Share

Bab 6. Dipermalukan saat Akad

Dan wajah merekapun terkejut!

"Kok kamu bisa dapat rekaman ini? Dan kenapa kamu baru cerita sekarang?" tanya mas Aris bingung.

"Ini karena status w******p mas Erick. Entah mas Erick yang sengaja menulis status di w******pnya tapi lupa memprivat temanku, atau istri mas Erick yang menuliskan status w******p itu," jawabku sambil memperhatikan wajah keluargaku yang masih tampak tidak percaya.

Aku lalu menceritakan seluruh kronologi bagaimana aku bisa mendapatkan rekaman itu. 

"Bangs*t si Erick! Air susu dibalas dengan air tuba!" seru mas Aris mengepalkan tangan.

"Maafkan Ayah dan Bunda, karena tidak menceritakan masalah tabrakan itu padamu, Nis," sahut ayah dengan nada penyesalan.

"Tidak apa-apa, Yah. Mungkin Ayah pun tidak ingin mengingat-ingat lagi kenangan buruk itu, jadi tidak ingin menceritakan kejadian pahit itu lagi."

Ayah terdiam. Tapi jelas sekali matanya tertutup dengan kaca-kaca.

"Mungkin tadi Erick buru-buru pergi karena menerima telepon dari istrinya."

Bunda berkata dengan nada lirih.

"Bisa jadi," sahutku.

"Bunda tidak terima jika anak bungsu Bunda hendak dipermainkan seperti ini!" seru bunda yang biasanya kalem.

"Kita harus melabraknya sekarang. Bukankah Ayah telah membiayai Erick sampai lulus kuliah sebagai tanda damai setelah menabrak almarhum Papanya? Sekarang enak saja dia mau menguasai aset dan membuat Ganis menderita!" seru mas Aris.

"Tunggu Mas. Sebenarnya Ganis punya rencana yang lebih menyakitkan lagi untuk mereka," sahutku mantap. 

"Gimana rencana kamu?" tanya Ayah.

Aku berusaha duduk dan melepaskan selang oksigen yang menancap di hidungku karena sudah tidak terasa sesak dan lemas lagi. 

"Begini rencana Ganis, ...,"

"Ayah setuju. Ayah lebih memilih kehilangan uang daripada putri Ayah disepelekan dan tidak punya harga diri."

"Ya sudah aku juga setuju," sahut bunda dan mas Aris hampir bersamaan.

**

"Kamu sudah minta pulang, Nis?" tanya Reyhan dengan stetoskop terkalung di lehernya.

"Iya, aku merasa sehat. Lusa kan aku akad."

Kulihat sekilas Reyhan menarik nafas panjang.

"Kok aneh-aneh saja Nis. Pakai acara lemes dan ke UGD. Harusnya nyalon biar tambah cantik," selorohnya sambil meletakkan diaphrgma ke dada dan perutku lalu memintaku menarik nafas panjang.

"Dok, kok dokter yang memvisite saya? Bukannya seharusnya dokter spesialis dalam?" tanyaku.

"Dokter spesialis dalamnya sedang keluar kota. Semua pasien rawat inap dititipkan padaku. Lagipula, walaupun aku dokter umum, tapi aku kan juga sepintar dokter spesialis. Ganteng lagi. Sayangnya masih zomblo," selorohnya tertawa.

"Apaan sih Dok. Malah curhat di sini. Bikin gelay. Lagian Dokter bukannya nggak mau nyari calon sih. Tapi nggak bisa, karena Dokter kan ..., eh!"

Aku langsung menutup mulutku dengan telapak tangan. Karena tanpa sengaja telah mengingkari janji yang telah kubuat dengan Susan.

"Apaan sih? Emang kenapa denganku?" tanya dokter Reyhan dengan ekspresi wajah penasaran.

"Hei Ganis. Gak bagus ngomongin kelemahan orang. Apalagi ada orang lain yang ikut mendengarkan. Kalau mau mengingatkan, sebaiknya berdua saja jangan sampai orang lain tahu," tukas bunda membuatku tersipu.

"Tuh, dengarkan apa kata Bunda kamu. Ya sudah, hari ini boleh pulang. Obat untuk pulang nanti dikonsulkan ke spesialis dalam ya. Jangan sering-sering minum diazepam atau valisanbe ya. Gak bagus."

Reyhan tersenyum seraya berpamitan padaku dan keluarga.

"Itu dokter ganteng juga. Sopan lagi. Kenapa bukan dia saja yang menjadi mantu Bunda?" 

Bunda melihatku dengan serius membuatku tidak bisa menahan tawa. 

"Dokter Reyhan itu banyak penggemarnya dan Ganis sering melihat dia ganti-ganti cewek," sahutku berusaha menutupi aib dokter Reyhan yang telah kuketahui dari Susan.

***

"Sudah pulang dari rumah sakit Yang?" tanya mas Erick seraya memegang buket mawar merah saat aku baru saja tiba di rumah.

'Enak aja manggil aku Yang, memangnya aku loyang atau kepala peyang?'

"Iya Nak, Ganis biar istirahat dulu ya. Masih lelah." 

Ayah mengiringi langkahku dengan hati-hati.

Mas Aris membawakan tas jinjing berisi baju serta aneka keperluan selama di rumah sakit dan melewati mas Erick begitu saja.

Padahal mereka sebelumnya pernah akrab dan sering futsal bersama.

Ah, bodo amat. 

Mas Erick membuntutiku ke ke dalam rumah tapi ayah segera mengantarku masuk ke dalam kamar. 

"Kamu di kamar saja. Biar Ayah dan Bunda yang mengusirnya pulang."

Aku tersenyum saat melihat ayah jengkel. 

"Makasih Ayah," bisikku.

Ayah dan bunda mengagguk lalu berlalu.

"Nak Erick, Rengganis biar istirahat dulu ya. Bunganya Bunda bawa."

Terdengar samar suara bunda sedang "mengusir" mas Erick.

Di kamar aku menahan tawa. "Rasain, emang enak?!"

"Ta-tapi saya cuma ingin menyemangatinya. Beberapa kali saya kirim pesan w******p, selalu saja dijawab dengan pendek."

Suara mas Erick terdengar bingung. Mungkin dia tidak mengira kalau calon mertuanya sekarang bisa bersikap sedingin es batu.

"Nak, Rengganis itu baru saja keluar dari rumah sakit karena over dosis diazepam. Jadi biar dia istirahat agar pernikahan kalian berjalan lancar ya Nak. Lebih baik, sekarang kamu pulang dulu."

Suara ayah terdengar tegas. Dan setelah itu tidak dengar suara apa-apa lagi.

Aku merebahkan diri senyaman mungkin dan mengawasi langit-langit kamar. 

Sebuah notifikasi dari aplikasi hijau terdengar.

Aku menghela nafas saat membaca nama pengirimnya. 

Dokter Reyhan. Lagi. Duh!

[Jangan lupa istirahat yang cukup, makan bergizi, dan diminum obatnya.]

Aku mengernyitkan dahi. 'Tumben sih Dokter Reyhan mengirim pesan seperti ini? Biasanya kan dia dingin-dingin saja,' batinku. Tapi tak urung juga aku mengetik balasan untuk Dokter Reyhan.

[Hm, terima kasih, Dokter.]

Dan setelah sekian lama menunggu, dokter Reyhan tidak membalas pesanku. 'Ah, sudahlah. Paling dia tadi kirim pesan sambil ngelindur,' batinku lagi lalu mencoba beristirahat.

***

Pagi ini suasana rumah ramai. Sesuai rencana yang akan kami lakukan, kami akan mempermalukan mas Erick dan keluarganya.

Aku duduk di belakang mas Erick dengan hati yang tidak menentu. Ada rasa sedih tapi aku bersyukur karena bisa mengetahui kebusukan mas Erick sebelum benar-benar menikah dengannya.

Pak penghulu sudah datang dan duduk di samping ayah.

Ayah menjabat tangan mas Erick dengan tangan kanan sementara tangan kirinya memegang microphone.

"Silakan mulai akadnya, Pak." 

Penghulu berkopyah hitam itu mempersilahkan ayah untuk memulai ijab qobul.

"Bismillahirrahmanirrahiim. Nak Erick, saya kecewa dengan apa yang nak Erick dan keluargamu rencanakan. Dengan seenaknya ingin menikahi Rengganis, anak bungsu bapak untuk disakiti dan menguasai aset Ayah. Jadi dengan berat hati, di hadapan semua tetamu dan keluarga di sini, saya memutuskan untuk membatalkan acara pernikahan ini."

Suara ayah terdengar tegas tapi bergetar. Menggema di seluruh penjuru rumah karena memakai pengeras suara. Pasti ayah merasa hancur sama sepertiku.

'Ah, maafkan Ganis, Yah. Gara-gara Ganis ingin membalaskan sakit hati Ganis, ayah juga ikut menanggung malu di hadapan tamu.'

Terlihat wajah para tamu terutama mas Erick dan mamanya memucat. Gumaman-gumaman mulai terdengar bersahutan.

"Tunggu! Saya tidak terima. Apa-apaan ini. Jelaskan pada saya kenapa saya harus dipermalukan seperti ini?!" terdengar suara mama mas Erick yang berdiri dan berkacak pinggang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status