MasukSudah jam sepuluh malam, Mas Tris belum juga pulang, makan malam yang sudah aku siapkan dari tadi sudah tidak hangat lagi. Berkali-kali aku menguap, mataku terasa lengket sekali tapi aku sudah berniat menunggu Mas Tris pulang. Akhirnya aku menyerah, aku menutup pintu rumah, badan dan pikiranku sudah sangat lelah. Baru saja aku mau masuk ke dalam kamar, suara motor Mas Tris terdengar, aku buru-buru kembali ke ruang tamu untuk membuka pintu.
Tidak ada salam yang terucap, Mas Tris langsung masuk saat aku membukakan pintu, aku mengikutinya dari belakang. “Mau dibikinkan teh hangat Mas?” tanyaku saat Mas Tris sedang mengganti bajunya. “Nggak usah,” jawabnya singkat, dia langsung berbaring di tempat tidur. Sikap dingin Mas Tris memaksaku untuk mengalah walaupun sebenarnya masih ada seribu tanya di hatiku. Mas Tris memang tidak akan mempan diberi serangan karena dia punya jurus pertahanan yang kuat, dia betah berlama-lama perang dingin dengan istrinya sendiri. “Aku minta maaf Mas, aku sudah salah menduga, aku sudah tanya langsung pada Bu Ning dan itu memang bukan uang pemberiannya,” kataku perlahan. “Aku juga sudah minta maaf padanya karena secara tidak langsung aku sudah menuduh dia yang bukan-bukan." Aku terus bicara meskipun Mas Tris hanya diam, dia berbaring membelakangiku. Dia masih sangat marah rupanya tapi aku tidak peduli, aku harus terus bicara untuk mengakhiri ini. “Aku hanya tidak mau Mas salah jalan, aku sebagai istri hanya ingin mengingatkan.” “Kamu sudah menganggap aku bajingan dan selamanya itu tidak akan pernah berubah di otak dan hatimu.” “Mas….,” aku setengah berteriak mencoba menegur Mas Tris karena dia bicara kasar. “Kenapa? Memang seperti itu kan, mau sekeras apa pun usahaku untuk berubah kamu tetap tidak akan pernah percaya." “Mas, aku hanya minta penjelasan, aku harus pastikan uang itu dari mana. Semua yang aku lakukan untuk kita juga, untuk anak-anak, berkah Mas yang dicari.” “Kamu kalau urusan melawan suami memang juaranya, ada saja jawabannya." “Kenapa Mas selalu salah mengerti apa yang aku maksud padahal Mas tahu alasan kenapa aku jadi seperti ini.” “Kenapa kamu ingin dimengerti? Kenapa harus mengerti? Kamu ngerti aku nggak selama ini?" Mas Tris berbalik menghadap ke arahku dengan pandangan tajam, dia lalu bangun dan duduk bersandar. Aku hanya bisa menghela napas panjang sekali karena Mas Tris sudah mulai membolak-balik kata. Sudah bisa dipastikan energiku akan terkuras habis meladeninya. Aku tidak mau waktu istirahatku yang berharga malam ini terganggu lagi karena besok adalah hari yang akan sangat menyibukkanku. “Ya sudah aku minta maaf, aku yang salah, aku sudah berpikir macam-macam. Kita istirahat saja karena besok masih banyak yang harus dikerjakan.” “Suami kamu ini tadi baru saja pulang tapi kamu menyambutnya dengan mengajaknya berdebat dan sekarang kamu minta kita istirahat, sungguh manis sekali bukan.” “Mas, sudahlah aku capek sekali hari ini.” “Terus menurut kamu aku nggak? Menurut kamu aku seharian ini santai-santai saja? Apa karena duit kamu sekarang lebih banyak jadi kamu bisa seenaknya?” “Kenapa jadi nyambungnya ke situ lagi sih Mas?” “Ya memang intinya di situ, kamu jadi berani bicara karena kamu merasa punya pekerjaan yang lebih bagus, merasa punya duit yang lebih banyak daripada aku.” “Aku berani bicara karena Mas sudah pernah memberi luka yang begitu dalam padaku dan anak-anak, aku berani bicara karena tidak mau aku dan anak-anak mengalaminya lagi. Aku berani bicara demi kebaikan kamu Mas, demi kita tapi kenapa Mas selalu saja mencari-cari celah untuk menyalahkanku? Aku bekerja atas persetujuanmu Mas, apa Mas lupa itu?” “Kamu selalu saja bicara tentang kesalahanku dan tidak pernah menghargai usahaku untuk berubah. Aku pulang untuk mencari ketenangan bukan untuk berperang setiap hari seperti ini.” “Karena menurutku Mas belum berubah.” “Terserah kalau kamu berpikir seperti itu, suka-suka kamu.” Aku tidak mau menjawabnya, aku melepas ikat rambutku lalu membenarkan posisi bantal dan mulai berbaring, tapi saat aku sudah berbaring Mas Tris malah bangun. Dia mengambil celana panjang dari gantungan di belakang pintu. “Sudah malam Mas, mau ke mana lagi? Ke pos ronda seperti kemarin?” Mas Tris tidak menjawab, dia malah mengganti sarung yang dia kenakan dengan celana yang dia ambil tadi. “Kemarin Mas pulang jam satu malam kan? Tapi kenapa sampai rumah jam empat pagi? Mas mampir ke mana dulu sebelum pulang?” “Oh…sudah punya mata-mata juga ternyata kamu sekarang,” kata Mas Tris berbalik melihat ke arahku. “Tidak pernah terpikir olehku sampai ke situ Mas, aku tidak seburuk yang kamu pikirkan. Aku tidak pernah mengawasimu tapi ingat Allah tidak akan kekurangan cara untuk membantuku kalau Mas macam-macam. ” Tidak ada jawaban, Mas Tris lalu mengganti celananya lagi dengan sarung, dia membanting pintu sampai ada yang jatuh dari gantungan saking kerasnya hentakan. Beberapa saat kemudian terdengar suara TV dari ruang tengah yang sengaja dinyalakan dengan volume keras. Selama hampir tujuh belas tahun menikah dengannya, tidak pernah ada persoalan yang tuntas dibahas, semuanya menggantung. Mas Tris lebih suka menghindar daripada menyelesaikannya sampai tuntas, satu di antara sekian banyak hal yang membuatku lelah menjalani rumah tangga ini. Aku bangun dan berjalan menuju pintu untuk merapikan beberapa pakaian Mas Tris yang jatuh tadi. Aku melihat ke arah celana yang tidak jadi dipakainya tadi, aku mengambilnya dan langsung melihat mereknya. Merek ini lebih mahal dari merek yang biasa aku belikan untuknya tapi sejak kapan Mas Tris mau membeli kebutuhannya sendiri. Selama ini dari kepala sampai ujung kaki semuanya aku yang siapkan karena sikap manjanya masih terbawa sampai sekarang.. Ah…apa mungkin kalau...ah tidak, aku langsung membuka lemari baju, aku buka satu per satu tumpukan baju Mas Tris. Ada beberapa celana baru dan kaos-kaos baru berwarna gelap tertata rapi. Tanganku terus mencari dan ternyata tidak berhenti sampai di situ karena kaos singlet dan celana dalam pun sudah berganti baru. Selama ini anak-anak yang aku beri tugas mengurusi pakaian kami, tugas Aran mencuci pakaiannya dan Bapaknya di mesin cuci, merapikannya setelah kering dan memasukkan ke laundry untuk setrika, begitu pun Arla. Aran juga pasti menyangka baju-baju baru ini aku yang belikan, lemas sudah seluruh badan, aku duduk bersandar di tempat tidur. “Kamu pikir karena warnanya serba gelap aku tidak akan tahu, serupa Mas tapi tidak sama. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kamu lakukan di belakangku Mas?” kataku lirih nyaris tak terdengar."Maksud kamu orang ini anak tetangga kamu yang baru saja kamu ceritakan?”“Iya Bu saya yakin sekali, di tiga foto terakhir dia baru muncul dan yang terlihat sangat jelas ada di foto yang terakhir.” “Tapi kenapa jadi ada dia juga di sini atau mungkinkah ini hanya kebetulan?”“Saya akan memastikan sendiri apa hubungannya Prasetyo dengan ini semua.”“Tari, jangan-jangan kita sudah salah membaca apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Bu Ning. Dia bisa bertanya seperti itu karena aku sudah cerita tentang pengakuan Prasetyo padaku. “Sesudah melihat foto ini, semuanya menjadi mungkin sekarang Bu.”“Iya benar, sekarang kita punya lebih dari satu kemungkinan. Kita mencari-cari siapa wanita di belakang Trisno tapi yang muncul malah Prasetyo dan bisa jadi dia adalah dalang yang selama ini kita cari-cari. Dari semua yang kamu ceritakan ke saya, Prasetyo ini memenuhi syarat untuk dijadikan tersangka, dia punya segalanya, uang dan koneksinya bisa dia gunakan dengan mudah untuk mendapatkan apa
“Saya sudah menunggu lumayan lama dan sudah meminta waktu secara pribadi untuk bertemu tapi dia tidak mau. Ini adalah pertama kalinya dia menolak membantu saya setelah sekian lama kami menjadi mitra bisnis. Saya benar-benar dibuat penasaran.”“Atau mungkin memang ini murni permainan yang di bawah saja Bu dan Bosnya memang tidak tahu menahu tentang ini karena dia pasti tidak mau mengorbankan hubungan baik dengan Ibu yang sudah terjalin selama ini. Seperti tidak sebanding saja Bu nilainya antara masalah ini dengan hubungan baik Ibu.”“Awalnya saya juga berpikir begitu makanya saya merasa sangat percaya diri waktu bilang ke kamu saya bisa bantu kamu secepatnya tapi ternyata tidak seperti yang saya kira. Dari awal dia memang sudah menolak saya tapi dengan cara halus sampai kemarin dia benar-benar bilang langsung kalau dia tidak bisa bantu. Sakitnya dia itu adalah cara halus dia untuk menolak saya, alasan dia untuk menghindari saya.”“Dia bohong sama Ibu?”“Iya, dia buat saya menunggu
“Jincha, seriusan? Kamu jangan ikut-ikutan gila ya Tar!”“Ya ampun Ka, aku cuma cerita apa adanya.”“Ya tapi kenapa aku mencium aroma-aroma baper di cerita kamu, please Tari jangan dengerin semua bisikan-bisikan setan yang terkutuk itu!”Sika menggeser kursi yang dia duduki menjadi semakin dekat denganku, lalu memutar kursiku agar aku menghadap ke arahnya. Dia hanya sedang menunggu jawabanku tapi aku merasa dia berubah menjadi jaksa penuntut dan aku menjadi terdakwanya.“Aku cuma ngerasa berhadapan dengan orang yang berbeda, kayak bukan Pras, dari suara yang sedikit terdengar lebih berat, dari cara dan gaya bicara, sampai senyumnya.”“Kayak gini kamu nggak mau dibilang baper?”“Suamiku sendiri nggak pernah ngomong begitu Ka.”“Terus itu mau dijadikan alasan untuk menghalalkan kebaperan kamu, gitu maksudnya?”“Lebih ke kaget aja, kok bisa dia sampai seperti itu, gitu aja Ka.”“Paham. Saya teramat sangat memahami sekali dengan apa yang Nyonya muda rasakan. Sebagai seorang wanit
“Maaf tapi kalau saat ini Bude tidak di rumah saya permisi pulang dulu,” kataku langsung balik badan untuk segera pergi dari rumah itu.“Kiriman saya sudah sampai kan?” tanya Prasetyo yang membuatku terpaksa harus kembali berhadapan dengannya.“Mas yang kirim itu semua?” tanyaku pura-pura tidak tahu.“Kamu nggak tahu? Aku memang nggak nulis nama lengkap cuma inisial aja sih jadi wajar kalau kamu nggak perhatikan itu dari siapa tapi senang kamu sudah menerimanya. Lain kali kalau ada kiriman lagi dengan inisial “P” berarti itu dari aku.”“Tidak akan ada lain kali lagi karena ini yang pertama dan terakhir. Kalau Mas Pras masih berani mengirimkan sesuatu lagi ke saya, ke rumah saya, ke anak-anak, apa pun itu bentuknya saya akan kembalikan ke rumah ini.”“Wohoho…. Kamu mau libatkan Ibuku?”“Bukan saya tapi sikap Mas memaksa saya melibatkan Bude.”“Lestari…Lestari…kamu mau bilang ke Ibu, ke adikku ke siapa pun juga percuma sih. Oh iya kemarin sudah ngadu ke suami waktu dia melihat ak
“Mah, ayo cepetan masuk,” ajak Arla saat aku baru saja turun dari motor.“Itu Mah,” kata Arla langsung menunjuk sebuah standing flower saat aku masih berdiri di depan pintu.“Dari siapa? Ini nggak salah?” tanyaku pada anak-anak.“Tadinya Aran pikir juga salah tapi alamatnya memang bener rumah kita Mah. Yang nganter tadi juga nggak tahu identitas pengirimnya. Dia mau disuruh karena dikasih banyak uang dan jaminan kalau ini aman,” cerita Aran panjang lebar.Aku lalu berjalan mendekat dan langsung mengambil kartu ucapan yang diselipkan di antara bunga-bunga itu. Sebuah kartu kecil bertuliskan “cepat sembuh” dengan tulisan tangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Ada huruf “P” tertulis tepat di bagian tengah saat aku membaliknya, tidak salah lagi ini semua pasti dari Prasetyo. Semakin hari dia semakin berani saja, dia nekat kirim paket seperti ini saat Mas Tris tidak ada di rumah. “Ada satu lagi Mah yang dikirim sama bunga itu, kotak besar yang di samping rak. Tadinya mau Ara
“Si Trisno jalan dari arah sebelah kiri rumah kamu. Dari mana dia?” tanya Hendi. Kami bertiga sedang berkumpul di ruangan Hendi setelah jam kantor.“Sebelah kiri itu kaplingan tanah yang masih kosong itu loh Hen, yang baru dibangun pondasinya aja terus nggak ada kabar lagi sampai sekarang. Kalau sampingnya lagi masih ada beberapa rumah sebelum ketemu jalan kecil,” jawabku.“Guys, itu memang jalan kecil tapi cukup loh untuk papasan dua mobil, aku kan pernah lewat situ,” kata Sika.“Iya terus kenapa?” tanya Hendi.“Think Boss, think!” kata Sika.“Apaan lagi si kamu ini?” tanya Hendi kesal.“Kata si Mira pengantar kotak makan itu kan datang pake mobil yang selalu ganti-ganti. Sekarang think deh sama kalian kalau untuk mengantar kotak makan saja pake mobil apalagi untuk jemput si Trisno, masa mau disuruh jalan kaki aja. Trisno memang nggak bawa motor pas keluar rumah tapi dia bawa ponsel sodara-sodara. Dia bertengkar sama Tari, terus dia posisi terpojok, marah, pergi terus telepon







