Share

2

Author: Tie Sugianto
last update Last Updated: 2025-08-17 20:12:16

Hari ini aku sengaja izin setengah hari dari kantor, hati dan perasaan yang penuh tanda tanya membuatku tidak tenang bekerja. Hampir satu jam perjalanan dengan motor akhirnya aku sampai ke sebuah rumah joglo mewah di tengah kota. Aku diminta menunggu sebentar karena pemilik rumah masih bersama tamu yang lain. Keadaan rumah ini ternyata belum banyak berubah, rumah ini adalah rumah yang bertahun lalu pernah aku datangi.

“Maaf, mbak berdua ini betul keluarganya Trisno?” tanya nyonya pemilik rumah saat itu, nada bicaranya khas orang berada yang sedang menunjukkan kelasnya. Wajahnya masih terlihat cantik di usianya yang mungkin sudah lebih dari setengah abad, duduknya tegak, pandangannya fokus pada lawan bicara.

“Ini Mbak Asri kakak kandung Mas Tris, dan saya Lestari istrinya Mas Tris,” jawabku memperkenalkan diri.

“Oh...kamu Lestari, bagaimana keadaan kamu? Sehat-sehat kan? Apakah sudah merasa lebih baik sekarang?”

“Saya…alhamdulillah sehat, saya baik-baik saja Bu.”

“Maaf kalau saya belum sempat untuk menengok kamu karena Trisno bilang akan lebih baik untuk memberi kamu waktu dulu.”

“Saya yang seharusnya meminta maaf karena baru sekarang saya bisa mengucapkan terima kasih secara langsung atas kebaikan Ibu pada keluarga kami selama ini…”

“Ah….itu bukan apa-apa. Dari awal saya sudah minta untuk bertemu denganmu tapi Trisno meminta saya untuk bersabar sampai semuanya benar-benar siap. Saya paham keadaannya memang tidak mudah tapi jangan khawatir, kamu tetap yang paling diutamakan oleh Trisno dan saya tidak masalah dengan itu. Saya hanya ingin kita semua dalam hubungan yang baik dengan keadaan yang juga baik dan sehat, itu saja.”

“Bukankah memang sudah seharusnya kita terus menjaga hubungan ini Bu? Ibu dan keluarga sudah memperlakukan Mas Tris dengan sangat baik di sini…”

“Sudah menjadi kewajiban kita berdua memperlakukannya dengan baik, iya kan?” katanya sembari tersenyum.

“Kita? Kita berdua? Maaf….maksudnya saya dan Ibu?” tanyaku kebingungan.

“Ya, saya dan kamu sebagai istrinya Trisno.”

“Ibu….. Istrinya Mas Tris?”

“Ya, kami berdua menikah siri hampir satu tahun yang lalu dan ini atas persetujuan kamu juga kan?”

Suamiku memang luar biasa pintar membuat cerita bohong, cerita karangan tentang istri yang sedang sakit parah dan tidak bisa lagi memenuhi kewajiban sebagai seorang istri. Ekonomi keluarga yang hampir runtuh ditambah dua anak yang masih sekolah mengharuskan Mas Tris bekerja sangat keras sampai harus meninggalkan rumah. Drama yang dibuat Mas Tris ditambah modal paras wajah yang ganteng dan perawakan yang gagah berhasil membuatnya naik pangkat dari sekedar satpam menjadi suami siri nyonya rumah.

Nyonya rumah itu bernama Bu Ning Widha, seorang janda berusia 55 tahun dengan satu anak yang sedang kuliah di luar negeri, dia akhirnya ikut masuk ke dalam alur cerita yang dibuat Mas Tris, terpesona oleh sosok Mas Tris dan jatuh. Janda kaya, berpendidikan, mantan istri seorang pengusaha luluh dengan tipu daya seorang Trisno Bagus, menyerah dengan jurus rayuan mautnya.

Bersyukur karena istri muda tak gelap mata, dia masih bisa bersikap bijak saat mengetahui bahwa selama ini dia dibohongi dan dimanfaatkan. Dia meminta Mas Tris menjatuhkan talak untuk mengakhiri perkawinan siri mereka dan langsung mengusir Mas Tris untuk secepatnya pergi dari rumahnya. Mas Tris tidak bisa lagi berkutik, dia hanya bisa menangis dan bersujud di depanku meminta belas kasihan dan kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Demi anak-anak dan rasa cinta yang masih ada, aku menerimanya.

Suara langkah kaki yang terdengar semakin dekat membuatku menoleh ke arah suara, aku pun berdiri untuk bersalaman dengan Bu Ning. Tanpa perlu menunggu lama aku langsung bercerita tentang apa yang terjadi semalam.

“Sudah lama dia tidak pernah ke sini Tari, berkabar pun sudah tidak pernah. Kalau dia ke sini dan meminta sejumlah uang, tentu saya juga tidak akan diam saja, pasti saya akan hubungi kamu”

“Maafkan saya Bu karena saya sudah salah menduga. Sesaat setelah saya melihat uang itu saya yakin itu pasti pemberian seseorang. Saya langsung berpikir kalau Ibu yang memberikannya .”

“Saya paham kenapa kamu berpikir seperti itu. Menurut saya apa yang kamu lakukan sudah tepat, bukannya tidak percaya kalau dia sudah berubah tapi kamu memang harus lebih berhati-hati. Kemungkinan-kemungkinan itu akan selalu ada, kita berdua sama-sama tahu kan dia seperti apa. Tari, apa ada yang bisa saya bantu? Saya bisa siapkan beberapa orang untuk mencarikan bukti buat kamu kalau memang Trisno berbuat serong.”

“Sepertinya tidak perlu Bu, setelah kejadian itu saya merasa dia tidak akan berani mengulanginya lagi.”

“Itu yang sama-sama kita harapkan, semoga dia berubah. Kamu jangan segan kalau butuh bantuan, saya akan usahakan semampu saya.”

“Terima kasih sebelumnya Bu, saya mohon doanya.”

“Tentu Tari, bahkan mungkin itu belum cukup untuk membayar semua kebodohan saya di masa lalu.”

Mata Bu Ning berkaca-kaca, dia mendekat padaku dan memelukku dengan erat, membuatku juga tidak bisa menahan tangis. Hubungan yang sudah membaik tidak serta merta membuatku lupa. Menjauh dari Bu Ning dan menolak setiap bantuannya adalah salah satu caraku untuk sembuh dari luka, aku ingin menghapus semuanya meski itu tidak akan mudah.

Tangisku masih terus berlanjut selama perjalanan pulang ke rumah, peristiwa yang masih saja membuat hati terasa begitu sakit jika diingat. Aku berhenti sebentar di depan rumah setelah mematikan motor untuk mencoba menenangkan hati.

“Sudah hampir magrib baru pulang Tari?” sapaan dari Pak Mangun tetanggaku yang lewat di belakangku membuatku berhenti menggeser pagar untuk berbalik menghadap ke arahnya.

“Iya Pak, agak telat pulang karena ada perlu sebentar,” jawabku sembari tersenyum.

“Tumben Trisno semalam ikut ronda padahal bukan jadwalnya tapi akhirnya kalah juga dia sama kakek-kakek ini, jam satu dia sudah nyerah pulang he..he..he.”

Aku tersenyum tipis menanggapinya dan hanya mengangguk untuk menjawab kata pamit dari Pak Mangun karena otakku menangkap sebuah kejanggalan. Semalam Mas Tris baru pulang jam empat pagi tapi Pak Mangun bilang Mas Tris sudah pulang dari jam satu. Apa mungkin Mas Tris memang sudah pulang saat tengah malam dan aku tidak mendengar waktu dia membuka pintu?

Lalu menjelang subuh sesudah dia mandi, dia keluar rumah sebentar dan saat dia kembali lagi itulah aku terbangun. Ah…tapi selama ini mau senyenyak apa pun aku tidur, aku selalu terbangun saat mendengar ada suara di dekatku. Waktu tiga jam itu sudah lebih dari cukup untuk Mas Tris bisa pergi ke suatu tempat tapi kalau dia memang benar-benar pergi, ke mana?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI BERSAMA   34

    "Maksud kamu orang ini anak tetangga kamu yang baru saja kamu ceritakan?”“Iya Bu saya yakin sekali, di tiga foto terakhir dia baru muncul dan yang terlihat sangat jelas ada di foto yang terakhir.” “Tapi kenapa jadi ada dia juga di sini atau mungkinkah ini hanya kebetulan?”“Saya akan memastikan sendiri apa hubungannya Prasetyo dengan ini semua.”“Tari, jangan-jangan kita sudah salah membaca apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Bu Ning. Dia bisa bertanya seperti itu karena aku sudah cerita tentang pengakuan Prasetyo padaku. “Sesudah melihat foto ini, semuanya menjadi mungkin sekarang Bu.”“Iya benar, sekarang kita punya lebih dari satu kemungkinan. Kita mencari-cari siapa wanita di belakang Trisno tapi yang muncul malah Prasetyo dan bisa jadi dia adalah dalang yang selama ini kita cari-cari. Dari semua yang kamu ceritakan ke saya, Prasetyo ini memenuhi syarat untuk dijadikan tersangka, dia punya segalanya, uang dan koneksinya bisa dia gunakan dengan mudah untuk mendapatkan apa

  • SUAMI BERSAMA   33

    “Saya sudah menunggu lumayan lama dan sudah meminta waktu secara pribadi untuk bertemu tapi dia tidak mau. Ini adalah pertama kalinya dia menolak membantu saya setelah sekian lama kami menjadi mitra bisnis. Saya benar-benar dibuat penasaran.”“Atau mungkin memang ini murni permainan yang di bawah saja Bu dan Bosnya memang tidak tahu menahu tentang ini karena dia pasti tidak mau mengorbankan hubungan baik dengan Ibu yang sudah terjalin selama ini. Seperti tidak sebanding saja Bu nilainya antara masalah ini dengan hubungan baik Ibu.”“Awalnya saya juga berpikir begitu makanya saya merasa sangat percaya diri waktu bilang ke kamu saya bisa bantu kamu secepatnya tapi ternyata tidak seperti yang saya kira. Dari awal dia memang sudah menolak saya tapi dengan cara halus sampai kemarin dia benar-benar bilang langsung kalau dia tidak bisa bantu. Sakitnya dia itu adalah cara halus dia untuk menolak saya, alasan dia untuk menghindari saya.”“Dia bohong sama Ibu?”“Iya, dia buat saya menunggu

  • SUAMI BERSAMA   32

    “Jincha, seriusan? Kamu jangan ikut-ikutan gila ya Tar!”“Ya ampun Ka, aku cuma cerita apa adanya.”“Ya tapi kenapa aku mencium aroma-aroma baper di cerita kamu, please Tari jangan dengerin semua bisikan-bisikan setan yang terkutuk itu!”Sika menggeser kursi yang dia duduki menjadi semakin dekat denganku, lalu memutar kursiku agar aku menghadap ke arahnya. Dia hanya sedang menunggu jawabanku tapi aku merasa dia berubah menjadi jaksa penuntut dan aku menjadi terdakwanya.“Aku cuma ngerasa berhadapan dengan orang yang berbeda, kayak bukan Pras, dari suara yang sedikit terdengar lebih berat, dari cara dan gaya bicara, sampai senyumnya.”“Kayak gini kamu nggak mau dibilang baper?”“Suamiku sendiri nggak pernah ngomong begitu Ka.”“Terus itu mau dijadikan alasan untuk menghalalkan kebaperan kamu, gitu maksudnya?”“Lebih ke kaget aja, kok bisa dia sampai seperti itu, gitu aja Ka.”“Paham. Saya teramat sangat memahami sekali dengan apa yang Nyonya muda rasakan. Sebagai seorang wanit

  • SUAMI BERSAMA   31

    “Maaf tapi kalau saat ini Bude tidak di rumah saya permisi pulang dulu,” kataku langsung balik badan untuk segera pergi dari rumah itu.“Kiriman saya sudah sampai kan?” tanya Prasetyo yang membuatku terpaksa harus kembali berhadapan dengannya.“Mas yang kirim itu semua?” tanyaku pura-pura tidak tahu.“Kamu nggak tahu? Aku memang nggak nulis nama lengkap cuma inisial aja sih jadi wajar kalau kamu nggak perhatikan itu dari siapa tapi senang kamu sudah menerimanya. Lain kali kalau ada kiriman lagi dengan inisial “P” berarti itu dari aku.”“Tidak akan ada lain kali lagi karena ini yang pertama dan terakhir. Kalau Mas Pras masih berani mengirimkan sesuatu lagi ke saya, ke rumah saya, ke anak-anak, apa pun itu bentuknya saya akan kembalikan ke rumah ini.”“Wohoho…. Kamu mau libatkan Ibuku?”“Bukan saya tapi sikap Mas memaksa saya melibatkan Bude.”“Lestari…Lestari…kamu mau bilang ke Ibu, ke adikku ke siapa pun juga percuma sih. Oh iya kemarin sudah ngadu ke suami waktu dia melihat ak

  • SUAMI BERSAMA   30

    “Mah, ayo cepetan masuk,” ajak Arla saat aku baru saja turun dari motor.“Itu Mah,” kata Arla langsung menunjuk sebuah standing flower saat aku masih berdiri di depan pintu.“Dari siapa? Ini nggak salah?” tanyaku pada anak-anak.“Tadinya Aran pikir juga salah tapi alamatnya memang bener rumah kita Mah. Yang nganter tadi juga nggak tahu identitas pengirimnya. Dia mau disuruh karena dikasih banyak uang dan jaminan kalau ini aman,” cerita Aran panjang lebar.Aku lalu berjalan mendekat dan langsung mengambil kartu ucapan yang diselipkan di antara bunga-bunga itu. Sebuah kartu kecil bertuliskan “cepat sembuh” dengan tulisan tangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Ada huruf “P” tertulis tepat di bagian tengah saat aku membaliknya, tidak salah lagi ini semua pasti dari Prasetyo. Semakin hari dia semakin berani saja, dia nekat kirim paket seperti ini saat Mas Tris tidak ada di rumah. “Ada satu lagi Mah yang dikirim sama bunga itu, kotak besar yang di samping rak. Tadinya mau Ara

  • SUAMI BERSAMA   29

    “Si Trisno jalan dari arah sebelah kiri rumah kamu. Dari mana dia?” tanya Hendi. Kami bertiga sedang berkumpul di ruangan Hendi setelah jam kantor.“Sebelah kiri itu kaplingan tanah yang masih kosong itu loh Hen, yang baru dibangun pondasinya aja terus nggak ada kabar lagi sampai sekarang. Kalau sampingnya lagi masih ada beberapa rumah sebelum ketemu jalan kecil,” jawabku.“Guys, itu memang jalan kecil tapi cukup loh untuk papasan dua mobil, aku kan pernah lewat situ,” kata Sika.“Iya terus kenapa?” tanya Hendi.“Think Boss, think!” kata Sika.“Apaan lagi si kamu ini?” tanya Hendi kesal.“Kata si Mira pengantar kotak makan itu kan datang pake mobil yang selalu ganti-ganti. Sekarang think deh sama kalian kalau untuk mengantar kotak makan saja pake mobil apalagi untuk jemput si Trisno, masa mau disuruh jalan kaki aja. Trisno memang nggak bawa motor pas keluar rumah tapi dia bawa ponsel sodara-sodara. Dia bertengkar sama Tari, terus dia posisi terpojok, marah, pergi terus telepon

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status