Ku buka pintu rumah bibi perlahan agar tak berderit.
Ruang tamu tampak lengang. Bibi pasti sudah tidur.Biasanya dia akan duduk menonton tv disini.Ku hembuskan nafas sesaat, dan melangkah menuju kamar.Berusaha menetralkan perasaan yang masih kacau karena fakta mengejutkan tadi."Kenapa baru pulang, nak? Kamu mampir kemana dulu?"Tanpa ku duga, bibi keluar dari kamar Wiwin, dan langsung bertanya padaku.Aku bingung harus menjawab apa.Tapi, tiba-tiba saja ada ide yang terlintas di pikiranku."Ada yang mau Sandra tanyakan pada bibi. Dan Sandra mohon bibi jawab dengan jujur," ujarku dengan serius.Bibi sampai menatapku dengan kening mengerut."Mau tanya apa? Sini, duduk dekat bibi." Dia melangkah menuju sofa, dan duduk di atasnya.Aku pun melangkah, dan duduk di sampingnya.1 menit.2 menit.3 menit."Mau tanya apa? Kok, malah diam?" Bibi bertanya saat aku tak kunjung melempar pertanyaan padanya.Hati, dan pikiranku sibuk bergelut di dalam sana.Aku masih bimbang untuk lanjut bertanya pada bibi atau menyimpan semua tanda tanya ini sendiri.Bibi memang sangat baik. Sifatnya, dan ibu sangat bertolak belakang walaupun mereka saudara kandung.Ku tatap wajah bibi dengan mata yang mulai mengembun. "Apa bibi tau kenapa setiap hari kamis Sandra harus menginap disini?" tanyaku dengan suara pelan.Mata ini masih terus menatap lurus wajah bibi yang terlihat terkejut karena pertanyaanku."Ya-ya. Bibi nggak tau, nak. Memangnya kenapa Sandra tanya begitu? Bukannya ini sudah kebiasaan lama? Lagian bibi juga senang kalau ada Sandra disini," sahutnya mengalihkan pandangannya dari wajahku.Ku hirup nafas panjang, dan mengembuskan nya perlahan."Apa karena ibu memiliki dua orang suami?"Wajahnya yang tadi sibuk mengarah ke tempat lain. Seketika langsung menatapku dengan mata melotot, terkejut."Ka-kamu ta-tau dari mana? Jangan asal bicara, nak. Nanti kalau kedengaran orang, bahaya," sergahnya.Raut panik, dan terkejut nampak tercetak jelas di wajahnya."Sandra tidak asal bicara, Bi. Sandra sudah tau semuanya. Kenapa kalian tega sembunyikan rahasia besar ini dariku?" Aku tergugu di hadapannya.Air mataku kembali tumpah di hadapan bibi Wati."Apa tetangga sekitar juga sudah mengetahui ini, Bi?" Aku bertanya dengan isak tangis yang tertahan."Ya Allah, nak." Suara bibi terdengar bergetar. Tangannya menarikku ke dalam pelukannya.Mungkin dia merasa kasihan dengan nasib buruk yang menimpaku."Kamu sudah tau semuanya, nak. Tapi bibi minta maaf. Bibi nggak punya hak buat menjelaskan semuanya padamu. Tanyakan pada ayahmu, dan minta dia menjelaskan semuanya padamu." Bibi menjeda ucapannya sebentar.Bibi terdengar menghela nafasnya cukup dalam. "Memang sudah saatnya kamu tau semuanya. Bibi sudah nggak tahan liat kamu diperlakukan dengan kasar oleh Sari," imbuhnya lagi.___Akhirnya, aku pun tertidur dengan rasa penasaranku yang belum terjawab.Apa perlu ku tanyakan langsung pada ayah?Sepertinya memang harus begitu.Ingin rasanya aku bolos sekolah saja. Tapi ada rapat penting di sekolah.___Pagi harinya seperti biasa. Aku pulang ke rumah untuk berganti pakaian sekolah.Dari pekarangan rumah, kulihat pintu depan masih tertutup rapat. Lampu teras pun masih menyala. Padahal ini sudah jam 6 lewat.Tok, tok, tok!"Bu, ibu?!"Ku ketuk pintu rumah, dan memanggil ibu dengan suara sedikit nyaring.Aku yakin ibu pasti belum bangun, seperti yang sudah-sudah.Ceklek.Tak lama pintu terbuka. Terlihat ibu berdiri hanya memakai kain jarik untuk menutupi tubuhnya.Rambutnya pun terlihat berantakan dengan wajah khas bangun tidur.Aku menatapnya dengan jijik.Dulu, sebelum aku mengetahui semuanya. Aku menganggap penampilannya seperti ini adalah hal biasa.Tapi, setelah aku tau. Rasanya aku ingin muntah melihatnya berpenampilan seperti ini."Masuk! Masakin sarapan dulu baru berangkat sekolah," titahnya berjalan masuk mendahuluiku."Oh, iya. Sekalian beresin rumah," serunya, dan tanpa menoleh padaku lagi. Ibu langsung masuk kedalam kamarnya, dan menutup pintu.Aku pun melangkah masuk tanpa menjawab ucapannya.Namun, aku sungguh terkejut melihat penampakan ruang tamu yang seperti kapal pecah.Sofa usang yang biasanya terletak dekat dinding, kini berpindah tempat ke tengah ruang tamu.Bahkan meja berbentuk persegi panjang yang biasanya dipakai untuk menaruh minuman pun sudah terbalik.Aku membuang nafas panjang. Berusaha tidak memak*i iblis berwujud manusia itu.Pandanganku tanpa sadar mengarah pada meja makan yang tak bersekat.Kain gorden yang biasanya menjadi penutup ruang makan itu telah hilang entah kemana.Pemandangan di meja makan pun sama berantakan nya seperti ruang tamu.Teko, dan gelas yang sudah tak terletak di tempatnya lagi. Tudung saji yang biasanya berada di atas meja pun, kini sudah pindah tempat di bawa lantai." Astaghfirullah. Ya Allah, ya Tuhanku." Lirihku menahan tangis.Aku tau apa yang terjadi disini. Aku tau apa penyebab rumah ini seperti kapal pecah.Tak ingin berlarut-larut memikirkan hal yang tak berfaedah. Aku memilih segera masuk kedalam kamar, berganti pakaian.Hanya berganti pakaian saja, karena aku sudah mandi di rumah bibi Wati tadi.Sebelum berganti pakaian, aku mengunci pintu dari dalam.Aku tau ada orang lain di rumah ini selain aku, dan ibu.Yaitu paman Tejo.Sebelum mengetuk pintu tadi. Aku sudah memastikan motor paman masih ada atau tidak.Dan motor itu masih terparkir di belakang rumah.Pastinya sang pemilik pun masih ada disini."Sandra! Kamu dengan nggak, tadi ibu bilang apa, hah?! Masakin sarapan dulu. Sandra!"Dug, dug, dug!Pekikan suara ibu terdengar memekakkan telinga. Disusul dengan suara gedoran pintu yang keras.Aku abaikan perbuatannya itu, dan lanjut berganti pakaian.Karena ibu terus-terusan berteriak memanggil, dan memakiku seperti orang g1l4.Aku yang merasa malu dengan tetangga pun dengan malas membuka pintu."Kamu dengar nggak, ibu bilang apa tadi?! Masak sarapan dulu. Ibu capek!" bentaknya dengan mata melotot.Suara bentakannya tak membuat nyaliku ciut. Justru aku membalas tatapannya."Capek karena apa? Bukannya ini masih pagi? Apa ibu semalam lembur?" ucapku dengan santai menyindirnya.Sudah hampir satu Minggu Tejo menunggu kabar dari Fatima dengan rasa gelisah. Dia takut Fatima menolak pinangan darinya,namun apapun itu. Tejo sudah berjanji akan menghargai keputusan Fatima.âMari makan siang, Bang!â Ajak seorang pekerja yang mengurus kebun Tejo.âDuluan saja, Ri. Aku nanti saja.â Tejo menjawab sekenanya. Ya, dia sekarang tengah berada di kebun miliknya. Kebun yang selama ini dia abaikan karena sibuk dengan nikmat duniawi. Dia membiarkan pekerjanya yang mengurus semuanya, dan dia hanya tinggal menerima hasilnya saja.Namun, semenjak sembuh dari sakitnya. Dia perlahan sudah mulai berkebun kembali. âHuuuft!â Tejo membuang nafasnya dengan kasar. Matanya tak lepas menatap layar ponsel dalam genggamannya dengan perasaan gelisah. Dia menunggu kabar dari Dayat, abangnya. Saat mereka hendak meninggalkan rumah Fatima saat itu, Fatima berkata bahwa dia akan menghubungi Siska untuk menyampaikan keputusannya. KringâŠ. KringâŠ. Kring! Ponsel dalam genggaman Tejo berdering c
âTejo, hei!â Dayat menepuk pundak sang adik cukup keras karena kesal. Sedari tadi dia memanggil adiknya itu, namun adiknya sibuk melamun. Tejo menoleh ke arah abangnya dengan wajah kaget. âAda apa, bang?â Dayat mendengus. âMakan. Dari tadi di panggilin susah banget, Jo. Kalau suka, bilang saja.â âSeandainya dia bukan sahabatnya mbak Siska,â ujar Tejo dengan tatapan menerawang. Dayat berdecak, sedari tadi adiknya sekali berkata begitu. Apa hubungannya dengan Siska?âAda apa dengan mbak-mu?â âAku takut mbak Siska ceritain ke dia tentang kelakuanku dulu.â Tejo menjawab sambil tertunduk. Dayat baru tau tentang kegelisahan adiknya. âKamu sudah berubah. Kalau kamu betul-betul menyukainya, berusahalah. Biar mbak-mu jadi urusan Abang.â Dayat menepuk pundak Tejo pelan, memberi dukungan padanya. ___Acara syukuran di rumah Dayat telah usai. Semua keluarga nenek Atun pun sudah kembali ke kampung. Nasib Tejo semakin tak jelas. Dia sungguh menyukai wanita yang dia temui di rumah Dayat wa
Akhirnya, hari yang dinantikan oleh pasangan Siska, dan Dayat pun tiba. Hari dimana buah cinta mereka lahir kedunia dengan selamat. Dayat mencium pipi merah anak keduanya itu dengan sayang, setelah menyuarakan adzan pada putranya. Ya, Siska telah memberikan seorang putra pada Dayat. Lengkaplah sudah keluarga kecil mereka. âAku boleh gendong, nggak?â tanya Sandra yang sedari tadi ikut gemas melihat bayi merah dalam gendongan ayahnya. âNanti kamu jatuhin,â sahut Dayat seraya kembali mencium pipi putranya. âMa, Sandra boleh gendong adek, ya?â Sandra merengek pada Siska yang masih terbaring lemah di atas ranjang pasien. Siska tersenyum pada Sandra lalu menatap suaminya. âMas, kasih dulu ke mbak nya!â titahnya yang membuat Sandra berjingkrak kegirangannya. âOjo pecicilan, nduk. Jatuh adekmu nanti,â ujar Dayat memperingati saat akan menyerahkan bayi itu pada Sandra. âPake duduk saja, nak.â Siska memberi isyarat pada Dayat agar menyuruh Sandra duduk. Dia merasa ngeri melihat cara
âAssalamualaikum.â ucap Sandra, dan Dayat berbarengan saat sudah sampai di dekat Sari, dan Trisno berdiri. âWaâalaikumussalam.â Trisno, dan Dayat langsung berjabatan tangan. Sedangkan Sandra langsung mendekati sang ibu, dengan senyum yang merekah. âSilahkan masuk, bang.â Trisno mengajak Dayat untuk masuk kedalam rumahnya, namun Dayat menolak karena Siska sedang sendirian di rumah.Akhirnya, Dayat pun berpamitan pulang setelah berpesan pada Sandra agar tak merepotkan Sari, dan Trisno. âMasuk yuk. Di tungguin sama nenek dari tadi.â Sari merangkul pundak Sandra, dan bersama berjalan masuk kedalam rumah. ___âCukup, Bu. Aku sudah kenyang.â Sandra menggeser piring makannya kesamping saat Sari hendak menambahkannya nasi kedalam piringnya.âMakan yang banyak, nak,â ujar Sari memaksa. Sandra menggeleng, dan tetap menjauhkan piringnya. Dia sungguh sudah sangat kenyang saat ini. Bagaimana tidak? Sedari tadi Sari terus saja memberikan berbagai makan padanya.Semua lauk, dan sayur yang dia
âKamu mau ketemu sama ibu, nak?â Siska angkat bicara. Dia berjalan mendekati kursi tempat Sandra duduk, lalu ikut duduk di sampingnya. Tangannya dengan lembut mengusap bahu Sandra yang masih bergetar karena isak tangisnya. âKalau mau ketemu sama ibu, biar mama yang antar,â tawar Siska dengan senang hati. Sandra mengangangkat kepalanya menatap wajah Siska lalu bergantian menatap wajah Dayat. Dayat mengangguk dengan senyum tipisnya. âBoleh, Ma?â âBoleh, dong. Besok pagi Mama antar, ya. Sekalian Mama mau olahraga pagi, soalnya sebentar lagi adikmu datang,â sahut Siska seraya mengelus perutnya yang membesar. Hari persalinannya memang sudah dekat. Itu sebabnya dia harus banyak bergerak agar persalinannya nanti berjalan dengan lancar, itu pesan ibunya setiap kali menghubunginya lewat telpon. ____âDek, nasinya dimakan. Jangan di liatin aja,â ujar Trisno saat melihat makanan istrinya masih utuh. Sedangkan Sari sedari tadi hanya menatap piringnya dengan wajah murungnya.âAda yang mengg
âHei?! Kamu kenapa, nak? Dari tadi mama panggil kok nggak nyahut? Lagi lamunin apa?â Siksa datang, dan menepuk pundak Sandra. âEh?!â Wajah Sandra langsung terkejut melihat Siska sudah duduk di sampingnya dengan perut yang sudah membuncit. âKamu kenapa? Ada masalah sama pendaftaran kuliah?â tanya Siska dengan lembut. Tangannya mengusap surai panjang milik Sandra.Sandra langsung menampilkan senyumnya, dan menutup raut wajahnya yang sedih. âNggak ada, ma. Semuanya lancar, kok.â âTerus, kenapa?â Siska berusaha menilik wajah dari putri sambungnya itu.Namun, Sandra lebih dulu memalingkan wajahnya. âSandra ke kamar dulu, ya, ma. Ada tugas kuliah,â kilahnya lalu buru-buru berdiri, dan masuk ke dalam kamarnya. Hal itu tentu saja membuat Siska kebingungan. Dia menatap punggung putrinya dengan kening mengernyit. Dia baru menyadari bahwa beberapa hari ini Sandra memang terlihat sedikit pendiam. Jarang sekali Sandra bercanda padanya. Senyum yang Sandra tampilkan pun sangat di paksakan. Sis