“Saya akan tinggal di kamar ini bersamamu!”
Serena membelalakkan matanya tak habis pikir dengan pria di depannya ini. Dengan santainya Dante masuk ke dalam kamarnya dengat menyeret kedua kopernya yang terlihat sangat penuh itu. “Berhenti!” Serena menghadang jalan Dante dengan merentangkan kedua tangannya. Tubuhnya yang sebenarnya cukup berisi itu menjadi mungil ketika berada dari jarak sedekat itu dengan Dante. Tidak hanya usia, tinggi keduanya juga terpaut cukup jauh membuat Dante harus menunduk untuk menatap gadis itu. Dante hanya menaikkan sebelah alisnya ketika melihat Serena berusaha menghentikannya untuk masuk. Dari jarak sedekat ini Dante bisa merasakan betapa mungilnya Serena jika dibandingkan dengan tubuhnya yang tinggi jangkung dan berotot kekar. “Kau sudah melewati batas, Tuan Massimo,” ucap Serena dengan nada sinis. “Ada puluhan kamar di mansion ini, kau bisa tidur dimanapun maumu tapi tidak di kamarku!” cercanya marah.'Tubuhnya memang terlihat kecil tapi nyalinya sangat besar' ucap Dante dalam hatinya, dia menyembunyikan senyumnya di wajah datarnya yang terlihat sangat dingin itu. “Saya sebenarnya ingin membicarakan kontrak yang kau maksud tadi, jika kau sudah tidak menginginkannya, maka masalah beres,” jawab Dante membuat ekpresi Serena berubah seketika.Kontrak itu adalah hidup dan matinya saat ini. Entah pria di depan Serena itu tau kalau dia akan menjadi suaminya yang ke-15. Walaupun seluruh orang Italia tau Nona Serena belum menikah, tapi itu benar adanya Serena sudah dinikahkan secara paksa dan rahasia di gereja dan sekarang Dante akan menjadi suami sah pertamanya dan suaminya yang ke-15 sekaligus.“Dante, tunggu.” Serena menarik ujung kemeja milik Dante untuk menghentikan langkahnya.Dante hanya menyeringai kecil karena dia tahu kelemahan gadis ini. Dan Dante bisa menebak apa yang akan Serena ucapkan setelah ini. “Masuklah!” Ucapan Serena seketika membuat Dante tersenyum puas. Sementara Serena berjalan dengan langkah yang sangat berat menuju ke dalam kamarnya.Seumur hidupnya, belum pernah ada pria yang menginjakkan kaki di kamarnya ini karena kamar itu menyimpan banyak sekali kenangan masa kecilnya dengan mendiang ibunya.Suara langkah kaki pria itu membuat Serena sedikit gugup tapi dia berusaha keras untuk tidak terlihat lemah maupun lengah.“Bukankah kamar ini sangat bertolakbelakang dengan citramu, Nona Serena?” tanya Dante sambil melihat setiap sudut ruangannya yang didominasi oleh warna abu-abu dan hitam. Ada banyak lukisan-lukisan yang terlihat cukup menyeramkan bagi Dante dan kamar Serena sangat jauh dari ekspektasi Dante tentang gadis ini. Dante berpikir semua gadis konglomerat apalagi seterkenal Serena akan memiliki kamar bak putri yang didominasi warna cerah. Tapi Serena memang berbeda!Penerangan di kamar Serena juga sangat minim mengingat Serena tidak suka dengan cahaya yang terlalu terang.“Apa tujuanmu ke sini untuk melihat-lihat kamarku? Cepat beritahu aku tentang kontrak itu, aku tidak punya banyak waktu,” jawab Serena dengan nada kesal.Sebenarnya Serena merasa sangat tidak nyaman untuk mengajak pria asing untuk masuk ke kamarnya. Apalagi pria ini adalah Dante Massimo yang merupakan pria paling ditakuti di Italia. Memikirkannya saja sudah membuat Serena pusing.“Apa maumu?” Serena memundurkan langkahnya ketika Dante berjalan mendekat ke arahnya dengan tatapan seperti serigala yang ingin melahap mangsanya yang tepat berada di depan matanya.Perasaan Serena menjadi tak enak ketika memikirkan tak ada satupun penjaga maupun pelayan di lantai 4 ini. Jika pria ini berusaha memperkosa dan membunuhnya maka tamat sudah riwayat Serena. Serena menelan ludahnya susah payah ketika punggungnya sudah membentur tembok tetapi Dante malah semakin berjalan mendekat ke arahnya.“Aku bisa membunuhmu jika kau berani macam-ma…“Agrhhhh!!!”Serena berteriak ketika pria itu merobek kemejanya dengan kasar, meninggalkan Serena yang hanya memakai bra renda merah yang memperlihatkan buah dadanya yang menyembul dari bra yang dia pakai.“Kau gila hah?” bentak Serena dengan sekuat tenganya. Dia langsung menutup bagian dadanya yang terekspos. Dugaannya benar, pria ini berusaha macam-macam dengannya. “Siapa kau sebenarnya?” tanya Dante dengan nada yang sangat mengerikan sambil menekan leher Serena hingga membuatnya tidak bisa berkutik.“Si-apa? Apa mak-sud-mu hah?” tanya Serena dengan nada yang terbata-bata karena kesulitan untuk berbicara. Dante terlihat memeriksa sesuatu di bagian perut atas Serena yang terpampang jelas itu.“Kau m-au ma-ti HAH?” bentak Serena. Dia benar-benar tidak paham jalan pikiran pria di depannya ini.Pertama dia memaksnya untuk tinggal di mansionnya, lalu sekarang memaksa tinggal di sini, di kamar Serena dan sekarang pria itu malah berusaha menelanjangi Serena dan mencekik lehernya.“Jangan pura-pura bodoh! Kita sudah pernah bertemu di Valhala, tanda ini aku melihatnya,” ucap Dante sambil menyentuh tanda lahir Serena yang ada di perut bagian atasnya itu.Serena mengernyit bingung, jadi karena tanda lahir itu Dante sengaja merobek pakaiannya? Tapi ada apa?“Aku tidak pernah pergi ke Valhala, kau pikir aku punya waktu untuk berurusan denganmu?” ucap Serena sarkas. Dia kesulitan untuk berbicara karena Dante mencengkeram lehernya dengan sangat kuat.“Kita melakukannya malam itu, kau memakai penutup mata tapi saya melihat tanda ini, saya masih ingat dan tebakan saya benar, itu kau Nona Serena,” jelas Dante sambil menatapnya dengan sangat intens.Tidak mungkin! Apa karena itu alerginya tidak berlaku untuk Dante? Karena mereka berdua sudah pernah berhubungan intim?Tidak mungkin! Tapi kenapa Serena tidak mengingat apapun sama sekali?Serena masih terhanyut dalam pikirannya ketika Dante secara diam-diam mengeluarkan sebuah suntikan dari saku celananya dan akan mengarahkannya ke leher Serena.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu membuat Dante mengurungkan niatnya dan langsung memasukkan suntikan itu dengan cepat.“Kita tidak akan membahas kontrak pernikahan itu sebelum kau menjelaskan tujuanmu menyusup ke Valhala waktu itu,” ucap Dante sambil melepaskan cengkeraman di leher Serena.Tanpa menunggu lama lagi, Serena langsung memungut kemejanya dan berjalan cepat menuju keluar kamarnya. Seluuruh tubuhnya bergetar, dia perlu Nico.Nico!Nico!“Serena, kau baik-baik saja?” Dominic yang ada di luar kamar Serena terkejut ketika melihat keadaan Serena. Gadis itu kesulitan bernapas dengan tubuh yang bergetar.“Ayo ke kamarku!”Serena mengangguk sambil berusaha mengatur napasnya. Ini bukan saat yang tepat untuk bertemu dengan Nico, itu bisa membuat Dominic mencurigainya.Serena berjalan mengekor di belakang Dominci untuk berjalan menuju ke kamarnya. Dominic segera menutup pintu ketika mereka berdua sudah tiba di kamar Dominic.“Keadaanmu semakin memburuk, Serena. Berbaringlah di sana, aku akan bersiap-siap,” ucap Dominic sambil melepas pakaiannya.“Ada hal penting yang ingin aku katakan.”“Ada apa? Katakanlah!”“Aku baik-baik saja saat menyentuh Dante!” ucap Serena pelan namun pasti.Dominic menghentikan kegiatannya. “APA?!”“Dominic Arthur!”Serena terperanjat kaget ketika dia keluar dari kamar Dominic dan menutup pintu pelan-pelan, tiba-tiba suara Dante yang membaca tulisan yang terpampang di pintu itu keluar begitu saja.“Kenapa kau berkeliaran di sini?” tanya Serena sambil mengerutkan alisnya.Pria itu tak terlihat peduli dengan pertanyaan Serena tapi tatapan matanya sangat tajam dan mengintimidasi, seakan-akan keberadaan Serena adalah hal yang sangat mengganggunya.Pria itu masih mengenakan kemeja putih dengan garis abu-abu yang dia pakai sejak mereka bertemu untuk pertama kalinya. Celana panjang dan sepatu pantofel yang sangat mengkilap. Pria itu pasti langsung datang ke mansion kakek Serena sehabis bekerja di kantornya.“Ikut aku!” Hanya kata itu yang diucapkan pria itu sebelum berjalan mendahului Serena yang jantungnya berdebar tidak karuan.Sejujurnya Serena belum bisa memproses informasi bahwa pria yang tinggal di mansionnya dan akan menjadi suami sahnya itu adalah Dante Massimo. Dari ribuan bah
“HEI KAU TIDAK DENGAR AKU?! CEPAT BUKA GERBANGNYA!” pekik Serena dengan nada marah."APA KALIAN TULI HAH?" bentaknya lagi, namun tak ada yang berpindah dari posisinya untuk membukakan Serena gerbang mansionnya. Enth kenapa puluhan pengawal yang ada di gerbang itu tak meggubris perkataannya. Serena terus memukul bel mobil Tesla yang dia bawa itu saking kesalnya.“Maaf Nyonya, kami diminta untuk tidak mengizinkan anda kemanapun tanpa persetujuan Tuan Massimo.” Hanya itu kata yang diucapkan penjaga gerbang itu, tapi mampu membuat Serena naik darah.“Siapa majikan kalian hah?” tanya Serena dengan nada yang sangat dingin. Kali ini dia tidak berteriak lagi karena tidak ada gunanya membuang-buang tenaga.“Maaf Nyonya.” Seluruh penjaga itu kini menunduk, tak berani memperlihatkan wajahnya.“Hah! Tidak ada yang berjalan dengan benar semenjak aku dijodohkan dengan Dante.” Serena mengetukkan jari-jari lentiknya di stir mobil sembari berpikir.Drtt!!Serena mengernyit ketika melihat nomor tak di
BRAK!!! “Nico, kau gila?” Serena mendorong dada pria itu hingga membentur kaca sebuah hotel mewah di pinggir kota Milan itu. Serena masih merasa sedikit pusing karena Nico menculiknya secara paksa. Serena tadinya akan pulang ke mansion karena pekerjaan di kantornya sudah selesai, tapi tiba-tiba mobil teslanya tidak bisa dihidupkan alhasil Serena menyuruh sekretaris pribadinya untuk membawakannya supir pengganti. Saat sudah masuk mobil, tiba-tiba mulut dan hidungnya dibekap dan Serena pingsan karena obat di kain tersebut. Ketika sadar, wajah Nico yang hampir menciumnya adalah pemandangan pertama yang Serena lihat. Pria ini benar-benar melewati batas! Serena menyesal karena terlibat dengannya. “Sayang, kau tidak rindu padaku?” tanya Nico dengan nada sensual sambil menarik Serena mendekat ke tubuhnya. PLAK!!!! Sebuah tamparan mendarat di wajah tampan milik Nico. Tapi, bukannya marah pria itu malah tersenyum jahil ke arah Serena yang murka. “Apakah tamparan ini mengisyaratkan beta
Serena mengemudikan mobil sekretarisnya yang sangat cepat tanggap itu menuju pulang ke mansionnya. Serena masih terburu-buru walaupun jelas-jelas sudah terlambat sekitar 15 menit. Dante memang sangat otoriter! Bagaimana bisa Serena pulang dari hotel yang ada di pinggiran kota itu ke mansionnya yang ada di pusat kota dalam waktu lima menit? Anginpun tidak mampu berlari secepat itu. Serena hanya mampu menghembuskan napasnya kasar di sepanjang perjalanan. Semakin hari, pria yang akan menjadi suami sahnya itu semakin bertingkah dan berusaha memegang kendali atas hidupnya. “Cih dia mengatakan dia tidak menyukaiku?” cibir Serena sambil berbelok menuju ke area mansionnya yang sangat luas itu. Pria itu dengan percaya dirinya mengatakan bahwa Serena yang suka padanya, dimana di mendapatkan kepercayaan sebesar itu? “Sekarang siapa yang terlihat menyukai siapa?” cibirnya lagi dengan wajah kesal. Pesona seorang Serena Ambrose memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Julukannya adalah the red
“Ya ampun, benar ini calon menantuku?” Seorang wanita dengan pakaian dan perhiasan yang sangat modis itu berdiri sambil menatap Serena dengan tatapan ternganga.Wanita itu terlihat cukup muda, dengan mata yang sama persis seperti manik mata milik Dante. Tidak diragukan lagi gen wanita ini sangat kuat.“Elena, kau membuatnya tidak nyaman,” ucap pria berwibawa yang terlihat persis perawakannya seperti Dante. Melihat sekilaspun tau kalau pasangan ini adalah orang tuanya.“Janga menahan istimu, Reynad. Biarkan dia puas-puas melihat calon menantunya,” sahut Jack—papa Serena yang sudah duduk manis di sebelah papa Dante yang Serena ketahui namanya adalah Reynad.“Hallo, tante, om. Saya Serena Ambrose,” ucap Serena formal sambil memperkenalkan dirinya. Di sampingnya, Dante masih berdiri tanpa mengucapkan apapun.Situasi ini sungguh tiba-tiba bagi Serena, bahkan papa dan kakeknya tidak memberitahunya jik
“Serena, kita akan bertemu sebentar lagi ya, mama titip Dante padamu,” ucap Elena masih dengan senyum merekah di wajah cantiknya. Elena terlihat sangat bahagia mengingat putra satu-satunya yang dia miliki akan segera melepas masa lajangnya yang berkepanjangan itu. Elena dan Reynad pulang karena acara pertemuan dua keluarga sudah selesai. Itupun sudah terlambat 1 jam karena Serena terlambat datang. Anehnya, saat kakek dan papanya menanyakan tadi kenapa dia terlambat, Dante membelanya lagi mengatakan bahwa dia yang lupa menjemput Serena. Padahal, pria itu tidak ada memberitahunya kalau ada acara penting seperti ini. “Jaga kesehatanmu, ya! Dante. Jangan lupa jaga menantu mama!” ucapnya pada putranya itu. Dante hanya membalasnya dengan mengangguk. “Tuan Ambrose, kita akan bertemu sebentar lagi, kami pulang dulu,” ucap Reynad sambil memeluk papa dan kakek Serena. “Dante, papa titip Serena!” Reynad berucap sambil menepuk lengan putranya. Darahnya berdesir ketika Reynad mengucapkan kata
“Serena kau hanya milikku, kemarilah.” “Siapa kau?” Serena berucap dengan nada gemetar. Seorang pria yang tidak dapat dia lihat wajahnya karena penerangan yang minim itu membuat Serena ketakutan setengah mati. Di tangannya, pria itu memegang sebuah belati yang terlihat sangat tajam. Serena menelan ludahnya susah payah. “NICO TOLONG AKU!” teriak Serena tetapi tidak ada yang menolongnya. Teriakan demi teriakan hanya membuat pria misterius itu semakin gencar untuk mendekat ke arahnya. Pria itu berjalan semakin mendekat. “Jangan pernah mengabaikanku Serena, kau hanya milikku, ingat?” “Jangan mendekat!” teriak Serena sambil berjalan mundur. Kenapa tidak ada orang di mansion ini? Apa dirinya akan berakhir mati seperti ini? Di tangan penguntit yang selalu menerornya ini? “Siapa kau?” tanya Serena namun terdengar tidak terlalu penting di situasi genting seperti itu karena dengan sekali hentakan saja pisau tajam itu bisa menembus jantungnya. “Katakan kau hanya milikku, Serena.” Pria itu
“Nona, sekarang giliran anda untuk memakaikan cincin pernikahannya ke jari manis suami anda.” Ucapan pendeta tersebut tak mambuat lamunan Serena buyar sedikitpun. Malahan, gadis tersebut terus menatap pria yang sebentar lagi akan sah menjadi suaminya, berpakaian lengkap bak pangeran dari sebuah kerajaan. Haruskan hidupnya berakhir seperti ini? Pertanyaan itu sudah berputar ribuan kali di kepalanya ketika Serena mulai bersiap-siap untuk acara pernikahannya. Sekarang, ketika Serena menatap dalam-dalam mata cokelat milik Dante, dia hanya memiliki 2 kemungkinan, entah dibunuh atau membunuh. Keadaa hening, gereja megah yang berada di bibir pantai Italia itu menjadi saksi bisu keputusan Serena untuk menikahi pria yang berencana akan membunuhnya. Seluruh mata menyorot ke arah mereka berdua, bahkan dari ribuan wartawan yang hadir hanya sebagian yang diperbolehkan masuk. Serena tersenyum, lalu memakaikan cincin itu di jari manis Dante dengan gerakan penuh keyakinan. Tanga kecilnya yang se