Aku baru teringat, status F* yang aku buat tempo hari. Saat itu juga aku buru-buru membuka aplikasi F*. Ternyata di sana sudah banyak yang berkomentar, teman-temanku juga ada yang komentar.
"Gak bakal laku, laki-laki kaya gitu mah!""Tampang aja yang bagus, tapi kere dan pemalas. Enggak banget deh!""Ih, si Mbak ada-ada saja. Tapi bener juga si. Siapa tahu laku.""Jangan ngaco, Rin. Gitu-gitu juga suamimu, haha.""Beneran, Rin?"Itu beberapa komentar yang ada di statusku, dan masih banyak lagi. Aku gak tahu, ini dosa, apa enggak. Aku melakukan ini, karena aku begitu jenuh dan ingin menangis setiap melihat suamiku kerjanya tidur dan nongkrong.Seperti tidak ada beban, aku hanya cengengesan membaca satu persatu komentar teman-temanku.Astaghfirullah ...."Nak, belum tidur?" Tiba-tiba Ibuku menghampiriku ke dalam kamar."Eh, Ibu. Belum ngantuk, Bu," ucapku."Ini, Ibu buatkan susu hangat buat kamu." Ibu meletakkan sebuah gelas yang berisi penuh dengan susu."Terima kasih ya, Bu. Ibu memang wanita terbaik yang pernah ada," ucapku, sambil memeluknya.Ibuku hanya mengangguk lalu tersenyum."Jangan tidur terlalu malam, besok harus berangkat kerja, kan.""Aku sudah izin sama atasan, untuk tidak bekerja dulu satu hari. Kan aku mau ngurus perceraianku dengan Mas Revan, Bu.""Oh ... iya, Ibu lupa. Ya sudah kamu minum susunya ya, jangan begadang. Ibu sudah ngantuk mau tidur." Ibu pergi menuju kamarnya.**"Bu, Bang Hanif belum aku kasih tahu soal masalahku ini," ucapku, membuka percakapan setelah kami beres sarapan."Kasih tahu dulu lewat telpon, Rin. Takutnya Abangmu itu kerja," kata Bapak."Iya, barusan aku sudah kirim chat sama dia. Tinggal nunggu dibalas," ucapku, sambil menunggu balasan dari Bang Hanif."Semoga sidang cerainya berjalan lancar, Nak."Aku mengamini do'a ibuku."Assalamualaikum...." Bang Hanif datang."Wa'alaikumussalam...." Jarak rumah Bang Hanif dan rumah Ibu memang tidak jauh, hanya butuh waktu lima menit kalau memakai sepeda motor.Dia juga sudah berkeluarga, tapi belum mempunyai anak."Fatimah tidak ikut, Nif?" tanya Ibu. Saat Bang Hanif masuk ke dalam rumah."Enggak, Bu. Dia lagi beres-beres rumah dulu katanya. Oh iya, ini kue buatan Fatimah. Dia titip buat Ibu sama Bapak, katanya." Bang Hanif menyodorkan kotak putih berukuran sedang."Sampaikan terima kasih pada istrimu, Nif," ucap Bapak.Bang Hanif pun, mengangguk.Alhamdulillah, aku ikut senang keluarga Bang Hanif begitu tentram."Rin, kamu sudah yakin dengan keputusan kamu?" tanya Bang Hanif, sebelumnya aku sudah chat dia panjang lebar, dan dia juga sudah tahu bagaimana Mas Revan selama ini.Aku mengangguk yakin."Aku sudah capek, Bang. aku mau menyerah saja kali ini," kataku."Bapak dan Ibu, kali ini mendukung keputusan kamu, Rin. Pergilah semoga prosesnya lancar," ucap Bapak menimpali."Baiklah, Abang juga kasihan sama kamu, Dek. Lebih baik berpisah jika rumah tanggamu susah diperbaiki. Namanya sifat, kita tidak bisa merubah sifat orang kecuali atas kemauannya sendiri. Revan dari dulu masih seperti itu." tuturnya.Kulihat Ibu dan Bapak mengangguk, tanda setuju dengan ucapan Bang Hanif."Baiklah, kita berangkat sekarang?" tanyanya."Iya. Sekarang, Bang."Aku dan Bang Hanif pun, pergi memakai sepeda motor Bang Hanif. Jarak tempuh hanya memakan waktu satu jam ke pengadilan agama.Berkas-berkas telah aku serahkan semuanya sebagai syarat perceraian.***Setelah tiga hari, surat panggilan dari pengadilan agama sudah datang, Dan aku berniat langsung menuju rumah Mas Revan, aku akan memberikan surat dari pengadilan sebagai undangan prosesi perceraian.Hari ini, aku pergi bersama Ibu dan Bapak. Begitu sampai di rumah Mas Revan, rumah dalam keadaan kosong. Aku tahu, sekarang jam delapan pasti dia lagi nongkrong di warungnya Angga.Dan benar saja, saat aku dan orang tuaku sampai di warung kopi Angga, ada Mas Revan sedang asyik dengan gadgetnya ditemani dengan segelas kopi.Benar-benar tidak berubah, sifatnya itu sudah mendarah daging. Kurasa keputusanku sudah benar seratus persen."Mas," panggilku, Lalu dia menoleh ke arah kami bertiga. Ekspresi wajahnya begitu kaget, saat melihat ada Ibu dan Bapak di sini."Eh, i-iya, Rin. Kamu kemana saja, Rin?" tanyanya, salah tingkah. Namun, aku tidak menjawabnya. "Pak, Bu. Kalian sehat?" Mas Revan mencium tangan kedua orang tuaku dengan takzim, halah pencitraan doang."Revan, lebih baik kita ngobrol di rumahmu saja, apa tidak keberatan?" pinta Bapak."Iya, Pak. Mari kita ke rumah." Mas Revan mengantongi ponselnya, dan menghabiskan kopi yang sudah tinggal setengah gelas."Van, uangnya mana?" Angga sedikit berteriak saat Mas Revan berlalu begitu saja meninggalkan warung."Nanti gue ke sini lagi."Angga mengacungkan jempolnya.**"Masuk. Pak, Bu." Mas Revan mempersilahkan masuk, saat kami sudah sampai di rumahnya."Revan, Bapak benar-benar geleng-geleng kepala melihat kamu. Pagi-pagi kamu sudah nongkrong di warung kopi, apa tidak ada kerjaan lagi selain nongkrong? kenapa kamu tidak berusaha mencari pekerjaan?" Tidak ada basa-basi, tiba-tiba Bapak langsung saja menegur Mas Revan, mungkin saking kesalnya. Apalagi aku, istrinya?"Pak, Bu. Aku juga lagi cari pekerjaan, tapi kemarin lamaranku ditolak.""Selama ini, kamu kasih makan apa anakku Rina, hah? atau jangan-jangan kamu yang mengandalkan hasil keringat anakku, iya?" tegas Bapak lagi."Sudahlah Pak, aku mau ke intinya saja," ucapku, aku tidak mau berbasa-basi lagi di sini. Karena Mas Revan bisanya hanya menjawab berkelit saja."Mas, ini surat panggilan dari pengadilan. Kuharap kamu datang." Aku meletakkan kertas berwarna putih itu di atas meja."Apa? kamu benar-benar ingin pisah denganku, Rin?" tanyanya, kaget."Iya.""Baiklah, kalian memang keluarga tidak sabaran. Cari kerja itu susah. Lebih baik aku juga cerai deh sama kamu, Rin. Aku juga sudah muak sama kamu yang tiap hari kerjaannya marah-marah terus!" cibirnya."Baguslah, kalau begitu. Dengan itu, proses perceraian kita akan berjalan dengan lancar," ucapku, senang."Ya sudah, sebaiknya kalian pergi!" Dengan marah, tiba-tiba Mas Revan mengusir kami di sini. Aku tahu, pasti sebenarnya dia gak mau cerai, makannya bersikap seperti itu.Ibu dan Bapak tak menyangka, Mas Revan mengusir kami. Mereka tidak banyak bicara, langsung saja angkat kaki dari rumah Mas Revan."Ayo, Rin. Kita pergi. Kami juga tidak mau lama-lama berada di sini!" Ibu mengomel, sambil melihat sinis pada Mas Revan.**"Benar-benar ya, si Revan itu. Masak kita disebut keluarga gak sabaran. Emang agak lain tu laki!" Sudah sampai rumah, Ibuku masih saja mengomel."Orang kayak gitu gak usah banyak diladeni. Biarkan saja, Bu." ucap Bapak, "Yang terpenting, proses perceraian lancar, udah itu aja. Mau dia ngatain apa, tidak usah didengar," ucap Bapak lagi.Akhirnya aku akan bebas. Wanita yang mana, yang mau hidup berdampingan dengan laki-laki yang pemalas. Apalagi dia tidak mau merubah sifat buruknya itu, benar-benar capek jiwa dan raga. Lebih baik berpisah daripada menambah dosa.Udah suami pemalas, punya Kakak ipar super nyebelin, punya adik pemalas bukannya ditegur dan dinasehati, malah selalu dibela-bela. Benar kata Ibuku, agak lain emang.Hari ini, adalah hari di mana aku harus datang ke pengadilan agama memenuhi undangan sidang. Oke, aku siap berpisah dengan Rina. Apalagi keluarganya itu, mereka sama aja tidak sabar menungguku untuk mencari pekerjaan. Aku akan datang ditemani oleh Mbak Ratih. Mbak Ratih juga setuju kalau aku pisah sama Rina, malah tempo hari dia nyuruh aku pisah, dan akhirnya kejadian juga.Saat ini, aku dan Rina sudah berada di ruang sidang. Pokoknya semua berjalan lancar, aku gak peduli dia menjelekkan namaku di depan hakim, yang penting aku akan pisah sama dia. Dipikir-pikir, aku juga udah muak hidup sama dia.Setelah kami keluar dari ruangan, tiba-tiba Rina berteriak menuduh Mbak Ratih mengambil jam tangannya,"Heh, Mbak! itu jam tanganku kan?""Eh, jangan asal nuduh ya! ini jam tangan dibeliin suamiku, enak aja dibilang punyamu!" jawab Mbak Ratih."Oke, akan aku buktikan kalau itu punyaku!" ucapnya, sambil membuka paksa jam tangan yang sedang dipakai Mbak Ratih, dasar gak sopan."Tuh, lihat! Di
Sudah hampir satu bulan, aku berada di rumah Mbak Ratih. Bisa makan enak, santai-santai, main game, nonton TV. Ah pokoknya aku senang banget berada di sini. “Van, ini tugas buat kamu, ya!” Bang Rendi menghampiriku saat sedang menonton TV, lalu memberikan sebuah kertas yang berisi penuh dengan tulisan. “Apa ini, Bang?” Aku menerima sebuah kertas yang dia berikan. “Baca saja,” ucapnya datar. Tugas harian Revan, selama berada di rumah saya, Rendi. - Beres-beres rumah (Ngepel, nyuci baju, nyuci piring, nyapu, lap kaca, sikat kamar mandi dll) - Setrika baju, jemur baju, angkatin jemuran. Catatan: Berlaku setiap hari, jangan malas-malasan. Kalau tidak mau, silakan angkat kaki dari rumah ini. Demikian isi kertas yang diberikan Bang Rendi padaku. Astaga ... dia ini sebenarnya menganggap aku adik ipar, atau babu, sih? Gak habis pikir. “Benaran ini, Bang?” tanyaku. Aku menelan ludahku yang terasa amat berat di tenggorokan. “Apa ada tanda-tanda bercanda dengan diri saya?” Dia berkata
Sampai di rumah, aku semakin malas saja melihat keadaannya. Sebulan lebih ditinggalkan, rumput-rumput sudah memenuhi pekarangan rumah. Belum debu-debu yang ada di dalam dan luar rumah. Huh! Gara-gara Bang Rendi, dasar! Aku berbaring di atas sofa, perutku sudah kelaparan saja. Uang gak punya, beras juga gak ada di sini. Gimana ya, caranya aku mendapatkan uang. Aku berpikir sejenak. Dan ... Aha aku ada ide! Bukannya dari dulu ya, aku coba pinjam uang lewat aplikasi, syaratnya juga mudah cukup pakai foto KTP doang. Aku mulai mencari aplikasi pinjol di internet. Di sana banyak sekali aplikasi-aplikasi serupa yang sedang aku cari, dan aku memilih aplikasi yang berada paling atas. Ratingnya juga bagus. Langsung saja aku klik download. Tak lama kemudian, aplikasi sudah terpasang otomatis. Aku begitu bersemangat membuka aplikasi tersebut. Langsung saja kuajukan pinjaman senilai empat puluh juta rupiah, lalu mengisi syarat-syarat yang ada. Ting! Hanya menunggu beberapa menit, uang sudah m
Setelah menunggu berlalunya malam yang panjang, akhirnya aku bertemu dengan fajar. Aku begitu bersemangat pagi ini. Mulai dari mandi, memilih baju terbagus dan tidak lupa memakai parfum. Mungkin ini parfumnya si Rina ketinggalan, soalnya aku tidak pernah memakai parfum sebelumnya. Aku begitu penasaran ingin mengecek ponselku yang semalaman aku cas. Begitu kulihat, tidak ada pesan masuk dari Nina. Aku akan mencoba mengirimi dia pesan lagi.(Nin? Sudah siap?) Hah? Langsung centang biru.(Iya, deh aku siap bertemu. Kebetulan ini hari libur) "Yes! Yes! Yes!" Aku berteriak kegirangan setelah membaca balasan dari Nina. Huhuuu ... pasti dia mau balikan sama aku. Gak mungkin dia nolak, secara sekarang aku kan banyak duit, udah gitu tampan dari lahir. Tak henti-hentinya aku senyum-senyum sendiri sambil bernyanyi-nyanyi layaknya orang yang sedang kasmaran. Sekali lagi aku bercermin, memastikan kalau penampilanku sudah keren. Dompet berisi uang pinjol itu sudah aku masukkan ke dalam tas k
Mau ngapain dia, apa dia ngintilin aku sama Nina? Bagus deh! Biar aku panas-panasin sekalian dia."Sayang, pokoknya kamu mau apa pun, aku akan belikan. Silakan kamu pilih yang mana saja di mall ini, yang menurut kamu suka!" ucapku pada Nina, sengaja dengan nada yang sedikit keras."Beneran, sayang? Aku mau banget! Ya sudah sekarang kita makan aja dulu, nanti habis makan kamu temani aku belanja baju dan aksesoris lainnya." Nina begitu antusias, dia senang sekali ditraktir olehku.Aku melihat Rina ke belakang, tapi dia sudah tidak ada. Ck! Gagal deh manasin hati dia. Rupanya dia mampir ke stand ice cream, dia begitu banyak membelinya. Ah aku gak peduli, sekarang pokoknya aku harus nyenengin Nina.***"Spaghetti bolognese sama steak sudah siap, Kak," ucap seorang waiters sambil meletakkan makanan tersebut dengan hati-hati. "Terima kasih, Mbak," balasku sambil tersenyum ramah. "Sama-sama, selamat menikmati," ucapnya lagi, sambil berlalu meninggalkan kami berdua. "Apaan sih, kamu sok ra
Hujan begitu deras saat aku sudah sampai di halaman rumah. Buru-buru memasuki rumah, pasti akan banyak yang bocor, aku mengambil ember-ember yang berada di kamar mandi untuk menampung air yang menetes dari langit-langit rumah. "Yap! Beres deh, tinggal bersantai ria." Aku bergumam sendiri. Oh iya aku lupa. Aku harus chat Nina, dia sudah sampai apa belum ya.(yang, gimana kamu sudah sampai belum?)Dua centang biru, pesanku langsung dibacanya.(Sudah, sayang. Aku sudah sampai di rumah) (Baiklah, selamat istirahat sayangku) Baru sadar, kalau aku sekarang sudah menjadi duda, berasa masih ABG aja. Hahaha. Gak papa lah, duda-duda juga keren aku. Ting! Satu pesan baru masuk lagi.(Yang, boleh minta transfer gak?) Apa? Gak salah nih. Nina, baru aja aku traktir udah minta di transfer. Buat apa, coba? (Buat apa, yang?)(Ih, ayang. Emangnya aku gak boleh ya minta uang sama pacar aku sendiri?) (Iya, boleh sayang. Maksudnya berapa yang kamu minta?) (Gak banyak kok, cuma lima juta saja) H
Aku menyangkal prasangkaku yang buruk. Mana mungkin dan mustahil, Nina seperti itu. Dah mendingan aku pulang saja.Ting! Pesan baru masuk.Nina(Terima kasih, sayang)(Sama-sama, sayang) Balasan pesanku hanya dibacanya. Huh! Dasar cewek!Sudah lama aku tidak melihat status teman-temanku. Mataku fokus pada status Nina. Lima menit yang lalu, dia membuat status. Sebuah foto dirinya dan laki-laki berambut putih, namun masih terlihat gagah dengan jas berwarna abu-abu.My sugar daddy love. Caption yang Nina tulis di foto mereka. Membuat hatiku mendadak panas.Apa-apaan ini? Apa Nina selingkuh? Kurang ajar! Saat aku ingin men-screenshot, tiba-tiba statusnya sudah hilang."Dihapus! Argh, apa dia tahu kalau aku sudah melihatnya? Mungkin dia lupa privacy statusnya. Benar-benar kurang ajar si Nina!" Aku marah sekali pada Nina, aku merasa bodoh banget jadi laki-laki yang hanya dimanfaatin doang.Aku kebingungan, harus ngapain sekarang. Apa aku harus ke rumah Nina? Aku mencoba menelponnya, dan
"Lu, jangan dulu putusin tu cewek. Lu pura-pura maafin dia. Terus lu bujuk tu cewek, biar dia membujuk si selingkuhannya itu untuk tidak berani melaporkan lu ke polisi. Laki-laki mah, pasti tunduk pada cewek dah!" tutur si Angga panjang lebar."Oke ide bagus tuh, gue telepon sekarang?" "Terserah lu, mau sekarang apa mau besok kek?" "Sekarang, keburu gue dilaporin."Aku mencoba menghidupkan kembali data, lalu menelepon Nina. Panggilan tersambung, langsung dia menjawab teleponku. "Halo, Nin? Aku sudah memaafkan kamu," ucapku, tanpa basa-basi. "Makasih, ya sayang. Aku cinta banget sama kamu." Si Angga malah ketawa mendengar percakapan kami berdua."Tapi, kita harus bertemu, Nin." "Dimana?" "Di rumah aku, sekarang. Gimana? Ada yang perlu aku bicarakan sama kamu, penting!" "Ya sudah, kita bertemu." "Gak papa gak aku jemput? Kamu masih ingat kan, rumah aku?" "Aku ke sana naik taksi online saja. Iya aku masih ingat kok, yang." "Oke, kalau begitu aku tunggu ya, sayang." Tut! Pangg