Share

Bab 5

STATUS WA ADIK IPARKU 5

Salah satu hal paling menyedihkan dalam hidupmu, ketika seseorang yang kau sayangi tak lagi percaya dan tak juga bisa dipercaya. Aku menatap WA dari Radit dengan hati nelangsa. Baru saja mendapat hanta-man dari Mas Reno, dan kini pesannya membuat suasana hatiku makin tak menentu. Aku menelan ludah, memutuskan membalasnya sebelum mem-atikan ponsel dan menyimpannya.

(Apakah kau lebih percaya pada seseorang yang baru kau kenal, dibanding Kakakmu yang telah bersamamu dua puluh lima tahun lamanya?)

Aku dan Radit hanya dua bersaudara. Meski Ayah mendidik kami dengan sikap tegas khas seorang perwira militer sebagaimana profesinya, Ibu melengkapi sifat Ayah dengan kelembutan. Semuanya terasa seimbang. Ibu selalu bisa meredam ama-rah Ayah dan Ayah memberi kami pelajaran bahwa hidup tak selalu indah. Kami tumbuh dengan cinta yang memenuhi setiap ruang dalam rumah dan dalam hati. Semua sempurna, sampai aku menikah dan tak kunjung hamil. Lalu kehadiran Riris di rumah Ibu. Ah, memang benar kata Ayah. Tak ada kebahagiaan yang sempurna di dunia ini.

Awal pernikahan, Radit dan Riris sudah tinggal di rumah kontrakan, tak jauh dari rumah Ibu. Namun, Riris terus mengeluh tak punya uang. Gaji Radit habis untuk membayar kontrakan, listrik, air dan biaya hidup lainnya. Kelak kemudian ku ketahuilah bahwa gaya hidupnyalah yang membumbung terlalu tinggi. Kemudian, Radit diterima bekerja di kapal cargo dengan posisi cukup baik karena dia memang lulusan sekolah pelayaran dan memiliki beberapa ijazah. Gajinya lumayan, tapi dia harus meninggalkan anak istrinya selama tiga bulan dan mendapat cuti dua minggu setelahnya. Maka diputuskan bahwa Riris dan Kayla tinggal di rumah Ibu saja. Aku senang waktu itu. Kupikir, Ibu akan punya teman setelah kepergian Ayah. Tak masalah jika biaya rumah tangga sebagian ada besar dari Ibu. Toh Ibu punya pensiun Ayah selain toko sembako itu. Biar Radit dan Riris menabung supaya cepat punya rumah. Tapi siapa sangka, adik iparku perlahan bermetamorfosis menjadi parasit.

Seharian, aku tak berna-fsu berangkat ke butik. Aku membersihkan rumah, mengisi kulkas, memangkas daun daun yang menguning di halaman belakang. Rumahku sempurna, tak terlalu besar tapi sangat nyaman. Apakah rasa nyaman dan aman yang selama ini menaungiku akan segera musnah?

Suara mobil Mas Reno memasuki halaman terdengar. Dia biasa mendorong pagar sendiri, masuk dan menutupnya lagi. Tapi kemudian dia pasti melihat mobilku karena tak lama, kudengar suaranya berseru.

"Andin! Sayang, kamu dimana?"

Aku mende-sah, menatap gunting tanaman di tanganku, lalu meletakkannya di tempat perkakas di pojok gudang. Setelah mencuci tangan aku bergegas ke depan, menyambut Mas Reno dengan senyuman. Dia pernah bilang, bahwa senyumku adalah salah satu senyum paling manis di dunia karena menerbitkan lesung di kedua pipi.

"Kamu habis berkebun?"

Aku mengangguk. Mengalungkan tangan di lehernya, sekuat tenaga menahan muak mengingat alat kontr-asepsi di kopernya.

"Aku asyik di belakang sampai lupa membongkar kopermu. Adakah baju kotor?"

Mas Reno tertawa.

"Ada tentu saja. Aku malas pergi ke laundry. Sudah nanti saja. Kita makan di luar. Mas pulang cepat karena ingat janji padamu."

Aku tersenyum.

"Ya sudah Mas mandilah dulu. Aku bongkar koper Mas sebentar. Nanti baju kotornya bau."

Aku berjalan ke kamar, meraih koper dan membukanya. Namun tangan Mas Reno menahanku.

"Nanti saja."

Kali ini suaranya terdengar tak mau dibantah. Aku menghela nafas, tak punya cara lain selain mematuhi perintahnya. Rasa curiga kian besar menggumpal di dada. Mungkinkah Mas Reno melarangku membuka koper karena dia tahu ada benda itu di sana?

Mas Reno masuk ke kamar mandi sementara aku mandi di kamar mandi belakang, biar cepat selesai. Kupakai setelan santai karena kami hanya akan makan di kaki lima. Rambut panjangku yang nyaris menyentuh punggung kubiarkan tergerai. Mas Reno sangat menyukai rambutku ini, selain senyumku. Katanya rambutku seperti sutra hitam yang wangi. Aku tersenyum getir, menyadari lelakiku ternyata suka memuji. Dan mungkin pujian itu bukan hanya untukku.

Kami lalu berangkat setelah Asar, supaya bisa pulang sebelum maghrib tiba. Warung tenda seafood favoritku hanya sebuah warung kaki lima, terletak di halaman sebuah ruko. Ketika kami tiba, warung tenda itu baru selesai bersiap. Ada satu pengunjung yang sedang menunggu pesanan. Dan dari punggungnya saja, aku tahu bahwa itu Riris.

"Riris?"

Perempuan itu menoleh, sedikit terkejut. Tapi aneh sekali, dia tak memasang muka masam seperti biasa jika aku berkunjung ke rumah Ibu. Senyumnya justru tampak sumringah, dan matanya berbinar menatap… suamiku.

"Mas Reno?"

Aku terdiam. Senyum dan sinar matanya yang berbeda itu membuat pikiranku melayang kemana-mana. Sementara Mas Reno biasa saja, duduk dengan tenang tanpa melepaskan tanganku. Dia bahkan sama sekali tak menjawab sapaan Riris, hanya senyum sekedarnya.

"Beli apa Ris?"

Riris kembali ke mode awal, tanpa senyum dan tak mau memandangku.

"Beli udang untuk Ibu. Ibu lagi bosan makan1 katanya."

Aku mengerutkan kening mendengar suaranya yang ketus. Tentu saja, karena ada yang aneh dengan kalimatnya.

"Kamu nggak salah beli kan? Ibu nggak makan udang dan makanan laut lainnya. Beliau alergi."

"Hah? Aku… eh…" Riris terkejut dan tampak salah tingkah. Aku menatapnya tanpa berkedip.

"Itu buat Kayla. Ibu tadi ditanya mau makan apa katanya yang penting Kayla doyan, jadi aku beli udang bakar."

Aku masih tak menyahut, tetap menatapnya yang kini terlihat gugup. Tak lama, pelayan mengantarkan pesanan Riris yang dikemas dalam plastik putih.

"Berapa Mas?" tanya Riris sambil membuka dompet.

"Sudah. Biar sekalian aja bayarnya."

Mas Reno menimpali. Riris menoleh, menatap Mas Reno dan selalu, wajahnya berubah sumringah setiap kali melihat suamiku itu.

"Makasih banyak Mas!" Serunya sambil berdiri. Tanpa pamit padaku, dia langsung ke luar tenda dan naik ke motor matic-nya.

"Mas besok tolong nasihati Riris supaya sopan sama aku. Mas masa diam aja liat istrinya nggak dihargai?"

Hening. Tak ada jawaban. Di hadapanku, Mas Reno tampak sedang membuka ponselnya. Dia tersenyum-senyum sendiri.

"Mas, Mas nggak dengar ya?"

"Apa?" Kali ini dia mengangkat kepalanya dari layar ponsel.

Aku memilih diam. Nafsu makanku langsung menguap seketika. Namun ku paksa diriku untuk tetap makan. Aku harus kuat, harus tetap sehat dan waras menghadapi iparku yang ajaib itu.

Dan mungkin juga menghadapi suamiku nanti.

"Semuanya sembilan ratus lima puluh ribu ya Pak. Mbak yang tadi pesan udang bakar lima porsi sama kepiting saus padang lima porsi."

Mas Reno langsung mengeluarkan uang membayar makanan tadi, sementara otakku berpikir keras. Makanan sebanyak itu, sebenarnya untuk siapa? Tak mungkin Kayla makan sebanyak itu.

Uang dari Radit yang cepat habis, toko sepatu lelaki yang kemarin dia datangi, dan kini, porsi makanan yang cukup dimakan oleh lima orang. Sebenarnya, untuk siapa makanan itu? Kemana larinya uang Radit selama ini?

Dan yang terutama, siapa lelaki yang dia gandeng kemarin? Dan arti tatapan matanya pada Mas Reno?

Allah, aku hanya bisa meminta pada-Mu. Tunjukkanlah bahwa yang benar itu benar, dan yang dan yang salah itu memang salah.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
apakah Reno yg di gandeng riris
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status