Hari ini aku sengaja izin setengah hari dari kantor, hati dan perasaan yang penuh tanda tanya membuatku tidak tenang bekerja. Hampir satu jam perjalanan dengan motor akhirnya aku sampai ke sebuah rumah joglo mewah di tengah kota. Aku diminta menunggu sebentar karena pemilik rumah masih bersama tamu yang lain. Keadaan rumah ini ternyata belum banyak berubah, rumah ini adalah rumah yang bertahun lalu pernah aku datangi.
“Maaf, mbak berdua ini betul keluarganya Trisno?” tanya nyonya pemilik rumah saat itu, nada bicaranya khas orang berada yang sedang menunjukkan kelasnya. Wajahnya masih terlihat cantik di usianya yang mungkin sudah lebih dari setengah abad, duduknya tegak, pandangannya fokus pada lawan bicara. “Ini Mbak Asri kakak kandung Mas Tris, dan saya Lestari istrinya Mas Tris,” jawabku memperkenalkan diri. “Oh...kamu Lestari, bagaimana keadaan kamu? Sehat-sehat kan? Apakah sudah merasa lebih baik sekarang?” “Saya…alhamdulillah sehat, saya baik-baik saja Bu.” “Maaf kalau saya belum sempat untuk menengok kamu karena Trisno bilang akan lebih baik untuk memberi kamu waktu dulu.” “Saya yang seharusnya meminta maaf karena baru sekarang saya bisa mengucapkan terima kasih secara langsung atas kebaikan Ibu pada keluarga kami selama ini…” “Ah….itu bukan apa-apa. Dari awal saya sudah minta untuk bertemu denganmu tapi Trisno meminta saya untuk bersabar sampai semuanya benar-benar siap. Saya paham keadaannya memang tidak mudah tapi jangan khawatir, kamu tetap yang paling diutamakan oleh Trisno dan saya tidak masalah dengan itu. Saya hanya ingin kita semua dalam hubungan yang baik dengan keadaan yang juga baik dan sehat, itu saja.” “Bukankah memang sudah seharusnya kita terus menjaga hubungan ini Bu? Ibu dan keluarga sudah memperlakukan Mas Tris dengan sangat baik di sini…” “Sudah menjadi kewajiban kita berdua memperlakukannya dengan baik, iya kan?” katanya sembari tersenyum. “Kita? Kita berdua? Maaf….maksudnya saya dan Ibu?” tanyaku kebingungan. “Ya, saya dan kamu sebagai istrinya Trisno.” “Ibu….. Istrinya Mas Tris?” “Ya, kami berdua menikah siri hampir satu tahun yang lalu dan ini atas persetujuan kamu juga kan?” Suamiku memang luar biasa pintar membuat cerita bohong, cerita karangan tentang istri yang sedang sakit parah dan tidak bisa lagi memenuhi kewajiban sebagai seorang istri. Ekonomi keluarga yang hampir runtuh ditambah dua anak yang masih sekolah mengharuskan Mas Tris bekerja sangat keras sampai harus meninggalkan rumah. Drama yang dibuat Mas Tris ditambah modal paras wajah yang ganteng dan perawakan yang gagah berhasil membuatnya naik pangkat dari sekedar satpam menjadi suami siri nyonya rumah. Nyonya rumah itu bernama Bu Ning Widha, seorang janda berusia 55 tahun dengan satu anak yang sedang kuliah di luar negeri, dia akhirnya ikut masuk ke dalam alur cerita yang dibuat Mas Tris, terpesona oleh sosok Mas Tris dan jatuh. Janda kaya, berpendidikan, mantan istri seorang pengusaha luluh dengan tipu daya seorang Trisno Bagus, menyerah dengan jurus rayuan mautnya. Bersyukur karena istri muda tak gelap mata, dia masih bisa bersikap bijak saat mengetahui bahwa selama ini dia dibohongi dan dimanfaatkan. Dia meminta Mas Tris menjatuhkan talak untuk mengakhiri perkawinan siri mereka dan langsung mengusir Mas Tris untuk secepatnya pergi dari rumahnya. Mas Tris tidak bisa lagi berkutik, dia hanya bisa menangis dan bersujud di depanku meminta belas kasihan dan kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Demi anak-anak dan rasa cinta yang masih ada, aku menerimanya. Suara langkah kaki yang terdengar semakin dekat membuatku menoleh ke arah suara, aku pun berdiri untuk bersalaman dengan Bu Ning. Tanpa perlu menunggu lama aku langsung bercerita tentang apa yang terjadi semalam. “Sudah lama dia tidak pernah ke sini Tari, berkabar pun sudah tidak pernah. Kalau dia ke sini dan meminta sejumlah uang, tentu saya juga tidak akan diam saja, pasti saya akan hubungi kamu” “Maafkan saya Bu karena saya sudah salah menduga. Sesaat setelah saya melihat uang itu saya yakin itu pasti pemberian seseorang. Saya langsung berpikir kalau Ibu yang memberikannya .” “Saya paham kenapa kamu berpikir seperti itu. Menurut saya apa yang kamu lakukan sudah tepat, bukannya tidak percaya kalau dia sudah berubah tapi kamu memang harus lebih berhati-hati. Kemungkinan-kemungkinan itu akan selalu ada, kita berdua sama-sama tahu kan dia seperti apa. Tari, apa ada yang bisa saya bantu? Saya bisa siapkan beberapa orang untuk mencarikan bukti buat kamu kalau memang Trisno berbuat serong.” “Sepertinya tidak perlu Bu, setelah kejadian itu saya merasa dia tidak akan berani mengulanginya lagi.” “Itu yang sama-sama kita harapkan, semoga dia berubah. Kamu jangan segan kalau butuh bantuan, saya akan usahakan semampu saya.” “Terima kasih sebelumnya Bu, saya mohon doanya.” “Tentu Tari, bahkan mungkin itu belum cukup untuk membayar semua kebodohan saya di masa lalu.” Mata Bu Ning berkaca-kaca, dia mendekat padaku dan memelukku dengan erat, membuatku juga tidak bisa menahan tangis. Hubungan yang sudah membaik tidak serta merta membuatku lupa. Menjauh dari Bu Ning dan menolak setiap bantuannya adalah salah satu caraku untuk sembuh dari luka, aku ingin menghapus semuanya meski itu tidak akan mudah. Tangisku masih terus berlanjut selama perjalanan pulang ke rumah, peristiwa yang masih saja membuat hati terasa begitu sakit jika diingat. Aku berhenti sebentar di depan rumah setelah mematikan motor untuk mencoba menenangkan hati. “Sudah hampir magrib baru pulang Tari?” sapaan dari Pak Mangun tetanggaku yang lewat di belakangku membuatku berhenti menggeser pagar untuk berbalik menghadap ke arahnya. “Iya Pak, agak telat pulang karena ada perlu sebentar,” jawabku sembari tersenyum. “Tumben Trisno semalam ikut ronda padahal bukan jadwalnya tapi akhirnya kalah juga dia sama kakek-kakek ini, jam satu dia sudah nyerah pulang he..he..he.” Aku tersenyum tipis menanggapinya dan hanya mengangguk untuk menjawab kata pamit dari Pak Mangun karena otakku menangkap sebuah kejanggalan. Semalam Mas Tris baru pulang jam empat pagi tapi Pak Mangun bilang Mas Tris sudah pulang dari jam satu. Apa mungkin Mas Tris memang sudah pulang saat tengah malam dan aku tidak mendengar waktu dia membuka pintu? Lalu menjelang subuh sesudah dia mandi, dia keluar rumah sebentar dan saat dia kembali lagi itulah aku terbangun. Ah…tapi selama ini mau senyenyak apa pun aku tidur, aku selalu terbangun saat mendengar ada suara di dekatku. Waktu tiga jam itu sudah lebih dari cukup untuk Mas Tris bisa pergi ke suatu tempat tapi kalau dia memang benar-benar pergi, ke mana?“Mah tadi ada yang beli chiki dan waktu Adek lihat ternyata sudah kedaluwarsa.”“Waduh, Bapak pasti lupa tidak periksa barang. Arla tolong bantu periksa yang dekat-dekat meja kasir saja ya!”Arla mengangguk dan aku perlahan memeriksa satu per satu rak mulai dari depan ke belakang. Cukup mengejutkan karena kami berhasil mengumpulkan sampai satu keranjang penuh. Untuk ukuran toko kecil itu sudah sangat banyak menurutku, Mas Tris benar-benar teledor sekali. Seharusnya keadaan toko yang sepi bisa dimanfaatkan Mas Tris untuk bisa memeriksa barang terutama produk makanan.Apa mungkin ini salah satu penyebab toko kami jadi sepi? Mungkin sudah banyak pembeli yang menemukan barang-barang rusak itu dan membuat mereka enggan untuk kembali. “Maaf Mas Tris ada?” terdengar suara perempuan bertanya pada Arla.“Nggak ada itu mbak, ada apa ya?”“Ada perlu mbak,” suara wanita itu bernada sedikit genit dan aku merasa sudah pernah mendengar sebelumnya.Aku lalu mengintip dari celah rak paling bel
Aku harus bermain cantik kali ini, melakukan semuanya dengan rapi, bergerak dalam senyap. Sales rokok itu mungkin bisa mengirim bekal untuk Mas Tris setiap hari tapi aku tidak yakin kalau dia adalah orang yang sama dengan orang yang memberikan uang dan membelikan pakaian. Apa ada kemungkinan kalau Mas Tris berhubungan dengan lebih dari satu wanita?“Mah…Mamah,”“Astaghfirullah Nak, bisa pelan kan manggilnya?“Kalau pelan Mamah nggak mungkin denger, dipanggil keras aja nggak jawab-jawab,” Aran anak sulungku menghampiriku di dapur, tangannya sedang sibuk mengenakan seragam sekolahnya. “Ada apa?”“Ada Mbah di depan.”“Mbah siapa?”“Mbah depan rumah manggil-manggil itu di depan pintu.”“Kenapa kamu malah ke sini bukannya dibuka pintunya.”“Sibuk,” jawabnya singkat lalu pergi kembali ke kamarnya.Aku buru-buru berjalan ke depan, sudah terdengar Bude Kanti memanggil-manggil namaku sambil mengetuk pintu. “Maaf Bude lagi di dapur,” kataku sesaat setelah membuka pintu. “Ini aku
“Tari, laporanku yang kamu minta kemarin, sudah selesai belum?” Sika, sahabatku sejak kecil sekaligus teman sekantorku sudah berdiri di sampingku, tidak lupa ada camilan di tangannya. Kedatangannya ke mejaku itu tanda kalau bos tidak ada di tempat jadi anak-anak ada waktu sebentar untuk sekedar meluruskan punggung. “Belum aku pegang sama sekali Ka.” “Ampun, mau aku bantu nggak?” “Sudahlah jangan suka kasih harapan palsu.” “Ha...ha…ha, namanya juga basa-basi biar kelihatan baik hati.” “Prettt lah kau.” “Eh iya besok anak-anak pulang kantor mau mampir ke tempatnya Pak Brewok, udah tau belum?” “Ya…tapi aku nggak bisa.” “Awww…sakit woy,” lanjutku sembari mengibaskan tangan Sika yang mencubit pipiku. “Tari....anak-anak anda itu sudah besar loh sekarang, kalau kamu telat sebentar sampai rumah juga nggak ada masalah. Meraka kan bisa jajan makanan sendiri kalau kamu belum siapkan makanan buat mereka. Ini acara pakai duit kas kita jadi jangan mau rugi dong..” Sika duduk
Sudah jam sepuluh malam, Mas Tris belum juga pulang, makan malam yang sudah aku siapkan dari tadi sudah tidak hangat lagi. Berkali-kali aku menguap, mataku terasa lengket sekali tapi aku sudah berniat menunggu Mas Tris pulang. Akhirnya aku menyerah, aku menutup pintu rumah, badan dan pikiranku sudah sangat lelah. Baru saja aku mau masuk ke dalam kamar, suara motor Mas Tris terdengar, aku buru-buru kembali ke ruang tamu untuk membuka pintu. Tidak ada salam yang terucap, Mas Tris langsung masuk saat aku membukakan pintu, aku mengikutinya dari belakang. “Mau dibikinkan teh hangat Mas?” tanyaku saat Mas Tris sedang mengganti bajunya. “Nggak usah,” jawabnya singkat, dia langsung berbaring di tempat tidur. Sikap dingin Mas Tris memaksaku untuk mengalah walaupun sebenarnya masih ada seribu tanya di hatiku. Mas Tris memang tidak akan mempan diberi serangan karena dia punya jurus pertahanan yang kuat, dia betah berlama-lama perang dingin dengan istrinya sendiri. “Aku minta maaf Mas,
Hari ini aku sengaja izin setengah hari dari kantor, hati dan perasaan yang penuh tanda tanya membuatku tidak tenang bekerja. Hampir satu jam perjalanan dengan motor akhirnya aku sampai ke sebuah rumah joglo mewah di tengah kota. Aku diminta menunggu sebentar karena pemilik rumah masih bersama tamu yang lain. Keadaan rumah ini ternyata belum banyak berubah, rumah ini adalah rumah yang bertahun lalu pernah aku datangi. “Maaf, mbak berdua ini betul keluarganya Trisno?” tanya nyonya pemilik rumah saat itu, nada bicaranya khas orang berada yang sedang menunjukkan kelasnya. Wajahnya masih terlihat cantik di usianya yang mungkin sudah lebih dari setengah abad, duduknya tegak, pandangannya fokus pada lawan bicara. “Ini Mbak Asri kakak kandung Mas Tris, dan saya Lestari istrinya Mas Tris,” jawabku memperkenalkan diri. “Oh...kamu Lestari, bagaimana keadaan kamu? Sehat-sehat kan? Apakah sudah merasa lebih baik sekarang?” “Saya…alhamdulillah sehat, saya baik-baik saja Bu.” “Maaf kalau
“Kemarin Mas Tris sendiri yang bilang kalau bulan ini sepi, uang yang ada tinggal buat modal sama ongkos jalan, terus kenapa tiba-tiba ada amplop itu. Itu uang dari mana Mas?” “Uang dari mana katamu? Pertanyaan macam apa itu? Aku tiap pagi berangkat dari rumah itu menurut kamu aku ke mana? Nongkrong? Touring?” Nada bicara suamiku sedikit meninggi walaupun dia sedang asyik megepulkan asap rokoknya dan tangannya sibuk dengan handphone.“Mas, lima juta itu bukan uang yang sedikit Mas.”“Terus kenapa? Masih kurang?”“Mas, sudah dua tahun ini Mas mengerjakan semuanya sendirian tanpa pembantu, etalase dan rak banyak yang kosong karena utang kita pada supplier menumpuk. Belum lagi utang kita di luar sana, sudah berapa banyak utang kita yang sudah lunas Mas? Satu lagi, coba tolong ingat baik-baik berapa banyak yang selama ini Mas bisa berikan untuk kebutuhan keluarga kita? Sekarang Mas bawa amplop dengan uang sebanyak ini, bukankah sudah sewajarnya aku bertanya uang ini dari mana?”“S