Share

3

Author: Tie Sugianto
last update Last Updated: 2025-09-10 18:16:14

Sudah jam sepuluh malam, Mas Tris belum juga pulang, makan malam yang sudah aku siapkan dari tadi sudah tidak hangat lagi. Berkali-kali aku menguap, mataku terasa lengket sekali tapi aku sudah berniat menunggu Mas Tris pulang. Akhirnya aku menyerah, aku menutup pintu rumah, badan dan pikiranku sudah sangat lelah. Baru saja aku mau masuk ke dalam kamar, suara motor Mas Tris terdengar, aku buru-buru kembali ke ruang tamu untuk membuka pintu.

Tidak ada salam yang terucap, Mas Tris langsung masuk saat aku membukakan pintu, aku mengikutinya dari belakang.

“Mau dibikinkan teh hangat Mas?” tanyaku saat Mas Tris sedang mengganti bajunya.

“Nggak usah,” jawabnya singkat, dia langsung berbaring di tempat tidur.

Sikap dingin Mas Tris memaksaku untuk mengalah walaupun sebenarnya masih ada seribu tanya di hatiku. Mas Tris memang tidak akan mempan diberi serangan karena dia punya jurus pertahanan yang kuat, dia betah berlama-lama perang dingin dengan istrinya sendiri.

“Aku minta maaf Mas, aku sudah salah menduga, aku sudah tanya langsung pada Bu Ning dan itu memang bukan uang pemberiannya,” kataku perlahan.

“Aku juga sudah minta maaf padanya karena secara tidak langsung aku sudah menuduh dia yang bukan-bukan."

Aku terus bicara meskipun Mas Tris hanya diam, dia berbaring membelakangiku. Dia masih sangat marah rupanya tapi aku tidak peduli, aku harus terus bicara untuk mengakhiri ini.

“Aku hanya tidak mau Mas salah jalan, aku sebagai istri hanya ingin mengingatkan.”

“Kamu sudah menganggap aku bajingan dan selamanya itu tidak akan pernah berubah di otak dan hatimu.”

“Mas….,” aku setengah berteriak mencoba menegur Mas Tris karena dia bicara kasar.

“Kenapa? Memang seperti itu kan, mau sekeras apa pun usahaku untuk berubah kamu tetap tidak akan pernah percaya."

“Mas, aku hanya minta penjelasan, aku harus pastikan uang itu dari mana. Semua yang aku lakukan untuk kita juga, untuk anak-anak, berkah Mas yang dicari.”

“Kamu kalau urusan melawan suami memang juaranya, ada saja jawabannya."

“Kenapa Mas selalu salah mengerti apa yang aku maksud padahal Mas tahu alasan kenapa aku jadi seperti ini.”

“Kenapa kamu ingin dimengerti? Kenapa harus mengerti? Kamu ngerti aku nggak selama ini?"

Mas Tris berbalik menghadap ke arahku dengan pandangan tajam, dia lalu bangun dan duduk bersandar. Aku hanya bisa menghela napas panjang sekali karena Mas Tris sudah mulai membolak-balik kata. Sudah bisa dipastikan energiku akan terkuras habis meladeninya. Aku tidak mau waktu istirahatku yang berharga malam ini terganggu lagi karena besok adalah hari yang akan sangat menyibukkanku.

“Ya sudah aku minta maaf, aku yang salah, aku sudah berpikir macam-macam. Kita istirahat saja karena besok masih banyak yang harus dikerjakan.”

“Suami kamu ini tadi baru saja pulang tapi kamu menyambutnya dengan mengajaknya berdebat dan sekarang kamu minta kita istirahat, sungguh manis sekali bukan.”

“Mas, sudahlah aku capek sekali hari ini.”

“Terus menurut kamu aku nggak? Menurut kamu aku seharian ini santai-santai saja? Apa karena duit kamu sekarang lebih banyak jadi kamu bisa seenaknya?”

“Kenapa jadi nyambungnya ke situ lagi sih Mas?”

“Ya memang intinya di situ, kamu jadi berani bicara karena kamu merasa punya pekerjaan yang lebih bagus, merasa punya duit yang lebih banyak daripada aku.”

“Aku berani bicara karena Mas sudah pernah memberi luka yang begitu dalam padaku dan anak-anak, aku berani bicara karena tidak mau aku dan anak-anak mengalaminya lagi. Aku berani bicara demi kebaikan kamu Mas, demi kita tapi kenapa Mas selalu saja mencari-cari celah untuk menyalahkanku? Aku bekerja atas persetujuanmu Mas, apa Mas lupa itu?”

“Kamu selalu saja bicara tentang kesalahanku dan tidak pernah menghargai usahaku untuk berubah. Aku pulang untuk mencari ketenangan bukan untuk berperang setiap hari seperti ini.”

“Karena menurutku Mas belum berubah.”

“Terserah kalau kamu berpikir seperti itu, suka-suka kamu.”

Aku tidak mau menjawabnya, aku melepas ikat rambutku lalu membenarkan posisi bantal dan mulai berbaring, tapi saat aku sudah berbaring Mas Tris malah bangun. Dia mengambil celana panjang dari gantungan di belakang pintu.

“Sudah malam Mas, mau ke mana lagi? Ke pos ronda seperti kemarin?”

Mas Tris tidak menjawab, dia malah mengganti sarung yang dia kenakan dengan celana yang dia ambil tadi.

“Kemarin Mas pulang jam satu malam kan? Tapi kenapa sampai rumah jam empat pagi? Mas mampir ke mana dulu sebelum pulang?”

“Oh…sudah punya mata-mata juga ternyata kamu sekarang,” kata Mas Tris berbalik melihat ke arahku.

“Tidak pernah terpikir olehku sampai ke situ Mas, aku tidak seburuk yang kamu pikirkan. Aku tidak pernah mengawasimu tapi ingat Allah tidak akan kekurangan cara untuk membantuku kalau Mas macam-macam. ”

Tidak ada jawaban, Mas Tris lalu mengganti celananya lagi dengan sarung, dia membanting pintu sampai ada yang jatuh dari gantungan saking kerasnya hentakan. Beberapa saat kemudian terdengar suara TV dari ruang tengah yang sengaja dinyalakan dengan volume keras. Selama hampir tujuh belas tahun menikah dengannya, tidak pernah ada persoalan yang tuntas dibahas, semuanya menggantung. Mas Tris lebih suka menghindar daripada menyelesaikannya sampai tuntas, satu di antara sekian banyak hal yang membuatku lelah menjalani rumah tangga ini.

Aku bangun dan berjalan menuju pintu untuk merapikan beberapa pakaian Mas Tris yang jatuh tadi. Aku melihat ke arah celana yang tidak jadi dipakainya tadi, aku mengambilnya dan langsung melihat mereknya. Merek ini lebih mahal dari merek yang biasa aku belikan untuknya tapi sejak kapan Mas Tris mau membeli kebutuhannya sendiri. Selama ini dari kepala sampai ujung kaki semuanya aku yang siapkan karena sikap manjanya masih terbawa sampai sekarang..

Ah…apa mungkin kalau...ah tidak, aku langsung membuka lemari baju, aku buka satu per satu tumpukan baju Mas Tris. Ada beberapa celana baru dan kaos-kaos baru berwarna gelap tertata rapi. Tanganku terus mencari dan ternyata tidak berhenti sampai di situ karena kaos singlet dan celana dalam pun sudah berganti baru.

Selama ini anak-anak yang aku beri tugas mengurusi pakaian kami, tugas Aran mencuci pakaiannya dan Bapaknya di mesin cuci, merapikannya setelah kering dan memasukkan ke laundry untuk setrika, begitu pun Arla. Aran juga pasti menyangka baju-baju baru ini aku yang belikan, lemas sudah seluruh badan, aku duduk bersandar di tempat tidur.

“Kamu pikir karena warnanya serba gelap aku tidak akan tahu, serupa Mas tapi tidak sama. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kamu lakukan di belakangku Mas?” kataku lirih nyaris tak terdengar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI BERSAMA   70

    “Berani-beraninya mulut kamu yang kotor itu berulang kali menyebut namaku! Berani-beraninya kamu bicara denganku, perempuan tua tidak tahu diri! Penipu!!!”“Tari….”“Aku bilang diam! Tidak ada gunanya kamu bicara sekarang karena tidak akan ada satu kata pun yang akan aku percaya!!”“Tari tolong dengar dulu sebentar saja Tari, apa pun yang mau kamu katakan aku terima, tapi tolong beri aku waktu untuk menjelaskan dulu.”“Apa kamu bilang? Menjelaskan? Semua sudah sejelas ini masih ada yang mau dijelaskan? Apa lagi yang mau dijelaskan hah? Tentang kisah cinta kalian di belakangku? Begitu? Najis! Haram!!”“Tari, aku dan Trisno sudah sama-sama berusaha agar tidak sampai terjadi hal seperti ini tapi ….”“Omong kosong macam apa yang kamu katakan hah?!”“Tari, kami berdua memang salah tapi semua yang terjadi ini tidak pernah ada kesengajaan. Semua yang terjadi ini tidak pernah direncanakan, perasaan itu muncul begitu saja Tari. Iya memang betul, dari awal akulah yang memulai semua ini,

  • SUAMI BERSAMA   69

    “Tari….” Mas Tris menyebut namaku perlahan, matanya melihatku seperti melihat hantu. Dia buru-buru mengambil kemeja dan celana panjangnya yang tergeletak di lantai diikuti perempuan itu yang langsung melepaskan pelukannya dari Mas Tris.“Tari….aku,” Mas Tris tidak meneruskan kata-katanya, dia berusaha mengalihkan pandangannya saat aku berjalan mendekat ke arahnya.“Ya, kenapa berhenti Mas? Lanjutkan saja Mas! Jangan khawatir! Aku siap mendengarkan semuanya. Apa yang mau kamu katakan? Membela diri? Mencari pembenaran? Atau… menerangkan sebab akibat? Tapi sebelumnya tutup dulu ritsleting celana kamu! Nggak enak banget dilihatnya.”Aku masih menjaga nada dan intonasi suaraku saat bicara dengan Mas Tris yang dengan gugupnya langsung melakukan apa yang aku minta. Dia menoleh ke arah perempuan itu lalu melihat ke arahku lagi tapi kemudian menunduk lagi.“Kenapa masih diam? Bukankah banyak sekali cerita yang belum aku dengar dari kamu tentang bagaimana selama ini kamu menggunakan toko s

  • SUAMI BERSAMA   68

    “Kenapa jadi secepat itu?”“Memangnya kenapa? Apa lagi yang kita tunggu? Semua rencana kita sebagian besar sudah terlaksana, kalau masalah lain kita selesaikan sambil jalan saja Tris. Kita punya Dana dan masih ada beberapa orang yang bisa kita percaya untuk membantu kita, jadi kamu jangan khawatir!”“Apa kamu benar-benar yakin bisa mengatasi Seno?”“Kenapa jadi balik lagi ke dia?”“Ya tentu harus dipikiranlah kalau kamu mau kita nikah siri besok. Rencana yang kamu katakan tadi juga belum kelihatan hasilnya. Bagaimana kalau Seno tetap pada pendiriannya dan tidak mau ke luar negeri?”“Aku yakin dia pasti mau, kalau dia masih saja bandel dan malah membantah, aku tinggal tarik saja semua fasilitas yang dia nikmati sekarang. Dia pasti lebih memilih menuruti kata-kataku daripada kehilangan semuanya. Aku bisa melakukan itu kapan saja, sekarang, besok atau lusa sama saja buatku tapi tentu saja tetap menunggu kamu membereskan semuanya lebih dulu”“Tunggu sebentar saja, tidak akan lama la

  • SUAMI BERSAMA   67

    Jantungku berdebar kencang mendengar kalimat yang diucapkan Bude Kanti pada suamiku, aku seperti sedang melihat dua sejoli kasmaran. Gaya bicara Bude Kanti yang manja dan disambut dengan senyum hangat Mas Tris jelas menunjukkan kalau hubungan mereka tidak seperti yang aku bayangkan selama ini. Mas Tris selingkuh dengan Bude Kanti? Mas Tris selingkuh dengan wanita tua, lagi?“Jangan berlebihan gitu ah,” kata Mas Tris sambil tersenyum dan mulai menikmati makanan yang sudah disipakan.“Memangnya kenapa? Biasanya juga kamu duluan yang minta, sekarang giliran aku yang nawarin malah dibilang berlebihan. Serba salah terus,” kata Bude Kanti mulai merajuk.“Kamu ini mau nyiapin makanan buat prasmanan apa buat dua orang sih sampai sebanyak ini?”“Kan biar kamu bisa pilih yang mana yang kamu suka. Jangan samakan dengan menu sarapan di rumah kamu yang paket super hemat itu dong. Tiap pagi ketemunya telur lagi telur lagi, cuma beda di cara masaknya aja. Hari ini ceplok mata sapi, besok dadar,

  • SUAMI BERSAMA   66

    “Mau sarapan pake apa?” tanya Bude Kanti.“Aku makan ini saja, pelan-pelan dulu nanti baru ganti ke menu utama, semalam pulang dari toko aku mampir ke sate langganan akibatnya sekarang perut rasanya penuh,” kata Mas Tris sambil mengambil pisang.“Kamu itu kenapa seperti anak kecil, susah dikasih tahu. Jangan sampai umur masih muda tapi udah sakit-sakitan gara-gara gaya hidup kamu yang sembarangan.”Sama sekali tidak terlihat kecanggungan di antara mereka, pembicaraan mengalir seperti memang sudah biasa mereka berbicara dengan gaya bahasa seperti itu. Mas Tris bersikap santai seperti sedang berada di rumahnya sendiri.“Toko gimana?” tanya Bude Kanti.“Mungkin akan selesai lebih cepat dari yang kita perkirakan, tinggal merapikan gudang saja dan sudah siap dibuka dalam beberapa minggu ini.”“Tari gimana?”“Kemarin sebelum dia pergi ke rumah Mbak Asri dia sudah tunjukkan surat resignnya padaku dan hari ini paling sudah dia kasih ke Bosnya.”“Kamu jangan asal percaya sama mulut ist

  • SUAMI BERSAMA   65

    “Bawa ini, letakkan di tempat yang kamu rasa paling aman. Ini sudah terhubung ke HP saya,” kata Pak Mangun sambil memberikan kamera mini.Aku menerimanya dan memasukkannya ke saku celana, aku lalu melepas kedua sandal yang aku pakai karena jika aku tetap memakainya saat aku lari, pasti akan terdengar. Dari setelah Subuh kami bertiga sudah mulai bersiap, Bu Mangun sudah pergi lebih dulu sedangkan aku dan Pak Mangun tetap bertahan di balik pagar. Lima belas menit sudah berlalu dari pukul enam pagi dan Bude Kanti belum juga terlihat keluar dari rumahnya. Barulah di menit ke tiga puluh saat Bu Mangun terlihat berbincang dengan tukang sayur di ujung jalan, tidak lama Bude Kanti membuka pagarnya.“Tunggu sampai Bu Kanti berada tepat di depan tukang sayur itu. Ingat Tari, waktumu tidak banyak, Bu Kanti pasti tidak akan lama di sana karena ada Bu Mangun. Jalan ini tidak terlalu lebar, kamu bisa sampai ke seberang dengan cepat. Fokus melihat ke depan, jangan hiraukan mereka yang ada di ujung

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status