Share

Bab 4

STATUS WA ADIK IPARKU 4

Aku tengah mengaduk mie goreng di atas wajan ketika kurasakan sepasang tangan kekar melingkari pinggangku. Aroma sampo dan sabunnya terasa menyegarkan. Kurasakan rambutnya yang basah menggelitik leherku yang terbuka. Di rumah, aku terbiasa memakai gaun rumah yang sedikit terbuka, demi memanjakan matanya.

"Maafkan Mas semalam."

Suaranya terdengar lirih di telinga. Selarik rasa haru menyeruak, dia tak segan meminta maaf karena tahu perbuatannya semalam menyakiti hatiku. Kubiarkan setetes air mataku jatuh. Sejak tadi, sambil mengaduk mie goreng Jawa favoritenya di atas wajan, aku terus berusaha menahan tangis. Tapi satu saja kalimatnya membuat pertahananku jebol.

Mas Reno mema-tikan kompor dan memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan. Dia mengulurkan tangan, menghapus air mata yang mengembun di sudut mata.

"Mas hanya kesal karena pulang dalam keadaan rumah kosong. Mas membayangkan seorang anak menyambut setiap kali pulang kerja."

Aku memegang tangannya, membiarkannya menangkup pipiku. Air mataku mengalir lagi. Sungguh, bukan hanya dia, akupun begitu. Setiap kali, aku ingin pulang dengan menenteng sesuatu. Membayangkan ada seorang anak menungguku membawakannya oleh-oleh.

"Aku juga minta maaf. Aku kira Mas pulang besok. Jadi aku memeriksa pembukuan di butik."

Mas Reno memelukku.

"Sudah tak apa. Lain kali, kasih kabar kalau mau pulang malam. Bagaimanapun, aku bertanggung jawab pada dirimu."

Seakan langit berubah cerah pagi ini. Padahal jauh di utara, ada awan awan kelabu yang terasa berarak cepat mendekat. Aku tak peduli. Kami menikmati makan pagi dengan suasana romantis. Usai menghabiskan sarapan, Mas Reno bahkan menarikku lagi ke dalam kamar. Kami kembali mema-du cinta ditingkahi suara gerimis yang jatuh di atas daun-daun di halaman samping kamarku.

***

Rupanya aku tertidur kelelahan. Tapi, lelah yang menyenangkan. Bangun dari kasur, selembar kertas jatuh di atas pangkuanku. Surat dari Mas Reno. Dulu di awal pernikahan kami, dia sering kali menyelipkan pesan pesan romantis seperti ini, menaruhnya di tempat tersembunyi dan aku bagai menemukan harta karun setiap kali berhasil menemukannya.

(Mas berangkat ke kantor. Kamu kelelahan hingga Mas nggak tega membangunkan. Jangan ke mana-mana, Mas akan pulang cepat.)

Aku tersenyum membacanya, mendekap kertas itu di dada. Mungkin hanya kesalahpahaman yang terjadi semalam. Mungkin, rumah tangga kami sebetulnya baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Aku meraih ponsel. Sudah jam sepuluh pagi. Chat WA beberapa teman masuk, tak terlalu penting karena hanya mengajak ke salon. Aku mengabaikannya untuk kubaca dan kubalas nanti, lalu beralih ke story WA. Lagi-lagi, status WA Riris muncul paling atas. Dia memang hobi sekali membuat status WA. Kadang statusnya terlihat seperti jahitan benang.

(Aaahh, ipar kepo. Ngeselin banget sih.)

Status WA-nya semalam. Mungkin setelah aku selesai meneleponnya. Statusnya membuatku teringat bahwa aku harus menanyakan dia pada Ibu.

(Diam aja kayak gini lama-lama nggak enak loh. Tunggu saja, akan kubuat kau terkejut.)

Aku mengerutkan kening, kali ini karena tak mengerti maksud status WA-nya. Seperti sebuah anca-man untuk seseorang. Tapi apa? Dan siapa?

Tak ingin pusing, aku mengabaikannya dan memilih bangun dari tempat tidur. Koper Mas Reno belum lagi dibereskan. Kubuka kopernya dan mengeluarkan isinya satu persatu. Baju yang sudah kotor dipisahkannya dalam sebuah kantong plastik. Dua lembar kemeja yang masih terlipat rapi ada di tumpukan paling bawah. Usai mengeluarkan baju kotornya, aku mengangkat bajunya yang masih bersih, bermaksud memindahkannya ke dalam lemari, ketika tiba-tiba sebuah benda yang tak pernah kusangka ada di dalamnya terjatuh.

Aku memungut benda itu dengan jantung bergetar. Sebuah alat kontrase-psi. Seketika, duniaku terasa berputar. Mas Reno tak pernah memakai benda ini saat bersamaku. Mana mungkin, padahal kami sedang berjuang untuk punya anak. Tapi benda ini? Dengan siapakah dia memakainya?

Aku jatuh terduduk, ku camp-akkan benda itu ke atas lantai. Tangisku akhirnya pecah, kubiarkan air mata membanjir karena menahan tangis itu sungguh sakit sekali.

Apa yang kamu lakukan diluar sana Mas? Dan dengan siapa? Apakah akhirnya kau menyerah karena aku tak juga hamil? Lalu, apa arti sikap mesramu tadi pagi?

Membayangkan dia memel-uk orang lain, lalu pulang dan memelu-kku, aku bergidik, tiba-tiba saja merasa jiji-k. Aku berdiri, melangkah menuju kamar mandi dan menghidupkan shower. Di bawah kucuran air hangat itu, air mataku kembali meleleh, bersatu bersama air dari shower dan mengalir menuju lubang pembuangan.

Sakit. Tapi bukan Andin namanya jika diam saja.

***

"Oh, semalam Riris pamit ke tempat teman katanya. Ada acara pengajian anak temannya yang meninggal."

Suara Ibu di telepon terdengar ringan.

"Jam berapa dia pulang, Bu?"

"Emm, sekitar jam sepuluh kayaknya. Ibu nggak lihat jam. Kenapa memangnya, Nak?"

"Oh, nggak apa-apa. Cuma lain kali kalau Riris pergi sampai malam begitu, kasih tahu Andin ya Bu. Kita bertanggung jawab menjaganya selagi Radit nggak di rumah." Ujarku lembut.

"Benar juga kamu, Ndin. Kok Ibu nggak kepikiran ya. Soalnya kemarin dia dijemput temannya."

"Laki-laki atau perempuan, Bu?"

"Perempuan kok. Dia pamit sama Ibu."

Aku mengakhiri pembicaraan dengan tanda tanya besar di kepala. Apa yang sebenarnya Riris lakukan? Sementara pertanyaan tentang di kemana kan uang dari Radit saja belum terjawab. Dan kini, otakku kembali terbagi dengan alat kontr-asepsi di koper Mas Reno.

Aku menghela nafas dalam-dalam, memenuhi paru-paru dengan udara, berharap sesak di dadaku berkurang. Kukembalikan isi koper Mas Reno seperti semula, berpura-pura seolah aku belum sempat merapikannya. Aku akan mencari tahu sendiri nanti.

Ponselku berbunyi, pertanda ada pesan masuk. Tumben, Radit menghubungiku siang seperti ini. Dia bekerja sebagai pelaut di kapal cargo, pulangnya tiga bulan sekali.

(Mbak, aku mau minta tolong, maaf sebelumnya.)

Adikku itu memang sopan. Ibu mendidik kami dengan baik. Tapi chat WA berikutnya justru membuat dadaku sesak.

(Tolong jangan terlalu mengurusi Riris. Semalam dia meneleponku dan menangis, katanya Mbak terlalu mengurusi hidupnya sampai dia merasa risih. Riris kan udah dewasa Mbak, udah punya anak. Biarkan saja dia selama nggak keluar batas.)

Aku tertegun. Aku sendiri bahkan belum pernah mengadukan kelakuannya pada Radit, tapi dia lebih dulu melakukannya. Aku menghela nafas, berpikir, apa yang akan dilakukan Radit seandainya dia tahu adiknya bergandengan dengan lelaki lain di jam sepuluh malam?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status