Share

suami 2

Author: ananda zhia
last update Last Updated: 2025-04-06 13:19:12

Nggak mungkin janda kayak aku bisa menikah dengan bujang. Pasti sama keluarganya nggak bakal diterima. Tapi ternyata... 😍😘🥰

SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA (2)

"Masih muda, kok, nikah sama janda sih? Sayang banget..." gumamnya, tapi cukup keras untuk didengar Ana.

Ana terkejut. Seakan ada sesuatu yang menghantam dadanya begitu keras. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

Suaminya, yang tengah menghitung uang, langsung menoleh. Wajahnya yang biasanya santai berubah dingin. Diterima nya pesanan dari anak sang penjual, lalu setelah menberikan ua ng pas, sang suami menatap serius ke arah ibu penjual nasi di hadapannya.

"Bu, jaga ucapan, ya," ucapnya ta j am.

Si penjual mendengus. "Ya, maaf, cuma kasihan aja. Mas kan masih lajang..."

Ana merasa wajahnya memanas. Matanya menatap ke bawah, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang tiba-tiba menyeruak di hatinya.

"Kita pergi aja, Mas," bisiknya lirih.

Suaminya menatapnya sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa, ia meraih tangan Ana dan menggenggamnya erat.

"Bu, terima kasih. Tapi kalau cuma mau nyinyir, lain kali saya beli di tempat lain saja."

Tanpa menunggu jawaban, suaminya menarik Ana pergi, meninggalkan si penjual yang terdiam.

Ana berjalan di samping suaminya dengan dada sesak. Rasa bahagia karena mendapat mertua yang baik seakan tergeser oleh perkataan taj am tadi.

"Kenapa diam?" tanya suaminya lembut.

Ana menggeleng. "Enggak apa-apa."

Suaminya mende s ah, lalu berhenti dan menatap Ana lekat-lekat.

"Jangan dengerin omongan orang. Aku nikahin kamu bukan karena kasihan, bukan karena gak punya pilihan, tapi karena aku memang mau sama kamu.

Udara pagi masih terasa sejuk ketika Ana dan Ahmad tiba di rumah. Suasana rumah mertua Ana begitu tenang, hanya terdengar suara burung gereja berkicau di atap. Ana masih memikirkan ucapan pedas Mbok Darmi, penjual nasi uduk tadi. Seperti duri yang menusuk hatinya, kata-kata itu sulit diabaikan.

Ahmad membuka pintu dan langsung menuju ruang tamu, tempat ibunya, Sari, tengah duduk sambil melipat baju. Wajah Ahmad masih menunjukkan ketidaksenangan atas kejadian tadi.

"Mama, tadi Mbok Darmi bilang sesuatu yang gak enak ke Ana," ucap Ahmad, suaranya terdengar menahan em os i.

Sari menoleh dengan tenang, meletakkan lipatan baju di pangkuannya. "Apa yang dia bilang?"

Ahmad menghela napas, lalu menatap Ana yang masih berdiri di ambang pintu, ragu untuk masuk.

"Dia bilang, 'Masih muda kok nikah sama janda? Sayang banget,'" ujar Ahmad, mengulang ucapan si penjual.

Sari terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ditariknya Ana ke dalam pelukannya, mengusap ke pa la menantunya yang tertutup jilbab dengan lembut.

"Sabar, yo, Nduk. Ujian pernikahan itu macam-macam. Ada yang datang dari suami, istri, anak, bahkan tetangga. Jangan dengarkan kata orang. Yang penting, Mama dan Ahmad sayang sama kamu. Jangan pernah merasa sendiri, ya? Kita keluarga di sini," ucapnya dengan suara penuh kasih.

Mata Ana terasa panas, tetapi bukan karena kesedihan, melainkan karena rasa haru. Kata-kata Sari menghangatkan hatinya. Sejak ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi, dunia Ana tak lagi sama. Ia sering merasa sendirian, seolah tak punya tempat berpulang. Tapi sekarang, di rumah ini, ia merasakan kehangatan keluarga kembali.

Ana tersenyum sumringah. "Terima kasih, Mama..."

Sari tersenyum lembut. "Ya sudah, sekarang sarapan dulu. Mbok Darmi boleh nyinyir, tapi perut tetap harus kenyang."

Ana mengangguk dan segera menyiapkan piring untuk mereka bertiga. Sari mengambilkan lauk, sementara Ahmad menuangkan teh hangat ke gelas. Sarapan berlangsung dalam suasana yang lebih tenang. Ana berusaha mengabaikan kata-kata buruk yang tadi didengarnya dan menikmati kebersamaan dengan keluarga barunya.

Setelah selesai makan, Ana bergegas mencuci piring. Air mengalir dari keran, membilas sisa-sisa makanan di piring dengan cepat. Rencananya, setelah mencuci piring, ia akan menyapu lantai. Namun, saat ia berbalik, matanya terbelalak melihat Ahmad sudah lebih dulu mengambil sapu dan mulai membersihkan lantai ruang tamu.

"Kamu nyapu, Mas?" tanya Ana takjub.

Ahmad menoleh dan tersenyum. "Iya. Memangnya aneh?"

Ana menggeleng pelan. "Enggak aneh, cuma... aku gak nyangka aja."

Ahmad terkekeh. "Pernikahan itu kerja sama, kan? Lagipula, kalau nunggu kamu selesai semuanya, bisa-bisa kita berdua capek bareng. Mending bagi tugas."

Ana tersenyum, lalu melangkah mendekat. Ia mengulurkan tangan, memeluk Ahmad dengan erat. Tubuh suaminya hangat dan nyaman, membuat Ana merasa semakin tenang.

Ahmad tersenyum kecil, lalu mengecup puncak kepala Ana. "Apa ini? Mau minta jatah lagi kayak semalam?" godanya dengan suara rendah.

Ana langsung tersipu. Pipinya merona, dan ia buru-buru mencubit pinggang Ahmad. "Ih, Mas! Jangan ngomong gitu!"

Ahmad tertawa, menikmati ekspresi malu-malu istrinya. "Lho, salah sendiri pel uk-pel uk duluan."

Ana menunduk, menyembunyikan wajahnya yang semakin panas. Ahmad tersenyum puas melihat reaksinya.

Setelah momen hangat itu, Ahmad berpamitan pada ibunya untuk berangkat kerja. "Ma, aku berangkat dulu. Dinas pagi," katanya sambil mengenakan sepatu.

Sari menatap putranya dengan perhatian. "Kenapa gak ambil cuti pernikahan lebih lama aja? Kan bisa sekalian ajak Ana bulan madu."

Ahmad tersenyum kecil. "Teman-teman di rumah sakit udah banyak yang cuti, Ma. Kalau aku ikut ambil cuti, kasihan yang lain."

Sari menghela napas, lalu mengangguk. "Ya sudah, yang penting jangan kecapekan."

Ana mengantarkan Ahmad sampai ke gerbang. Ahmad menatap istrinya sesaat sebelum tersenyum dan mengusap pipinya. "Jangan mikirin kata orang, ya. Aku pulang sore nanti," ujarnya lembut.

Ana mengangguk, menatap Ahmad yang menaiki scoopynya dan semakin menjauh hingga akhirnya menghilang di tikungan jalan.

Baru saja Ana hendak berbalik masuk ke dalam rumah, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangnya.

"Pagi, Mbak. Salam kenal. Saya mantan pacar Mas Ahmad."

Ana sontak menoleh.

Di belakangnya, seorang gadis muda berdiri dengan senyum manis. Ana mengenali wajah itu—anak dari penjual nasi uduk tadi.

Jantung Ana berdegup kencang. Apa yang sebenarnya diinginkan gadis ini?

Next?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA   Suami 37 B

    Mertuanya hanya menatap Nisa tanpa berkata apapun. Sebenarnya dia ingin meluapkan kekesalan dan memaki Nisa karena kata Desi dan Dewi, Anton tidak mau menunggunya semalam karena dihasut Nisa. Tapi lidah nya terasa kelu dan tidak bisa bersuara dengan baik. Tak lama kemudian, Anton pamit untuk sholat, meninggalkan Nisa dan ibunya berdua. Suasana terasa canggung. Sebenarnya Nisa juga merasa tatapan mertua nya tidak enak padanya, tapi Nisa berusaha untuk tetap tegar dan bersikap baik pada beliau.Tak lama kemudian, datanglah petugas dapur rumah sakit yang membawakan snack sore. Nisa tersenyum dan mendekati tempat tidur. "Bu, mau saya bantu makan buburnya?" tanyanya lembut.Ibu Anton mengangguk pelan. Nisa dengan telaten menyuapi sang ibu mertua, memastikan tidak ada bubur yang tercecer. Awalnya, mertuanya merasa tidak nyaman, tapi perlahan ia mulai terbiasa. Melihat kelembutan Nisa, hatinya mulai melunak, apalagi dia merasakan perlakuan dan ucapan Nisa yang jauh lebih lembut dan telaten

  • SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA   Suami 37 A (tamat)

    "Nggak. Ilmu darimana itu. Istri hanya wajib patuh pada suami. Nggak wajib merawat mertua! Apalagi Nisa sedang hamil besar. Hampir sembilan bulan! Aku tak ingin anak istriku kenapa - napa. Jadi malam ini dan besok pagi, kalian atur saja siapa yang menemani ibu di rumah sakit. Besok siang, biar aku yang menemani ibu setelah pulang kerja. Tapi aku tegas kan lagi, jika aku dan Nisa tidak bisa menginap di rumah sakit saat malam," ujar Anton tegas sambil menggenggam tangan sang istri. "Anton! Apa maksudmu? Kamu sudah tidak sayang lagi sama Ibu?" suara Desi meninggi.Anton menarik napas dalam. "Bukan begitu, Mbak. Aku tetap sayang sama Ibu. Tapi aku juga punya istri yang sedang hamil besar. Aku ingin jadi suami yang adil dan bijaksana."Dewi mendengus sinis. "Bijaksana? Jangan bilang Nisa yang menghasutmu sampai begini! Dia sudah mencuci otakmu!"Anton menggeleng pelan. "Tidak ada yang mencuci otakku, Mbak. Aku sadar sendiri. Aku ingin menjadi suami yang bertanggung jawab. Aku tidak mau te

  • SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA   Suami 36 B

    Nisa melambaikan tangannya saat Anton berangkat dengan menaiki motor nya untuk bekerja. Dia mengelus perut buncitnya yang selalu dicium dan dielus oleh Anton setiap saat. Bahkan Anton selalu pamit pada anak di dalam perutnya saat berangkat kerja. Dan selalu dibalas dengan gerakan serta tendangan lembut dari kaki sang bayi yang membuat Nisa tersenyum karena merasa geli. Setelah menutup dan mengunci pintu, Nisa pun merebahkan diri sejenak di kasur yang ada di ruang tengah dengan menonton tivi. Mendadak Nisa teringat ucapan mertuanya yang tidak memperbolehkan nya bersantai sebelum dia menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menyingkirkan pikiran buruk. Dengan sabar, Nisa lalu bangkit dan mulai membereskan rumah, mencuci pakaian, dan memastikan semua dalam keadaan rapi sebelum akhirnya duduk di ruang tengah kembali. Baru saja ia meraih remote untuk menyalakan TV, suara ketukan terdengar dari arah pintu depan."Siapa ya?" gumamnya, bangkit dan berjalan

  • SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA   suami 36 A

    "Ana, maafkan Ayah!"Ana tertegun di ambang pintu. Dadanya berdegup kencang, tangannya mencengkeram selendang di bahunya. Pria paruh baya di hadapannya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Ayah?" Suaranya tercekat. "Kenapa kemari?"Surya, pria itu, ayahnya, tersenyum kaku. "Ayah minta maaf, Ana," katanya lirih. "Ayah tahu, ayah tidak punya malu karena baru minta maaf sekarang. Tapi ayah benar-benar tulus ingin meminta maaf padamu."Ana menggigit bibirnya. Kenangan lama berkelebat di kepalanya—makanan sisa yang harus ia telan, bentakan ayahnya saat ia mengadu, keputusan ayahnya yang hanya membiayai Darma, lalu paksaan menikah dengan Burhan.Matanya panas. Ingin rasanya ia mencari kehangatan di pelukan Ahmad, tapi suaminya sedang dinas pagi. Yang bisa ia lakukan hanya menarik napas panjang, mencoba mengendalikan gejolak hatinya.Ana ingin menangis dan berteriak di depan wajah ayahnya lalu menceritakan semua kesulitan yang didapatkannya saat ana diusir dari rumah pasca berpis

  • SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA   Suami 35 B

    "Layanan kamar, Sayang!" ujar Ahmad dengan riang. Ana tersenyum berbinar dan haru melihat suaminya yang begitu perhatian padanya. "Kamu... Kok tahu kalau aku lapar, Mas?" tanya Ana dengan senyum manisnya saat Ahmad meletakkan bakinya di atas nakas. "Kamu kan ibu menyusui, pasti cepat lapar lah. Aku tahu, Yang. Kamu susuin anak kita saja. Biar aku yang menyuapimu," ujar Ahmad. Ana yang sedang bersandar di dipan ranjang sambil duduk dan menyusui anaknya langsung membuka mulut. "Wah, boleh. Aaaaa!"Ahmad tertawa dan mengambil potongan buah, lalu menyuapkannya ke mulut sang istri. "Hm, manis, dingin, seger! Terimakasih, Mas! Kamu baiiiik sekali padaku. Semoga rejeki kamu semakin melimpah dan berkah, Mas!" ujar Ana tulus. "Aamiin, Yang. Apa sih yang enggak buat istri sholihah yang selalu ikhlas merawatku dan ibuku," sahut Ahmad. "Mas, apa kamu nggak capek? Tadi sepertinya kamu paling sibuk saat acara aqiqah Ihsan," tanya Ana. "Kok sekarang malah begadang membantu ku merawat Ihsan? B

  • SUAMI DAN MERTUA DARI SYURGA   Suami 35 A

    Keheningan menelan ruangan. Ana berhenti mengayun bayinya, Anton menegang di kursinya, dan Nisa menutup mulut dengan tangan gemetar. Ahmad menatap mbok Darmi, mencari kepastian di wajah tetangganya itu."Pasti ketularan Mas Burhan, ya?" Ana bertanya pelan, nyaris berbisik.Mbok Darmi mengangguk sambil terisak. "Kamu betul, Ana. Burhan lah yang menulari Wulan. Huhuhu… kalau tahu Burhan mengidap penyakit HIV, aku nggak mungkin menyetujui hubungan mereka dulu!"Ana menggigit bibirnya, prihatin pada Wulan, merasakan campur aduknya yang dirasakan Wulan sekarang. "Dan lagi," lanjut Mbok Darmi dengan suara serak, "Burhan sekarang sudah meninggal… karena dilenyapkan oleh Neni."Ahmad mengangguk. "Kalau soal itu, saya sudah tahu, Mbok. Jadi Wulan baru tahu tentang penyakit nya saat ini?"Mbok Darmi mengangguk lagi. "Neni membunuh Burhan, entah untuk membela diri saat Burhan datang ke rumah Neni dengan mengamuk karena ketularan HIV. Dan setelah pulang dari kantor polisi karena terlibat dana

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status