"Layanan kamar, Sayang!" ujar Ahmad dengan riang. Ana tersenyum berbinar dan haru melihat suaminya yang begitu perhatian padanya. "Kamu... Kok tahu kalau aku lapar, Mas?" tanya Ana dengan senyum manisnya saat Ahmad meletakkan bakinya di atas nakas. "Kamu kan ibu menyusui, pasti cepat lapar lah. Aku tahu, Yang. Kamu susuin anak kita saja. Biar aku yang menyuapimu," ujar Ahmad. Ana yang sedang bersandar di dipan ranjang sambil duduk dan menyusui anaknya langsung membuka mulut. "Wah, boleh. Aaaaa!"Ahmad tertawa dan mengambil potongan buah, lalu menyuapkannya ke mulut sang istri. "Hm, manis, dingin, seger! Terimakasih, Mas! Kamu baiiiik sekali padaku. Semoga rejeki kamu semakin melimpah dan berkah, Mas!" ujar Ana tulus. "Aamiin, Yang. Apa sih yang enggak buat istri sholihah yang selalu ikhlas merawatku dan ibuku," sahut Ahmad. "Mas, apa kamu nggak capek? Tadi sepertinya kamu paling sibuk saat acara aqiqah Ihsan," tanya Ana. "Kok sekarang malah begadang membantu ku merawat Ihsan? B
Keheningan menelan ruangan. Ana berhenti mengayun bayinya, Anton menegang di kursinya, dan Nisa menutup mulut dengan tangan gemetar. Ahmad menatap mbok Darmi, mencari kepastian di wajah tetangganya itu."Pasti ketularan Mas Burhan, ya?" Ana bertanya pelan, nyaris berbisik.Mbok Darmi mengangguk sambil terisak. "Kamu betul, Ana. Burhan lah yang menulari Wulan. Huhuhu… kalau tahu Burhan mengidap penyakit HIV, aku nggak mungkin menyetujui hubungan mereka dulu!"Ana menggigit bibirnya, prihatin pada Wulan, merasakan campur aduknya yang dirasakan Wulan sekarang. "Dan lagi," lanjut Mbok Darmi dengan suara serak, "Burhan sekarang sudah meninggal… karena dilenyapkan oleh Neni."Ahmad mengangguk. "Kalau soal itu, saya sudah tahu, Mbok. Jadi Wulan baru tahu tentang penyakit nya saat ini?"Mbok Darmi mengangguk lagi. "Neni membunuh Burhan, entah untuk membela diri saat Burhan datang ke rumah Neni dengan mengamuk karena ketularan HIV. Dan setelah pulang dari kantor polisi karena terlibat dana
Ayah Nisa mengangguk. “Semua keputusan ada di tangan Nisa.”Anton kembali menghadap Nisa. “Aku nggak akan janji muluk-muluk lagi, Nis. Tapi aku mohon, kasih aku kesempatan sekali ini. Aku mau buktiin. Biar aku yang bahagiain kamu, tanpa campur tangan siapa pun.”Nisa menatap dalam ke mata Anton. Untuk pertama kalinya, ia tak melihat bayangan keraguan di sana. Hanya harap. Dan ketakutan kehilangan. Ia menarik napas, menunduk sejenak, lalu menghela perlahan.“Baik,” ucapnya akhirnya. “Aku mau coba percaya lagi.”Wajah Anton langsung cerah. Tangannya bergetar ketika menggenggam jemari Nisa.“Terima kasih… Astaga, terima kasih, Nis.”"Bagaimana dengan ibumu, Mas? Apa Ibumu tidak marah kamu memilih tinggal di rumah terpisah dari beliau?" tanya Nisa. Anton menghela napas panjang. "Semoga Allah melembutkan hati ibuku, Nis. Semoga ibuku menyadari bahwa aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Aku hanya ingin mempunyai keluarga yang bahagia denganmu, wanita yang kucintai," ujar Anton men
“Kalian menikmati uang haram itu, Mbok Darmi. Wulan juga. Jadi kalian ikut tanggung jawab,” suara Asih terdengar tegas di ruang penyidik.Wulan meremas ujung kerudungnya, tangan berkeringat meski AC kantor polisi cukup dingin. Di sebelahnya, Mbok Darmi duduk diam, tapi rahangnya mengeras. Mata tuanya melotot tajam ke arah Asih.“Kami nggak tau itu duit korupsi, Bu Asih!” bantah Mbok Darmi. “Kami cuma tahu kalau duit itu mahar dari Darma, anak kamu! Salah kami di mana?”Asih mendecak, “Kalian terima uang itu. Mau alasan apa pun, itu uang kotor. Sekarang mas Surya sudah ditahan. Perusahaan tempat dia kerja nuntut ganti rugi. Kalian ambil tiga puluh juta dari mereka. Kalian harus balikin!”Wulan menunduk, suaranya pelan. “Kami… nggak punya uang segitu…”Penyidik menghela napas. “Pihak perusahaan tempat Surya korupsi, sebenarnya mau damai. Tapi syaratnya jelas. Kalian balikin uang itu. Kalau nggak, kalian ikut masuk penjara.”Ruangan itu sunyi. Wulan mencuri pandang pada ibunya, berharap
Anton duduk di ruang tamu, memandangi undangan yang tergeletak di atas meja. Undangan aqiqah yang diberikan Ahmad padanya beberapa hari lalu itu kini seolah menjadi simbol dari segala yang diinginkannya. "Alangkah bahagianya Ahmad sudah mempunyai anak," bisik Anton dalam hati, memandang undangan dengan perasaan campur aduk. "Istri dan ibunya juga akur." Ia menghela napas panjang, matanya kosong menatap undangan itu. "Bisakah aku juga mempunyai keluarga seperti Ahmad?" gumam Anton lirih, mempertanyakan masa depannya sendiri."Siapa yang datang, Ton?" suara ibu Anton memecah lamunannya, membawa Anton kembali ke kenyataan. Ia menoleh, melihat ibunya yang sudah tua duduk di sofa depan televisi. "Ahmad, Bu. Teman kerja aku. Dia... besok mengadakan acara aqiqah untuk anak pertama nya," ujar Anton, mencoba menyembunyikan kerisauan yang ada di hatinya."Oh," jawab ibunya singkat, tidak terlihat terkesan. Hanya itu yang diucapkannya, lalu kembali menyalakan TV, seakan tidak peduli dengan ce
Lima hari kemudian"Pagi, sayang. Anak kamu sudah bangun, Ana?" tanya Sari dengan lembut, matanya menatap Ana yang sedang menggendong anaknya di ruang tengah.Ana mengangguk pelan. "Sudah, Mama.""Kalau begitu, biar Mama mandikan. Kamu sarapan dulu saja. Ibu menyusui pasti lapar. Tadi Ahmad juga sudah merebus air untuk mandi anak kalian, mungkin sebentar lagi panas," ujar Sari, sambil tersenyum penuh kasih sayang.Ana mengangguk, tersenyum lembut. "Iya, Ma. Ana memang lapar."Sari berjalan mendekat, menatap cucunya dengan penuh kasih. "Kalau begitu, mana anak kamu? Oh ya, tadi Mama cuma nggoreng telur dadar. Ada sayur sop mentah, dan ayam ungkep, tapi belum Mama masak. Bisa kamu bantu nanti?"Ana menyerahkan bayinya pada Sari dengan lembut. "Biar Ana yang masak sayur sop dan nggoreng ayamnya, Ma," jawab Ana.Sari mengangguk, lalu membawa cucunya menuju kamar mandi. Ana pun kembali ke dapur, memotong sayuran mentah untuk sayur sop. Tak lama setelah itu, terdengar suara air mendidih di