kamu sama jeleknya dengan kamu," jawab Bumi dengan sinis.
'Dih, anak yang mirip dengan bapaknya,' batin Jiya sambil menatap ke arah Bumi dengan perasaan mulai jengkel.
"Apa alasannya kamu menyebutku jelek?" tanya Jiya dengan santai.
"Ya karena jelek, apa aku harus mengatakan semuanya," jawab Bumi dengan ketus.
"Kenapa memangnya kalau jelek yang penting aku bahagia," sahut Jiya yang sudah hafal dengan tingkah tengil anak kecil seperti Bumi.
'Jangankan satu anak tengil, sepuluh anak pun aku libas,' batin Jiya dengan percaya diri.
'Kenapa tante ini tidak marah,' batin Bumi yang mulai kesal karena tanggapan Jiya tak sesuai keinginannya.
"Aku ingin kamu mengganti nama menjadi moli," ujar Bumi dengan tegas.
'Moli? Maksudnya dia mau menyamakan aku dengan hewan,' batin Jiya sambil menahan tawa.
"Aku tidak mau," sahutnya santai sambil menatap ke arah lain.
"Pokoknya aku ingin nama kamu menjadi moli."
"Ogah, tidak ada untungnya," sahut Jiya dengan acuh.
Lalu Bumi pun mendekat ke arah Jiya dan dengan cepat menarik kerah pakaiannya. "Aku akan memberimu sepuluh juta," ujarnya dengan tatapan mengancam.
Jiya pun mendekatkan wajahnya pada Bumi. "Menarik, tapi tidak," sahutnya lalu dengan cepat mencium pipi anak laki-laki tersebut.
Bumi pun langsung melepaskan cengkraman tangan kecilnya. "Kamu gila! Aku ini sudah kelas tiga. Berani-beraninya kamu menciumku!" teriak Bumi sambil mengusap-usap pipinya.
Jiya pun terkekeh melihat tingkah anak laki-laki di hadapannya itu. "Hanya kelas tiga, kelas sepuluh pun aku berani," sahutnya dengan asal.
"Aku-aku ..." Bumi pun kehilangan kata-katanya.
"Kamu kenapa, mau aku cium lagi?" goda Jiya sambil bangkit dari kursinya.
"Cih ... menjijikkan," tukas Bumi sambil menutupi pipinya dengan kedua tangan kecilnya.
"Hahaha!" Jiya pun tertawa terbahak-bahak melihat tingkah dan ekspresi Bumi yang terlihat menggemaskan.
*
Di dalam ruang tamu.
'Kenapa ramai sekali di luar, jangan-jangan anak itu mulai bertingkah,' batin Adam yang mulai gelisah memikirkan apa yang dilakukan Bumi.
"Kamu kenapa Nak Adam?" tanya Pak Ghofur saat melihat perubahan raut wajah Adam.
"Aku hanya khawatir dengan Bumi, dia itu—"
"Sudah jangan khawatir, Jiya pasti menjaganya dengan baik. Dia itu suka sekali dengan anak kecil, tenang saja," ujar Pak Ghofur menenangkan Adam.
Kemudian Pak Ghofur dan Adam pun kembali membahas kerja sama mereka. Hingga ...
"Baiklah saya setuju dengan semuanya, termasuk harganya," ujar Adam dengan tenang. "Kalau bisa, secepatnya saya ingin bertemu dengan pemilik tanah dan menyelesaikan semuanya. Setelah itu Bapak bisa segera mengirimkan bahan bangunan seperti yang tadi Bapak katakan."
Pak Ghofur pun menyahut, "Tunggu, apa kamu tidak ingin memikirkannya dulu."
"Tidak, saya percaya pada Bapak. Dan proyek ini adalah keinginan kakek, beliau ingin proyek ini menyertakan Anda," tegas Adam.
"Tunggu, siapa nama kamu?" tanya Pak Ghofur dengan cepat.
"Adam Wiratmaja.
"Kamu cucunya Tuan Wiratmaja?" tanya Pak Ghofur dengan wajah terkejut.
"Benar."
"Lalu kamu anaknya siapa? Jangan-jangan kamu anaknya Pak Mahendra ya?" tebak Pak Ghofur dengan mata yang berbinar.
"Benar," sahut Adam.
"Ya Allah, kamu pasti bayi kecil itu. Kamu sudah sangat besar, berapa usiamu sekarang? Bagaimana kabar ayah dan ibumu?" tanya Pak Ghofur sambil terus menatap wajah Adam dengan senyum merekah.
"Saya sekarang 33 tahun Pak. Ibu sehat, sedangkan ayah sudah meninggal 8 tahun yang lalu," jawab Adam dengan tenang.
"Innalilahi," ujar Pak Ghofur sambil mengusap dadanya.
Lalu Pak Ghofur dan Adam pun mengobrol kembali, hingga akhirnya malam pun makin larut dan suasana di teras pun terdengar sepi.
"Sepertinya Bumi tertidur, saya pamit dulu Pak," ujar Adam sambil berdiri dari sofa yang ia duduki sedari tadi.
"Iya-iya," sahut Pak Ghofur lalu mengantarkan Adam keluar.
Tapi saat Adam dan Pak Ghofur sampai di teras tiba-tiba ...
"SKAK! Mati lagi," ucap Jiya dengan bangga.
"Tidakkkkkk!"
"Tidakkkkk!" teriak Bumi sambil mengacak-ngacak rambutnya. "Tidak mungkin, aku ini juara catur kenapa bisa kalah," ucap anak laki-laki itu sambil menatap papan catur di hadapannya dengan rasa tak terima.Jiya pun tersenyum santai. "Bagaimana? Aku sudah mengalahkanmu tiga kali," ucapnya dengan tenang.Bumi pun langsung menunjuk wajah Jiya. "Kamu pasti curang," tukas Bumi, menolak kekalahannya.Jiya pun menyenderkan tubuhnya di kursi yang ia duduki. "Katanya laki-laki dewasa … laki-laki kok mewek," ejek Jiya seperti anak kecil."Aku nggak nangis!" serunya sambil turun dari kursi yang didudukinya.Jiya pun menatap Bumi dengan remeh. "Kalau begitu buktikan. Laki-laki itu kalau punya janji harus ditepati," sahutnya sambil bersikap sok malas menghadapi B
Akhirnya Bumi pun pergi mencari toko penjual es krim bersama anak-anak itu."Ke mana mereka?" tanya Adam sambil terus menatap ke arah anak-anak kecil tersebut."Mencari toko," jawab Jiya dengan santai."Mencari toko, apa maksud kamu?" tanya Adam."Ya mencari toko," sahut Jiyamasih dengan nada santai."Bukannya tadi ada toko.""Ada, tapi jam segini toko yang menjual es krim jarang yang sudah buka," terang Jiya.Adam pun bergumam menanggapi hal tersebut."Mana," ucap Jiya sambil menengadahkan tangannya di depan Adam.Adam pun mengernyitkan keningnya melihat tangan Jiya. "Apa?" tanyanya."Ganti uangku," jawab Jiya singkat.Adam menghela napasnya saat melihat hal itu, ia pun segera mengeluarkan dompetnya. "Ini," ucapny
"A-a-aku …" Jiya kebingungan harus menjawab apa. Adam pun memejamkan matanya. "Ehem," dehemnya, "sudah aku tidak ingin mendengar omong kosong lagi. Apa yang terjadi?" tanyanya sambil menatap ke arah Jiya. Kemudian Lina pun langsung menyahut, "Ini Pak, saya Lina. Saya salah satu temannya Jiya, saya ingin melamar menjadi pengasuh untuk anak Bapak." Adam pun langsung menatap ke arah Lina. "Jadi kamu?" "Iya Pak, saya," sahut Lina sambil tersenyum manis pada Adam. 'Apa orang seperti ini bisa menangani Bumi,' pikir Adam sambil menatap ke arah Lina beberapa saat. "Ya baiklah kamu ikuti saja bagaimana perkataan Jiya," ucap Adam dengan tatapan dingin menyertai kalimatnya. "Baik Pak," sahut Lina dengan lembut. Lalu Adam kembali menatap ke arah Jiya yang masih sibuk menggoda Bumi kecil. "Kamu," panggilnya.
"Ini …" Ia kemudian dengan cepat menutupi hidungnya dengan kain lap yang dipegangnya saat bau dari benda tersebut menusuk hidungnya.'Siapa yang bikin gara-gara begini,' batinnya sambil mengambil sapu dan pengki lalu membawa kotak tersebut keluar dari toko."Kamu mau bawa kemana?" tanya Dila yang baru selesai memuntahkan sarapan paginya."Kedepan," sahut Jiya sambil berjalan dengan cepat."Jangan. Bawa kebelakang saja," ujar Dila sambil menunjuk ke arah tempat pembakaran sampah yang ada di samping rumahnya.Jiya pun langsung berbalik dan pergi ke tempat yang ditunjuk oleh Dila."Sialan," ujarnya sambil melemparkan benda tersebut ke dalam tempat membakar sampah.Tak lama kemudian Dila pun menyusul ke tempat itu. "Bagaimana?" tanyanya
"Tenanglah Lin, katakan ada apa?" tanya Jiya sambil membawa gadis yang baru saja memeluknya itu sedikit menjauh.Lina pun menatap Jiya dengan sendu. "Aku hampir dibawa ke kantor polisi," ujarnya."Kantor polisi?" Jiya bertanya sambil menatap Lina dengan heran dan sedikit bingung.Dan sebelum Lina menjawab tiba-tiba seorang anak mendekati mereka berdua. "Bu, ada yang bertengkar," ujar anak itu sambil menarik baju Jiya.Jiya pun langsung menoleh dan melihat ke arah anak tersebut. "Bertengkar?"Anak itu pun langsung menunjuk ke arah tempatnya mengajar tadi."Hei, stop!" teriaknya sambil berlari ke tempat itu dan melerai."Bu, anak ini nakal," ujar salah satu anak yang bertengkar.
"Kamu ….""Aku kenapa," tukas Bumi dengan gaya tengilnya. "Lagi pula selera kamu rendah sekali, memangnya kamu mau ditemani orang yang berdandan seperti itu sepanjang hari?"Jiya pun menelan ludahnya mendengar perkataan anak laki-laki tengil tersebut. 'Benar juga, dia memang agak … memang cukup menor sih,' batin Jiya yang membenarkan hal tersebut sambil menatap ke arah Lina dan mengamati dandanannya."Tapi apa pun alasannya, memfitnah orang itu tidak dibenarkan," ucapnya mencoba menasehati Bumi kecil.Bumi pun langsung menyahut, "Memangnya siapa yang memfitnah?"Jiya pun mengernyitkan keningnya."Aku tadi hanya mengambil barang di mini market, lalu orang mini market bertanya di mana orang tuaku. Karena dia yang bertanggung jawab menemaniku, m
Jiya pun keluar dari ruangan tersebut diikuti oleh orang-orang yang ada di ruangan tersebut."Kenapa?" tanya Jiya pada Bumi yang kini berdiri tidak jauh dari pintu masuk ruangan tersebut."Itu," ujar Bumi sambil menunjuk ke arah tempat parkir.Jiya dan semua orang pun langsung menatap ke arah parkiran dan melihat beberapa orang berlari menjauh dari tempat itu."Berhenti!" teriak Jiya sambil berlari ke arah orang tersebut.Tapi saat Jiya baru beberapa langkah, orang itu sudah lebih dulu kabur bersama temannya yang telah menunggu tidak jauh dari tempat parkir."Sial!" teriak Jiya kesal."Sudahlah, mereka sudah kabur," ujar teman Jiya yan
"Ibunya sudah tidak ada, dia meninggal," sahut Adam lalu menatap ke arah lain.Jiya pun terdiam. 'Jadi benar istrinya sudah meninggal. Pantas saja,' batin Jiya."Ehem! Maaf Mas aku tidak bermaksud membuat kamu mengingat kepergian almarhum istri kamu," ucap Jiya dengan lembut karena merasa sedikit bersalah.Adam menatap Jiya sambil mengernyitkan keningnya.Jiya pun melanjutkan kalimatnya. "Aku tidak tahu ini benar atau salah. Tapi jika memang istri Mas sudah meninggal emmm … menurutku Bumi itu membutuhkan sosok ibu. Ini mungkin hanya pendapatku saja, soalnya aku juga tidak tahu bagaimana keluarga kamu dan lingkungannya tumbuh itu seperti apa," bebernya."Sosok ibu," gumam Adam sambil menatap Jiya dari ujung kepala hingga ujung kaki.Jiya yang t