“Dominic Arthur!”
Serena terperanjat kaget ketika dia keluar dari kamar Dominic dan menutup pintu pelan-pelan, tiba-tiba suara Dante yang membaca tulisan yang terpampang di pintu itu keluar begitu saja.
“Kenapa kau berkeliaran di sini?” tanya Serena sambil mengerutkan alisnya.
Pria itu tak terlihat peduli dengan pertanyaan Serena tapi tatapan matanya sangat tajam dan mengintimidasi, seakan-akan keberadaan Serena adalah hal yang sangat mengganggunya.
Pria itu masih mengenakan kemeja putih dengan garis abu-abu yang dia pakai sejak mereka bertemu untuk pertama kalinya. Celana panjang dan sepatu pantofel yang sangat mengkilap. Pria itu pasti langsung datang ke mansion kakek Serena sehabis bekerja di kantornya.
“Ikut aku!” Hanya kata itu yang diucapkan pria itu sebelum berjalan mendahului Serena yang jantungnya berdebar tidak karuan.
Sejujurnya Serena belum bisa memproses informasi bahwa pria yang tinggal di mansionnya dan akan menjadi suami sahnya itu adalah Dante Massimo. Dari ribuan bahkan jutaan pria di Milan, Italia kenapa harus pria itu?
Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, Serena yakin hal ini berhubungan dengan kenapa kakek dan papanya menikahkannya dengan banyak pria seperti ini.
Apalagi, Dante akan menjadi suaminya yang ke-15. Jika rumor itu benar apa kakek akan berhenti setelah Serena menikah dengannya? Tapi kenapa?
“Kau dengar saya?” Suara Dante membuat fokus Serena buyar. Gadis itu segera berjalan mengekor di belakang pria yang tingginya jauh melebihinya itu.
Aroma pafrum Dante yang sangat maskulin memenuhi indra penciuman Serena ketika dia berjalan tepat di belakang pria itu.
Dari jarak sedekat ini Serena bisa melihat betapa proporsional tubuh pria itu. Sangat jauh dari citra kejam dan berbahaya yang melekat di nama besarnya. Dante yang ada di depannya saat ini lebih seperti pria tampan yang normal pada umumnya, namun Serena mengakui pria ini memiliki kharisma tersendiri yang membuat Serena tidak bisa berkutik ketika dia mengatakan apapun.
Serena bukanlah tipikal gadis yang penurut, tapi jika Dante mengatakan sesuatu itu terdengar seperti perintah final, dan Serena merasa mempunyai tanggung jawab untuk menuruti perkataannya entah karena apa.
“Kenapa kau mengajakku ke sini?” tanya Serena ketika mereka berdua tiba di balkon mansion yang memperlihatkan pepohonan dan taman depan. Terlihat juga beberapa penjaga milik Dante yang memindahkan barag-barang milik tuannya ke dalam.
Pria itu masih diam sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celananya, pandangannya jauh ke depan. Serena memperhatikan setiap gerak-gerik pria di sampingnya ini karena sejujurnya Serena sangat ingin tau pria seperti apa Dante ini.
“Kau tau kenapa papamu tidak langsung ke sini ketika tau kau kabur dari mansion?” tanya Dante membuat Serena mengernyitkan alisnya bingung.
Serena hanya menggeleng sebagai jawaban. Tapi, pria itu malah mengeluarkan senyum tipis di bibirnya. “Lihatlah ke sana,” tunjuk Dante ke arah pintu gerbang utama untuk masuk ke area mansion milik Serena itu.
Terlihat banyak sekali mobil dan wartawan yang berjejer di sana ingin menerobos masuk tapi penjaga Serena mengcegah mereka. Setiap harinya, memang ada beberapa wartawan yang sering datang ke mansion Serena entah untuk bertemu Serena atau sekedar ingin mecari tau apa yang terjadi di dalam mansion ini.
Saat masih melihat wartawan itu tiba-tiba sebuah tangan kekar melingkar di pinggang Serena. Napasnya tercekat, karena Serena belum terbiasa dengan fakta bahwa alerginya tidak berlaku untuk pria asing.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Serena hati-hati. Kejadian di kamarnya tadi masih membuatnya sedikit syok.
Mata mereka bertemu. “Kita adalah pasangan paling panas sepanjang sejarah Italia, bukankah kita perlu menunjukkan seberapa saling mencintainya kita?” tanya Dante sambil tersenyum, Serena bahkan bisa meraskan hembusan hangat napasnya dari jarak sedekat ini.
Kamera wartawan itu pasti sudah mendapatkan puluhan bahkan ratusan fotonya dan Dante dari sejak mereka berdua menunjukkan diri di balkon ini.
“Saham perusahaanmu sekarang sedang berada di titik tertinggi sejak mereka tau kau akan menikah, dan akan terus naik karena mereka akan segera tau siapa saya,” ucap Dante dengan nada yang tenang. Serena tidak terlalu fokus mendengarkan perkataannya karena fokus melihat setiap inci wajah pria itu dari dekat.
“Jadi, kau harus berpikir dua kali untuk membuat kekacauan di hubungan ini,” ancam Dante di akhir kalimatnya.
“Sebuah paksaan entah dalam hubungan atau bisnis tidak akan pernah berjalan mulus, Tuan Massimo,” balas Serena dengan tatapan yang menantang.
Pria itu tak terlihat terganggu sedikitpun malahan, dia terlihat sangat ingin tau bagaimana reaksi dari gadis di genggaman tangannya itu.
“Kau harus tau satu hal tentang saya, Nona. Apapun yang saya inginkan tidak akan pernah hilang dari gengaman tangan ini,” ucapnya dengan suara rendah di telinga Serena sambil menariknya untuk mendekat dengan tangan kekarnya yang melingkar sempurna di pinggang ramping Serena.
“Kenapa harus aku?” tanya Serena pelan.
Keadaan menjadi hening ketika Dante tidak mengatakan apapun. Selain deru napas panas pria itu di lehernya tidak ada lagi yang bisa Serena rasakan. Seakan-akan Dante seperti magnet yang membuat Serena selalu siaga ketika berada berdekatan dengan pria ini.
“Saya akan mengatakan alasannya jika kau mengaku bahwa malam itu kau pergi ke Valhala dan kita melakukan sesuatu yang sangat panas malam itu,” jawab Dante setelah berpikir sesaat.
Serena mengernyit kembali. Seluruh ingatan yang berusaha dia ingat tidak ada yang mengarah ke sana. Valhala adalah tempat terakhir di Milan yang akan Serena kunjungi, mengingat seluruh kegiatannya sehari-hari pasti dijadikan berita oleh paparazi maka Serena selalu berusaha menjaga citranya.
Apalagi, nama lain Valhala adalah Dante Massimo. Seluruh orang di negara ini tau siapa pemilik dan penguasa di club yang sangat terkenal itu.
Untuk apa Serena ke sana? Dia bahkan mempertanyakan dirinya Sendiri karena Dante terlihat sangat yakin bahwa itu adalah dirinya.
Dan, pria ini bahkan tau tanda lahir yang ada di bagian atas perutnya. Keadaan ini benar-benar membingungkan bagi Serena.
“Kenapa kau curiga itu aku?” tanya Serena ingin memperjelas.
“Selain karena tanda di bagian atas perutmu itu, seluruh bagian tubuhmu sangat persis seperti wanita itu. Bahkan caramu melakukan ciuman sama persis,” jawab Dante dengan sangat spesifik. Serena cukup terkejut pria ini mengingat dengan sangat jelas wanita yang dia ajak berbagi ranjang.
Apa yang terjadi malam itu sehingga Dante merasa perlu untuk menikahinya untuk mendapatkan jawaban?
“Jika itu memang aku, apa yang akan kau lakukan?”
Dante menyeringai. “Kenapa kau menyusup ke sana?”
“Aku tidak ingat,” jawab Serena polos.
Dante mengernyit bingung. “Apa kau mempermainkan saya?”
“Itu benar,” jawab Serena gugup. “Aku punya penyakit aneh, aku tidak ingat sebagian ingatanku di hari-hari tertentu dan…
“Dan?”
“Dua minggu lalu, aku ingat sedang makan siang di kantor dan aku tiba-tiba bangun tengah malam dan sudah berada di kamarku,” jelas Serena.
“Ya, itu terjadi dua minggu lalu,” jawab Dante mengonfirmasi.
Serena meremas ujung kemejanya gugup.
“Dan kau meninggalkan ini.” Dante mengeluarkan sebuah gelang silver dari kantong celananya.
DEG!!
Serena membelalakkan matanya ketika menyadari gelang itu sangat familiar di matanya.
‘Itu gelang Nico, apa yang dia lakukan di sana?’
“HEI KAU TIDAK DENGAR AKU?! CEPAT BUKA GERBANGNYA!” pekik Serena dengan nada marah."APA KALIAN TULI HAH?" bentaknya lagi, namun tak ada yang berpindah dari posisinya untuk membukakan Serena gerbang mansionnya. Enth kenapa puluhan pengawal yang ada di gerbang itu tak meggubris perkataannya. Serena terus memukul bel mobil Tesla yang dia bawa itu saking kesalnya.“Maaf Nyonya, kami diminta untuk tidak mengizinkan anda kemanapun tanpa persetujuan Tuan Massimo.” Hanya itu kata yang diucapkan penjaga gerbang itu, tapi mampu membuat Serena naik darah.“Siapa majikan kalian hah?” tanya Serena dengan nada yang sangat dingin. Kali ini dia tidak berteriak lagi karena tidak ada gunanya membuang-buang tenaga.“Maaf Nyonya.” Seluruh penjaga itu kini menunduk, tak berani memperlihatkan wajahnya.“Hah! Tidak ada yang berjalan dengan benar semenjak aku dijodohkan dengan Dante.” Serena mengetukkan jari-jari lentiknya di stir mobil sembari berpikir.Drtt!!Serena mengernyit ketika melihat nomor tak di
BRAK!!! “Nico, kau gila?” Serena mendorong dada pria itu hingga membentur kaca sebuah hotel mewah di pinggir kota Milan itu. Serena masih merasa sedikit pusing karena Nico menculiknya secara paksa. Serena tadinya akan pulang ke mansion karena pekerjaan di kantornya sudah selesai, tapi tiba-tiba mobil teslanya tidak bisa dihidupkan alhasil Serena menyuruh sekretaris pribadinya untuk membawakannya supir pengganti. Saat sudah masuk mobil, tiba-tiba mulut dan hidungnya dibekap dan Serena pingsan karena obat di kain tersebut. Ketika sadar, wajah Nico yang hampir menciumnya adalah pemandangan pertama yang Serena lihat. Pria ini benar-benar melewati batas! Serena menyesal karena terlibat dengannya. “Sayang, kau tidak rindu padaku?” tanya Nico dengan nada sensual sambil menarik Serena mendekat ke tubuhnya. PLAK!!!! Sebuah tamparan mendarat di wajah tampan milik Nico. Tapi, bukannya marah pria itu malah tersenyum jahil ke arah Serena yang murka. “Apakah tamparan ini mengisyaratkan beta
Serena mengemudikan mobil sekretarisnya yang sangat cepat tanggap itu menuju pulang ke mansionnya. Serena masih terburu-buru walaupun jelas-jelas sudah terlambat sekitar 15 menit. Dante memang sangat otoriter! Bagaimana bisa Serena pulang dari hotel yang ada di pinggiran kota itu ke mansionnya yang ada di pusat kota dalam waktu lima menit? Anginpun tidak mampu berlari secepat itu. Serena hanya mampu menghembuskan napasnya kasar di sepanjang perjalanan. Semakin hari, pria yang akan menjadi suami sahnya itu semakin bertingkah dan berusaha memegang kendali atas hidupnya. “Cih dia mengatakan dia tidak menyukaiku?” cibir Serena sambil berbelok menuju ke area mansionnya yang sangat luas itu. Pria itu dengan percaya dirinya mengatakan bahwa Serena yang suka padanya, dimana di mendapatkan kepercayaan sebesar itu? “Sekarang siapa yang terlihat menyukai siapa?” cibirnya lagi dengan wajah kesal. Pesona seorang Serena Ambrose memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Julukannya adalah the red
“Ya ampun, benar ini calon menantuku?” Seorang wanita dengan pakaian dan perhiasan yang sangat modis itu berdiri sambil menatap Serena dengan tatapan ternganga.Wanita itu terlihat cukup muda, dengan mata yang sama persis seperti manik mata milik Dante. Tidak diragukan lagi gen wanita ini sangat kuat.“Elena, kau membuatnya tidak nyaman,” ucap pria berwibawa yang terlihat persis perawakannya seperti Dante. Melihat sekilaspun tau kalau pasangan ini adalah orang tuanya.“Janga menahan istimu, Reynad. Biarkan dia puas-puas melihat calon menantunya,” sahut Jack—papa Serena yang sudah duduk manis di sebelah papa Dante yang Serena ketahui namanya adalah Reynad.“Hallo, tante, om. Saya Serena Ambrose,” ucap Serena formal sambil memperkenalkan dirinya. Di sampingnya, Dante masih berdiri tanpa mengucapkan apapun.Situasi ini sungguh tiba-tiba bagi Serena, bahkan papa dan kakeknya tidak memberitahunya jik
“Serena, kita akan bertemu sebentar lagi ya, mama titip Dante padamu,” ucap Elena masih dengan senyum merekah di wajah cantiknya. Elena terlihat sangat bahagia mengingat putra satu-satunya yang dia miliki akan segera melepas masa lajangnya yang berkepanjangan itu. Elena dan Reynad pulang karena acara pertemuan dua keluarga sudah selesai. Itupun sudah terlambat 1 jam karena Serena terlambat datang. Anehnya, saat kakek dan papanya menanyakan tadi kenapa dia terlambat, Dante membelanya lagi mengatakan bahwa dia yang lupa menjemput Serena. Padahal, pria itu tidak ada memberitahunya kalau ada acara penting seperti ini. “Jaga kesehatanmu, ya! Dante. Jangan lupa jaga menantu mama!” ucapnya pada putranya itu. Dante hanya membalasnya dengan mengangguk. “Tuan Ambrose, kita akan bertemu sebentar lagi, kami pulang dulu,” ucap Reynad sambil memeluk papa dan kakek Serena. “Dante, papa titip Serena!” Reynad berucap sambil menepuk lengan putranya. Darahnya berdesir ketika Reynad mengucapkan kata
“Serena kau hanya milikku, kemarilah.” “Siapa kau?” Serena berucap dengan nada gemetar. Seorang pria yang tidak dapat dia lihat wajahnya karena penerangan yang minim itu membuat Serena ketakutan setengah mati. Di tangannya, pria itu memegang sebuah belati yang terlihat sangat tajam. Serena menelan ludahnya susah payah. “NICO TOLONG AKU!” teriak Serena tetapi tidak ada yang menolongnya. Teriakan demi teriakan hanya membuat pria misterius itu semakin gencar untuk mendekat ke arahnya. Pria itu berjalan semakin mendekat. “Jangan pernah mengabaikanku Serena, kau hanya milikku, ingat?” “Jangan mendekat!” teriak Serena sambil berjalan mundur. Kenapa tidak ada orang di mansion ini? Apa dirinya akan berakhir mati seperti ini? Di tangan penguntit yang selalu menerornya ini? “Siapa kau?” tanya Serena namun terdengar tidak terlalu penting di situasi genting seperti itu karena dengan sekali hentakan saja pisau tajam itu bisa menembus jantungnya. “Katakan kau hanya milikku, Serena.” Pria itu
“Nona, sekarang giliran anda untuk memakaikan cincin pernikahannya ke jari manis suami anda.” Ucapan pendeta tersebut tak mambuat lamunan Serena buyar sedikitpun. Malahan, gadis tersebut terus menatap pria yang sebentar lagi akan sah menjadi suaminya, berpakaian lengkap bak pangeran dari sebuah kerajaan. Haruskan hidupnya berakhir seperti ini? Pertanyaan itu sudah berputar ribuan kali di kepalanya ketika Serena mulai bersiap-siap untuk acara pernikahannya. Sekarang, ketika Serena menatap dalam-dalam mata cokelat milik Dante, dia hanya memiliki 2 kemungkinan, entah dibunuh atau membunuh. Keadaa hening, gereja megah yang berada di bibir pantai Italia itu menjadi saksi bisu keputusan Serena untuk menikahi pria yang berencana akan membunuhnya. Seluruh mata menyorot ke arah mereka berdua, bahkan dari ribuan wartawan yang hadir hanya sebagian yang diperbolehkan masuk. Serena tersenyum, lalu memakaikan cincin itu di jari manis Dante dengan gerakan penuh keyakinan. Tanga kecilnya yang se
“Selamat untuk kalian berdua, mulai sekarang kalian harus lebih dewasa ya, terutama kamu Dante, usiamu jauh lebih tua dari Serena jadi kamu harus selalu menuntunnya sebagai seorang suami.” Elena berucap dengan senyuman khasnya. Dante hanya mengangguk sebagai balasan. “Tidak perlu khawatir, Ma,” jawabnya singkat. Kedua keluarga Ambrose dan Massimo kini sedang berkumpul di tempat makan outdor yang langsung mengarah ke bibir pantai yang sangat indah. Cahaya matahari yang hampir terbenam membuat suasana semakin intim dan berkesan, tapi tidak bagi Serena. Karena dia terpaksa harus menikah dengan pria yang ingin membunuhnya ini. Sungguh tragis! “Apa kalian akan tetap tinggal di sana?” tanya Reynad memecah keheningan. Makanan pembuka sudah dihidangkan dan mereka sedang menunggu makanan utama datang. “Ya, Pa,” jawab Serena dengan nada canggung. Sangat tidak nyaman rasanya mengatakan sebutan ‘papa’ untuk Reynad. Hari ini hanya papanya yang bisa hadir karena kakek Serena ada urusan mendad