Share

BAB 7

Seorang wanita cantik mengenakan dress panjang tanpa lengan berbalut syal bulu berjalan anggun ditemani dua orang sangar bertubuh tinggi besar.

"Silahkan duduk, nona Gisella." kata Billy menyambut kedatangan wanita cantik itu.

Wanita bernama Gisella itu melirik ke arah Selena sejenak sebelum dia menjatuhkan bobotnya, "Terimakasih, tetapi aku ingin duduk di sini." Gisella duduk di pangkuan Billy sembari bergelayut manja pada lengan kekarnya.

"Tidak masalah selama itu membuatmu nyaman."

Dari tempatnya duduk menguar bau harum wanita itu, Selena tidak tahan lagi dengan tingkah dua orang tidak tahu malu di depannya, sebelum benar-benar menjadi pengusir lalat di antara keduanya, dia lebih memilih pergi dari sana.

"Siapa yang menyuruhmu pergi?!"

Selena menoleh, tidak percaya pria itu menghentikan langkahnya agar dia kembali duduk menyaksikan adegan romantis yang menggelikan.

"A-aku, aku ingin ke toilet." Selena terpaksa mengubah arahnya, "perutku terasa sakit."

Gisella tampak mengernyit jijik pada Selena yang semakin membuat-buat wajahnya.

"Pergilah." Billy mengibaskan tangannya.

Untung saja mereka percaya, kaki rampingnya secepat mungkin melangkah ke bagian belakang rumah mewah tersebut. Saat ini Selena benar-benar masuk ke dalam toilet.

"Dasar pria brengsek!" dia mengepal tangannya erat, tidak ada yang bisa dilakukan saat ini selain mengumpat pria itu dibelakang.

Setelah dua puluh menit berlalu Selena keluar dari sana, dia mengintip dari jauh, benar saja sekelompok orang yang tadi di sekeliling meja makan sudah tidak lagi berada di sana.

Demi mencairkan suasana hati yang sedang kalut Selena melangkah ke luar dari pintu belakang. Udara terasa lebih dingin malam ini, angin berhembus kencang menusuk tulang.

Namun, itu lebih baik. Musim dingin telah berganti ke musim semi yang sekarang telah menumbuhkan berbagai tanaman bunga di taman, kunang-kunang seakan menari di antara warna-warni kelopak yang mulai merekah.

Selena memetik salah satunya, menghirup dalam aroma alami dari sana menciptakan satu senyuman yang entah apakah itu berarti baik atau tidak yang pastinya dia berusaha mengurangi sesuatu yang membuncah di pikirannya.

Sedetik kemudian Selena memberontak, seseorang menutup matanya menggunakan tangannya.

"Siapa kau? Lepaskan!" dia berusaha melepaskan tangan besar itu dari wajahnya.

"Mike?!" Selena tidak percaya akan kehadiran sosok pria yang ditemuinya kemarin itu berada di sana.

"Hei, ayolah. Kenapa kau se-terkejut itu" Mike menjentikkan jarinya tepat di wajah Selena.

"Apa kau tidak waras, bagaimana kau bisa ada di tempat ini?" ucap Selena kesal, pria itu tidak menunjukkan sedikitpun takut karena sudah memasuki kawasan rumah orang lain.

Mike hanya tertawa renyah menanggapi Selena, "Apa itu penting?! Terserah padaku ke mana aku melangkah."

Baiklah, Selena menghembus pelan. Terserah saja pria itu mau kemanapun dia pergi, dia tidak ingin menambah beban pikiran lagi mengurus hal yang bukan urusannya.

Selena menangkap bayangan di jendela kamar suaminya itu, dua manusia yang saling berdekatan, terlihat sangat erotis.

Ironisnya sekarang di sebelah Selena ada pria lain yang juga menyaksikan semuanya, Selena mendengus mengalihkan pandangannya. Tidak terasa ternyata mereka telah berkeliling di halaman rumah besar itu.

"Apa kau terluka?" tanya Mike penasaran.

"Gila, kami bukan sepasang kekasih yang menjalin cinta. Melainkan hanya sebuah ikatan kontrak yang tidak jelas." Selena mengulas senyum kecut.

"Tapi meski kau berbicara begitu, wajahmu mengatakan kenyataan lain." Mike menatap netra Selena yang tidak tenang.

"Sudahlah, aku lelah." Selena mendaratkan kembali tubuhnya di tempat semula dia memandangi taman bunga yang dihiasi hewan bercahaya di atasnya. Jauh lebih menenangkan.

Bunyi dari dalam perut Selena kembali menggema, 'Sial, berbunyi lagi?'

Mike terkikik "Hei, suara apa itu?" tanyanya lagi?

"Tentu saja karena aku belum makan." jawab Selena yang terdengar seperti gumaman.

"Bukankah ini aneh? Bahkan pelayan di rumah mewah itu tidak sekalipun kelaparan." Mike kembali menertawakan Selena. "Makan ini untuk mengganjal rasa lapar." pria itu menyodorkan sebungkus berisi selai pada Selena.

"Kau lucu juga, membawa bekal." Selena kembali menertawakan lawan bicaranya.

"Apa kau tidak ingin tahu siapa wanita yang bersama suamimu itu?"

"Sudah aku bilang dia bukan suamiku." kata Selena sedikit kesal.

"Gisela Brown, putri satu-satunya pemilik tambang emas terbesar, bisa dibilang wanita itu adalah pewaris tunggal." jelas Mike.

"Terserah, konglomerat, pewaris atau apalah itu. Aku tidak peduli." Selena hanya ingin terus mengunyah menghabiskan makanannya.

"Dasar wanita tidak punya hati, apa kau tahu aku tidak pernah memberikan informasi secara gratis sebelumnya. Seharusnya kau merasa beruntung." Mike berdecak kesal.

"Terimakasih, hanya itu yang bisa aku balas untukmu." ucap Selena setidaknya dia mengucapkan sesuatu.

"Sebenarnya aku ingin mengundangmu ke sebuah pesta, pesta para konglomerat dan orang-orang ternama di kota ini."

"Pesta?!" Selena menjawab antusias. Ketimbang memikirkan acara glamor yang dihadiri oleh kalangan elit, pikiran Selena jauh berbeda. Dirinya hanyalah sebutir debu yang menyelip di antara butiran mutiara yang berkilau.

"Apa yang kau pikirkan?" Mike mengerutkan kening. "Baiklah hanya ini yang ingin kusampaikan, aku akan memberitahumu waktunya nanti." ucap Mike sembari berjalan di kegelapan, pria itu menghilang begitu saja bakal ditelan bayang-bayang bangunan.

Wanita berambut hitam panjang itu tidak berusaha memanggil atau menghentikan pria yang menghilang di hadapannya, dia tidak peduli. Sebenarnya kehadiran pria sok akrab itu cukup menganggu.

Dua netra hitam itu kembali melirik pada jendela kamar yang masih menyala, tidak ada lagi siluet dua orang yang memadu cinta di atas sana.

Selena kembali membawa dirinya masuk ke dalam, udara di luar semakin dingin terlebih tidak memakai pakaian hangat, semakin menambah pilu sendiri.

Sial! Berpapasan lagi dengan dua brengs*k itu membuat Selena mengepalkan tangan, langkahnya terhenti saat sesuatu menarik rambutnya.

"Siapa sebenarnya wanita ini, Babe?!" jemari lentik milik Gisella ia kibaskan ke udara dengan jijik.

"Bukan siapa-siapa." Billy mengedikkan bahunya acuh. "Ayo." tangan kekar itu mengait pergelangan mungil wanita yang masih menatap lekat pada Selena.

"Tapi-" Gisella mencoba mengajukan protes.

"Tunggu!" sergah Selena pada sepasang kekasih itu. "Aku ingin hubungan ini berakhir."

Billy melebarkan bola matanya, rahangnya mengeras menahan amarah.

"Fredy!" Gisella berteriak memanggil nama salah satu pengawal pribadinya.

Tidak, tanpa sadar Billy mengeratkan genggaman hingga Gisella mengaduh sakit.

"M-maaf, aku terbawa emosi. Wanita itu hanya seorang pelayan baru jadi belum memahami aturan."

Billy menjentikkan jari yang kemudian mendatangkan bibi Lisa di sana, wanita paruh baya itu menunduk hormat.

"Berikan hukuman pada orang ini, jangan biarkan dia memperlihatkan diri di depanku!" tegas Billy dengan nada tinggi barulah Gisella, wanita jahat itu tersenyum puas.

Kedua tungkai Selena terasa lemas tak berdaya, beruntung ada bibi Lisa yang menangkapnya agar tidak jatuh ke lantai.

Selena membuka matanya, dia mengerjap beberapa kali berusaha mengamati tempatnya berbaring, "Di mana ini?" Selena memijat pelipisnya, dia ingat terakhir kali bibi Lisa yang membawanya, ternyata dia berada di kamar yang disediakan khusus bagi pelayan.

"Nyonya." seorang gadis pelayan menyerahkan sebuah pakaian hitam putih di tangannya. "Bibi Lisa mengatakan Anda harus mengenakannya."

Selena tidak percaya, setelah pertemuan yang membuatnya harus menjadi istri bayangan sekarang orang itu menjadikannya seorang pelayan.

Handle pintu ruangan itu bergerak, seseorang muncul setelahnya. Orang yang semalam terang-terangan membentaknya meninggalkan bekas berkali-kali di hatinya.

"Sekarang apa lagi? Apa kau belum cukup puas mempermainkan seseorang?" teriakan Selena tertahan oleh tangisnya yang mulai pecah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status