Share

3. Fakta yang mengejutkan.

Setelah ayah masuk, dan pintu kembali tertutup.

Aku pun segera melangkah perlahan menuju samping rumah.

Hanya di samping ini saja yang tak ada lampu sama sekali.

Aku jadi bebas menguping pembicaraan mereka di dalam sana.

"Kenapa datang? Ganggu aja." Itu suara ibu.

Suaranya terdengar ketus tanpa merasa takut sedikitpun pada ayah.

"Abang lupa, kalau hari kamis sampai hari Minggu adalah waktuku bersama Sari?" Suara paman pun terdengar kurang enak.

Dia mungkin merasa terganggu. Karena kedatangan ayah membuatnya harus menghentikan kegiatannya bersama ibu.

"Mas minta maaf karena mengganggu kalian. Tapi ada hal penting yang harus kita bicarakan malam ini juga."

"Hal penting apa, sih? Emang nggak bisa besok aja?" tukas paman.

Aku tak tau bagaimana ekspresi wajahnya sekarang. Tapi dari nada bicaranya, paman seperti tak menyukai ayah.

"Ini soal Sandra," jawab ayah tanpa mengindahkan protes dari paman.

"Kenapa dengan anakmu itu?" tanya paman dengan nada suara yang sama.

"Dia anakmu, Mas. Bukan anaknya." Ibu menentang ucapan paman.

Sedangkan aku yang mendengar obrolan mereka hampir jatuh pingsan.

Detak jantungku berdegup kencang. Tak mengerti arah pembicaraan mereka.

Kenyataan apa lagi ini, ya Allah?

Aku anak siapa?

Isakan tangisku terdengar lirih.

Ku pukul dada ini agar bisa mengurangi sedikit rasa sesak di dalamnya.

Sungguh rasanya seperti ada benda berat yang menimpanya di dalam sana.

Rasanya aku tak kuat bila terus mendengar obrolan mereka.

Tapi aku juga tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mengetahui rahasia mereka.

"Dia bukan anakku. Aku yakin itu!" bantah paman.

"Tapi, dul—"

"Itu bukan hal penting yang harus kita bicarakan sekarang. Aku datang kesini untuk memberitahu kalian bahwa Sandra sudah mulai curiga dengan kebiasaan kita." Ayah menyela ucapan ibu.

"Lalu kita harus apa? Nggak mungkin kalau satu Minggu penuh, Abang yang menguasai Sari. Dia juga istriku."

Deg!

Astaghfirullah. Apa lagi ini?

Apa ibu penganut poliandri?

Kalau iya. Kenapa aku baru mengetahuinya sekarang?

Pintar sekali mereka menyimpan rahasia.

Lalu aku anak siapa?

Sudah tak ada lagi air mata yang tumpah. Mata ini sudah terlalu perih untuk mengeluarkan cairan bening itu lagi.

Bertubi-tubi aku mendapatkan kejutan malam ini.

Rasa kecewa sudah bercampur dengan amarah.

Ya. Aku marah pada ayah, dan ibu yang menyimpan masalah ini sedemikian rupa.

Hingga kini aku baru mengetahuinya.

Aku tau mereka mungkin punya alasan tersendiri tentang berbagi istri.

Tapi aku juga turut andil di dalamnya.

Sekarang aku bingung siapa ayah kandungku yang sebenarnya.

"Abang tau itu. Makanya Abang datang kesini supaya kita rembukan ini bersama bagaimana baiknya."

"Kasih tau aja langsung sama Sandra. Gitu aja kok repot," ucap ibu dengan sewot.

"Mas takut melukai hatinya, dek."

"Hmm. Kalau gitu, Abang ceraikan Sari aja." Paman memberi usul.

"Itu nggak akan terjadi," sahut ayah tegas.

Aku merutuki jawaban ayah yang menolak untuk menceraikan ibu.

Apalagi yang mau dia pertahankan dari hubungan yang sudah lama tak sehat ini?

Setiap hari, ayah selalu diperlakukan tak baik oleh ibu.

Aku tak pernah melihat ibu menyiapkan kebutuhan ayah seperti yang biasa bibi Wati lakukan pada paman.

Ibu hanya memasak, itupun jika aku sedang sibuk dengan sekolahku. Karena dari bangku SMP, aku sudah mulai memasak.

Ibu hanya bersolek. Merias diri, dan wajahnya saja.

Setiap ayah pulang dari kebun, ibu tak pernah menyambutnya.

Dia seakan-akan sibuk dengan dunianya sendiri.

Betapa bodohnya aku yang baru bisa melihat dengan jelas perlakuan ibu pada ayah sangat berbeda, setelah tau kebenarannya.

Ibu juga tak pernah berkumpul bersama tetangga di sekitar rumah.

Dia hanya akan keluar jika pergi berbelanja saja.

Dan…

Ah. Aku baru ingat sekarang.

Ibu selalu membeli pakaian bermerek, dan alat make-up yang mahal.

Dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli semua itu?

Sudah pasti dari paman, suaminya.

Entah suami pertama atau kedua, aku tak tau.

Sebab, ayah tidak mempunyai uang sebanyak itu.

Ayah hanya seorang petani yang bisa mendapatkan uang jika hasil panennya terjual. Itupun tidak seberapa.

"Kenapa? Kenapa Abang nggak mau menceraikan Sari? Karena wasiat dari almarhum orang tua kita?" tanya paman.

Ayah hanya diam, tak menjawab.

"Wasiat itu sudah lama, bang. Abang bisa segera menceraikan Sari. Atau Abang punya alasan lain untuk bertahan?"

Lagi-lagi suara ayah tak terdengar.

Lama-lama aku menjadi kasihan pada ayah.

Dia sepertinya enggan melepas ibu. Tapi jika dipertahankan pun untuk apa?

Aku masih ingat dengan jelas bahu ayah yang bergetar saat mendengar suara aneh tadi

Itu artinya dia terluka. Kenapa tak dia lepas saja?

"Dorr! Hayo, kamu ngapain disini?"

Aku hampir terjungkal karena sebuah suara yang mengejutkanku.

Bagai orang kesetanan aku segera menoleh ke asal suara.

Setelah menemukan siapa pelakunya. Aku dengan cepat menarik orang tersebut menjauh dari tempat itu.

Aku melangkah cepat menuju kebun belakang rumah dengan tangan terus menarik orang yang sudah mengagetkan ku tadi.

"Kamu kenapa ngagetin aku, sih?" Dengan kesal aku bertanya pada Andi, teman sekolahku.

Entah dari mana dia, sampai-sampai bisa muncul di samping rumahku.

"Lah, kamu juga ngapain disitu? Kaya maling aja," sahutnya tak mau kalah.

Dia mengarahkan senter yang dibawanya ke sembarang arah.

"Matiin senternya."

"Kenapa? Kamu mau gelap-gelapan sama aku di sini? Sorry ya, aku masih suci. Ngga mau di grepe-grepe sama kamu." Dia menyembunyikan senter di belakang tubuhnya.

Tanpa menyahut ucapan konyolnya aku segera merebut senter tersebut, dan mematikannya.

Tanganku langsung membekap mulutnya saat dia hendak protes.

"Nggak ada siapa-siapa disini. Abang mending pulang ke pondok aja." Suara paman terdengar dekat.

Sudah kuduga mereka pasti mendengar suara Andi tadi.

Beruntung ada kandang ayam di belakang rumah. Itulah yang menjadi tempat kami bersembunyi.

____

"Kamu kenapa diam aja, San? Kamu marah gara-gara aku ngagetin kamu tadi? Terus ini kamu mau ke mana? Udah malam, loh ini." Andi mengejar langkahku dari belakang.

Mulutnya sedari tadi tak bisa diam.

Andi adalah tetangga jauhku. Wajar jika dirinya tidak mengetahui kebiasaan aneh keluargaku.

Aku tertawa miris saat mengingat kembali kenyataan yang tadi baru ku tau.

Namun, tawa itu tak bertahan lama. Karena tak lama air mata pun jatuh menganak sungai.

Selama ini aku mencoba menerima sikap ibu yang kasar tanpa bertanya mengapa dia bersikap demikian.

Mungkin sebagai bentuk kasih sayangnya padaku.

Tapi kenyataannya bukanlah itu.

Tapi, apa aku masih bisa menerima perlakuannya setelah aku tau kenyataannya?

Kenyataan yang membuat hati ini sangat sakit.

Bagaimana tanggapan tetangga sekitar jika mengetahui fakta ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status