Share

TIGA

Bora melihat cermin satu badan di kamar, tangannya menyentuh cermin. Apa yang diberitahu Bern seolah masa depan yang akan terjadi.

'Bolehkah aku merubah masa depan?'

'Tentu, Bora. Aku adalah kunci supaya kamu bisa merubah masa depan.'

"Kunci?"

Bora tertawa sedih begitu mengingat penglihatan di dalam mimpinya. 'Aku dan papa melarikan diri dari suatu hal yang tidak diketahui lalu mobil oleng dan tanpa sengaja menabrak orang, warga disekitar mengamuk dan mengeluarkan papa lalu memukulinya. Aku yang berusaha melindungi papa juga terseret dan Bern yang berusaha melindungiku dipukul warga dengan balok kayu. Kami bertiga meninggal di sana.'

Dada Bora merasakan kesedihan mendalam. "Aku tidak ingin kehilangan papa tapi aku juga tidak ingin kehilangan Bern."

Tok! Tok!

"Bora! Kamu sudah bangun?! Sebentar lagi papa berangkat!" teriak kakak tiri Bora yang perempuan.

Bora menghapus air mata dan segera keluar dari kamar.

Aku harus kuat, Bern sudah memberikan visi untukku. Batin Bora lalu mendadak diam.

Tidak lama Bora balik badan dan melihat kakak tirinya.

Tidak lama muncul visi di hadapannya.

Kakak tiri Bora menuang lem tikus yang banyak di sepanjang pegangan tangga. Hanya itu visi yang ditunjukan.

Bora mendapat ide. "Kakak."

"Apa?"

Bora tersenyum. "Apakah tidak cukup bagi kalian untuk membakar Bern?"

Kakak tiri Bora menjadi bingung. "Kamu bicara apa?"

Bora menarik tubuh kakak tirinya yang tidak siap, lalu mendorongnya ke pegangan tangga.

Kakak tiri Bora menjerit keras.

Ibu tiri Bora bergegas naik untuk melihat apa yang terjadi, lalu ikut menjerit histeris ketika melihat putri kesayangannya menempel pada pegangan tangga. "BORA! APA YANG KAMU LAKUKAN?!"

Bora menuruni tangga dengan santai dan mengucapkan terima kasih di dalam hati pada Bern. "Anda bisa lihat langsung di CCTV."

Ibu tiri Bora memanggil para pelayan untuk membantu putri kesayangannya lepas dari lem.

Kakak tiri Bora berteriak marah. "AKU TIDAK AKAN MEMAAFKAN KAMU, BORA!"

Bora yang sudah duduk di kursi makan, mengambil roti dengan santai.

Papa Bora menurunkan koran dan bertanya. "Apa yang sudah kamu lakukan? Bersikap baiklah terhadap saudara tiri kamu."

Bora menjawab dengan santai. "Dia yang memulai, Bora hanya ingin membantu supaya usahanya tidak sia-sia."

Ibu tiri Bora menuruni tangga dan membentak Bora. "Apa yang sudah kamu lakukan pada anakku? Jangan hanya mengira papa kamu selalu membela, kamu jadi besar kepala sekarang!"

Bora menatap papanya dengan cemberut.

Papa Bora berdehem. "Ada apa? Kenapa sepagi ini kamu histeris?"

Ibu tiri Bora menunjuk Bora dengan marah. "Anak pemalas ini sudah membuat keisengan di luar batas, dia mendorong putriku hingga menempel di pegangan tangga. Kamu harus menghukum dia!"

Bora menghela napas. "Aku tidak punya uang saku untuk membeli lem sebanyak itu, kira-kira aku mendapatkannya dari mana, jika aku memang pelakunya?"

Ibu tiri Bora terdiam.

Papa Bora menatap istrinya dengan curiga. "Kamu memotong uang saku Bora?"

Bora menatap terkejut papanya. "Apakah selama ini aku memiliki uang saku?"

Papa Bora melempar koran di atas meja dan membentak istrinya. "KAMU MENYURUH AKU BERSIKAP BAIK TERHADAP ANAK-ANAK KAMU, TAPI KAMU MALAH MEMPERLAKUKAN ANAKKU SEPERTI PENJAHAT?!"

Ibu tiri Bora terbata-bata dan berusaha menjelaskan kepada suaminya. "Bukan seperti itu sayang, aku hanya ingin mendidik Bora supaya bisa menjadi anak baik. Kamu jangan salah paham."

Bora menertawakan ibu tirinya. "Kalau begitu berikan aku uang sakunya."

Papa Bora yang percaya pada istrinya mulai melembut dan membentak Bora. "TIDAK ADA UANG SAKU! SELAMA INI KAMU TIDAK SEKOLAH DAN MENJADI ANAK NAKAL! MAU JADI APA KAMU?"

Bora terkejut dengan bentakan papanya, lalu mengambil tas di dekat kaki dan pergi ke luar rumah tanpa mengucapkan apa pun.

Ibu tiri Bora menunjuk Bora dan mulai melakukan provokasi. "Lihat, suamiku. Dia bahkan tidak bisa dididik dengan benar, kamu lihat sendiri kan betapa liarnya dia dan aku harus susah payah mendidiknya."

Papa Bora menjadi emosi. "Jika kamu tidak bisa mengikuti peraturan di rumah ini, keluar saja! Aku tidak mau anak yang tidak bisa dididik! Lebih baik aku mendidik saudara-saudara tiri kamu!"

Bora merasakan sakit hati begitu mendengar ucapan papanya. "Di rumah ini, aku tidak punya apa pun. Oke, jika papa memang ingin mengusir aku. Tapi ingat satu hal, pa. Bora akan menuntut keadilan untuk Bern."

"Kamu masih saja membela anjing yang tidak berguna itu!" Bentak papa Bora.

Bora menatap marah papanya dengan mata berkaca-kaca. "SETIDAKNYA BERN TIDAK PERNAH MEMUKUL AKU!"

Papa Bora tersentak.

Bora menatap papanya dengan tangan gemetar lalu balik badan dan melarikan diri.

"BAGUS! JANGAN PERNAH KEMBALI KE RUMAHKU!" Teriak papa Bora.

Alih-alih pergi ke sekolah, Bora memilih pergi ke dokter hewan kesayangannya.

Setelah menceritakan semua, Ditya tertawa keras.

Bora mengerutkan kening dengan bingung. "Dokter percaya dengan cerita saya?"

"Kenapa aku tidak percaya dengan cerita kamu?" Tanya Ditya disela tawa.

"Dokter, Bern datang dan memberikan penglihatan seolah aku-"

"Bukankah bagus?" Potong Ditya.

"Apakah dokter juga percaya bahwa Bern memberikan penglihatan masa depan untuk aku?"

"Aku rasa hanya itu yang bisa diberikan Bern untuk kamu, dia hanya seekor anjing yang mencintai tuannya dan ingin melindungi meskipun sudah meninggal." Ditya tersenyum sedih. "Apakah kamu tidak mencoba anjing lain lagi?"

Mengingat anjing, Bora jadi teringat bahwa dirinya diusir oleh sang papa. "Sekarang aku sudah tidak bisa tinggal di sana, aku menjadi tuna wisma."

"Bagaimana dengan keluarga dari pihak mama kamu?"

"Mereka di Jawa, aku juga tidak mau merepotkan mereka. Lagipula jika aku memutuskan kembali ke Jawa- berarti aku harus melupakan pembalasan yang mereka lakukan terhadap Bern."

Ditya menarik napas. "Sebenarnya aku menjadi penasaran, mereka sudah berkali-kali menyakiti kamu dan tidak pernah dibalas, tapi begitu masalah Bern muncul, kamu ingin membalasnya. Apakah perasaan kamu tidak begitu penting dari seekor hewan?"

Bora mengerutkan kening tidak setuju. "Bern, sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri meskipun dia hanya seekor hewan."

"Bern juga menganggap kamu sebagai keluarga. Jika kamu ingin tetap balas dendam, apakah aku bisa menjadi teman kamu?"

"Ya?"

"Aku tertarik dengan kasus Bern yang setelah kematian tapi menunjukan sesuatu kepadamu. Aku harap dia juga menunjukan semacam sistem seperti di film atau komik daripada hanya penglihatan kasar."

Bora terpana, ternyata dokter hewan di hadapannya terlalu percaya dengan semua ceritanya. "Ternyata dokter benar-benar percaya dengan cerita aku?"

"Aku juga sedang dalam misi, Bora."

"Misi?" Tanya Bora yang tidak begitu paham untuk anak seusianya.

"Yah, misi untuk meningkatkan sejahtera hewan," ucap Ditya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status