"Beraninya kau mengusik tidurku!" Suara mendesis bergema dalam air, menggetarkan seluruh danau. Seekor belut raksasa melesat dengan kecepatan tak terduga ke arah Du Fei, pemuda itu berhasil menghindar, namun tak urung ujung ekor makhluk itu menyabet lengannya, menciptakan luka goresBelut raksasa itu mengamuk, murka karena kehadiran Du Fei yang mengusik kedamaian danau. Air yang biasanya sedingin es kini menghangat oleh energi yang diserap si Topeng Hantu."Berani sekali kau mencuri energi kediamanku!" Belut siluman mendesis marah. Tubuh peraknya berkilat dalam kegelapan, listrik biru mulai menari-nari di sepanjang sisiknya."Tunggu! Aku ke sini untuk …," Du Fei tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena belut itu kembali menyerang, kali ini dengan mulut menganga memamerkan deretan gigi setajam pedang.Du Fei berusaha berenang naik ke permukaan, namun ekor siluman belut raksasa menyambar bagai cambuk. Percikan listrik biru menyambar, nyaris mengenai kakinya. Belum sempat Du Fei mengh
"Ternyata kitab Sembilan Naga ditulis pada dinding batu!" Du Fei terkesiap, matanya melebar takjub. Di hadapannya, rahasia ilmu tertinggi Klan Naga terpapar dalam bentuk yang tak pernah ia bayangkan - terukir abadi dalam dinding gua yang tersembunyi di dasar danau es.Tulisan-tulisan itu berpendar semakin terang, seolah merespons kehadiran Du Fei. Ia bisa merasakan energi kuno mengalir dari setiap huruf yang terukir, memanggil darah naga yang mengalir dalam nadinya."Inilah warisan sejati Klan Naga," bisiknya penuh kekaguman, tangannya menyentuh dinding yang berpendar. "Bukan sebuah kitab yang bisa dibawa pergi, tapi pengetahuan yang hanya bisa dipelajari di tempat suci ini."Matanya terpaku pada tulisan besar di bagian atas, 'Hanya yang terpilih yang diizinkan menguasai seluruh isi kitab Sembilan Naga, bila tidak terpilih maka tubuh akan hangus saat mempelajarinya.'Du Fei menelan ludah, tangannya sedikit gemetar saat menyentuh ukiran pertama yang menjelaskan dasar-dasar ilmu pedang
"Bibi, aku harus melanjutkan perjalanan ke Gunung Huolong," Du Fei membungkuk hormat pada Xin Ru yang berdiri di mulut gua.Xin Ru mengangguk, ia membawa keponakannya terbang ke atas hingga mencapai bibr tebing lalu mendarat di atas hamparan rumput."Ingatlah selalu, Du Fei!" ujar Xin Ru lembut juga tegas, "kekuatan yang kau miliki sekarang adalah tanggung jawab besar. Berpeganglah selalu pada kebenaran, jangan biarkan dendam atau kebencian menguasai hatimu!""Aku berjanji, Bibi," Du Fei mengangguk mantap. Dengan langkah ringan ia mulai menuruni gunung, sosoknya perlahan menghilang di balik kabut pagi.***Malam merangkak sunyi di tepi Sungai Kuning. Air sungai yang biasanya keruh kini berkilau hitam memantulkan cahaya bulan. Di tepinya, seorang wanita berbaju hitam berdiri tegak, rambutnya yang panjang bergerak pelan ditiup angin malam.Jin She, senior dari sekte Iblis Bayangan, dengan dua gelang besi terselip di pinggangnya, menatap tajam ke arah sungai. Matanya yang setajam elang m
"Gu-Guru ... murid tidak mampu!" Li Li menjawab gemetar, "mengapa tidak Saudari Xiao Lin saja? Dia lebih lay ....""Diamm, ucapanku adalah perintah yang tak bisa dibantah!" Yun Hui memotong dengan nada tegas.Di balik wajah murkanya, mata Yun Hui menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar amarah - sebuah rahasia gelap yang tak akan pernah ia ungkapkan pada siapapun.Upacara pelantikan Li Li sebagai ketua Hoa Mei yang baru berlangsung dalam keheningan. Tak seorang pun berani membantah keputusan Biarawati Yun Hui, meski kebingungan terpancar jelas di wajah mereka.Begitu upacara selesai, Yun Hui bergegas meninggalkan aula, mengabaikan Xiao Lin yang berusaha berbicara dengannya. Sang Biarawati mengurung diri di ruang pertapaan, tempat ia selalu menyendiri belakangan ini.Dengan hati was-was, Xiao Lin memberanikan diri mengetuk pintu ruangan itu."Masuk!" Suara Yun Hui terdengar dari dalam.Xiao Lin melangkah masuk sambil membawa nampan berisi nasi dan sayuran. Begitu melihatnya, Yun
Pintu kuil berderit terbuka, sosok bertopeng hitam berdiri di ambang pintu. Cahaya lampion yang tergantung di teras kuil menerangi topengnya yang berukir."Amitaba," Xiao Lin berusaha untuk tetap tenang dan menyapa tamu tak diundang di hadapannya, "mengapa Anda datang ke kuil malam-malam dengan cara seperti ini? Apakah yang Anda cari?"Bukannya menjawab, sosok itu melesat maju. Jari-jarinya yang panjang mengincar leher Xiao Lin dengan gerakan menotok. Xiao Lin memiringkan tubuh, menghindari serangan itu dalam hitungan sepersekian detik. Jantungnya nyaris berhenti saat merasakan angin dingin dari serangan yang nyaris mengenai nadinya."Trakk!" Tasbih kayu di tangan Xiao Lin berbenturan dengan lengan si penyerang. Butir-butir tasbih berputar cepat, menciptakan perisai yang menangkis serangan bertubi-tubi. Namun lawannya tak memberi kesempatan bernafas lega - setiap serangan yang ditangkis segera diikuti serangan lain ke arah pundak, seolah berusaha menotok titik vital.Xiao Lin bermanu
Air mata menggenang di pelupuk mata Xiao Lin. Kenangan-kenangan itu kembali seperti ombak yang menghantam pantai - pertemuannya dengan Yao Pang, tawa bahagia mereka, hingga hari kelam saat ia mengetahui kebenaran mengerikan tentang pria yang ia cintai."Tidak," Xiao Lin menggeleng kuat, memaksa dirinya kembali ke realitas bahwa ia sudah memilih jalan hidup menjadi seorang biksuni. Meninggalkan semua hal-hal duniawi.Kening murid senior Hoa Mei itu berkerut dalam. Siapa yang membawanya ke tempat ini? Jangan-jangan sosok misterius yang menyelinap ke Hoa Mei dan menculiknya semalam adalah Yao Pang, mantan suaminya."Aku harus pergi dari sini secepatnya dan kembali ke Hoa Mei," gumam Xiao Lin seraya bangkit berdiri. "Aku tak ingin bertemu dengan dia, lagipula Guru pasti mencemaskanku."Dengan langkah seringan mungkin, ia bergerak ke arah pintu. Telinganya waspada menangkap setiap bunyi, memastikan penculiknya tak ada di sekitar. Setelah yakin situasi aman, ia membuka pintu perlahan.Namun
"Karena kekhawatiranku terhadap kelangsungan sekte telah membutakan mataku," Jin She menunduk, suaranya penuh penyesalan. "Dan sekarang, dengan membawamu kembali ke sini, aku berharap bisa memperbaiki kesalahanku."Xiao Lin membeku, terpana mendengar pengakuan mengejutkan itu. Di belakangnya, Yao Pang berdiri menunggu, matanya tak lepas mengawasi setiap gerak-gerik wanita satu-satunya yang masih mengisi hatinya."Xiao Lin," Yao Pang melangkah maju, tangannya menyentuh bahu sang mantan istri dengan lembut.Sentuhan itu bagaikan api yang membakar. Xiao Lin tersentak dan segera beringsut menjauh seolah sentuhan itu bisa membunuhnya. "Segala yang terjadi sudah merupakan kehendak Langit," Biksuni dari Hoa Mei itu menangkupkan tangan ke depan dada, membungkuk dalam. "Hamba, Chong Seng telah memilih meninggalkan segalanya dan menjadi biksuni. Kini izinkan Hamba pergi!""Kau bukan Chong Seng, selamanya kau adalah Xiao Lin, istriku!" Yao Pang berteriak, suaranya pecah oleh frustasi. "Mengapa
Kesadaran Xiao Lin perlahan pulih. Kepalanya masih terasa berat akibat totokan Jin She. Matanya mengerjap beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya yang menembus jendela bertirai sutra. Ia mendapati dirinya berbaring di ranjang besar dalam sebuah kamar mewah yang asing.Derit pintu mengalihkan perhatiannya. Dua orang pelayan memasuki kamar, yang satu membawa baskom berisi air hangat yang masih mengepul, sementara yang lain membawa setumpuk pakaian sutra berwarna merah muda."Nyonya Xiao, Tuan Yao memerintahkan kami untuk melayani Nyonya," kedua pelayan yang masih sangat muda itu membungkuk hormat, senyum ramah tersungging di bibir mereka.Xiao Lin mengabaikan keramahan mereka. "Aku harus pergi dari sini," gumamnya sambil bergegas menuju pintu. Namun begitu membukanya sedikit, ia melihat dua pria berbadan kekar berdiri mengapit pintu. Pedang panjang terselip di pinggang mereka, wajah mereka keras dan waspada.Dengan hati gundah, Xiao Lin menutup pintu kembali. Matanya pun beredar
Di istana, Raja Yu Ping terbaring gelisah di pembaringannya. Mimpi-mimpi buruk terus menghantui tidurnya—bayangan wajah-wajah yang menderita, jeritan-jeritan yang tak terdengar, dan sosok naga hitam yang mengintai dari kegelapan."Zhen Yi…," sang Raja mengigau, keringat dingin membasahi dahi. "Di mana... kau?"Xiao Lan, yang duduk di samping tempat tidur, mengelap keringat raja dengan kain lembap. Ekspresinya kosong, matanya hampa seolah jiwanya tidak hadir di sana.Pintu kamar terbuka perlahan, dan Qi Lung melangkah masuk. Ia mengenakan jubah tidur mewah berwarna biru tua dengan sulaman emas, tapi wajahnya tampak segar seolah belum akan tidur dalam waktu dekat."Bagaimana kondisinya?" tanya Qi Lung lirih, mendekati tempat tidur ayahnya."Masih sama," jawab Xiao Lan datar. "Racunnya bekerja seperti yang direncanakan. Ia terus bermimpi buruk, membuatnya tidak bisa beristirahat dengan tenang."Qi Lung mengangguk puas, "Sempurna. Sekarang di mana Yun Hao? Aku tidak melihatnya sejak sore
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kotaraja saat Yun Hao memacu kudanya menyusuri lorong-lorong sempit yang menjauh dari istana. Matahari nyaris terbenam sepenuhnya, menyisakan semburat oranye keunguan di langit barat. Ia mengenakan jubah hitam sederhana dengan tudung menutupi kepalanya—bukan pakaian yang biasa dikenakan seorang pangeran, tetapi sempurna untuk seseorang yang ingin bergerak tanpa menarik perhatian.Di belakangnya, istana megah dengan atap-atap merahnya berdiri angkuh, semakin mengecil seiring jarak yang ia tempuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yun Hao merasa istana bukan lagi rumahnya—bukan lagi tempat yang aman. Sejak Qi Lung mengambil alih kekuasaan, dinding-dinding istana seolah menyimpan mata-mata di setiap sudutnya.Yun Hao membimbing kudanya memasuki wilayah kota yang lebih tua, di mana bangunan-bangunan kayu berjejer rapat dan papan-papan nama toko bergoyang tertiup angin malam. Jalanan semakin sepi, hanya beberapa pedagang yang sedang membereskan dag
Matahari sudah mulai terbenam saat kereta tahanan berhenti di sebuah pos jaga di perbatasan antara wilayah hijau dan gurun pasir. Para pengawal menurunkan Zhen Yi, yang kakinya terasa kaku setelah seharian duduk di kereta yang sempit."Kita akan bermalam di sini," kata komandan pengawal. "Besok pagi-pagi sekali kita akan melanjutkan perjalanan ke Istana Pasir."Zhen Yi mengangguk. Ia tidak melihat gunanya melawan atau mencoba melarikan diri. Enam pengawal bersenjata lengkap mengawalnya, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi di padang pasir yang terbentang luas di hadapannya.Komandan pengawal, seorang pria setengah baya, menatap Zhen Yi dengan ekspresi antara iba dan "Anda akan ditempatkan di kamar belakang, Pangeran," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih lunak. "Tidak terlalu nyaman, tapi setidaknya lebih baik daripada sel tahanan.""Terima kasih," jawab Zhen Yi tulus. "Bolehkah tanganku dilepaskan? Sudah hampir sehari penuh terikat, dan aku tidak merasa nyaman."Komandan tamp
Kereta tahanan bergerak lambat meninggalkan gerbang kota, roda kayunya berderit membelah jalanan berbatu. Di dalam kereta, Zhen Yi duduk bersandar pada dinding kayu yang kasar, tangannya masih terikat di belakang punggung.Melalui celah kecil di jeruji jendela, ia melihat kotaraja yang semakin mengecil di kejauhan—istana megah dengan atap-atap merah dan dinding putih yang selama ini menjadi rumahnya. Semua kenangan, semua kehidupannya, kini hanya tinggal titik kecil di cakrawala. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk."Kenapa, Qi Lung?" bisiknya pada diri sendiri. "Apa salahku padamu?"Kereta berguncang keras saat melewati lubang di jalan, membuat Zhen Yi terlempar ke depan. Pengawal yang duduk di ujung kereta menatapnya tanpa ekspresi, seolah membawa seorang pangeran ke pembuangan adalah tugas biasa."Bisakah tanganku dilepaskan?" tanya Zhen Yi dengan suara tenang. "Aku tidak akan kabur."Pengawal itu mendengus. "Maaf, Pangeran. Perintah langsung dari Pa
Di antara para pejabat, beberapa mulai berbisik-bisik. Beberapa menunjukkan ekspresi ragu, sementara yang lain tampak terkejut dan kecewa."Siapa yang menjebakmu, Pangeran Zhen Yi?" tanya Menteri Wei dengan sikap hati-hati. "Dan untuk tujuan apa?"Sebelum Zhen Yi bisa menjawab, terdengar keributan di luar aula. Suara teriakan dan hentakan langkah kaki saling bersahutan."Aku ingin masuk! Lepaskan aku!" Suara Yun Hao terdengar dari balik pintu. "Aku berhak menghadiri pengadilan saudaraku!""Lanjutkan sidang!" perintah Qi Lung dengan tenang. "Pengawal, pastikan tidak ada gangguan dari luar!"Suara keributan terus berlanjut beberapa saat sebelum akhirnya mereda—tanda bahwa Yun Hao telah berhasil disingkirkan dari area tersebut."Kau tidak bisa melakukan ini, Qi Lung," kata Zhen Yi, matanya menatap lurus ke arah saudaranya. "Ayah akan mengetahui kebenaran. Semua orang juga akan tahu bahwa aku tidak bersalah."Qi Lung tersenyum tipis. "Ayahanda sedang sakit parah, Adikku. Dan sulit dipasti
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de