Setelah ayah masuk, dan pintu kembali tertutup.
Aku pun segera melangkah perlahan menuju samping rumah.Hanya di samping ini saja yang tak ada lampu sama sekali.Aku jadi bebas menguping pembicaraan mereka di dalam sana."Kenapa datang? Ganggu aja." Itu suara ibu.Suaranya terdengar ketus tanpa merasa takut sedikitpun pada ayah."Abang lupa, kalau hari kamis sampai hari Minggu adalah waktuku bersama Sari?" Suara paman pun terdengar kurang enak.Dia mungkin merasa terganggu. Karena kedatangan ayah membuatnya harus menghentikan kegiatannya bersama ibu."Mas minta maaf karena mengganggu kalian. Tapi ada hal penting yang harus kita bicarakan malam ini juga.""Hal penting apa, sih? Emang nggak bisa besok aja?" tukas paman.Aku tak tau bagaimana ekspresi wajahnya sekarang. Tapi dari nada bicaranya, paman seperti tak menyukai ayah."Ini soal Sandra," jawab ayah tanpa mengindahkan protes dari paman."Kenapa dengan anakmu itu?" tanya paman dengan nada suara yang sama."Dia anakmu, Mas. Bukan anaknya." Ibu menentang ucapan paman.Sedangkan aku yang mendengar obrolan mereka hampir jatuh pingsan.Detak jantungku berdegup kencang. Tak mengerti arah pembicaraan mereka.Kenyataan apa lagi ini, ya Allah?Aku anak siapa?Isakan tangisku terdengar lirih.Ku pukul dada ini agar bisa mengurangi sedikit rasa sesak di dalamnya.Sungguh rasanya seperti ada benda berat yang menimpanya di dalam sana.Rasanya aku tak kuat bila terus mendengar obrolan mereka.Tapi aku juga tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mengetahui rahasia mereka."Dia bukan anakku. Aku yakin itu!" bantah paman."Tapi, dul—""Itu bukan hal penting yang harus kita bicarakan sekarang. Aku datang kesini untuk memberitahu kalian bahwa Sandra sudah mulai curiga dengan kebiasaan kita." Ayah menyela ucapan ibu."Lalu kita harus apa? Nggak mungkin kalau satu Minggu penuh, Abang yang menguasai Sari. Dia juga istriku."Deg!Astaghfirullah. Apa lagi ini?Apa ibu penganut poliandri?Kalau iya. Kenapa aku baru mengetahuinya sekarang?Pintar sekali mereka menyimpan rahasia.Lalu aku anak siapa?Sudah tak ada lagi air mata yang tumpah. Mata ini sudah terlalu perih untuk mengeluarkan cairan bening itu lagi.Bertubi-tubi aku mendapatkan kejutan malam ini.Rasa kecewa sudah bercampur dengan amarah.Ya. Aku marah pada ayah, dan ibu yang menyimpan masalah ini sedemikian rupa.Hingga kini aku baru mengetahuinya.Aku tau mereka mungkin punya alasan tersendiri tentang berbagi istri.Tapi aku juga turut andil di dalamnya.Sekarang aku bingung siapa ayah kandungku yang sebenarnya."Abang tau itu. Makanya Abang datang kesini supaya kita rembukan ini bersama bagaimana baiknya.""Kasih tau aja langsung sama Sandra. Gitu aja kok repot," ucap ibu dengan sewot."Mas takut melukai hatinya, dek.""Hmm. Kalau gitu, Abang ceraikan Sari aja." Paman memberi usul."Itu nggak akan terjadi," sahut ayah tegas.Aku merutuki jawaban ayah yang menolak untuk menceraikan ibu.Apalagi yang mau dia pertahankan dari hubungan yang sudah lama tak sehat ini?Setiap hari, ayah selalu diperlakukan tak baik oleh ibu.Aku tak pernah melihat ibu menyiapkan kebutuhan ayah seperti yang biasa bibi Wati lakukan pada paman.Ibu hanya memasak, itupun jika aku sedang sibuk dengan sekolahku. Karena dari bangku SMP, aku sudah mulai memasak.Ibu hanya bersolek. Merias diri, dan wajahnya saja.Setiap ayah pulang dari kebun, ibu tak pernah menyambutnya.Dia seakan-akan sibuk dengan dunianya sendiri.Betapa bodohnya aku yang baru bisa melihat dengan jelas perlakuan ibu pada ayah sangat berbeda, setelah tau kebenarannya.Ibu juga tak pernah berkumpul bersama tetangga di sekitar rumah.Dia hanya akan keluar jika pergi berbelanja saja.Dan…Ah. Aku baru ingat sekarang.Ibu selalu membeli pakaian bermerek, dan alat make-up yang mahal.Dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli semua itu?Sudah pasti dari paman, suaminya.Entah suami pertama atau kedua, aku tak tau.Sebab, ayah tidak mempunyai uang sebanyak itu.Ayah hanya seorang petani yang bisa mendapatkan uang jika hasil panennya terjual. Itupun tidak seberapa."Kenapa? Kenapa Abang nggak mau menceraikan Sari? Karena wasiat dari almarhum orang tua kita?" tanya paman.Ayah hanya diam, tak menjawab."Wasiat itu sudah lama, bang. Abang bisa segera menceraikan Sari. Atau Abang punya alasan lain untuk bertahan?"Lagi-lagi suara ayah tak terdengar.Lama-lama aku menjadi kasihan pada ayah.Dia sepertinya enggan melepas ibu. Tapi jika dipertahankan pun untuk apa?Aku masih ingat dengan jelas bahu ayah yang bergetar saat mendengar suara aneh tadiItu artinya dia terluka. Kenapa tak dia lepas saja?"Dorr! Hayo, kamu ngapain disini?"Aku hampir terjungkal karena sebuah suara yang mengejutkanku.Bagai orang kesetanan aku segera menoleh ke asal suara.Setelah menemukan siapa pelakunya. Aku dengan cepat menarik orang tersebut menjauh dari tempat itu.Aku melangkah cepat menuju kebun belakang rumah dengan tangan terus menarik orang yang sudah mengagetkan ku tadi."Kamu kenapa ngagetin aku, sih?" Dengan kesal aku bertanya pada Andi, teman sekolahku.Entah dari mana dia, sampai-sampai bisa muncul di samping rumahku."Lah, kamu juga ngapain disitu? Kaya maling aja," sahutnya tak mau kalah.Dia mengarahkan senter yang dibawanya ke sembarang arah."Matiin senternya.""Kenapa? Kamu mau gelap-gelapan sama aku di sini? Sorry ya, aku masih suci. Ngga mau di grepe-grepe sama kamu." Dia menyembunyikan senter di belakang tubuhnya.Tanpa menyahut ucapan konyolnya aku segera merebut senter tersebut, dan mematikannya.Tanganku langsung membekap mulutnya saat dia hendak protes."Nggak ada siapa-siapa disini. Abang mending pulang ke pondok aja." Suara paman terdengar dekat.Sudah kuduga mereka pasti mendengar suara Andi tadi.Beruntung ada kandang ayam di belakang rumah. Itulah yang menjadi tempat kami bersembunyi.____"Kamu kenapa diam aja, San? Kamu marah gara-gara aku ngagetin kamu tadi? Terus ini kamu mau ke mana? Udah malam, loh ini." Andi mengejar langkahku dari belakang.Mulutnya sedari tadi tak bisa diam.Andi adalah tetangga jauhku. Wajar jika dirinya tidak mengetahui kebiasaan aneh keluargaku.Aku tertawa miris saat mengingat kembali kenyataan yang tadi baru ku tau.Namun, tawa itu tak bertahan lama. Karena tak lama air mata pun jatuh menganak sungai.Selama ini aku mencoba menerima sikap ibu yang kasar tanpa bertanya mengapa dia bersikap demikian.Mungkin sebagai bentuk kasih sayangnya padaku.Tapi kenyataannya bukanlah itu.Tapi, apa aku masih bisa menerima perlakuannya setelah aku tau kenyataannya?Kenyataan yang membuat hati ini sangat sakit.Bagaimana tanggapan tetangga sekitar jika mengetahui fakta ini?Ku buka pintu rumah bibi perlahan agar tak berderit.Ruang tamu tampak lengang. Bibi pasti sudah tidur.Biasanya dia akan duduk menonton tv disini. Ku hembuskan nafas sesaat, dan melangkah menuju kamar. Berusaha menetralkan perasaan yang masih kacau karena fakta mengejutkan tadi. "Kenapa baru pulang, nak? Kamu mampir kemana dulu?" Tanpa ku duga, bibi keluar dari kamar Wiwin, dan langsung bertanya padaku. Aku bingung harus menjawab apa. Tapi, tiba-tiba saja ada ide yang terlintas di pikiranku."Ada yang mau Sandra tanyakan pada bibi. Dan Sandra mohon bibi jawab dengan jujur," ujarku dengan serius.Bibi sampai menatapku dengan kening mengerut."Mau tanya apa? Sini, duduk dekat bibi." Dia melangkah menuju sofa, dan duduk di atasnya.Aku pun melangkah, dan duduk di sampingnya.1 menit.2 menit.3 menit."Mau tanya apa? Kok, malah diam?" Bibi bertanya saat aku tak kunjung melempar pertanyaan padanya.Hati, dan pikiranku sibuk bergelut di dalam sana. Aku masih bimbang untuk lanjut be
Plak!Satu tamparan keras menghantam pipi ini.Membuat telinga ini langsung berdenging. Rasa kebas bercampur dengan panas menjalar di pipiku."Lembur apa maksud mu, hah?! Masih kecil sudah berani ku*ang aj4r kamu, ya? Belajar dari mana? Dari Wati, perempuan sok baik itu? Iya?!" bentak ibu.Merasa belum puas dengan satu tamparan. Ibu kembali mencengkeram kuat mulutku hingga kuku-kuku lentiknya terasa menusuk permukaan kulitku.Aku meringis menahan sakit, dan rasa takut.Nyaliku seketika ciut melihat api amarah di wajahnya."Nggak usah banyak omong. Cepat masak, dan bereskan rumah ini!" Dia melepas cengkraman tangannya dengan kasar, dan berlalu masuk kedalam kamarnya lagi.Aku menatap sampai tubuhnya hilang di balik pintu kamar. Aku menghembuskan nafas perlahan, dan mengerjakan perintahnya tadi dengan lesu.___Ku kerjakan perintah ibu dengan terburu-buru karena takut terlambat masuk sekolah.Setelah semuanya selesai aku pun melangkah menuju kamar, hendak mengambil tas sekolahku.Namun,
Aku tak percaya dengan ucapan yang keluar dari bibir ayah. Dia tak mau menceraikan ibu karena tak bisa melihat ibu, dan paman hidup bahagia.Apa bedanya dengan sekarang? Sekarang pun ibu, dan paman sudah sangat bahagia. Mereka sampai-sampai tak tau waktu, dan tempat bila ingin melakukan hubungan intim."Alasan itu terlalu klasik, Yah. Sandra nggak percaya. Pasti ada alasan yang lain kan? Boleh Sandra tau?" Ayah terlihat menghela nafas cukup dalam, dan menghembuskan nya perlahan.Tatapannya mengarah padaku. "Ayah malu, nak. Semua ini terjadi karena kesalahan ayah di masa lalu," ucapnya lirih.Aku tak menyahut ucapannya. Aku tau dia sudah siap untuk menjelaskan semuanya padaku.Tatapannya kembali menerawang jauh, "dulu ayah sangat mencintai Sari,ibumu. Tapi, sayangnya Sari nggak cinta sama ayah. Dia malah mencintai Tejo, adik kandung ayah sendiri. Karena kesal, dan merasa kalah saing dari Tejo. Ayah pun nekat berbuat hal hina, dan menjijikan itu padanya. Berharap dengan begitu Sari m
"Diarak keliling desa saja, pak RT!" "Iya, betul itu! Diarak saja!" "Iya!""Iya!" Terdengar suara riuh dari depan rumah. Aku, dan ayah yang baru sampai di kebun belakang rumah pun saling pandang dengan wajah terkejut."Ayo, cepat, nak!" Ayah menarik tanganku, dan melangkah cepat menuju ke halaman depan rumah. Aku terkejut melihat ibu, dan paman Tejo berada di tengah-tengah kerumunan warga dengan penampilan yang tragis. Ibu hanya memakai kain jariknya tadi pagi untuk menutupi tubuhnya. Sedangkan paman hanya memakai celana kolor saja.Sungguh pemandangan yang sangat memalukan.Rasanya aku ingin pergi dari sini, dan menyangkal bahwa dia bukan ibuku."Ada apa ini bapak-bapak, ibu-ibu? Ini istri, dan adik saya—" Ayah seakan tak sanggup berkata-kata lagi saat melihat wajah paman Tejo yang sudah babak-belur. Kondisi ibu pun sangat miris. Rambut yang berantakan dengan lelehan kuning telur di sekujur tubuhnya membuat tubuhnya menjadi berbau amis. "Istrimu itu sudah selingkuh sama adikmu
"Silahkan masuk, pak." Ayah berdiri menyambut mantan kades dengan senyum merekah. Dia mempersilahkan pak Salim, dan pak RT duduk di sofa. Pak Salim, dan ayah saling berjabat tangan. Usia mereka terlihat tak jauh berbeda. Hanya warna kulit ayah terlihat lebih gelap karena sering berjemur di bawah sinar matahari untuk mengurus kebun.Tak lama ibu, dan paman Tejo pun datang dari kamar mandi. Tapi sayang, penampilan ibu yang hanya mengenakan handuk membuat pak Salim, dan pak RT langsung membuang pandangannya. Aku, dan ayah hanya bisa menunduk diam. Karena seperti tadi, ibu sama sekali tak menghiraukan kami."Kamu masuk pake pakaian dulu, ya." Paman mendorong pelan tubuh ibu kearah kamar, dan tanpa menyapa kami. Paman langsung melangkah menuju sofa tunggal yang terletak di dekat tv. Paman terlihat cuek memangku kakinya dengan santai. "Bagaimana kabarnya mas Tejo?" Entah karena merasa tak enak hati. Pak RT pun berinisiatif mengajak paman berbincang."Seperti yang anda lihat," sahutny
"Kamu kenapa sih, mas? Kok, kaya nggak senang gitu tau aku hamil." Wajah ibu memberengut."Bukan begitu, sayang. Tapi, selama ini kan kamu selalu suntik KB. Masa bisa kebobolan, sih?" "Sebenarnya aku sudah lama nggak suntik, mas. Aku mau cepat hamil anak kamu. Biar bisa lepas dari dia," ungkap ibu seraya menunjuk ayah dengan dagunya."Astaga, matilah aku!" seru paman menepuk keningnya. " Kamu kenapa nekat Banget, sih?! Kan aku sudah bilang pake KB dulu kalau belum pisah sama Bang Dayat!" Nada bicara paman terdengar mulai meninggi. Membuat ibu langsung menunduk. "Aa-aku lakuin ini biar cepat lepas dari dia, dan kita bisa hidup berdua seperti impian kita, mas." "Tapi aku nggak tau anak itu murni anakku atau anak bang Dayat!" bentak paman. "Ini murni anak kamu, mas. Aku nggak pernah campur lagi sama dia." Ibu meraih tangan paman, namun segera di tepis dengan kasar oleh sang empunya. "Halah, omong kosong! Dulu sebelum menikah saja kamu mau dijamah sama dia. Apa lagi sekarang? Aku ngga
Sudah dua bulan sejak kepergian ibu, dan paman dari rumah ini. Sikap ayah jadi berubah murung. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kebun belakang dengan melamun. Ibu, dan paman Tejo pun tak pernah kelihatan lagi. Mereka seolah hilang bak ditelan bumi. Padahal mereka tinggal di desa sebelah. Aku kasihan melihat ayah yang terus-terusan murung. Dirinya seolah-olah kehilangan semangat hidupnya setelah kepergian ibu.Bahkan, dirinya sudah tak pernah lagi berkunjung ke kebun. Entah bagaimana nasib padi, dan sayur-sayuran di sana. Mungkin sudah habis di makan monyet. Begitu besar pengaruh ibu dalam hidup ayah. Dulu, biarpun ibu tak memperlakukannya dengan baik. Ayah selalu semangat, dan tak pernah terlihat murung seperti ini.Ayah, dan ibu pun sudah resmi bercerai secara hukum. Sepertinya ibu, dan paman yang mengurus surat perceraian itu. Sebab, ayah tak pernah terlihat keluar dari rumah ini. "Sandra!" Terdengar suara ayah yang berteriak memanggilku dari kebun belakang. Aku
Sesuai kesepakatan beberapa hari yang lalu. Kini aku, dan ayah sedang dalam perjalanan menuju desa tempat ayah di besarkan dulu. Wajah ayah pun sudah tak terlalu suram. Setelah perbincangan kami sore itu. Keesokan harinya ayah langsung berangkat ke kebun, dan melakukan kegiatan seperti biasanya. "Ayo turun, nak. Kita sudah sampai," ucap ayah seraya mengangkat tas yang berisi pakaian, dan beberapa buah tangan untuk sang bibi. Lalu dia pun bergegas turun dari angkot. Aku pun mengikuti langkahnya dari belakang dengan hati-hati agar kepalaku tak terantuk langit-langit mobil. Setelah turun dari angkot tadi, ayah langsung menyebrang jalan menuju sebuah warung makan. "Rumah nenek dimana, Yah?" tanyaku begitu tiba di dekatnya. Warung itu tampak lengang, hanya ada beberapa orang saja yang sedang menikmati makan siang mereka. "Ada di sebelah sana. Nanti kita kesana jalan kaki saja, ya. Dekat, kok," sahut ayah seraya menunjuk ke arah depan sana. Aku mengangguk, dan ikut duduk di sampingn