LOGINKarnias Saputri melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam lebih lima belas menit. Dalam keheningan, Karnias Saputri bergumam pelan, “Jam sembilan malam ya? Masih ada cukup waktu untuk menyelesaikan sisa pekerjaanku ini. Semangat Karnias, kerja keras pastinya tidak akan mengkhianati hasil akhirnya!”
Sambil menepuk pipinya sendiri, bola matanya Karnias Saputri langsung terbuka lebar-lebar sebagai tanda dirinya yang tidak kenal lelah. Karnias Saputri termasuk beruntung karena bisa mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan cabang milik Keluarga Kragar. Penerimaan karyawannya tidak mematok ijazah kuliah sehingga Karnias Saputri yang masih SMA bisa ikut melamar.
Tentunya, Karnias Saputri tidak melamar dengan tangan kosong apalagi tanpa persiapan sedikit pun. Bisa dibilang kalau Karnias Saputri termasuk orang yang cerdas. Meski tidak terlalu memukau secara akademik, setidaknya dia tekun dan teliti sehingga pekerjaannya sangat enak dilihat mata.
Karnias Saputri melamar pekerjaan sebagai admin yang bertugas mendata sebanyak mungkin calon pelanggan serta berkomunikasi dengan mereka sebaik mungkin. Kemampuan Karnias Saputri dalam berkomunikasi yang sopan sekaligus komunikatif membuatnya menonjol saat tes lamaran kerjanya tersebut.
Belum lagi, Karnias Saputri juga cukup jago di bidang komputer dan pengelolaan media sosial. Bersaing dengan para pelamar kerja lainnya, Karnias Saputri akhirnya bisa berhasil diterima bekerja di perusahaan cabang tersebut. Sudah hampir satu tahun lamanya berlalu, Karnias Saputri dengan giat bekerja semampunya di sana.
“Aku harus tetap semangat. Meski seorang diri tanpa ayah dan ibu, aku masih punya kakek dan nenek yang belum bisa aku membalas budi atas kebaikan mereka karena telah membesarkanku hingga hari ini. Tidak ada pilihan selain tekun dan kerja keras, hasil akhirnya pasti sangat segar ibarat buah yang dipetik dari kebun sendiri!” gumam Karnias Saputri kembali menyemangati dirinya sendiri.
Larut malam akhirnya berjalan dalam hening di ruangan tempatnya Karnias Saputri bekerja. Namun, tidak di tempat lain yang dipenuhi dengan kebisingan akan suara-suara nyanyian lagu di dalam ruangan karaoke. Sosok pria tampan yang tidak lain adalah Donfa Kragar berada di sana, duduk santai di atas sofa sambil ditemani sejumlah gadis cantik di kedua sisinya.
Di sekitarnya, masih banyak pria dan wanita lainnya yang sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, menikmati malam hari dengan kebisingan berbalut nyanyian lagu. Minuman keras berjejeran di sana, Donfa Kragar termasuk salah satu yang mengonsumsinya dengan perasaan seolah masih belum bisa terpuaskan.
“Ah…! Minuman keras ini sudah terasa tidak memabukkan sama sekali bagiku! Benar-benar membosankan!” ujar Donfa Kragar menggerutu dengan kesal bernada suara yang cukup kasar.
Para wanita penghibur di kedua sisinya terdiam membisu seolah takut mengganggu Donfa Kragar. Meski begitu, mereka tetap menampilkan senyuman yang manis seolah hal-hal semacam ini sudah biasa di tempat semacam itu. Donfa Kragar tidak lebih merupakan salah satu pelanggan yang memang sulit diatur.
“Haha, ada apa memangnya, Donfa? Jangan bilang kalau kamu ada masalah dengan pewarisan dari ayahmu itu lagi!” ucap salah teman prianya Donfa Kragar sambil tertawa terbahak-bahak.
“Hoho, mungkinkah ayahmu tidak akan mewariskan harta kekayaannya Keluarga Kragar kepadamu? Kalau benar begitu, hehe, pasti pusing sekali kan kepalamu saat ini. Para pelayan, cepat ambilkan beberapa botol lagi untuk Tuan Muda Donfa Kragar. Biarkan Tuan Muda kita ini bisa melepaskan stressnya saat ini, setidaknya walau hanya sesaat saja!” Temannya Donfa Kragar yang lainnya ikut berkata-kata.
“Baik, Tuan Muda! Minuman yang dipesan akan segera diantarkan, mohon bersabar!” sahut salah satu pelayan yang dengan cepat memposisikan dirinya untuk bergegas keluar ruangan demi mendapatkan apa yang diminta oleh temannya Donfa Kragar itu.
Donfa Kragar tersendiri hanya bisa tersenyum pahit sambil menggelengkan kepalanya ketika mendengar ocehan kedua temannya yang terlibat dalam pembicaraan. “Kalian tidak sepenuhnya benar, tapi inti masalahnya memang tidak terlalu jauh dari masalah pewarisan Keluarga Kragar!”
Kedua temannya terkejut sesaat sambil saling melirik satu sama lain. Salah satunya mulai bertanya, “Tidak sepenuhnya benar? Berarti tidak sepenuhnya salah juga, kan? Kalau begitu, kebenarannya yang penuh terletak di mana?”
“Betul tuh, kasih tahu kami di sini masalahmu itu kayak apa sekarang?!” sahut temannya yang lain.
Donfa Kragar melirik ke arah dua teman dekatnya tersebut sambil berpikir dalam hatinya, “Masalah ini sungguh memalukan bagiku! Dua orang ini tidak boleh sampai tahu masalahnya! Kalau tidak, mau ditaruh di mana harga diriku ini, kan? Sial, ingin sekali mengeluh, tapi di sini bukanlah tempatnya yang tepat. Cukup minum-minum saja sebelum kembali ke hotel!”
Setelah berpikir demikian, Donfa Kragar akhirnya berbicara santai. “Bukan masalah besar, hanya saja sedikit mengganggu kepalaku. Tidak perlu dipikirkan sama sekali. Lanjutkan minum saja, bentar lagi aku juga mau pulang untuk istirahat!”
Donfa Kragar kembali menegak gelas kaca yang sudah dituangkan minuman keras secara penuh ke dalamnya. Kedua temannya hanya bisa terdiam dalam hening, saling melirik sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk tetap diam. Walaupun status keduanya disebut teman dekatnya Donfa Kragar, mereka berdua tidak lebih baik dari segi status sosial dan jumlah kekayaan yang mendukung di belakangnya.
Dengan demikian, keduanya lebih memilih diam ketika membahas topik yang tidak ingin dibicarakan oleh Donfa Kragar. Semuanya demi tidak bertindak berlebihan apalagi sampai tidak sadar memprovokasi orang sensitif seperti Donfa Kragar yang memang sudah terkenal bermasalah bagi mereka yang mengenalnya dengan baik, termasuk dua teman dekatnya tersebut.
“Tuan Jurgan Kragar? Malam-malam begini, mengapa beliau menghubungi saya? Mungkinkah karena urusan besok di perusahaan cabang bersama Tuan Muda Donfa Kragar?” gumam Pak Buwir seolah mencoba menebak-nebak kemungkinan tersembunyi mengapa dirinya dihubungi oleh ayahnya Donfa Kragar secara langsung.Tak ingin terus menebak-nebak tanpa dasar alasan yang jelas, Pak Buwir segera menjawab panggilan masuk tersebut. “Halo, Tuan! Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”Pak Buwir tampak berhati-hati dalam kata-katanya. Di sisi lain, Jurgan Kragar tengah berada di dalam ruang kerja, tepat di kediaman utama milik Keluarga Kragar. Ekspresi wajahnya yang sudah keriput begitu sulit ditebak, tapi jelas sekali kalau sorot matanya begitu dingin rasanya.“Hmph! Bocah nakal itu ada di mana sekarang? Dari tadi saya coba hubungi, malah tidak dijawab-jawab dan bahkan sengaja dimatikan! Sudah bosan hidup kah, bocah tidak tahu diuntung itu, hah?!” teriak Jurgan Kragar begitu nyaring terdengar meski sebatas panggilan m
Meski berisik dengan suara-suara lagu yang diputar, keheningan di antara orang-orang di dalamnya terasa sangat jelas apabila diamati. Semuanya berfokus kepada Donfa Kragar seolah menyiratkan kalau Donfa Kragar memilih untuk diam, maka semuanya akan diam di detik itu juga.Untungnya, tidak lama kemudian ada seorang pelayan yang mengetuk pintu kemudian masuk ke dalam. Ternyata, pelayan tersebut mengantarkan sejumlah botol yang jelas isinya adalah minuman keras yang memabukkan. Kedua temannya seolah menemukan angin segar untuk memulai pembicaraannya sekali lagi.“Hehe, akhirnya yang dinantikan tiba juga. Minum lagi, ayo minum lagi semuanya! Puaskan dirimu dan lepaskan beban yang mengusik pikiran kita semua!” seru salah satu temannya Donfa Kragar.Mendengar itu, Donfa Kragar melirik sejenak sebelum berkata, “Baiklah, ayo minum saja sepuasnya! Tak lama lagi, aku harus segera pulang juga!”“Haha, wokeh!” sahut semua orang bersamaan.Mereka bersemangat dalam hati masing-masing sampai menegak
Karnias Saputri melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam lebih lima belas menit. Dalam keheningan, Karnias Saputri bergumam pelan, “Jam sembilan malam ya? Masih ada cukup waktu untuk menyelesaikan sisa pekerjaanku ini. Semangat Karnias, kerja keras pastinya tidak akan mengkhianati hasil akhirnya!”Sambil menepuk pipinya sendiri, bola matanya Karnias Saputri langsung terbuka lebar-lebar sebagai tanda dirinya yang tidak kenal lelah. Karnias Saputri termasuk beruntung karena bisa mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan cabang milik Keluarga Kragar. Penerimaan karyawannya tidak mematok ijazah kuliah sehingga Karnias Saputri yang masih SMA bisa ikut melamar.Tentunya, Karnias Saputri tidak melamar dengan tangan kosong apalagi tanpa persiapan sedikit pun. Bisa dibilang kalau Karnias Saputri termasuk orang yang cerdas. Meski tidak terlalu memukau secara akademik, setidaknya dia tekun dan teliti sehingga pekerjaannya sangat enak dilihat mata.Karnias Saputri
“Bu Karnias, maaf ya! Suamimu akan saya manjakan hari ini! Mungkin lain kali bakal jadi giliran Anda! Mu–mungkin juga tidak, ah…!” ucap Bu Linda dengan suara lembut sebelum terputus ketika merasakan sengatan listrik dari salah satu puncak gunung kembar miliknya yang dihisap dengan ganasnya oleh makhluk buas bernama Donfa Kragar.Karnias Saputri melotot ketika mendengarnya sekaligus geram ketika melihat pemandangan suaminya sendiri begitu ganas meremas dan menghisap tubuh sensitif yang besar sekaligus kenyal miliknya Bu Linda, tepat di depan matanya. Perasaan marah, benci, dan dendam yang sulit terlukiskan terasa bercampur aduk menjadi satu dalam momen bejat semacam itu.Pengalaman hidup yang mustahil dilupakan oleh Karnias Saputri, tak peduli apa yang terjadi ke depannya. Entah berapa lama rasa mengganjal di dalam hatinya akan terus ada. Selama terus didiamkan dan tidak ada sesuatu yang dapat melunturkannya, perasaan rumit akan terus menerus mendiami isi hatinya hingga membuatnya kehi
“Donfa Kragar, mencintai pria laknat sepertimu benar-benar kesalahan terbesar dalam hidupku! Aku pasti akan mengingat rasa sakit ini seumur hidupku! Kau tunggu saja balasan dariku, pasti berkali-kali lebih dahsyat dari penyiksaanmu selama ini!” pikir Karnias Saputri dalam hatinya yang benar-benar membenci dan mulai menyimpan dendam.Donfa Kragar tidak tahu isi hatinya Karnias Saputri, lebih tepatnya memang tidak mau tahu sama sekali. Alhasil, Donfa Kragar semakin ganas terus memukuli istrinya sendiri tersebut tepat di hadapan selingkuhannya. Sebuah kelakuan bejat yang sungguh sulit digambarkan hanya beberapa kata saja. “Gawat! Donfa ini benar-benar sudah terlalu berlebihan! Aku harus menghentikannya sekarang juga!” pikir Bu Linda yang sudah tak tega melihat Karnias Saputri terus menerus digampar selayaknya samsak tinju oleh Donfa Kragar tanpa memberikan sedikit pun perlawanan.“Cukup, Pak Donfa! Jangan terlalu keras memukulinya! Nanti kalau dia pingsan, bakal sulit mengurusnya! Lagi
Karnias Saputri segera menunjukkan jari telunjuknya sambil melangkah maju ke arahnya Bu Linda. Raut wajahnya yang cantik benar-benar memudar dengan amarahnya yang memuncak hingga membuatnya mendidih karena tak tahu harus berbuat apalagi demi melampiaskan amarahnya yang mengganjal di dalam hatinya tersebut.“Kau…! Masih beraninya kau tersenyum mengejek kepadaku, hah?! Dasar rubah berbisa, kau pantas mati seribu kali!” teriak Karnias Saputri dengan nada tinggi ketika mengutuk Bu Linda dalam amarahnya.Donfa Kragar menyipitkan matanya ketika mendengar bentakan istrinya tersebut. “Lancang sekali mulutmu, hah?! Cepat minta maaf yang tulus kepada, Bu Linda! Jangan coba-coba berani beranjak pergi dari tempat ini sebelum kau melakukannya tepat di depan hadapanku dan Bu Linda! Minta maaf sekarang juga!”Karnias Saputri yang sudah kehilangan akal seolah kembali tersadar dari amarahnya. Tatapan matanya seolah tidak percaya ketika mendengar suaminya berkata-kata tidak tahu malu dan mustahil masuk







