Share

EMPAT

Bora hanyalah anak SMA yang mengandalkan kekayaan kedua orang tuanya, meskipun mereka berdua sudah cerai.

Jadi Bora belum memahami kesulitan orang lain.

Ditya menjelaskan kepada Bora. "Apakah kamu tahu tentang undang-undang kesejahteraan hewan?"

"Ya, aku paham."

"Undang-undang itu jarang diterapkan oleh orang Indonesia."

"Kenapa?"

"Karena mereka malas membaca. Mereka mengabaikan dan ada beberapa kasus yang masuk, mereka tidak punya mulut untuk berteriak hak mereka untuk hidup. Manusia hanya menganggapnya sebagai hama."

Bora mengangguk paham. "Dokter, apakah aku bisa mengubah semuanya  jika berusaha keras?"

Ditya tersenyum. "Ya, kamu bisa. Kamu bisa menggunakan aku dan aku juga menggunakan kamu."

Bora menatap tidak percaya Ditya. "Dokter."

"Kamu bisa keluar dari sekolah sekarang dan masuk universitas ini. Aku rasa kamu pasti mampu jika bekerja keras."

"Aku mengulang SMA dan belum lulus, bagaimana bisa-"

"Kamu bisa ikut kelas paket C tapi juga mengejar ujian kelulusan tahun depan. Jika kamu lulus paket C tahun ini, aku akan memasukan kamu ke jurusan hukum di universitas milik kenalanku."

"Dokter, apakah anda kaya raya?" Tanya Bora yang masih tidak paham dengan jalan pikiran Ditya.

"Tidak, aku hanya memanfaatkan koneksi. Kebetulan saja, pemilik hewan yang datang memiliki latar belakang luar biasa."

"Apakah aku bisa mengakalinya?" Tanya Bora.

"Kamu cerdas, Bora. Pasti bisa mengatasi dengan baik."

"Bagaimana jika aku gagal? Apakah dokter akan marah?"

"Tidak, aku yakin kamu tidak akan gagal."

Bora cemberut. "Kenapa dokter bisa seyakin itu?"

"Karena kamu punya cheat yang bisa menguntungkan. Jika kamu menggunakannya dengan baik, kamu bisa mengalahkan semua orang."

Cheat?

Bora masih tidak paham dengan perkataan dokter Ditya.

"Dan aku sarankan kamu tetap tinggal di rumah papa kamu sekarang."

"Aku sudah membuat dia marah, bagaimana caranya aku bisa kembali ke sana?" Tanya Bora. "Aku malas tinggal di sana."

"Kalau begitu, mau bantuan aku?"

"Apa?"

***

"Aku tidak menyangka kamu berteman dengan keponakan salah satu orang terkaya di Indonesia, bagaimana kamu bisa mengenalnya, Bora?" Tanya papa Bora kepada Bora yang duduk di sampingnya.

Ibu tiri yang duduk berhadapan dengan Bora, tidak menyembunyikan permusuhannya sama sekali.

Kakak tiri perempuan Bora juga kesal mendengarnya, lalu mengeluarkan sindiran. "Apakah selama tidak masuk sekolah kamu bermain dengan banyak pria?" Tuduhnya.

Papa Bora tidak suka dengan perkataan itu dan menatap Bora dengan tuntutan.

Bora tidak tahu sehebat apa pria yang mengantarnya pulang dan memberikan alasan seperti yang sudah diajarkan dokter Ditya. "Kami hanya teman sesama grup pecinta hewan."

Papa Bora menghela napas lega.

Kakak tiri perempuan, masih belum puas dengan penjelasan Bora. "Teman grup sesama pecinta hewan? Apakah kamu diam-diam merawat hewan di luar?"

Bora menjawab dengan santai. "Terserah apa yang aku lakukan di luar sana, selama tidak merugikan papa."

Ibu tiri memberikan peringatan ke Bora. "Hanya karena kamu berteman dengan orang penting, bukan berarti bisa bersikap sombong. Kamu sudah mengulang satu tahun SMA hanya karena membolos, jadi aku sarankan supaya kamu tidak bermain-main di rumah."

Bora tidak menjawab.

Papa Bora menegurnya. "Bora, ibu kamu sedang menasehati. Jangan diam saja."

Bora menjawab 'ya' dengan nada muram.

Papa Bora menghela napas lega lalu kembali makan.

Ibu Bora melayani suaminya dengan baik sementara kedua anaknya berceloteh dengan riang.

Saat menikmati makan malam, tiba-tiba Bora melihat sesuatu di atas kepala ibu tirinya.

Bora menyipitkan kedua mata lalu menggosok kedua mata dengan kepalan mata, pasti ada yang salah dengan penglihatannya.

Bora kembali melihat atas ibu tiri dan benda itu masih ada di atas kepala.

Bora bisa melihat gambaran ibu tiri sedang pergi bersenang-senang dengan teman-temannya lalu membuang uang ke sembarang arah.

Bora mengalihkan pandangannya ke dua kakak tiri yang juga ada semacam kotak di atas kepala

Kakak tiri perempuan menindas di sekolah dan menggunakan nama papa Bora tanpa malu, lalu kakak tiri laki-laki seperti bersenang-senang di atas tempat tidur dan muncul wajah wanita.

Kedua mata Bora terbelalak ketika mengenal wanita yang merupakan guru di sekolahnya, lalu setelah selesai bercengkrama di atas tempat tidur, guru itu diberikan uang.

Bora tidak tahu kalau keluarga tirinya sebejat itu.

Bora mengalihkan tatapan ke papa dan lebih terkejut ketika melihat dia sedang keluar bersama orang-orang dewasa lainnya dan berdiskusi masalah uang.

Kapan?

Apakah itu adalah bayangan masa depan?

Atau masa lalu orang lain?

Jantung Bora berdebar keras, menggenggam sendok dan garpu dengan erat, dia memberanikan diri untuk bertanya.

"Papa, apakah seharian ini papa sibuk?"

Papa Bora mengangguk. "Tentu saja, menjadi calon presiden merupakan hal yang paling menyibukkan."

Bora sekali lagi melihat atas kepala papanya. "Oh, begitu. Apakah hari ini papa mendapat sponsor untuk kampanye?"

Papa Bora tertawa. "Tentu saja! Papa mendapat sponsor yang sangat bagus, dari mana kamu tahu tentang hal ini?"

Bora bisa melihat satu koper uang yang diberikan untuk papanya. "Tidak, hanya saja hari ini suasana hati papa sangat bagus."

Papa Bora mengangguk. "Yah, papa berusaha kerja keras untuk keluarga kita, jadi kamu juga harus bisa bekerja keras."

Kakak tiri Bora menimpali dengan nada meremehkan. "Bukankah, tahun ini Bora harus mengulang pelajaran? Jika lawan politik tahu skandal yang dibuat Bora, apakah papa tidak akan malu?"

Kakak tiri laki-laki Bora mengangguk setuju. "Lebih baik kirim Bora ke asrama, dia hanya pengecut yang sakit hati hanya karena seekor anjing."

Ibu tiri memberikan api ke papa Bora. "Sayang, Bora tidak baik untuk kampanye politik kamu. Dia tidak bisa menjadi contoh untuk anak-anak muda Indonesia, kamu tidak bisa membawa dia atau memperkenalkan dia sebagai anak kamu."

"Benar, selangkah lagi papa akan menjadi presiden. Papa tidak mungkin menghancurkan usaha dan kerja keras selama ini bukan?"

"Benar, benar."

Bora menatap mereka berempat satu persatu, seolah musuh. "Aku setuju masuk asrama demi papa."

Ibu dan kedua saudara tiri terkejut begitu mendengar persetujuan Bora. Biasanya dia akan menolak keras atau marah jika tidak sesuai dengan keinginan, namun sekarang dia menjadi anak penurut?

Bora mengangguk. "Aku akan keluar sekolah dan masuk asrama, seperti yang kalian semua ketahui, aku menderita anxiety disorder, kecemasan berlebih. Alih-alih kalian ikut bantu menyembuhkan aku, kalian malah menyebarkan garam untuk aku."

"Bora!" Papa Bora menegur keras putrinya.

Bora mengaduk makanan di atas meja makan lalu menyodorkan piring ke ayahnya. "Papa lihat, aku alergi kerang dan ada kerang di dalamnya."

Ibu tiri Bora menjadi panik. "Astaga, Bora. Ibu baru tahu kamu alergi kerang. Maaf."

"Tidak perlu, ibu juga tidak berniat mengetahuinya." Bora menjawab dengan santai. "Aku akan masuk sekolah yang sekarang untuk melakukan persiapan pindah. Papa tidak perlu khawatir."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status