"Jika terjadi apa-apa dengan Mamaku, aku takkan memaafkanmu, Sayang." Mas Jaka berbisik ditelingaku.Aku bergidik ngeri, entah apa yang ia lakukan nanti. Yang terpenting sekarang adalah kesalamatan Mama.Sempat terjadi perdebatan saat ingin membawa Mama ke rumah sakit. Mas Jaka yang selalu ingin bersamaku, dia tak ingin dipisahkan. Ayah berusaha keras agar Mas Jaka tak satu mobil denganku, takut terjadi apa-apa.Jadilah kami memakai mobil masing-masing untuk menuju rumah sakit. Kami menuju rumah sakit terdekat.Setelah lima belas menit akhirnya kami sampai di rumah sakit. Karyawan di rumah sakit bergegas membantu untuk menyambut Mama.Mama di masukkan ke ruang VIP agar lebih mudah, dan tidak terlalu berisik.Kami yang berada dalam ruangan ini semua terlihat khawatir. Namun berbeda dengan Mas Jaka seperti ada sesuatu yang membuatnya senang.Entahlah, sepertinya Mas Jaka sudah mulai tak waras.Aku duduk di sofa ruangan ini, sambil memijit pelan kepalaku yang sakit. Nandini juga sekekali
"Siapkan saja mentalmu, saat kau kehilangan semua. Maka kau akan merasakan penyesalan yang mendalam," bisikku di telinga Mas Jaka dengan nada mengejek.Terdengar nafasnya yang memburu, mungkin dia sekarang sedang menahan amarah. Ah, aku takkan selemah dulu lagi, Mas. batinku."Jaga omonganmu Ara, aku tak pernah mengajarkanmu untuk melawanku!" teriaknya sambil menunjukku dengan dada naik turun."Aku akan berhenti bicara, jika duniaku benar-benar sudah tak ada," ucapku menantangnya."Jangan bicara tentang dunia Ara! Duniamu ada padaku. Bahkan surgamu juga padaku," ucapnya dengan melemah.Terlihat penyesalan di matanya. Tapi maaf, aku tak akan terbuai kembali."Buktikan saja pada mereka, bahwa cinta kita memang hanya sampai di sini.Andai kau tak berkhianat mungkin kita akan tetap bersama," ucapku dengan senyum termanis.Ada luka yang menganga di sana, di dalam hati. Aku hanya berusaha untuk menutupi agar tak terlihat lemah."Kita masih bisa memperbaiki semuanya Ara. Mas mencintaimu," uc
Tetaplah tersimpan sebagai kenangan, walau kita tak lagi ada sebagai sebuah harapan. batinku.****POV Nandini"Ara, Nandini, ayo bangun." Suara ketukan pintu di kamar membangunkanku.Aku lalu melirik ke sampingku, di mana ada Ara yang masih terlelap dalam mimpi indahnya.Kugoyang-goyangkan tubuhnya, tapi dia masih dalam tidurnya."Iya, Tan. Ini udah bangun kok," ucapku sambil mengucek-ngucek mata."Ya ampun anak gadis orang, jam segini baru bangun. Ayo buruan mandi, katanya mau pulang ke rumah Ara." Ibunya Ara berucap sambil mengacak rambutku.Aku tersenyum lebar menampakkan gigiku. Dan dibalas kekehan kecil oleh Ibu.Aku kembali menutup pintu dan masuk ke kamar mandi mengambil air segayung.Kembali lagi ke depan di mana Ara berada, lalu menyiramkan air sedikit demi sedikit ke wajah Ara.Ppph!"Aduh, hujan!" teriak Ara dengan sangat lantang.Aku tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuan bocah dari Ara.Ara lalu berhenti berteriak dan menatapku tajam. Sepertinya dia mulai sadar bahw
"Kau benar-benar tak punya muka Jaka! Sudah kuberi kau dua pilihan. Pilih keluarga ini atatu tinggalkan wanita itu."Ma jangan begini, kalo bisa diselesaikan dengan kepala dingin kenapa harus pakai pilihan segala." Mas Jaka terlihat begitu prihatin."Karena kau melempar kotoran ke wajah kami Jaka! Ke wajah orangtuamu, mengerti kau!" teriak Mamanya."Maafin Jaka, Ma. Tapi Jaka nggak bisa kalo harus memilih," ucapnya."Kenapa?!" teriak Mama begitu lantang."Karena Yose sedang mengandung benih dari Jaka Ma," lirih terdengar suara Mas Jaka di telinga."Apa?! Jadi kau sudah melakukan lebih!" bentak Mama kepadanya."Sudah Jaka bilang Jaka dijebak sama perempuan ini," jawab Mas Jaka sambil menunjuk ke arah Yose."Eh, enak aja! Tapi kamu nikmatin, kan," ucap Yose tak mau kalah."Kalo bukan kamu yang kegatelan, aku juga nggak bakalan mau sama kamu!" teriak Mas Jaka."Nggak bisa gitu, dong. Di sini kita berdua sama-sama pemerannya. Kamu nggak bisa nyalahin aku gitu aja, Mas." Yose berteriak ta
Aku memandang kepergian Mas Jaka dan Yose. Ada rasakasihan, ketika orangtuanya lebih membelamu daripada ia. Namun, ini semua juga balasanatas kelakuan Mas Jaka yang lupa diri.Berkali-kali ia mengatakan khilaf, berusaha mengelakbahwa dirinya tak bersalah. Tapi entah kenapa tak ada rasa percaya lagi padanya.Mama, terduduk di sofa sambil menangis tersedu-sedu.Aku menatapnya iba, bukan mereka yang melakukan kesalahan. Tapi malah mereka yangharus menanggung penderitaan.Malang!Anak yang selama ini dibanggakan malah membuat sesuatuyang sangat mengecewakan.“Mama yang sabar ya, Ma. Jangan menangis terus, Mamajuga harus menghawatirkan kesehatan Mama saat ini,” ucapku sambil.memegang tangannya.“Mama nggak nyangka aja, Ra. Bagaimana mungkin Jakabisa melakukan kesalahan begini,” ucap Mama yang masih terus menangis.“Mama harus ingat, bagaimanapun juga Mas Jaka adalahanak Mama. Anak kandung Mama, mungkin ini ujian yang diberikan Tuhan buat ngetessampai mana batas kesabaran Ara, Ma,” jawabku.
BAB 20. Menggugat cerai!Semenjak kejadian semalam,tak ada lagi senyumsenyuman yang keluar dari wajah Mama, hanya ada tangisan dantangisan yang keluar dari bibirnya.Aku tahu tidak ada seorangibu yang tak sakit melihat anaknya menorehkan luka yang begitu dalam danmelakukan kesalahan tanpa bisa dimaafkan.Tapi walaupun begitu akutahu rasa Sayang Mama kepada Mas Jaka benar-benar sangat besar. Walaupun MasJaka membuat kesalahan, namun di dalam hati kecil Mama Mas Jaka tetap pangerankecilnya untuk selamanya.Banyak di luaran sana orangtua membela anaknya yang bersalah dan tak ingin membantu untuk merubah sifatanaknya. Tapi di sini, aku tak menemukan tabiat itu pada Mama dan Papa. Itulah mengapaaku sangat bersyukur memiliki mereka berdua. Sebenarnya aku merasa sempurnadisayangi oleh ayah dan ibu dan juga berdua mertuaku.Aku menatap Mama sendu didepan pintu kamar ini, sedangkan Nandini berdiri di sebelahku. Aku rapuhmelihat Mama kecewa begitu. Entahlah, tak habis pikir aku dengan Mas J
BAB 21 Kejutan!“Terimakasih banyak ya, Nan.Kamu selalu ada untukku,” ucapku menatapnya.“Untuk apa berterima kasih?Bukankah kamu menganggapku sebagai saudara perempuanmu?” jawab Nandini serayatersenyum.Aku menatapnya dengan senyumharu, ingin mengeluarkan air mata tapi aku takut dikatakan menangisi Mas Jaka.Ah, memang susah kalo begini.Aku hanya memandangnyadengan wajah yang sengaja diimut-imutkan.“Jangan kayak gitu mukanya,pengen muntah kalo lihat gitu,” ucap Nandini tertawa.Aku memberengut,memberitahukan bahwa aku sedang merajuk.“Lah, malah kayak gitu lagiwajahnya. Malah tambah jelek tau nggak sih,” ucap Nandini.“Terus aku harus gimana,NANDINIIII?!” tanyaku penuh penekanan.“Nah, gitu aja cakep taukalo lagi marah,” jawabnya asal-asalan.Aku kesal, sedangkan dia malahfokus menyetir mobil. Ah, benar-benar teman yang sangat menyenangkan. Rasayamempunyai teman yang sefrekuensi itu bukankah menyenangkan.“Kita kemana?” tanyaNandini.“Langsung ke butik aja deh,”jawabku.“Orang rumah
BAB 22. Sasaran Baru!“KURANG AJAR!” teriakku setelah berhasil keluar dari warungmakan tersebut.Aku benar-benar malu, dibuat oleh Ara. Bagaimana tidak, niatku memberikan ia pelajaran, tapi kenapa malah aku yang dapat imbasnya. Apakah mencintai suami orang suatu hal yang salah.Tidak, kan. Aku mencintainya dia juga mencintaiku. Ya, walaupun aku memang sering bermain dengan banyak lelaki. Tapi tidak sepenuhnya jiwa dan ragaku kuberikan. Ah, tapi sejujurnya aku memang tidak benar-benar mencintai Jaka, lelaki yang sebentar lagi akan berstatus menjadi mantan suami Ara.Apa sih yang membuat Ara begitu disayang orang banyak! Pikirku. Mengapa kebahagiaan selalu berpihak padanya.Di pinggir jalan ini, aku masih menghentakkan kaki kesal,bagaimana tidak! Ara benar-benar sudah melemparkan kotoran kepadaku.Lagian Ara sudah kaya, wanita berpendidikan. Lelaki manapunpasti akan tertarik menatapnya. Bahkan jika aku menjadi lelaki aku juga akanmenyukainya.Ah, apa-apaan aku ini! Mengapa aku malah m