Share

5. Berbicara pada ayah.

Plak!

Satu tamparan keras menghantam pipi ini.

Membuat telinga ini langsung berdenging.

Rasa kebas bercampur dengan panas menjalar di pipiku.

"Lembur apa maksud mu, hah?! Masih kecil sudah berani ku*ang aj4r kamu, ya? Belajar dari mana? Dari Wati, perempuan sok baik itu? Iya?!" bentak ibu.

Merasa belum puas dengan satu tamparan. Ibu kembali mencengkeram kuat mulutku hingga kuku-kuku lentiknya terasa menusuk permukaan kulitku.

Aku meringis menahan sakit, dan rasa takut.

Nyaliku seketika ciut melihat api amarah di wajahnya.

"Nggak usah banyak omong. Cepat masak, dan bereskan rumah ini!" Dia melepas cengkraman tangannya dengan kasar, dan berlalu masuk kedalam kamarnya lagi.

Aku menatap sampai tubuhnya hilang di balik pintu kamar. Aku menghembuskan nafas perlahan, dan mengerjakan perintahnya tadi dengan lesu.

___

Ku kerjakan perintah ibu dengan terburu-buru karena takut terlambat masuk sekolah.

Setelah semuanya selesai aku pun melangkah menuju kamar, hendak mengambil tas sekolahku.

Namun, saat melewati kamar ibu. Langkahku terhenti karena mendengar suara aneh di dalam sana.

Karena rasa penasaran, aku maju mendekati pintu kamar ibu.

Demi dapat mendengar suara itu dengan jelas. Ku dekatkan telinga pada daun pintu tersebut.

"Ahh, ya. Terus, mas."

Deg!

Jantungku nyaris berhenti berdetak saat mendengar suara rintihan ibu dari dalam kamar yang masih tertutup rapat.

Bisa-bisanya ibu berbuat demikian saat aku masih berada di rumah.

Aku beringsut menjauh dari pintu kamar itu dengan terus mengucap istighfar.

Sungguh, aku sangat kesal dengan rasa penasaranku yang membuatku harus mendengar suara menjijikkan itu.

Ingin rasanya aku keluar memanggil seluruh tetangga untuk menggebrak mereka.

Tapi, sayangnya aku tak seberani itu.

Aku akan bertanya pada ayah terlebih dahulu.

Tanpa berlama-lama lagi, aku segera mengambil tas, dan bergegas menuju sekolah.

Membawa serta pikiran kalut karena masalah keluarga yang begitu rumit.

___

Sepulang dari sekolah tanpa berganti pakaian lagi, aku langsung menyusul ayah di kebun.

Kebun ayah terletak di belakang desa tempat kami tinggal.

Jaraknya memang tak terlalu jauh. Tapi jalanan yang berbatu serta tanjakan, dan turunan yang cukup curam membuatku harus berjalan dengan hati-hati.

Tak apalah, yang penting aku bisa bertanya langsung pada ayah.

Karena rasa penasaranku ini tak bisa lagi ku tahan lama-lama.

"Ayah!" Ku panggil ayah yang sedang sibuk menghalau burung-burung kecil yang hendak memakan butiran padi yang sudah mulai menguning.

Ayah menoleh ke sembarang arah, mencari asal suara ku.

"Sandra disini!" Ku lambaikan tangan kearahnya agar ayah bisa melihat keberadaanku.

Ayah langsung berjalan ke arahku dengan tergesa-gesa, tak luput juga ekspresi terkejut yang menghiasi wajah lelahnya.

Sedangkan aku sibuk menyeka keringat yang membanjiri wajah dengan ujung jilbabku.

Aku tersenyum pada ayah yang masih berjalan menuju kearah ku.

Jalanan yang parah, dan cuaca yang cukup panas membuatku merasa haus.

Aku memutuskan untuk masuk kedalam pondok terlebih dahulu untuk mengambil air.

"Loh, nak? Kenapa kesini? Kamu udah makan?" Ayah bertanya seraya melepas topi kerjanya, dan ikut mengambil air minum.

Aku menggeleng pelan setelah meneguk habis air satu gelas. "Ada yang mau Sandra tanyakan pada ayah. Sandra mohon, ayah jawab dengan jujur." Ku tatap wajah ayah yang letih karena mengurus kebun seorang diri.

Berbeda dengan beberapa orang tetangga. Istri mereka pasti akan menemani sang suami bekerja di kebun.

"Masalah apa? Apa yang mau kamu tanyakan pada ayah?"

"Apa ibu memiliki dua orang suami?" tanyaku langsung pada intinya.

Sama seperti bibi Wati. Wajah ayah pun nampak sangat terkejut mendengar pertanyaanku.

"Ka-kamu ii-ini bicara apa, sih?" jawabnya gugup di sertai dengan kekehan garing yang keluar dari mulutnya. "Mana ada yang seperti itu. Kan dalam agama nggak boleh seorang wanita punya dua suami," imbuhnya lagi tanpa menatapku.

Hati ini terasa sakit karena ayah sendiri pun tak mau berkata jujur padaku.

Sebenarnya aku ini mereka anggap apa?

Apa aku mereka anggap sebuah boneka mati?

Semuanya seakan-akan menyembunyikan hal menjijikan itu dariku.

"Kenapa? Kenapa ayah berbohong? Ayah anggap Sandra ini apa?! Hiks." Aku menjerit di hadapan ayah.

Menumpahkan air mata karena rasa sakit hati.

Ayah gelagapan melihatku menangis, " sssssttt. Kamu kenapa, nak?" Tangan kasarnya menyeka air mataku dengan pelan, penuh perhatian.

"Ayah nggak bohong sama kamu, nak. Lagian kamu dengar dari siapa kalau ibu punya dua suami?" imbuhnya lagi, seraya menatap ku penuh perhatian.

"Sandra sudah tau semuanya. Sandra dengar semua obrolan ayah, ibu, dan paman Tejo tadi malam. Tadi malam paman Tejo menginap di rumah'kan? Bahkan, tadi pagi pun dia masih ada di rumah," ucapku pada ayah.

Ayah menatapku dengan ekspresi wajah yang tak bisa di artikan.

Tak lama kemudian dia langsung membuang pandangannya ke sembarang arah.

"Kenapa ayah nggak mau menceraikan ibu? Toh, selama ini ayah nggak pernah di perlakukan baik sama ibu. Sandra akan ikut sama ayah, Sandra akan dukung ayah seratus persen untuk bercerai dengan ibu.

Sandra tau ayah sakit hati dengan hubungan seperti ini. Ayah hebat sudah bertahan selama ini. Tapi, Sandra mohon ceraikan ibu. Lepaskan luka yang selama ini ayah simpan seorang diri. Ayah berhak untuk bahagia. Ayah masih muda. Ayahku cukup tampan untuk mendapatkan seorang wanita cantik, dan soleha. Wanita yang bisa menghargai ayah. Sandra mohon," ucapku memohon sekaligus menghiburnya.

Biarkanlah aku di anggap anak durhaka karena menyuruh orang tuanya bercerai. Dari pada cinta pertamaku menahan sakit terus-menerus.

Ayah menatapku dengan mata berkaca-kaca. Sedetik kemudian bulir bening itu jatuh membasahi pipinya.

"Ayah takut, nak. Ayah takut melepaskan ibumu. Ayah takut hati ini nggak kuat lihat ibumu bahagia dengan Tejo," ucapnya dengan pandangan menerawang jauh.

Tatapan sendu. Itulah yang ku tangkap dari raut wajahnya.

Aku menghela nafas panjang. Demi mengeluarkan beban berat yang ku pikul karena ulah orang tuaku.

Ini akan jadi semakin sulit karena ayah pun terlihat enggan untuk melepaskan ibu.

Mau sampai kapan mereka hidup dengan berbagi istri seperti ini?

Sebenarnya hal apa yang membuat mereka sampai harus berbagi istri?

Namun, apa pun alasannya. Berbagi istri sangat di larang oleh agama.

Apa aku harus bertanya pada ayah tentang alasannya?

Apa aku tak akan durhaka?

Kembali aku melihat wajah ayah yang masih menatap ke lain tempat.

Hati, dan mental ayah sungguh kuat bisa bertahan selama ini.

Sedangkan aku yang baru satu hari mendengar suara desa*an mereka saja sudah merasa jijik, dan muak.

____

Mohon maaf karena jam tayangnya tidak teratur.

Saya hanyalah seorang ibu yang memiliki seorang anak istimewa.

Mohon pengertiannya 🙏🏻

Salam santun 😊🙏🏻

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status