Home / Rumah Tangga / STATUS WA CALON SUAMIKU / Bab 6. Dipermalukan saat Akad

Share

Bab 6. Dipermalukan saat Akad

Author: ananda zhia
last update Last Updated: 2022-12-01 08:00:14

Dan wajah merekapun terkejut!

"Kok kamu bisa dapat rekaman ini? Dan kenapa kamu baru cerita sekarang?" tanya mas Aris bingung.

"Ini karena status w******p mas Erick. Entah mas Erick yang sengaja menulis status di w******pnya tapi lupa memprivat temanku, atau istri mas Erick yang menuliskan status w******p itu," jawabku sambil memperhatikan wajah keluargaku yang masih tampak tidak percaya.

Aku lalu menceritakan seluruh kronologi bagaimana aku bisa mendapatkan rekaman itu. 

"Bangs*t si Erick! Air susu dibalas dengan air tuba!" seru mas Aris mengepalkan tangan.

"Maafkan Ayah dan Bunda, karena tidak menceritakan masalah tabrakan itu padamu, Nis," sahut ayah dengan nada penyesalan.

"Tidak apa-apa, Yah. Mungkin Ayah pun tidak ingin mengingat-ingat lagi kenangan buruk itu, jadi tidak ingin menceritakan kejadian pahit itu lagi."

Ayah terdiam. Tapi jelas sekali matanya tertutup dengan kaca-kaca.

"Mungkin tadi Erick buru-buru pergi karena menerima telepon dari istrinya."

Bunda berkata dengan nada lirih.

"Bisa jadi," sahutku.

"Bunda tidak terima jika anak bungsu Bunda hendak dipermainkan seperti ini!" seru bunda yang biasanya kalem.

"Kita harus melabraknya sekarang. Bukankah Ayah telah membiayai Erick sampai lulus kuliah sebagai tanda damai setelah menabrak almarhum Papanya? Sekarang enak saja dia mau menguasai aset dan membuat Ganis menderita!" seru mas Aris.

"Tunggu Mas. Sebenarnya Ganis punya rencana yang lebih menyakitkan lagi untuk mereka," sahutku mantap. 

"Gimana rencana kamu?" tanya Ayah.

Aku berusaha duduk dan melepaskan selang oksigen yang menancap di hidungku karena sudah tidak terasa sesak dan lemas lagi. 

"Begini rencana Ganis, ...,"

"Ayah setuju. Ayah lebih memilih kehilangan uang daripada putri Ayah disepelekan dan tidak punya harga diri."

"Ya sudah aku juga setuju," sahut bunda dan mas Aris hampir bersamaan.

**

"Kamu sudah minta pulang, Nis?" tanya Reyhan dengan stetoskop terkalung di lehernya.

"Iya, aku merasa sehat. Lusa kan aku akad."

Kulihat sekilas Reyhan menarik nafas panjang.

"Kok aneh-aneh saja Nis. Pakai acara lemes dan ke UGD. Harusnya nyalon biar tambah cantik," selorohnya sambil meletakkan diaphrgma ke dada dan perutku lalu memintaku menarik nafas panjang.

"Dok, kok dokter yang memvisite saya? Bukannya seharusnya dokter spesialis dalam?" tanyaku.

"Dokter spesialis dalamnya sedang keluar kota. Semua pasien rawat inap dititipkan padaku. Lagipula, walaupun aku dokter umum, tapi aku kan juga sepintar dokter spesialis. Ganteng lagi. Sayangnya masih zomblo," selorohnya tertawa.

"Apaan sih Dok. Malah curhat di sini. Bikin gelay. Lagian Dokter bukannya nggak mau nyari calon sih. Tapi nggak bisa, karena Dokter kan ..., eh!"

Aku langsung menutup mulutku dengan telapak tangan. Karena tanpa sengaja telah mengingkari janji yang telah kubuat dengan Susan.

"Apaan sih? Emang kenapa denganku?" tanya dokter Reyhan dengan ekspresi wajah penasaran.

"Hei Ganis. Gak bagus ngomongin kelemahan orang. Apalagi ada orang lain yang ikut mendengarkan. Kalau mau mengingatkan, sebaiknya berdua saja jangan sampai orang lain tahu," tukas bunda membuatku tersipu.

"Tuh, dengarkan apa kata Bunda kamu. Ya sudah, hari ini boleh pulang. Obat untuk pulang nanti dikonsulkan ke spesialis dalam ya. Jangan sering-sering minum diazepam atau valisanbe ya. Gak bagus."

Reyhan tersenyum seraya berpamitan padaku dan keluarga.

"Itu dokter ganteng juga. Sopan lagi. Kenapa bukan dia saja yang menjadi mantu Bunda?" 

Bunda melihatku dengan serius membuatku tidak bisa menahan tawa. 

"Dokter Reyhan itu banyak penggemarnya dan Ganis sering melihat dia ganti-ganti cewek," sahutku berusaha menutupi aib dokter Reyhan yang telah kuketahui dari Susan.

***

"Sudah pulang dari rumah sakit Yang?" tanya mas Erick seraya memegang buket mawar merah saat aku baru saja tiba di rumah.

'Enak aja manggil aku Yang, memangnya aku loyang atau kepala peyang?'

"Iya Nak, Ganis biar istirahat dulu ya. Masih lelah." 

Ayah mengiringi langkahku dengan hati-hati.

Mas Aris membawakan tas jinjing berisi baju serta aneka keperluan selama di rumah sakit dan melewati mas Erick begitu saja.

Padahal mereka sebelumnya pernah akrab dan sering futsal bersama.

Ah, bodo amat. 

Mas Erick membuntutiku ke ke dalam rumah tapi ayah segera mengantarku masuk ke dalam kamar. 

"Kamu di kamar saja. Biar Ayah dan Bunda yang mengusirnya pulang."

Aku tersenyum saat melihat ayah jengkel. 

"Makasih Ayah," bisikku.

Ayah dan bunda mengagguk lalu berlalu.

"Nak Erick, Rengganis biar istirahat dulu ya. Bunganya Bunda bawa."

Terdengar samar suara bunda sedang "mengusir" mas Erick.

Di kamar aku menahan tawa. "Rasain, emang enak?!"

"Ta-tapi saya cuma ingin menyemangatinya. Beberapa kali saya kirim pesan w******p, selalu saja dijawab dengan pendek."

Suara mas Erick terdengar bingung. Mungkin dia tidak mengira kalau calon mertuanya sekarang bisa bersikap sedingin es batu.

"Nak, Rengganis itu baru saja keluar dari rumah sakit karena over dosis diazepam. Jadi biar dia istirahat agar pernikahan kalian berjalan lancar ya Nak. Lebih baik, sekarang kamu pulang dulu."

Suara ayah terdengar tegas. Dan setelah itu tidak dengar suara apa-apa lagi.

Aku merebahkan diri senyaman mungkin dan mengawasi langit-langit kamar. 

Sebuah notifikasi dari aplikasi hijau terdengar.

Aku menghela nafas saat membaca nama pengirimnya. 

Dokter Reyhan. Lagi. Duh!

[Jangan lupa istirahat yang cukup, makan bergizi, dan diminum obatnya.]

Aku mengernyitkan dahi. 'Tumben sih Dokter Reyhan mengirim pesan seperti ini? Biasanya kan dia dingin-dingin saja,' batinku. Tapi tak urung juga aku mengetik balasan untuk Dokter Reyhan.

[Hm, terima kasih, Dokter.]

Dan setelah sekian lama menunggu, dokter Reyhan tidak membalas pesanku. 'Ah, sudahlah. Paling dia tadi kirim pesan sambil ngelindur,' batinku lagi lalu mencoba beristirahat.

***

Pagi ini suasana rumah ramai. Sesuai rencana yang akan kami lakukan, kami akan mempermalukan mas Erick dan keluarganya.

Aku duduk di belakang mas Erick dengan hati yang tidak menentu. Ada rasa sedih tapi aku bersyukur karena bisa mengetahui kebusukan mas Erick sebelum benar-benar menikah dengannya.

Pak penghulu sudah datang dan duduk di samping ayah.

Ayah menjabat tangan mas Erick dengan tangan kanan sementara tangan kirinya memegang microphone.

"Silakan mulai akadnya, Pak." 

Penghulu berkopyah hitam itu mempersilahkan ayah untuk memulai ijab qobul.

"Bismillahirrahmanirrahiim. Nak Erick, saya kecewa dengan apa yang nak Erick dan keluargamu rencanakan. Dengan seenaknya ingin menikahi Rengganis, anak bungsu bapak untuk disakiti dan menguasai aset Ayah. Jadi dengan berat hati, di hadapan semua tetamu dan keluarga di sini, saya memutuskan untuk membatalkan acara pernikahan ini."

Suara ayah terdengar tegas tapi bergetar. Menggema di seluruh penjuru rumah karena memakai pengeras suara. Pasti ayah merasa hancur sama sepertiku.

'Ah, maafkan Ganis, Yah. Gara-gara Ganis ingin membalaskan sakit hati Ganis, ayah juga ikut menanggung malu di hadapan tamu.'

Terlihat wajah para tamu terutama mas Erick dan mamanya memucat. Gumaman-gumaman mulai terdengar bersahutan.

"Tunggu! Saya tidak terima. Apa-apaan ini. Jelaskan pada saya kenapa saya harus dipermalukan seperti ini?!" terdengar suara mama mas Erick yang berdiri dan berkacak pinggang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   81. Wisuda

    "Akhirnya kamu besok wisuda, Mas," ucap Rengganis sambil melingkarkan tangan ke pinggang sang suami. Reyhan tersenyum. "Alhamdulillah semua proses PPDS berlangsung lancar. Walaupun pada awalnya ada kendala.""Hm, iya Sayang. Sebenarnya kemarin aku sudah hopeless tentang kelancaran PPDS kamu.""Aku tahu. Pasti karena Tamara. Iya kan?"Rengganis mengangguk. "Dan atas perantara kita, Tamara bisa berbaikan kembali dengan Bapaknya.""Iya. Aku juga tidak menyangka.""Apa rencana kamu kedepannya Mas?""Rencana jangka panjang atau jangka pendek?" tanya Reyhan sambil mulai memegangi bibir Rengganis."Jangka panjang dong."Reyhan berpikir sejenak. "Tidak ada rencana."Rengganis tergelak. "Kok bisa tidak ada rencana?""Aku hanya perlu kembali ke RSUD dan bekerja dengan rajin di sana. Terus mau apalagi?" tanya Reyhan balik. "Kali aja mau bikin tempat praktek di rumah."Reyhan menggeleng. "Enggak. Aku kerja di luar rumah saja. Kalau di rumah, waktunya happy happy dengan istri," jawab Reyhan menc

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   80. Saling Memaafkan

    Teman-teman Doni terpaku mendengarkan penjelasan dokter sampai selesai tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. "Jadi itu saja informasi yang perlu saya sampaikan. Kalau ada pertanyaan, bisa bertanya pada para suster. Saya permisi dulu karena masih harus visite dengan beberapa pasien lain.""Terimakasih Dokter."Dokter keluar dari ruangan konsultasi dan disusul oleh Doni dan kedua orang tua Nita."Loh, kalian kok di sini?" tanya Doni panik. Begitu pula ekspresi wajah Dewi dan suaminya. Teman-teman Doni hanya terpaku tanpa bisa menanggapi. "Kami ...,""Om mau bicara dengan kalian berlima. Bisa kita bicara sebentar?" tanya suami Dewi. Teman-teman Doni mengangguk. Lalu mengikuti langkah ayah Nita tersebut hingga sampai di depan ruang bersalin. Ayah Nita lalu duduk di kursi keluarga pasien dan memandang semua teman-teman Nita."Kalian sudah mendengar apa kata dokter sewaktu ada di ruangan tadi kan?" tanya ayah Nita. Kelima orang teman Nita hanya bisa terdiam."Saya tahu kalian sudah

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   79. Ketahuan Keguguran

    Dewi dan suaminya menoleh. "Bagus deh. Kalau begitu ayo ikut kami ke PMI," ujar suami Dewi sambil berjalan mendahului Dewi dan Doni. "Tunggu. Ini surat pengantar untuk pengambilan darah." Suster itu memberikan selembar amplop putih kepada Doni. Doni menerima amplop tersebut dan mengejar suami Dewi."Om. Naik mobil saya saja. Saya bawa mobil."Suami Dewi menghentikan langkah dan membalikkan badan lalu menatap Doni. "Kamu sepertinya belum genap berusia 17 tahun. Bagaimana mungkin kamu sudah boleh membawa mobil oleh orang tua kamu di jalan raya? Kamu juga pasti belum punya SIM.""Ya, saya mengendarai mobil di jalan yang sepi Om. Agar tidak ketahuan oleh polisi.""Kalau begitu, mana mobil kamu. Biar Om saja yang menyetir. Mobil Om baru saja dijual untuk modal usaha baru Om.""Kalau saya boleh tahu, usaha baru Om apa ya?" tanya Doni sambil menyerahkan kunci mobil milik ayahnya. "Kafe dan resto," sahut suami Dewi.Doni terdiam tanpa menanggapi. Dewi dan suaminya pun juga malas untuk basa

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   78. Butuh Transfusi Darah

    Dewi mengangguk dengan takut-takut. "Astaga, aku harus meminta pertanggungjawaban padanya. Walaupun aku miskin dan tidak sekaya dokter itu, aku nggak akan sanggup melihat anakku terbaring lemah tidak berdaya."Ayah dari Nita segera menuju ke arah pintu masuk UGD. "Tunggu Yah. Apa yang akan kamu lakukan?! Dokter Tamara sedang berusaha menyelamatkan anak kita. Jangan ganggu fokusnya!""Aarrgh!"Ayah Tamara meninju tembok di luar UGD lalu duduk di kursi penunggu. Kedua tangannya menangkup wajah diiringi helaan nafas panjang bernada frustasi."Kita tidak bisa hanya diam saja dan menunggu Wi. Paling tidak, kita harus memaksa anak itu bertanggung jawab. Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau Nita hamil?"Dewi menunduk. "Maafkan aku Mas. Aku juga baru tahu kalau Nita hamil setelah kemarin Nita memberi tahu bahwa pacarnya akan datang untuk membahas kehamilannya. Tapi aku terkejut karena ternyata yang datang adalah anak dari ayah tiriku.""Astaga!! Kenapa jadi seperti ini? Jadi Tamara itu s

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   77. Gelut

    "Hahaha. Aku juga nggak sudi mempunyai menantu seperti anak kamu. Tidak bermoral. Makanya jadi cewek jangan terlalu murah. Sekarang bisa merasakan akibatnya kan? Perempuan masih sekolah saja kok mainan burung. Ya hamil lah! Makanya jadi perempuan jangan terlalu bodoh," kata Tamara memanas-manasi."Hei, apa kamu bilang? Keterlaluan kamu ya!" seru Dewi meringsek ke hadapan Tamara lalu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan langsung mengayunkannya ke pipi Tamara.Tamara yang sudah siap dan sudah memprediksi serangan yang akan ditujukan padanya segera menangkis dan menangkap tangan Dewi. "Hei ngaca kalau mau menyerang orang. Di masa lalu kamu dan ibumu membuat ibu dan adikku mati dan hidupku sangat menderita seperti di neraka. Ini adalah hukuman kamu! Paham?!" seru Tamara sambil menghempaskan tangan Dewi. Begitu tangannya terlepas, Dewi menghambur ke arah Tamara dan dengan cepat menjambak rambut dokter itu. Tamara yang tidak siapa, tidak memprediksi serangan kedua merasa kesakitan ka

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   76. Perempuan yang Dihamili Anakku

    Ponsel Doni meluncur jatuh ke lantai kamar rawat inap. "Astaga!" seru Tamara kaget. Dengan segera dia mengambil ponsel anaknya dan memeriksanya. Tamara masih beruntung karena ponsel Doni tidak jatuh terlalu tinggi. "Syukurlah tidak pecah," ucap Tamara lirih. Dia lalu mengambil ponsel Doni yang tadi tidak sengaja dijatuhkannya.Dan beberapa pesan whatsapp datang beruntun memenuhi ponsel Doni.[Don. Ini Nita. Kamu harus tanggung jawab!][Don, kenapa kamu memblokir nomorku?][Don, tepati janjimu, atau aku akan mengadukanmu pada orangtuamu yang kaya raya itu][Don! Awas kamu ya. Kalau sampai membiarkan aku menanggung kehamilanku seorang diri, aku akan menemui Mamamu yang seorang dokter. Atau memviralkan perbuatan kamu!]Lalu beberapa panggilan video yang dibiarkan oleh Tamara tanpa diterimanya. Hati Tamara mencelos. Dia kecewa sekali. Bagaimana mungkin anak tunggal yang selalu dibanggakannya berani menorehkan kotoran ke mukanya. Tapi Tamara tahu, bahwa dia ikut andil dalam pembentukan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status