Plak!
Satu tamparan keras menghantam pipi ini.Membuat telinga ini langsung berdenging.Rasa kebas bercampur dengan panas menjalar di pipiku."Lembur apa maksud mu, hah?! Masih kecil sudah berani ku*ang aj4r kamu, ya? Belajar dari mana? Dari Wati, perempuan sok baik itu? Iya?!" bentak ibu.Merasa belum puas dengan satu tamparan. Ibu kembali mencengkeram kuat mulutku hingga kuku-kuku lentiknya terasa menusuk permukaan kulitku.Aku meringis menahan sakit, dan rasa takut.Nyaliku seketika ciut melihat api amarah di wajahnya."Nggak usah banyak omong. Cepat masak, dan bereskan rumah ini!" Dia melepas cengkraman tangannya dengan kasar, dan berlalu masuk kedalam kamarnya lagi.Aku menatap sampai tubuhnya hilang di balik pintu kamar. Aku menghembuskan nafas perlahan, dan mengerjakan perintahnya tadi dengan lesu.___Ku kerjakan perintah ibu dengan terburu-buru karena takut terlambat masuk sekolah.Setelah semuanya selesai aku pun melangkah menuju kamar, hendak mengambil tas sekolahku.Namun, saat melewati kamar ibu. Langkahku terhenti karena mendengar suara aneh di dalam sana.Karena rasa penasaran, aku maju mendekati pintu kamar ibu.Demi dapat mendengar suara itu dengan jelas. Ku dekatkan telinga pada daun pintu tersebut."Ahh, ya. Terus, mas."Deg!Jantungku nyaris berhenti berdetak saat mendengar suara rintihan ibu dari dalam kamar yang masih tertutup rapat.Bisa-bisanya ibu berbuat demikian saat aku masih berada di rumah.Aku beringsut menjauh dari pintu kamar itu dengan terus mengucap istighfar.Sungguh, aku sangat kesal dengan rasa penasaranku yang membuatku harus mendengar suara menjijikkan itu.Ingin rasanya aku keluar memanggil seluruh tetangga untuk menggebrak mereka.Tapi, sayangnya aku tak seberani itu.Aku akan bertanya pada ayah terlebih dahulu.Tanpa berlama-lama lagi, aku segera mengambil tas, dan bergegas menuju sekolah.Membawa serta pikiran kalut karena masalah keluarga yang begitu rumit.___Sepulang dari sekolah tanpa berganti pakaian lagi, aku langsung menyusul ayah di kebun.Kebun ayah terletak di belakang desa tempat kami tinggal.Jaraknya memang tak terlalu jauh. Tapi jalanan yang berbatu serta tanjakan, dan turunan yang cukup curam membuatku harus berjalan dengan hati-hati.Tak apalah, yang penting aku bisa bertanya langsung pada ayah.Karena rasa penasaranku ini tak bisa lagi ku tahan lama-lama."Ayah!" Ku panggil ayah yang sedang sibuk menghalau burung-burung kecil yang hendak memakan butiran padi yang sudah mulai menguning.Ayah menoleh ke sembarang arah, mencari asal suara ku."Sandra disini!" Ku lambaikan tangan kearahnya agar ayah bisa melihat keberadaanku.Ayah langsung berjalan ke arahku dengan tergesa-gesa, tak luput juga ekspresi terkejut yang menghiasi wajah lelahnya.Sedangkan aku sibuk menyeka keringat yang membanjiri wajah dengan ujung jilbabku.Aku tersenyum pada ayah yang masih berjalan menuju kearah ku.Jalanan yang parah, dan cuaca yang cukup panas membuatku merasa haus.Aku memutuskan untuk masuk kedalam pondok terlebih dahulu untuk mengambil air."Loh, nak? Kenapa kesini? Kamu udah makan?" Ayah bertanya seraya melepas topi kerjanya, dan ikut mengambil air minum.Aku menggeleng pelan setelah meneguk habis air satu gelas. "Ada yang mau Sandra tanyakan pada ayah. Sandra mohon, ayah jawab dengan jujur." Ku tatap wajah ayah yang letih karena mengurus kebun seorang diri.Berbeda dengan beberapa orang tetangga. Istri mereka pasti akan menemani sang suami bekerja di kebun."Masalah apa? Apa yang mau kamu tanyakan pada ayah?""Apa ibu memiliki dua orang suami?" tanyaku langsung pada intinya.Sama seperti bibi Wati. Wajah ayah pun nampak sangat terkejut mendengar pertanyaanku."Ka-kamu ii-ini bicara apa, sih?" jawabnya gugup di sertai dengan kekehan garing yang keluar dari mulutnya. "Mana ada yang seperti itu. Kan dalam agama nggak boleh seorang wanita punya dua suami," imbuhnya lagi tanpa menatapku.Hati ini terasa sakit karena ayah sendiri pun tak mau berkata jujur padaku.Sebenarnya aku ini mereka anggap apa?Apa aku mereka anggap sebuah boneka mati?Semuanya seakan-akan menyembunyikan hal menjijikan itu dariku."Kenapa? Kenapa ayah berbohong? Ayah anggap Sandra ini apa?! Hiks." Aku menjerit di hadapan ayah.Menumpahkan air mata karena rasa sakit hati.Ayah gelagapan melihatku menangis, " sssssttt. Kamu kenapa, nak?" Tangan kasarnya menyeka air mataku dengan pelan, penuh perhatian."Ayah nggak bohong sama kamu, nak. Lagian kamu dengar dari siapa kalau ibu punya dua suami?" imbuhnya lagi, seraya menatap ku penuh perhatian."Sandra sudah tau semuanya. Sandra dengar semua obrolan ayah, ibu, dan paman Tejo tadi malam. Tadi malam paman Tejo menginap di rumah'kan? Bahkan, tadi pagi pun dia masih ada di rumah," ucapku pada ayah.Ayah menatapku dengan ekspresi wajah yang tak bisa di artikan.Tak lama kemudian dia langsung membuang pandangannya ke sembarang arah."Kenapa ayah nggak mau menceraikan ibu? Toh, selama ini ayah nggak pernah di perlakukan baik sama ibu. Sandra akan ikut sama ayah, Sandra akan dukung ayah seratus persen untuk bercerai dengan ibu.Sandra tau ayah sakit hati dengan hubungan seperti ini. Ayah hebat sudah bertahan selama ini. Tapi, Sandra mohon ceraikan ibu. Lepaskan luka yang selama ini ayah simpan seorang diri. Ayah berhak untuk bahagia. Ayah masih muda. Ayahku cukup tampan untuk mendapatkan seorang wanita cantik, dan soleha. Wanita yang bisa menghargai ayah. Sandra mohon," ucapku memohon sekaligus menghiburnya.Biarkanlah aku di anggap anak durhaka karena menyuruh orang tuanya bercerai. Dari pada cinta pertamaku menahan sakit terus-menerus.Ayah menatapku dengan mata berkaca-kaca. Sedetik kemudian bulir bening itu jatuh membasahi pipinya."Ayah takut, nak. Ayah takut melepaskan ibumu. Ayah takut hati ini nggak kuat lihat ibumu bahagia dengan Tejo," ucapnya dengan pandangan menerawang jauh.Tatapan sendu. Itulah yang ku tangkap dari raut wajahnya.Aku menghela nafas panjang. Demi mengeluarkan beban berat yang ku pikul karena ulah orang tuaku.Ini akan jadi semakin sulit karena ayah pun terlihat enggan untuk melepaskan ibu.Mau sampai kapan mereka hidup dengan berbagi istri seperti ini?Sebenarnya hal apa yang membuat mereka sampai harus berbagi istri?Namun, apa pun alasannya. Berbagi istri sangat di larang oleh agama.Apa aku harus bertanya pada ayah tentang alasannya?Apa aku tak akan durhaka?Kembali aku melihat wajah ayah yang masih menatap ke lain tempat.Hati, dan mental ayah sungguh kuat bisa bertahan selama ini.Sedangkan aku yang baru satu hari mendengar suara desa*an mereka saja sudah merasa jijik, dan muak.____Mohon maaf karena jam tayangnya tidak teratur.Saya hanyalah seorang ibu yang memiliki seorang anak istimewa.Mohon pengertiannya 🙏🏻Salam santun 😊🙏🏻Aku tak percaya dengan ucapan yang keluar dari bibir ayah. Dia tak mau menceraikan ibu karena tak bisa melihat ibu, dan paman hidup bahagia.Apa bedanya dengan sekarang? Sekarang pun ibu, dan paman sudah sangat bahagia. Mereka sampai-sampai tak tau waktu, dan tempat bila ingin melakukan hubungan intim."Alasan itu terlalu klasik, Yah. Sandra nggak percaya. Pasti ada alasan yang lain kan? Boleh Sandra tau?" Ayah terlihat menghela nafas cukup dalam, dan menghembuskan nya perlahan.Tatapannya mengarah padaku. "Ayah malu, nak. Semua ini terjadi karena kesalahan ayah di masa lalu," ucapnya lirih.Aku tak menyahut ucapannya. Aku tau dia sudah siap untuk menjelaskan semuanya padaku.Tatapannya kembali menerawang jauh, "dulu ayah sangat mencintai Sari,ibumu. Tapi, sayangnya Sari nggak cinta sama ayah. Dia malah mencintai Tejo, adik kandung ayah sendiri. Karena kesal, dan merasa kalah saing dari Tejo. Ayah pun nekat berbuat hal hina, dan menjijikan itu padanya. Berharap dengan begitu Sari m
"Diarak keliling desa saja, pak RT!" "Iya, betul itu! Diarak saja!" "Iya!""Iya!" Terdengar suara riuh dari depan rumah. Aku, dan ayah yang baru sampai di kebun belakang rumah pun saling pandang dengan wajah terkejut."Ayo, cepat, nak!" Ayah menarik tanganku, dan melangkah cepat menuju ke halaman depan rumah. Aku terkejut melihat ibu, dan paman Tejo berada di tengah-tengah kerumunan warga dengan penampilan yang tragis. Ibu hanya memakai kain jariknya tadi pagi untuk menutupi tubuhnya. Sedangkan paman hanya memakai celana kolor saja.Sungguh pemandangan yang sangat memalukan.Rasanya aku ingin pergi dari sini, dan menyangkal bahwa dia bukan ibuku."Ada apa ini bapak-bapak, ibu-ibu? Ini istri, dan adik saya—" Ayah seakan tak sanggup berkata-kata lagi saat melihat wajah paman Tejo yang sudah babak-belur. Kondisi ibu pun sangat miris. Rambut yang berantakan dengan lelehan kuning telur di sekujur tubuhnya membuat tubuhnya menjadi berbau amis. "Istrimu itu sudah selingkuh sama adikmu
"Silahkan masuk, pak." Ayah berdiri menyambut mantan kades dengan senyum merekah. Dia mempersilahkan pak Salim, dan pak RT duduk di sofa. Pak Salim, dan ayah saling berjabat tangan. Usia mereka terlihat tak jauh berbeda. Hanya warna kulit ayah terlihat lebih gelap karena sering berjemur di bawah sinar matahari untuk mengurus kebun.Tak lama ibu, dan paman Tejo pun datang dari kamar mandi. Tapi sayang, penampilan ibu yang hanya mengenakan handuk membuat pak Salim, dan pak RT langsung membuang pandangannya. Aku, dan ayah hanya bisa menunduk diam. Karena seperti tadi, ibu sama sekali tak menghiraukan kami."Kamu masuk pake pakaian dulu, ya." Paman mendorong pelan tubuh ibu kearah kamar, dan tanpa menyapa kami. Paman langsung melangkah menuju sofa tunggal yang terletak di dekat tv. Paman terlihat cuek memangku kakinya dengan santai. "Bagaimana kabarnya mas Tejo?" Entah karena merasa tak enak hati. Pak RT pun berinisiatif mengajak paman berbincang."Seperti yang anda lihat," sahutny
"Kamu kenapa sih, mas? Kok, kaya nggak senang gitu tau aku hamil." Wajah ibu memberengut."Bukan begitu, sayang. Tapi, selama ini kan kamu selalu suntik KB. Masa bisa kebobolan, sih?" "Sebenarnya aku sudah lama nggak suntik, mas. Aku mau cepat hamil anak kamu. Biar bisa lepas dari dia," ungkap ibu seraya menunjuk ayah dengan dagunya."Astaga, matilah aku!" seru paman menepuk keningnya. " Kamu kenapa nekat Banget, sih?! Kan aku sudah bilang pake KB dulu kalau belum pisah sama Bang Dayat!" Nada bicara paman terdengar mulai meninggi. Membuat ibu langsung menunduk. "Aa-aku lakuin ini biar cepat lepas dari dia, dan kita bisa hidup berdua seperti impian kita, mas." "Tapi aku nggak tau anak itu murni anakku atau anak bang Dayat!" bentak paman. "Ini murni anak kamu, mas. Aku nggak pernah campur lagi sama dia." Ibu meraih tangan paman, namun segera di tepis dengan kasar oleh sang empunya. "Halah, omong kosong! Dulu sebelum menikah saja kamu mau dijamah sama dia. Apa lagi sekarang? Aku ngga
Sudah dua bulan sejak kepergian ibu, dan paman dari rumah ini. Sikap ayah jadi berubah murung. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kebun belakang dengan melamun. Ibu, dan paman Tejo pun tak pernah kelihatan lagi. Mereka seolah hilang bak ditelan bumi. Padahal mereka tinggal di desa sebelah. Aku kasihan melihat ayah yang terus-terusan murung. Dirinya seolah-olah kehilangan semangat hidupnya setelah kepergian ibu.Bahkan, dirinya sudah tak pernah lagi berkunjung ke kebun. Entah bagaimana nasib padi, dan sayur-sayuran di sana. Mungkin sudah habis di makan monyet. Begitu besar pengaruh ibu dalam hidup ayah. Dulu, biarpun ibu tak memperlakukannya dengan baik. Ayah selalu semangat, dan tak pernah terlihat murung seperti ini.Ayah, dan ibu pun sudah resmi bercerai secara hukum. Sepertinya ibu, dan paman yang mengurus surat perceraian itu. Sebab, ayah tak pernah terlihat keluar dari rumah ini. "Sandra!" Terdengar suara ayah yang berteriak memanggilku dari kebun belakang. Aku
Sesuai kesepakatan beberapa hari yang lalu. Kini aku, dan ayah sedang dalam perjalanan menuju desa tempat ayah di besarkan dulu. Wajah ayah pun sudah tak terlalu suram. Setelah perbincangan kami sore itu. Keesokan harinya ayah langsung berangkat ke kebun, dan melakukan kegiatan seperti biasanya. "Ayo turun, nak. Kita sudah sampai," ucap ayah seraya mengangkat tas yang berisi pakaian, dan beberapa buah tangan untuk sang bibi. Lalu dia pun bergegas turun dari angkot. Aku pun mengikuti langkahnya dari belakang dengan hati-hati agar kepalaku tak terantuk langit-langit mobil. Setelah turun dari angkot tadi, ayah langsung menyebrang jalan menuju sebuah warung makan. "Rumah nenek dimana, Yah?" tanyaku begitu tiba di dekatnya. Warung itu tampak lengang, hanya ada beberapa orang saja yang sedang menikmati makan siang mereka. "Ada di sebelah sana. Nanti kita kesana jalan kaki saja, ya. Dekat, kok," sahut ayah seraya menunjuk ke arah depan sana. Aku mengangguk, dan ikut duduk di sampingn
POV Tejo. ___"Mas, kamar kamu masih yang waktu itu, kan?" tanya Sari antusias begitu turun dari atas motor. Kami baru saja sampai di rumah peninggalan almarhum ibu. Aku mengangguk mengiyakan, dan lanjut memarkirkan motor disamping rumah agar tak terkena hujan nanti malam. Sekarang memang lagi musim hujan. Tiap malam menjelang subuh pasti hujan akan turun. "Eh! Kamu mau kemana?" Aku sungguh terkejut melihat Sari yang hendak masuk kedalam kamar yang biasa ku tempati. Dengan cepat aku melangkah ke arahnya, dan menepis tangan yang hendak membuka pintu kamar itu sedikit kasar. "Loh, kenapa sih, mas?" Tanyanya dengan wajah heran bercampur kaget. "Kamu mau ngapain masuk kesini? Ini kamar aku. Kamar kamu yang itu." Ku tunjuk sebuah kamar yang terletak di samping ruang tamu. "Maksudnya?" tanyanya lagi. Rupanya dia belum juga mengerti apa yang aku ucapkan barusan."Kamar kamu yang di depan sana. Ini kamar aku. Udah paham?" Aku menjelaskan dengan tegas. Agar dia tak lagi bertanya. "A
POV Tejo.___Sudah dua hari Sari tinggal di rumah ini. Aku menyuruhnya berpura-pura menjadi pembantu jika Gina datang nanti.Walau awalnya dia sempat menolak, dan berteriak-teriak tak mau. Tapi, perlahan dia mulai mau mengerjakan tugas pembantu. Tentunya dengan sebuah ancaman dariku. Dia akan ku usir dari rumah ini jika tak mau menuruti perintahku. "Mas." Dia memanggilku dengan manja saat aku tengah duduk santai sambil menonton tv. Aku menoleh padanya dengan alis yang menukik tajam. "Jangan panggil aku, mas. Biasakan dirimu untuk memanggilku TUAN!" tandasku penuh penekanan.Sudah berulang-ulang ku jelaskan tapi, dirinya seolah batu yang sangat keras. Tak pernah menurut.Aku tak mau Gina tau hubungan kami. Aku malu kalau sampai Gina tau aku berbagi istri dengan abangku sendiri. "Kan si pel4k0r itu nggak ada,"ujarnya dengan nada manja. "Emm, maaf. Maksudku Gina." Dia buru-buru meralat ucapannya saat ku pelototi dengan tajam. Dia mendudukan bobotnya diatas pahaku. Aku membiarka