Home / Rumah Tangga / STATUS WA CALON SUAMIKU / Bab 7. Dokter yang Impoten

Share

Bab 7. Dokter yang Impoten

Author: ananda zhia
last update Last Updated: 2022-12-01 08:02:08

🌹Kamu tahu enggak, kenapa di rumah sakit hanya menerima pasien? 

🌹 Karena yang menerima kamu apa adanya ya cuma aku!

***

"Tunggu! Saya tidak terima. Apa-apaan ini. Jelaskan pada saya kenapa saya harus dipermalukan seperti ini?!" terdengar suara mama mas Erick yang berdiri dan berkacak pinggang.

"Masih mengelak? Kalau begitu dengarkan ini!"

Ayah memutar file rekaman suara pada ponselku dan langsung memasukkannya pada pengeras suara.

Semua yang hadir di ruang tamuku terkejut. Suara yang terdengar di ponselku begitu jelas. Ada suara mas Erik, mamanya, dan Anin. 

"Nah, seperti yang kalian simak barusan, ada rencana buruk di balik rencana pernikahan ini."

"Hm, tunggu. Sepertinya ini ada masalah intern yang harus diselesaikan secara kekeluargaan saja. Kalau begitu, saya pulang dahulu," kata penghulu itu sambil menggeleng-gelengkan kepala menyalami ayah. 

"Terimakasih atas kedatangannya dan saya mohon maaf."

Ayah menerima uluran tangan penghulu dengan wajah yang ditegarkan. 

"Hahaha, kamu lucu sekali Rengganis!"

Mas Erick tertawa seraya melihatku serius.

Aku mendelik. Keheranan dengan mas Erick yang tertawa sumbang setelah rahasianya terbongkar.

"Apanya yang lucu, Mas? Kamu pikir nasibku cuma guyonan?" tanyaku ketus.

"Kamu pikir semua yang ada di ruangan ini percaya hanya dengan rekaman suara saja? Ayolah! Bukankah rekaman suara dapat dibuat oleh siapapun yang suaranya mirip?" tanya Mas Erick tersenyum penuh kemenangan.

"Memang, saat itu aku hanya bisa mendengarkan suara dari balik pintu rumah. Tapi aku juga punya bukti lain soal kamu yang sudah punya istri," aku tersenyum sambil menuju ke ayah dan mengambil ponsel yang dipegang ayah.

"Mas Aris, tolong LCDnya," pintaku pada mas Aris sesuai rencana.

Mas Aris mengangguk dan langsung mengambil mesin LCD yang biasanya diputar untuk hiburan pengunjung resto menikmati lagu-lagu.

Mas Aris meraih ponselku dan menghubungkannya dengan kabel USB langsung ke LCD.

Dan tampaklah dengan jelas foto-foto mas Erick dan mamanya yang sedang bersama Anin di luar rumah Anin.

Mas Erick, mamanya dan seluruh yang hadir membelalakkan matanya saat melihat foto-foto mas Erick sedang merangkul dan mencium kening serta perut Anin yang masih rata.

Aku mengambil microphone dari tangan ayah saat melihat beberapa kamera ponsel yang mulai mengarah pada kami.

"Yang mau merekam dan memviralkan kejadian ini silahkan. Ini akan menjadi pelajaran penting pada siapapun yang ada di sini agar jangan mempermainkan calon pasangannya."

Aku berkata lantang seperti saat memberikan penyuluhan di rumah sakit atau balai desa dengan memandangi tetamu secara serius.

"Kenal dengan perempuan di foto itu kan? Artis lokal dari kabupaten sebelah. Ya, mesra kan? Dia istri siri mas Erick."

"Tunggu, ini fitnah!"

"Kamu masih bisa bilang ini fitnah? Kamu ingat saat kamu menerima telepon dan langsung pergi sama mama saat aku sakit?"

Wajah Mas Erick tampak menegang.

"Bagus kalau kamu ingat. Karena sejak kamu pergi dari kamar tempatku dirawat, aku memberitahu tentang kebusukanmu pada keluargaku dan kami langsung menyewa orang untuk membuktikan bahwa kamu sudah punya istri, Mas. Bahkan orang bayaran kami bisa menemukan ustadz yang menikahkan kalian. Apa perlu ustadz tersebut diundang kemari?" tanyaku.

Mas Erick mengepalkan tangan dengan muka merah padam.

"Kamu? kenapa kamu tega sekali melakukan hal ini?"

"Tega sekali kamu bilang Mas? Kamu yang lebih tega sama aku? Kamu gak bisa lihat perbuatan kamu? Atau mau dipinjemin kaca?"

"Kamu ya ...!"

Mas Erick meringsek padaku dan mencengkeram bahuku dengan cepat lalu melayangkan tangan kanannya ke arah wajahku.

Buaaagh!

Aarrgh!

Aku yang tidak mengira akan mendapat serangan medadak langsung memejamkan mata.

Tapi sebelum tangan mas Erick sempat mampir di pipiku, mas Erick lebih dahulu jatuh tersungkur dan memegangi sudut bibirnya yang berdarah. 

"Jangan coba-coba sentuh adikku yang berharga!"

Saat aku membuka mata, mas Aris terlihat mengepalkan tangannya.

"Kalian tidak adil. Kalian telah merampas suami saya dan sekarang kalian mempermalukan keluarga kami!"

"Justru kalianlah yang tidak adil. Papa Erick itu sudah ngebut dan mabuk pula. Sehingga melaju kencang dan menabrak mobil saya dengan tiba-tiba sebelum saya sempat menghindar. Bukankah Ibu ingat kalau di motornya ditemukan botol TM yang pecah? Padahal yang melaju ke arah saya dengan begitu kencang adalah motor papanya Erick, kenapa selalu mobil yang lebih gede yang selalu disalahkan?" tanya ayah membuat yang hadir berpandangan.

Wajah mama mas Erick memerah.

"Sudah, lebih baik kita pulang dulu. Disini kita dipermalukan!" seru mama mas Erick.

"Inget ya, kejadian ini akan selalu saya ingat selama saya hidup!" seru Erick seraya memberi kode pada mama dan seluruh keluarganya untuk pulang meninggalkan rumah.

***

Aku mengunyah coklat sambil memandangi layar laptop yang sedang menampilkan adegan film korea lawas. Endless love.

"Asemlah. Jadi bener-bener mupeng kan. So sweet banget jadi ceweknya. Bener-bener cinta sejati," gumamku sambil melempar bungkus coklat ke layar yang sedang menampilkan akting Song Hye-kyo penuh rasa iri.

"Dek, boleh masuk?" 

Terdengar suara di luar pintu kamar, suara Mas Aris.

"Masuk aja, Mas. Gak dikunci!"

Kepala mas Aris tampak menyembul dari balik pintu lalu mengintipku.

"Masuk saja. Ngapain cuma kepalanya saja yang kelihatan," tegurku tertawa.

Mas Aris pun tersenyum. Bukan jawaban yang dia berikan tapi dia bertanya balik padaku.

"Are you okay, Sist?" tanya mas Aris seraya masuk ke dalam kamar.

"Hm, as you can see," sahutku sambil menatap film yang sedang berputar. 

"Elaah, lagi sedih. Film yang dilihat film sentimentil, bikin hati nelangsa lo."

Mas Aris ikut kepo dan mengintip layar laptop.

"Ah biarin." 

"Kirian kamu nangis, Nis atau minum diazepam lagi."

"Hm, pinginnya sih nangis atau minum diazepam sebotol biar nggak bangun lagi. Tapi aku pikir, aku justru bersyukur tahu masalah ini sebelum menikah. Karena kalau aku keburu nikah dengan manusia seperti itu, entah jadi seperti apa hidupku."

"Iya sih, kamu bener juga. Untung kamu lihat status whatsappnya si Erick di ponsel Reyhan."

"Kalau menurut aku, itu bukan Erick yang bikin statusnya Mas. Tapi istrinya itu."

"Siapapun yang nulis status itu, aku tidak peduli. Karena Mas jadi sadar dengan sifat Erick dan keluarganya."

"Iya sih."

"Kamu ... nggak nangis? Butuh bahu dan sandaran untuk dipeluk?" 

Mas Aris membuka kedua tangannya lebar kearahku.

"Heleh, lebay! Air mataku habis dari kemarin saat nelan diazepam. Sekarang nggak mau nangis lagi. Mahal air mataku!" 

"Nah, gitu dong. Semoga cepat move on ya. Dan dapat ganti lebih baik."

"Untung saja ya rencana resepsi nunggu tahun depan sampai proyek Erick tentang pembangunan perumahan di jawa barat kelar. Coba kalau rencana resepsinya mepet sama akad, sudah rugi bandar kita!"

"Aduh, aku malas bahas itu. Untuk saat ini aku mau menikmati cuti 3 hari dan tuker dines 3 hari. Jadi ...,"

"Jadi enam hari mau ngapain di rumah?" tanya mas Aris.

Aku meliriknya. Dia memang sejenis spesies yang jiwa kekepoannya tinggi.

"Rebahan dan ngabisin coklat," sahutku sambil menunjuk ke arah seember mungil coklat yang ada di pojok ruangan.

"Awas gendut nanti kamu!" Mas Aris tertawa. 

"Gak mungkin, Mas. Aku itu sejenis makhluk ectomorph, yang akan tetap kurus meski makan sebanyak apapun."

"Heh, sombong. Ya sudah Mas keluar dulu."

Aku meraih ponsel yang sedari tadi kuacuhkan di pojok kasur. 

Sengaja ku silent karena dari pagi banyak telepon dan pesan w******p masuk dari teman dan saudara.

Begitu kuraih ponsel, bertepatan dengan Reyhan yang menelepon.

"Wah, Nis. Ada apa pagi tadi?"

Terdengar suara Reyhan dari seberang telepon.

"Pagi tadi maksudnya gimana?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Kamu viral, Nis. Di grup UGD dan rumah sakit tersebar videomu sebelum akad. Kenapa jadi seperti itu? Turut prihatin ya Nis."

"Gak apa-apa. Nanti juga akan ilang sendiri kalau sudah sebulanan. Aku telanjur dendam, jadi ingin membalas sakit hati pada Erick dan keluarganya."

Hening sejenak.

"Nis, boleh bilang sesuatu?" 

"Boleh lah Dok, bilang saja."

"Kalau model seperti kamu, percayalah akan dapat ganti yang sejuta kali lebih baik. Aku saja, sebenarnya mau kok sama kamu!"

Ucapan Reyhan membuatku nyaris tersedak coklat yang kukunyah.

"Walah, aku masih belum memikirkan cari pasangan Dok. Tapi, Dokter serius tentang hal itu? Padahal kan Dokter lagi dalam masa terapi?" 

"Hah, terapi apaan sih maksud kamu?" suara di seberang terdengar terkejut.

"Bukannya Dokter itu menderita impot*n ya?"

"Hah? Kata siapa kamu?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Lita Yuliandini
lanjut Thor penasaran sama cerita selanjutnya
goodnovel comment avatar
Sudarmi Ningsih
lanjutkan rengganis... aksimu wow
goodnovel comment avatar
Isabella
sumpah lucu sekali Reyhan dan rengganis
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   81. Wisuda

    "Akhirnya kamu besok wisuda, Mas," ucap Rengganis sambil melingkarkan tangan ke pinggang sang suami. Reyhan tersenyum. "Alhamdulillah semua proses PPDS berlangsung lancar. Walaupun pada awalnya ada kendala.""Hm, iya Sayang. Sebenarnya kemarin aku sudah hopeless tentang kelancaran PPDS kamu.""Aku tahu. Pasti karena Tamara. Iya kan?"Rengganis mengangguk. "Dan atas perantara kita, Tamara bisa berbaikan kembali dengan Bapaknya.""Iya. Aku juga tidak menyangka.""Apa rencana kamu kedepannya Mas?""Rencana jangka panjang atau jangka pendek?" tanya Reyhan sambil mulai memegangi bibir Rengganis."Jangka panjang dong."Reyhan berpikir sejenak. "Tidak ada rencana."Rengganis tergelak. "Kok bisa tidak ada rencana?""Aku hanya perlu kembali ke RSUD dan bekerja dengan rajin di sana. Terus mau apalagi?" tanya Reyhan balik. "Kali aja mau bikin tempat praktek di rumah."Reyhan menggeleng. "Enggak. Aku kerja di luar rumah saja. Kalau di rumah, waktunya happy happy dengan istri," jawab Reyhan menc

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   80. Saling Memaafkan

    Teman-teman Doni terpaku mendengarkan penjelasan dokter sampai selesai tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. "Jadi itu saja informasi yang perlu saya sampaikan. Kalau ada pertanyaan, bisa bertanya pada para suster. Saya permisi dulu karena masih harus visite dengan beberapa pasien lain.""Terimakasih Dokter."Dokter keluar dari ruangan konsultasi dan disusul oleh Doni dan kedua orang tua Nita."Loh, kalian kok di sini?" tanya Doni panik. Begitu pula ekspresi wajah Dewi dan suaminya. Teman-teman Doni hanya terpaku tanpa bisa menanggapi. "Kami ...,""Om mau bicara dengan kalian berlima. Bisa kita bicara sebentar?" tanya suami Dewi. Teman-teman Doni mengangguk. Lalu mengikuti langkah ayah Nita tersebut hingga sampai di depan ruang bersalin. Ayah Nita lalu duduk di kursi keluarga pasien dan memandang semua teman-teman Nita."Kalian sudah mendengar apa kata dokter sewaktu ada di ruangan tadi kan?" tanya ayah Nita. Kelima orang teman Nita hanya bisa terdiam."Saya tahu kalian sudah

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   79. Ketahuan Keguguran

    Dewi dan suaminya menoleh. "Bagus deh. Kalau begitu ayo ikut kami ke PMI," ujar suami Dewi sambil berjalan mendahului Dewi dan Doni. "Tunggu. Ini surat pengantar untuk pengambilan darah." Suster itu memberikan selembar amplop putih kepada Doni. Doni menerima amplop tersebut dan mengejar suami Dewi."Om. Naik mobil saya saja. Saya bawa mobil."Suami Dewi menghentikan langkah dan membalikkan badan lalu menatap Doni. "Kamu sepertinya belum genap berusia 17 tahun. Bagaimana mungkin kamu sudah boleh membawa mobil oleh orang tua kamu di jalan raya? Kamu juga pasti belum punya SIM.""Ya, saya mengendarai mobil di jalan yang sepi Om. Agar tidak ketahuan oleh polisi.""Kalau begitu, mana mobil kamu. Biar Om saja yang menyetir. Mobil Om baru saja dijual untuk modal usaha baru Om.""Kalau saya boleh tahu, usaha baru Om apa ya?" tanya Doni sambil menyerahkan kunci mobil milik ayahnya. "Kafe dan resto," sahut suami Dewi.Doni terdiam tanpa menanggapi. Dewi dan suaminya pun juga malas untuk basa

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   78. Butuh Transfusi Darah

    Dewi mengangguk dengan takut-takut. "Astaga, aku harus meminta pertanggungjawaban padanya. Walaupun aku miskin dan tidak sekaya dokter itu, aku nggak akan sanggup melihat anakku terbaring lemah tidak berdaya."Ayah dari Nita segera menuju ke arah pintu masuk UGD. "Tunggu Yah. Apa yang akan kamu lakukan?! Dokter Tamara sedang berusaha menyelamatkan anak kita. Jangan ganggu fokusnya!""Aarrgh!"Ayah Tamara meninju tembok di luar UGD lalu duduk di kursi penunggu. Kedua tangannya menangkup wajah diiringi helaan nafas panjang bernada frustasi."Kita tidak bisa hanya diam saja dan menunggu Wi. Paling tidak, kita harus memaksa anak itu bertanggung jawab. Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau Nita hamil?"Dewi menunduk. "Maafkan aku Mas. Aku juga baru tahu kalau Nita hamil setelah kemarin Nita memberi tahu bahwa pacarnya akan datang untuk membahas kehamilannya. Tapi aku terkejut karena ternyata yang datang adalah anak dari ayah tiriku.""Astaga!! Kenapa jadi seperti ini? Jadi Tamara itu s

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   77. Gelut

    "Hahaha. Aku juga nggak sudi mempunyai menantu seperti anak kamu. Tidak bermoral. Makanya jadi cewek jangan terlalu murah. Sekarang bisa merasakan akibatnya kan? Perempuan masih sekolah saja kok mainan burung. Ya hamil lah! Makanya jadi perempuan jangan terlalu bodoh," kata Tamara memanas-manasi."Hei, apa kamu bilang? Keterlaluan kamu ya!" seru Dewi meringsek ke hadapan Tamara lalu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan langsung mengayunkannya ke pipi Tamara.Tamara yang sudah siap dan sudah memprediksi serangan yang akan ditujukan padanya segera menangkis dan menangkap tangan Dewi. "Hei ngaca kalau mau menyerang orang. Di masa lalu kamu dan ibumu membuat ibu dan adikku mati dan hidupku sangat menderita seperti di neraka. Ini adalah hukuman kamu! Paham?!" seru Tamara sambil menghempaskan tangan Dewi. Begitu tangannya terlepas, Dewi menghambur ke arah Tamara dan dengan cepat menjambak rambut dokter itu. Tamara yang tidak siapa, tidak memprediksi serangan kedua merasa kesakitan ka

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   76. Perempuan yang Dihamili Anakku

    Ponsel Doni meluncur jatuh ke lantai kamar rawat inap. "Astaga!" seru Tamara kaget. Dengan segera dia mengambil ponsel anaknya dan memeriksanya. Tamara masih beruntung karena ponsel Doni tidak jatuh terlalu tinggi. "Syukurlah tidak pecah," ucap Tamara lirih. Dia lalu mengambil ponsel Doni yang tadi tidak sengaja dijatuhkannya.Dan beberapa pesan whatsapp datang beruntun memenuhi ponsel Doni.[Don. Ini Nita. Kamu harus tanggung jawab!][Don, kenapa kamu memblokir nomorku?][Don, tepati janjimu, atau aku akan mengadukanmu pada orangtuamu yang kaya raya itu][Don! Awas kamu ya. Kalau sampai membiarkan aku menanggung kehamilanku seorang diri, aku akan menemui Mamamu yang seorang dokter. Atau memviralkan perbuatan kamu!]Lalu beberapa panggilan video yang dibiarkan oleh Tamara tanpa diterimanya. Hati Tamara mencelos. Dia kecewa sekali. Bagaimana mungkin anak tunggal yang selalu dibanggakannya berani menorehkan kotoran ke mukanya. Tapi Tamara tahu, bahwa dia ikut andil dalam pembentukan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status