LOGIN“Bu Karnias, maaf ya! Suamimu akan saya manjakan hari ini! Mungkin lain kali bakal jadi giliran Anda! Mu–mungkin juga tidak, ah…!” ucap Bu Linda dengan suara lembut sebelum terputus ketika merasakan sengatan listrik dari salah satu puncak gunung kembar miliknya yang dihisap dengan ganasnya oleh makhluk buas bernama Donfa Kragar.
Karnias Saputri melotot ketika mendengarnya sekaligus geram ketika melihat pemandangan suaminya sendiri begitu ganas meremas dan menghisap tubuh sensitif yang besar sekaligus kenyal miliknya Bu Linda, tepat di depan matanya. Perasaan marah, benci, dan dendam yang sulit terlukiskan terasa bercampur aduk menjadi satu dalam momen bejat semacam itu.
Pengalaman hidup yang mustahil dilupakan oleh Karnias Saputri, tak peduli apa yang terjadi ke depannya. Entah berapa lama rasa mengganjal di dalam hatinya akan terus ada. Selama terus didiamkan dan tidak ada sesuatu yang dapat melunturkannya, perasaan rumit akan terus menerus mendiami isi hatinya hingga membuatnya kehilangan akal sehat.
“Sungguh menyesal aku menikahi pria bejat sepertimu, Mas Donfa! Tidak disangka, beginilah sosokmu yang sebenarnya! Sebejat inikah rupanya sosok pria yang pernah aku cintai selama ini!” pikir Karnias Saputri mulai menyalahkan dirinya sendiri sampai meneteskan air mata kesedihan yang mungkin untuk terakhir kalinya.
Dengan berat hati, Karnias Saputri memutuskan untuk segera keluar dari dalam ruangan terkutuk tersebut. Momen dari masa lalu perlahan-lahan muncul dalam ingatannya, saat-saat di mana dia pernah benar-benar jatuh cinta hingga memutuskan untuk menerima lamaran nikahnya Donfa Kragar.
***
Sepuluh tahun yang lalu, Karnias Saputri masih berusia sekitar 19 tahun. Wajahnya yang rupawan didukung dengan tubuhnya yang elegan seolah melekat pada jati dirinya. Karnias Saputri tidak hanya sebatas cantik di luarnya saja, melainkan hatinya juga tak kalah memukau pandangan orang-orang terhadapnya.
“Karnias, kamu ini apa gak lelah suka bantuin kerjaan orang lain? Saya melihat kinerja kamu sudah terlalu melebihi kapasitas yang seharusnya ditugaskan kepadamu loh. Kalau begini terus, lama-lama kamu pasti akan kelelahan sendiri!” ungkap seorang pria tua yang merupakan atasan kerjanya Karnias Saputri.
Karnias Saputri tersenyum malu sambil berkata, “Tidak ada masalah sama sekali kok, Pak! Karnias memang sudah biasa dan merasa senang kalau bisa membantu orang lain. Memang melelahkan kalau dipikir-pikir, tapi akan terbiasa juga kalau didukung dengan niat kuat di dalam hati.”
Pria tua menggelengkan kepalanya sambil tersenyum pahit mendengar jawaban yang tidak biasa dari lawan bicaranya tersebut. “Hadeh, kamu ini memang aneh! Tidak ada tambahan gaji sekalipun kamu bekerja berlebihan. Belum lagi, kamu masih karyawan baru dan hanya lulusan SMA saja. Sulit untuk dipromosikan kalau tidak lulusan sarjana. Lebih baik santai saja, kerja sambil belajar sehingga bisa segera melanjutkan kuliah atau mungkin buka usaha sendiri.”
Karnias Saputri hanya tersenyum dalam hatinya membatin, “Saya sudah tahu akan hal itu. Karenanya, membantu pekerjaan orang lain juga termasuk proses belajar. Masalah kuliah, hmm…. Semoga saja ada kesempatan!”
Seketika ingatan tentang keluarga muncul kembali. Sebagai informasi, Karnias Saputri adalah anak yatim piatu sejak berusia tujuh tahun. Pasalnya, kedua orang tuanya meninggal dunia akibat insiden kecelakaan pesawat yang jatuh saat keduanya sedang berangkat bersama ke luar Jawa menuju Kalimantan demi masalah pekerjaan.
Tidak ada yang menyangka kalau perpisahan yang seharusnya hanya sementara saja bisa berubah 180 derajat jauhnya menjadi sebuah tragedi malapetaka yang membuat Karnias Saputri yang merupakan anak tunggal, seketika menjadi anak sebatang kara. Tanpa kedua orang tuanya, Karnias Saputri masih terbilang beruntung karena kakek dan neneknya masih hidup.
Namun, yang namanya keluarga biasa-biasa saja, kondisi ekonomi kakek dan neneknya terbilang tidak terlalu besar. Hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan Karnias Saputri sampai sebatas SMA saja. Meski begitu, Karnias Saputri selalu merasa bersyukur dalam hidupnya dan menolak untuk merasa kecewa sedikit pun.
“Hidup semua orang memang berbeda, Pak. Ada yang berkecukupan dan ada pula yang harus mengais dengan kerja keras. Karnias terbilang beruntung, tapi masalah kuliah memang masih agak berat. Rencananya, Karnias ingin mendapatkan beasiswa. Sayangnya, saya masih kesulitan bersaing dengan peserta lain dari seluruh penjuru Indonesia.”
Karnias Saputri berkata-kata dengan tenang untuk merespon perkataannya pak tua itu. Keduanya berada di dalam ruangan kerja dengan banyak komputer yang sudah sunyi karena memang waktu malam telah tiba dan semua orang yang bekerja di sana sudah pulang sejak lama sehingga hanya menyisakan Karnias Saputri dan atasannya saja.
Pria tua itu menghela napasnya sambil berkata, “Dari perkataanmu, Bapak bisa sedikit memahami kondisi keluarga yang ada di belakang layar, mendukung serta menjadi tanggungan hidupmu. Persaingan di Indonesia memang semakin ketat, jadi tidak ada salahnya untuk memikirkan segala macam kemungkinan yang ada.”
Pria tua terdiam sesaat sebelum kembali melanjutkan, “Ya sudahlah, Bapak tidak akan berbicara banyak. Hanya ingin mengingatkan untuk berhati-hati dan terus menjaga kesehatan. Batasan tubuhmu hanya kamu sendiri yang tahu, tapi perlu disadari kalau tidak ada yang namanya manusia super di dunia ini. Hanya ada manusia biasa yang pasti merasakan sensasi yang namanya lelah!”
Karnias Saputri menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik, Pak. Karnias Saputri sadar betul akan hal itu. Terima kasih atas nasehatnya.”
“Okelah, kalau begitu Bapak pulang dahulu. Jangan malam-malam kerjanya, pastikan jam sembilan malam sudah pulang!” ujar pria tua itu sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan Karnias Saputri yang masih seorang diri di depan layar komputernya.
“Tuan Jurgan Kragar? Malam-malam begini, mengapa beliau menghubungi saya? Mungkinkah karena urusan besok di perusahaan cabang bersama Tuan Muda Donfa Kragar?” gumam Pak Buwir seolah mencoba menebak-nebak kemungkinan tersembunyi mengapa dirinya dihubungi oleh ayahnya Donfa Kragar secara langsung.Tak ingin terus menebak-nebak tanpa dasar alasan yang jelas, Pak Buwir segera menjawab panggilan masuk tersebut. “Halo, Tuan! Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”Pak Buwir tampak berhati-hati dalam kata-katanya. Di sisi lain, Jurgan Kragar tengah berada di dalam ruang kerja, tepat di kediaman utama milik Keluarga Kragar. Ekspresi wajahnya yang sudah keriput begitu sulit ditebak, tapi jelas sekali kalau sorot matanya begitu dingin rasanya.“Hmph! Bocah nakal itu ada di mana sekarang? Dari tadi saya coba hubungi, malah tidak dijawab-jawab dan bahkan sengaja dimatikan! Sudah bosan hidup kah, bocah tidak tahu diuntung itu, hah?!” teriak Jurgan Kragar begitu nyaring terdengar meski sebatas panggilan m
Meski berisik dengan suara-suara lagu yang diputar, keheningan di antara orang-orang di dalamnya terasa sangat jelas apabila diamati. Semuanya berfokus kepada Donfa Kragar seolah menyiratkan kalau Donfa Kragar memilih untuk diam, maka semuanya akan diam di detik itu juga.Untungnya, tidak lama kemudian ada seorang pelayan yang mengetuk pintu kemudian masuk ke dalam. Ternyata, pelayan tersebut mengantarkan sejumlah botol yang jelas isinya adalah minuman keras yang memabukkan. Kedua temannya seolah menemukan angin segar untuk memulai pembicaraannya sekali lagi.“Hehe, akhirnya yang dinantikan tiba juga. Minum lagi, ayo minum lagi semuanya! Puaskan dirimu dan lepaskan beban yang mengusik pikiran kita semua!” seru salah satu temannya Donfa Kragar.Mendengar itu, Donfa Kragar melirik sejenak sebelum berkata, “Baiklah, ayo minum saja sepuasnya! Tak lama lagi, aku harus segera pulang juga!”“Haha, wokeh!” sahut semua orang bersamaan.Mereka bersemangat dalam hati masing-masing sampai menegak
Karnias Saputri melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam lebih lima belas menit. Dalam keheningan, Karnias Saputri bergumam pelan, “Jam sembilan malam ya? Masih ada cukup waktu untuk menyelesaikan sisa pekerjaanku ini. Semangat Karnias, kerja keras pastinya tidak akan mengkhianati hasil akhirnya!”Sambil menepuk pipinya sendiri, bola matanya Karnias Saputri langsung terbuka lebar-lebar sebagai tanda dirinya yang tidak kenal lelah. Karnias Saputri termasuk beruntung karena bisa mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan cabang milik Keluarga Kragar. Penerimaan karyawannya tidak mematok ijazah kuliah sehingga Karnias Saputri yang masih SMA bisa ikut melamar.Tentunya, Karnias Saputri tidak melamar dengan tangan kosong apalagi tanpa persiapan sedikit pun. Bisa dibilang kalau Karnias Saputri termasuk orang yang cerdas. Meski tidak terlalu memukau secara akademik, setidaknya dia tekun dan teliti sehingga pekerjaannya sangat enak dilihat mata.Karnias Saputri
“Bu Karnias, maaf ya! Suamimu akan saya manjakan hari ini! Mungkin lain kali bakal jadi giliran Anda! Mu–mungkin juga tidak, ah…!” ucap Bu Linda dengan suara lembut sebelum terputus ketika merasakan sengatan listrik dari salah satu puncak gunung kembar miliknya yang dihisap dengan ganasnya oleh makhluk buas bernama Donfa Kragar.Karnias Saputri melotot ketika mendengarnya sekaligus geram ketika melihat pemandangan suaminya sendiri begitu ganas meremas dan menghisap tubuh sensitif yang besar sekaligus kenyal miliknya Bu Linda, tepat di depan matanya. Perasaan marah, benci, dan dendam yang sulit terlukiskan terasa bercampur aduk menjadi satu dalam momen bejat semacam itu.Pengalaman hidup yang mustahil dilupakan oleh Karnias Saputri, tak peduli apa yang terjadi ke depannya. Entah berapa lama rasa mengganjal di dalam hatinya akan terus ada. Selama terus didiamkan dan tidak ada sesuatu yang dapat melunturkannya, perasaan rumit akan terus menerus mendiami isi hatinya hingga membuatnya kehi
“Donfa Kragar, mencintai pria laknat sepertimu benar-benar kesalahan terbesar dalam hidupku! Aku pasti akan mengingat rasa sakit ini seumur hidupku! Kau tunggu saja balasan dariku, pasti berkali-kali lebih dahsyat dari penyiksaanmu selama ini!” pikir Karnias Saputri dalam hatinya yang benar-benar membenci dan mulai menyimpan dendam.Donfa Kragar tidak tahu isi hatinya Karnias Saputri, lebih tepatnya memang tidak mau tahu sama sekali. Alhasil, Donfa Kragar semakin ganas terus memukuli istrinya sendiri tersebut tepat di hadapan selingkuhannya. Sebuah kelakuan bejat yang sungguh sulit digambarkan hanya beberapa kata saja. “Gawat! Donfa ini benar-benar sudah terlalu berlebihan! Aku harus menghentikannya sekarang juga!” pikir Bu Linda yang sudah tak tega melihat Karnias Saputri terus menerus digampar selayaknya samsak tinju oleh Donfa Kragar tanpa memberikan sedikit pun perlawanan.“Cukup, Pak Donfa! Jangan terlalu keras memukulinya! Nanti kalau dia pingsan, bakal sulit mengurusnya! Lagi
Karnias Saputri segera menunjukkan jari telunjuknya sambil melangkah maju ke arahnya Bu Linda. Raut wajahnya yang cantik benar-benar memudar dengan amarahnya yang memuncak hingga membuatnya mendidih karena tak tahu harus berbuat apalagi demi melampiaskan amarahnya yang mengganjal di dalam hatinya tersebut.“Kau…! Masih beraninya kau tersenyum mengejek kepadaku, hah?! Dasar rubah berbisa, kau pantas mati seribu kali!” teriak Karnias Saputri dengan nada tinggi ketika mengutuk Bu Linda dalam amarahnya.Donfa Kragar menyipitkan matanya ketika mendengar bentakan istrinya tersebut. “Lancang sekali mulutmu, hah?! Cepat minta maaf yang tulus kepada, Bu Linda! Jangan coba-coba berani beranjak pergi dari tempat ini sebelum kau melakukannya tepat di depan hadapanku dan Bu Linda! Minta maaf sekarang juga!”Karnias Saputri yang sudah kehilangan akal seolah kembali tersadar dari amarahnya. Tatapan matanya seolah tidak percaya ketika mendengar suaminya berkata-kata tidak tahu malu dan mustahil masuk







