Share

BAB 8

"Billy, tunggu." Selena meremas jemarinya satu sama lain.

Tatapan dingin tanpa jawaban mengarah pada Selena, dari sana jelas pria dengan rahang kokoh di depannya itu seperti orang tak bersalah.

"Apa lagi?" Billy menghela nafas pelan, sepasang mata lentik menatap seakan mengharapkan sesuatu padanya.

"Aku ingin kita mengakhiri ini sekarang juga." tegas Selena melalui sorot matanya yang berubah sendu. Dia memutuskan mengakhiri drama ini secepatnya.

"Apa katamu?! Tapi maaf sepertinya aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu itu," Billy berdecak sinis, tubuh bidang itu berhasil menyudutkan Selena pada dinding di belakangnya.

"Akulah yang berhak mengakhirinya, kapanpun itu." ucap Billy sedikit merunduk pada telinga Selena. "Menarilah sesuai irama, kalau kau salah langkah berarti itu akan menyulitkan dirimu sendiri. Benarkan sayang?" sembari mengulurkan telunjuknya pada pipi Selena yang mulus pria itu menyoroti netra hitam pekat Selena.

Selena menepisnya, dia mengeluarkan diri dari kungkungan yang menguncinya sejak tadi.

"Billy, ini tidak seperti kesepakatan awal. Kau sudah melewati batas." cecar Selena tidak terima dengan sikap Billy yang menurutnya selalu menguntungkan sepihak.

"Ini tidak seperti perjanjian awal kita, kau pembohong. Aku begitu bodoh bisa mempercayai kata-katamu saat itu." terlihat sesal di ambang mata Selena.

"Kau terlalu naif Selena, apa kau masih tidak mengerti akulah yang memegang kendali, wanita rendahan sepertimu tidak patut mencibirku. Jadi patuhlah." Billy tidak melepaskan Selena melewati batas lengan yang dia ciptakan.

"Kenapa kau tidak memb*nuhku saja agar dendammu itu terbalaskan." Selena mengarahkan tangan Billy pada lehernya.

Selena berhasil menyulut emosi pria di hadapannya, sekarang tangan besar itu semakin erat mengalung di lehernya.

Suara ketukan pintu kembali terdengar, "Tuan nona Gisella datang mencari Anda." terdengar Robin memanggil dari luar.

Billy terpaksa melepas cengkeramannya, pria itu membenahi dasi dan kerah kemejanya yang masih rapih, tidak butuh waktu lama menghilangkan wajah bengis yang sejak tadi ditujukan untuk Selena.

"Brengs*k." umpat Selena kesal sekaligus lega melihat punggung pria besar itu berlalu pergi. Suara berdebam akibat pintu yang dibanting cukup keras memenuhi ruangan.

Selena mendambakan kesehariannya yang dulu, hidup bebas walau tidak tinggal di rumah mewah seperti sekarang ini tapi dia tidak merasakan sakit yang terus menerus mendera.

"Ya, aku akan menahan sakit ini sampai aku bisa mengembalikan perlakuanmu ini Billy." Selena mengusap pipinya kasar, dia tidak akan membuang air mata secara percuma. Ini yang terakhir.

*

Selena mencari keberadaan uang yang kemarin di letaknya di dalam tas, bahkan beberapa barang mulai terlempar ke lantai karena tidak mendapatkannya di sana. Kepindahan Selena ke kamar pelayan sungguh membuatnya kehilangan sebagian barang.

"Kau mengambil uangku?!" wanita berambut hitam itu menggelung rambutnya memakai apron seperti yang dikenakan semua pelayan di kediaman mewah tersebut, kesal mendatangi Billy ke ruang kerjanya, tangannya dipenuhi peralatan bersih-bersih.

"Keluarlah, aku sedang ada pekerjaan." fokus Billy masih pada kertas bertumpuk memenuhi meja kerjanya.

"Tidak bisa, jawab dulu pertanyaanku! Apa uang itu kau yang mengambilnya?" Selena masih tidak bergeser dari tempatnya.

Sedetik kemudian suara dering ponsel memenuhi ruangan kerja dimana keheningan tercipta saat nama seseorang muncul di sana.

"Nenek." raut kaku tadi sedikit berubah setelah mengucapkan satu kata itu dia memijat pelipisnya diikuti dengusan.

Kehadiran sang nenek kali ini membuatnya sulit, tatapannya beralih pada gadis yang tengah disibukkan oleh debu dan kemoceng di tangannya.

Mau tidak mau Billy memencet tombol hijau pada layar ponselnya daripada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi karena mengabaikan panggilan telepon itu.

"Nenek." Billy berjalan menjauh ke luar ruangan.

Sedangkan Selena, wanita itu tidak akan tinggal diam. Senyum cemerlang terukir jelas di wajahnya.

Dia menjadikan laci di meja coklat itu sebagai sasaran utama memeriksa apakah amplop coklat miliknya berada di sana. "Tidak ada." serunya kesal sesekali dia memindai pria yang masih sibuk pada ponselnya masih belum menunjukkan diri.

Susunan map dan barang lainnya yang berada di rak turut serta masuk dalam pencarian Selena, tinggal satu tempat lagi. Tempat yang tidak bisa diraihnya yaitu di atas lemari yang juga terdapat susunan barang.

Netra hitam Selena berbinar mendapati bangku yang akan memudahkannya memeriksa bagian atas tersebut.

"Uangku di manakah kamu, aku sangat merindukanmu. Ayo jangan bersembunyi dariku." gumam Selena meliarkan pandangannya di balik barang-barang tertata rapih di atas rak.

Di ujung lemari Selena melihat amplop berwarna coklat yang tidak asing. Namun, sayangnya jaraknya yang cukup jauh menyulitkannya meraih benda itu. Dia terpaksa turun menggeser kembali pijakannya ke arah semula.

"Apa yang kau lakukan?" pertanyaan yang lebih terdengar sebagai interogasi itu seolah menekan Selena.

"Memangnya apa? Aku hanya melakukan tugasku."

Billy menghela panjang seraya mengurut pangkal hidungnya di antara dua alis mata. "Nenek akan datang berkunjung."

"Lalu?" jawab Selena yang mengundang kalimat lainnya untuk segera di katakan oleh lawan bicaranya.

"Aku ingin kau bisa diajak bekerjasama saat nanti nenek berada di sini." tukasnya pandangannya menerawang ke arah jendela sembari kedua tangan yang dimasukkan ke dalam kantong celana.

"Ah ya, kau memintaku menjadi istri penurut?" ucap Selena diselingi tawa kecil.

"Ya, selain itu kalau aku puas dengan aktingmu kau bisa mendapatkan barang yang kau cari tadi."

Selena menaikkan sebelah alisnya, keterkejutan kecil berusaha dia sembunyikan saat pria berpakaian rapi itu masih membelakangi.

Selena berdecih kenapa dia harus berusaha demi mendapatkan uang miliknya sendiri.

"Tuan Billy Amore, kau sangat licik. Bagaimana bisa-"

"Kalau kau tidak berminat juga tak mengapa, tapi jangan pernah berharap aku akan mengembalikannya, selain itu bersiaplah menanti hukuman lain. Pilihan ada di tanganmu."

Selena terkesiap mendengar ucapan Billy, saliva di tenggorokan seolah mengganjal menyulitkan udara keluar masuk. Kalau menolak dia tidak akan mendapatkan apapun selain hukuman, apa ini bisa disebut pilihan?

"Keluarlah, walaupun kau tidak memutuskan jawabanmu sekarang aku tidak akan memaksanya." jelas Billy yang sekarang duduk di kursi kebesarannya.

Pria itu tengah pusing, bagaimana caranya dia menutupi kehadiran Gisella, gadis yang dibenci oleh neneknya.

Alasannya cukup jelas semua karena kecelakaan belasan tahun silam melibatkan keluarga kaya itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status