Nggak mungkin janda kayak aku bisa menikah dengan bujang. Pasti sama keluarganya nggak bakal diterima. Tapi ternyata... 😍😘🥰
SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA (2) "Masih muda, kok, nikah sama janda sih? Sayang banget..." gumamnya, tapi cukup keras untuk didengar Ana. Ana terkejut. Seakan ada sesuatu yang menghantam dadanya begitu keras. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Suaminya, yang tengah menghitung uang, langsung menoleh. Wajahnya yang biasanya santai berubah dingin. Diterima nya pesanan dari anak sang penjual, lalu setelah menberikan ua ng pas, sang suami menatap serius ke arah ibu penjual nasi di hadapannya. "Bu, jaga ucapan, ya," ucapnya ta j am. Si penjual mendengus. "Ya, maaf, cuma kasihan aja. Mas kan masih lajang..." Ana merasa wajahnya memanas. Matanya menatap ke bawah, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang tiba-tiba menyeruak di hatinya. "Kita pergi aja, Mas," bisiknya lirih. Suaminya menatapnya sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan Ana dan menggenggamnya erat. "Bu, terima kasih. Tapi kalau cuma mau nyinyir, lain kali saya beli di tempat lain saja." Tanpa menunggu jawaban, suaminya menarik Ana pergi, meninggalkan si penjual yang terdiam. Ana berjalan di samping suaminya dengan dada sesak. Rasa bahagia karena mendapat mertua yang baik seakan tergeser oleh perkataan taj am tadi. "Kenapa diam?" tanya suaminya lembut. Ana menggeleng. "Enggak apa-apa." Suaminya mende s ah, lalu berhenti dan menatap Ana lekat-lekat. "Jangan dengerin omongan orang. Aku nikahin kamu bukan karena kasihan, bukan karena gak punya pilihan, tapi karena aku memang mau sama kamu. Udara pagi masih terasa sejuk ketika Ana dan Ahmad tiba di rumah. Suasana rumah mertua Ana begitu tenang, hanya terdengar suara burung gereja berkicau di atap. Ana masih memikirkan ucapan pedas Mbok Darmi, penjual nasi uduk tadi. Seperti duri yang menusuk hatinya, kata-kata itu sulit diabaikan. Ahmad membuka pintu dan langsung menuju ruang tamu, tempat ibunya, Sari, tengah duduk sambil melipat baju. Wajah Ahmad masih menunjukkan ketidaksenangan atas kejadian tadi. "Mama, tadi Mbok Darmi bilang sesuatu yang gak enak ke Ana," ucap Ahmad, suaranya terdengar menahan em os i. Sari menoleh dengan tenang, meletakkan lipatan baju di pangkuannya. "Apa yang dia bilang?" Ahmad menghela napas, lalu menatap Ana yang masih berdiri di ambang pintu, ragu untuk masuk. "Dia bilang, 'Masih muda kok nikah sama janda? Sayang banget,'" ujar Ahmad, mengulang ucapan si penjual. Sari terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ditariknya Ana ke dalam pelukannya, mengusap ke pa la menantunya yang tertutup jilbab dengan lembut. "Sabar, yo, Nduk. Ujian pernikahan itu macam-macam. Ada yang datang dari suami, istri, anak, bahkan tetangga. Jangan dengarkan kata orang. Yang penting, Mama dan Ahmad sayang sama kamu. Jangan pernah merasa sendiri, ya? Kita keluarga di sini," ucapnya dengan suara penuh kasih. Mata Ana terasa panas, tetapi bukan karena kesedihan, melainkan karena rasa haru. Kata-kata Sari menghangatkan hatinya. Sejak ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi, dunia Ana tak lagi sama. Ia sering merasa sendirian, seolah tak punya tempat berpulang. Tapi sekarang, di rumah ini, ia merasakan kehangatan keluarga kembali. Ana tersenyum sumringah. "Terima kasih, Mama..." Sari tersenyum lembut. "Ya sudah, sekarang sarapan dulu. Mbok Darmi boleh nyinyir, tapi perut tetap harus kenyang." Ana mengangguk dan segera menyiapkan piring untuk mereka bertiga. Sari mengambilkan lauk, sementara Ahmad menuangkan teh hangat ke gelas. Sarapan berlangsung dalam suasana yang lebih tenang. Ana berusaha mengabaikan kata-kata buruk yang tadi didengarnya dan menikmati kebersamaan dengan keluarga barunya. Setelah selesai makan, Ana bergegas mencuci piring. Air mengalir dari keran, membilas sisa-sisa makanan di piring dengan cepat. Rencananya, setelah mencuci piring, ia akan menyapu lantai. Namun, saat ia berbalik, matanya terbelalak melihat Ahmad sudah lebih dulu mengambil sapu dan mulai membersihkan lantai ruang tamu. "Kamu nyapu, Mas?" tanya Ana takjub. Ahmad menoleh dan tersenyum. "Iya. Memangnya aneh?" Ana menggeleng pelan. "Enggak aneh, cuma... aku gak nyangka aja." Ahmad terkekeh. "Pernikahan itu kerja sama, kan? Lagipula, kalau nunggu kamu selesai semuanya, bisa-bisa kita berdua capek bareng. Mending bagi tugas." Ana tersenyum, lalu melangkah mendekat. Ia mengulurkan tangan, memeluk Ahmad dengan erat. Tubuh suaminya hangat dan nyaman, membuat Ana merasa semakin tenang. Ahmad tersenyum kecil, lalu mengecup puncak kepala Ana. "Apa ini? Mau minta jatah lagi kayak semalam?" godanya dengan suara rendah. Ana langsung tersipu. Pipinya merona, dan ia buru-buru mencubit pinggang Ahmad. "Ih, Mas! Jangan ngomong gitu!" Ahmad tertawa, menikmati ekspresi malu-malu istrinya. "Lho, salah sendiri pel uk-pel uk duluan." Ana menunduk, menyembunyikan wajahnya yang semakin panas. Ahmad tersenyum puas melihat reaksinya. Setelah momen hangat itu, Ahmad berpamitan pada ibunya untuk berangkat kerja. "Ma, aku berangkat dulu. Dinas pagi," katanya sambil mengenakan sepatu. Sari menatap putranya dengan perhatian. "Kenapa gak ambil cuti pernikahan lebih lama aja? Kan bisa sekalian ajak Ana bulan madu." Ahmad tersenyum kecil. "Teman-teman di rumah sakit udah banyak yang cuti, Ma. Kalau aku ikut ambil cuti, kasihan yang lain." Sari menghela napas, lalu mengangguk. "Ya sudah, yang penting jangan kecapekan." Ana mengantarkan Ahmad sampai ke gerbang. Ahmad menatap istrinya sesaat sebelum tersenyum dan mengusap pipinya. "Jangan mikirin kata orang, ya. Aku pulang sore nanti," ujarnya lembut. Ana mengangguk, menatap Ahmad yang menaiki scoopynya dan semakin menjauh hingga akhirnya menghilang di tikungan jalan. Baru saja Ana hendak berbalik masuk ke dalam rumah, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangnya. "Pagi, Mbak. Salam kenal. Saya mantan pacar Mas Ahmad." Ana sontak menoleh. Di belakangnya, seorang gadis muda berdiri dengan senyum manis. Ana mengenali wajah itu—anak dari penjual nasi uduk tadi. Jantung Ana berdegup kencang. Apa yang sebenarnya diinginkan gadis ini? Next?Neni duduk di sudut tempat tidur dengan ponselnya. Matanya berkaca-kaca, jemarinya bergetar saat mengetik. Hatinya dipenuhi rasa marah dan kecewa yang tak terbendung.[Gaji suami 7,5 juta. Diambil mertua 4 juta. Padahal masih ada asisten rumah tangga yang harus dibayar, kebutuhan makan sehari-hari, dan kebutuhan anakku yang berumur 3 bulan. Sakit sekali rasanya mempunyai suami yang selalu disetir oleh ibunya!]Tanpa ragu, ia menekan tombol post di akun media sosialnya. Tidak butuh waktu lama, unggahan itu meledak. Ratusan komentar masuk. Banyak perempuan yang bersimpati padanya, menyoroti betapa tidak adilnya perlakuan suami dan mertuanya.“Astaga, ini suami atau anak mama?”“Gaji segitu diambil ibu mertua, istrinya disuruh ngirit? Parah banget!”“Duh, Neni, semangat ya! Kamu harus tegas!”Komentar terus mengalir, unggahan itu dibagikan ulang ratusan kali. Nama Burhan dan ibunya menjadi perbincangan di berbagai grup dan forum online.Sementara itu, di kantor, Burhan baru saja duduk se
Flash back onBurhan, kita harus lebih pelan... Aku sedang hamil," bisik Neni lirih saat Burhan mulai mencumbunya dengan penuh gairah.Burhan menghentikan gerakannya sejenak, menatap wajah Neni yang masih terlihat cantik meski kelelahan setelah resepsi mereka. Ia menghela napas, lalu berbisik di telinga istrinya, "Aku bahagia, Neni... Kamu masih perawan saat kita bercinta dulu. Tidak seperti Ana, mantan istriku yang tidak berdarah saat malam pengantin kami."Neni tersenyum penuh misteri. Dia memang sudah mengincar Burhan, wakil manajer di perusahaan makanan kaleng, tempat dia bekerja sebagai bagian staf promosi. Karena saat itu Burhan terlihat tampan dan mapan. Dan walaupun sudah menikah dengan Ana, Neni tetap ingin merebutnya dari Ana.'Akhirnya sekarang aku sudah menjadi seorang nyonya besar. Aku tidak perlu kerja lagi di perusahaan itu. Rumah mas Burhan besar, dua lantai, dan ada asisten rumah tangga. Wah, aku hanya perlu melayani mas Burhan saja,' sorak hati Neni dengan riang.Mal
"Kita memang bukan karyawan kayak tetangga depan rumah, tapi aku yakin rejeki kita bakal lebih dari mereka! Lagipula aku ini independen dan wonder woman! Aku nggak akan nyusahin suami seperti istri-istri lain yang jadi ibu rumah tangga biasa. Ihhh," sindirnya sambil melirik Ahmad dan Ana dengan tatapan penuh ejekan.Sari menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya yang mulai naik ke permukaan. Ana di sampingnya juga tampak tegang, sementara Ahmad menggenggam tangannya erat. Mbok Darmi dan Wulan sama sekali tidak menunjukkan niat untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik."Dengar ya, Wulan," Sari akhirnya berkata dengan nada tegas. "Kami ke sini bukan untuk cari ribut. Kami hanya meminta ayam-ayam kalian jangan sampai masuk ke halaman rumah kami lagi. Itu saja."Wulan tertawa sinis. "Halah, segitu aja pakai datang ramai-ramai. Pengecut ya, harus datang beramai-ramai untuk hadapi satu orang tua dan anaknya?"Ana mengepalkan tangan, tapi Ahmad menahannya. Ia maju selangkah, menatap
Ana mengangguk setuju. "Aku ikut, Bu. Biar mereka paham kalau ini bukan kejadian pertama."Dengan langkah mantap, Sari dan Ana berjalan menuju rumah Mbok Darmi. "Mbok, mbok Darmi, Assalamu'alaikum!"Mereka mendekat ke arah lapak milik janda satu anak itu. Bau harum nasi uduk yang masih mengepul bercampur dengan aroma sambal kacang menyebar ke udara. Di depan rumah panggung kayu itu, beberapa pembeli sedang antre, sibuk memilih lauk sambil berbincang satu sama lain. Beberapa anak kecil berlarian, sementara Mbok Darmi dengan cekatan melayani pelanggan, tangannya bergerak lincah menyendok nasi dan lauk ke dalam piring.Sari melirik Ana dan Ahmad sebelum melangkah lebih dekat. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. Namun, sebelum sempat mengucapkan sesuatu lagi, Mbok Darmi lebih dulu menoleh, matanya menyipit penuh selidik."Eh, Sari! Ada perlu apa? Mau beli nasi uduk?" tanyanya dengan suara lantang, cukup menarik perhatian beberapa pelanggan di sekitar.
Langkah kaki Ana terhenti di ujung anak tangga. Matanya membulat, napasnya tercekat. Pintu kamar hotel di ujung lorong itu terbuka, dan sosok Wulan melangkah keluar. Mata Ana langsung mengenali perempuan itu—teman lamanya yang dikenal suka mengomentari hidup orang lain.“Mas, itu Mbak Wulan, kan?” bisik Ana pelan, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Dia belum menikah, kenapa dia tidur di hotel?”Ahmad yang berada di sampingnya hanya menghela napas panjang. Ia menatap Ana dengan ekspresi penuh arti sebelum akhirnya berkata, “Lebih baik kita tidak ikut campur urusan orang lain, Ana. Terutama urusan perempuan seperti Wulan.”Ana menggigit bibirnya, berusaha menekan rasa ingin tahunya. Ada banyak pertanyaan berputar di kepalanya, tapi ia menuruti saran Ahmad. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia menunduk dan berjalan pelan di belakang Wulan, membiarkan perempuan itu turun tergesa-gesa ke arah parkiran hotel. Sepertinya Wulan tidak menyadari keberadaan mereka.Ketika Wulan menghilang
Ana terdiam sejenak, hatinya terasa hangat mendengar perkataan mertuanya. Sungguh berbeda dengan perlakuan mantan mertuanya dulu yang selalu menuntut gaji Burhan, mantan suaminya, tanpa pernah bertanya apakah kebutuhan rumah tangga mereka sudah terpenuhi atau belum. Ia menghela napas, mengenang betapa beratnya dulu hidup dalam tekanan finansial yang tidak adil."Be-benarkah, Ma?" tanya Ana ulang. Hatinya ragu. Sari tersenyum dan mengangguk. "Iya, Nduk. Seorang suami itu yang utama adalah memberi nafkah untuk istrinya. Baru kalau sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari, barulah dia bisa berbagi dengan orang tua atau mertuanya. Jangan sampai seorang istri justru kekurangan karena suaminya lebih mementingkan ibunya."Mata Ana berkaca-kaca. Rasa haru memenuhi hatinya. Betapa beruntungnya ia memiliki mertua yang bijaksana dan penuh kasih sayang. Ia tersenyum dan meraih beberapa lembar uang dari amplop tersebut, lalu menyerahkannya kembali kepada mertuanya."Saya ikhlas berbagi
Nggak mungkin janda kayak aku bisa menikah dengan bujang. Pasti sama keluarganya bakal nggak diterima. Tapi ternyata... 😍😘🥰SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA 7"Mas, aku menyesal dulu menolak lamaran kamu. Kita sudah saling mengenal selama setahun. Masa aku dikalahkan oleh orang yang baru kamu kenal selama tiga bulan," ujar Nisa dengan nada sedikit memaksa. "Sekali saja. Dulu kamu tidak keberatan kan kalau aku nebeng? Kumohon, Mas!"Ahmad melihat beberapa rekan sejawatnya yang juga bersiap untuk pulang sedang menghidupkan mesin sepeda motor masing- masing. "Silakan nebeng dengan teman yang lain, Nis," ujar Ahmad singkat. Tanpa menunggu tanggapan Nisa, Ahmad segera mengenakan helmnya dan menyalakan motor. Ia meninggalkan parkiran rumah sakit dengan perasaan lega—lega karena bisa menolak dengan tegas tanpa ragu.Setelah pulang dari rumah sakit, Ahmad segera berangkat ke beberapa rumah pasien yang memerlukan perawatan lanjutan. Para keluarga pasien yang puas dengan pelayanan perawatan ya
Nggak mungkin janda kayak aku bisa menikah dengan bujang. Pasti sama keluarganya bakal nggak diterima. Tapi ternyata... 😍😘🥰SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA Bab 6Ahmad menatap temannya dengan ekspresi yang sulit dilukiskan. "Terima kasih, Ton. Aku nggak nyangka kamu sebaik ini."Anton mengangkat bahu. "Santai saja, Mad. Aku tahu kamu baru menikah, kasihan kalau langsung disuruh kerja terus. Karena nanti kalau sudah ada anak, bulan madu tak lagi sama. Apalagi kan sekarang kamu lagi fresh fresh-nya melakukan hal itu. Yo nggak!? Hahaha!" Anton menaikturunkan alisnya.Ahmad tertawa kecil, lalu melirik jam dinding di ruang perawat. "Kalau begitu, aku akan bicara dengan Pak Soni dulu soal cuti. Semoga beliau setuju."Anton mengangguk. "Ya, semoga saja. Sekarang ayo kita selesaikan tugas dulu."Mereka berdua mulai menyuntik pasien satu per satu sesuai dengan daftar yang sudah disiapkan. Ahmad dengan telaten menjelaskan kepada pasien sebelum menyuntikkan obat, sementara Anton memastikan semu
Nggak mungkin janda kayak aku bisa menikah dengan bujang. Pasti sama keluarganya nggak bakal diterima. Tapi ternyata... 😍😘🥰SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA (5) Saya tahu mas masih bujang, dan tidak keberatan menikahi Ana yang janda tanpa anak. Tapi apa mas Ahmad tahu kalau Ana itu saat saya nikahi, dia sudah tidak peraw4n? Tidak ada noda darah sedikit pun di seprei pernikahan kami. Mas Ahmad rugi sekali menikahi mantan istri saya!" ujar Burhan dengan terkekeh. Ahmad menatap Burhan dengan ekspresi datar, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ia mengangkat bahu dengan santai, seolah perkataan mantan suami Ana barusan tidak lebih dari sekadar angin lalu."Mas Burhan, mas ini aneh," ujar Ahmad dengan nada ringan. "Kalau sudah cerai dengan mantan istri, seharusnya mas nggak usah kepo dengan kehidupan Ana. Saya saja tidak tahu dengan mas Burhan, apalagi mas juga tidak diundang di pernikahan saya dan Ana, kan? Lalu, darimana mas tahu tentang nama saya dan pernikahan saya? J