Home / Rumah Tangga / SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK! / BAB 2 TANDA TANGAN KONTRAK, TAPI KOK?

Share

BAB 2 TANDA TANGAN KONTRAK, TAPI KOK?

Author: Febra Raas
last update Last Updated: 2025-07-27 16:08:18

Satu minggu setelah wawancara paling aneh dalam hidup Raya, keputusan besar diambil.

Hari ini, kontrak pernikahan mereka akan ditandatangani.

Ya, secara hukum, mereka akan menikah. Raya punya pengacara pribadi yang bisa merapikan dokumen seakan semuanya terjadi karena cinta. Padahal, ya jelas-jelas ini cinta settingan. Fake love, real akting, high gaji.

Dian datang ke apartemen Raya pagi-pagi, membawa ransel besar dan wajah lebih gugup dari peserta ujian SIM.

“Permisi ini saya Dian. Calon suami, ya, hehe,” sapanya sambil mengangkat dua kantong kresek: satu berisi mie instan, satu lagi penuh bantal kecil.

Raya membuka pintu, mengenakan piyama satin biru, dan memelototi bantal berbentuk karakter kartun ayam.

“Itu apa?”

“Bantal kesayangan. Nggak bisa tidur tanpa ini, Mbak Raya. Namanya Kukuk.”

Raya nyaris mengurungkan niat menikah hanya karena alasan Kukuk si bantal. Tapi dia tarik napas. Fokus. Ini semua demi Ibunya, demi warisan, demi reputasi. Bukan demi bantal ayam.

Mereka duduk di ruang tamu. Meja kecil di tengah sudah diisi dokumen pernikahan dan satu kontrak tebal.

Dian membaca halaman pertama, lalu mengangkat alis. “Ini serasa mau kerja di BUMN. Tebalnya segini?”

Raya menatapnya tajam. “Ini bukan sekadar kawin-kawinan, ini kontrak profesional. Jangan sampai nanti kamu baper. Apalagi jatuh cinta beneran.”

Dian buru-buru angkat tangan, “Saya? Jatuh cinta? Sama Mbak Raya yang galaknya setengah dewa? Nggak lah!”

“Bagus,” kata Raya, walau agak tersinggung juga disebut galak setengah dewa.

Ia mulai membacakan isi kontrak. 

Pernikahan ini akan berlangsung selama 12 bulan.

Tidak ada kontak fisik yang tidak disetujui sebelumnya (alias nggak boleh ngelunjak).

Dian tidak boleh membocorkan rahasia ini pada siapa pun.

Dian akan menerima gaji bulanan sebesar 10 juta rupiah.

Tugas harian termasuk akting sebagai suami manis di depan Ibu Raya dan tetangga.

Tambahan 2 juta jika berhasil membuat Ibu Raya tertawa.

Dian langsung nyengir. “Wah, berarti saya bisa lembur kalau bikin Bu Raya ketawa tiap hari? Ada bonus tahunan nggak?”

Raya menahan napas. Dia nggak siap menghadapi suami kontrak yang ngarep THR.

“Ada. Tapi hanya kalau kamu berhasil bikin saya tidak membunuhmu sampai kontrak habis.”

“Oh. Deal, Mbak!”

Mereka menandatangani kontrak. Raya dengan gaya CEO, Dian dengan gaya mahasiswa dapat beasiswa. Dan begitu semuanya selesai. 

TING TONG.

Bel rumah berbunyi.

Raya langsung membelalak. “Itu pasti Mama!”

Dian panik. “Saya belum latihan manggil ‘sayang’!”

“Gak perlu! Cukup diam dan ikut saja!”

Pintu dibuka. Seorang wanita setengah baya masuk dengan gaya elegan dan ekspresi seperti bisa mencium drama dari satu kilometer.

“Anakku sayang mana calon mantu Mama?”

Dian langsung melangkah maju, lalu secara spontan memeluk Raya dari samping.

“Mama! Terima kasih sudah datang! Saya suami kontrak eh, suami calon mantu Mama!” katanya dengan nada campuran gugup dan norak.

Raya kaku seperti tiang listrik yang kesamber kejutan. Dalam hati, dia menjerit:

“INI NGGAK ADA DI SKRIP!!!”

“Eh, Mama, maksudnya ini suami calon mantu Mama,” Dian buru-buru meralat kalimatnya sambil tersenyum penuh ketegangan.

Raya ingin menendang kakinya, tapi tidak bisa karena Bu Ayu menatap mereka dengan mata penuh kecurigaan.

“Wah, pelukan tadi manis banget,” ucap Bu Ayu sambil duduk di sofa. “Mama nggak nyangka kamu bisa cepat dapet pasangan, Ray. Dan ini suami kamu? Namanya siapa?”

“Dian, Bu,” jawab Dian cepat. “Dian Prasetya. Saya eh, kerja freelance. Kadang barista, kadang admin online shop. Pokoknya serabutan, Bu, tapi yang penting halal!”

Raya memejamkan mata, menahan diri agar tidak menggebrak meja. Freelance? Barista? Admin online shop? Suami kontrak itu seharusnya tidak punya CV campur aduk kayak menu kafe!

“Oh, jadi kamu nggak kerja kantoran?” tanya Bu Ayu.

“Enggak, Bu. Tapi saya bisa bikin kopi enak. Mau saya buatin?” Dian bangkit, siap ke dapur.

“Duduk!” Raya menahan suara. “Duduk aja, Mamaku nggak boleh minum kopi sore-sore.”

Dian pun duduk dengan patuh, sambil senyum canggung.

Mama Mulai Menggoda

“Raya, duduk deket suamimu dong. Kok jauh-jauhan gitu? Mama kayak liat dua orang lagi demo, bukan pengantin baru,” sindir Bu Ayu.

Raya menelan ludah. Ia terpaksa mendekat ke Dian. Dian tersenyum, seperti anak kecil yang baru dapat permen.

“Boleh pegang tangan kamu nggak, Mbak eh, Sayang?” bisik Dian pelan.

“Pegang tangan gue kalau pengen mati muda,” bisik Raya balik. Tapi Bu Ayu sudah memperhatikan mereka dengan tatapan penuh harapan. Akhirnya Raya menarik napas dalam, lalu memegang tangan Dian.

“Aww.” Bu Ayu tersenyum bahagia. “Mama seneng liat kalian mesra. Semoga langgeng, ya.”

Dian mendadak lebay, menatap Raya dengan mata berbinar. “Amin, Sayang eh, iya kan, Sayang?”

Raya menoleh sekilas. “Iya, Sayang,” jawabnya dengan nada seperti ingin meremukkan sendok di tangan.

Tes Kemesraan Lanjutan

Tak berhenti di situ, Bu Ayu memutuskan untuk mengetes mereka.

“Ray, suap suamimu dong. Biar Mama liat, pasangan ini romantis apa nggak.”

“Apa?!” Raya hampir terbatuk.

“Mama kan mau pastiin kamu bahagia. Coba suapin dia, dong.”

Dian langsung menoleh dengan mata berbinar. “Boleh juga, Bu. Saya lapar, tadi cuma sarapan roti tawar setengah potong.”

Raya menatap Dian seperti ingin melemparnya dengan kursi. Tapi karena ini demi “misi pura-pura”, dia akhirnya mengambil sepotong cake di meja, menusukkan garpu, lalu menyodorkannya ke mulut Dian.

“Cepet makan!” bisiknya.

Dian menggigit cake itu dengan ekspresi dramatis. “Hmm, enak, Sayang tangan kamu emang paling manis.”

Bu Ayu menahan tawa. “Wah, kayaknya Mama bakal dapet cucu cepet deh ini.”

Raya nyaris tersedak. “CUCU?!”

“Ya iya lah, masa nikah cuma buat foto?” Bu Ayu menjawab santai.

Aduh, Hampir Ketahuan!

Setelah satu jam obrolan penuh kepura-puraan, Bu Ayu akhirnya pergi. Tapi sebelum keluar pintu, beliau menoleh lagi.

“Dian, jagain Raya, ya. Jangan bikin dia nangis. Kalau bikin nangis, Mama bawa golok, lho!”

Dian refleks menegakkan badan seperti prajurit. “Siap, Bu!”

Begitu pintu tertutup, Raya langsung melepaskan tangannya dari Dian.

“Kamu tuh ya, tadi aktingnya lebay banget!”

Dian mengangkat alis. “Lah, yang penting Mama seneng. Lagian tadi kamu juga manis kok, Sayang.”

“Jangan panggil gue sayang di luar skenario!”

“Tapi barusan Mama bilang kita cocok. Kayaknya kontrak ini gampang deh,” kata Dian dengan nada polos.

“Gampang? Kamu pikir pura-pura jadi suami itu mudah?” Raya menatapnya tajam. “Besok Mama mau datang lagi. Kita harus latihan biar nggak ketahuan.”

“Latihan gimana?”

“Latihan kemesraan.”

Dian tersenyum jahil. “Latihan pelukan?”

“Pelukan kepala kamu ke dinding juga bisa kalau bikin macem-macem!” bentak Raya.

Raya berdiri dengan tangan disilangkan di dada. “Kita perlu latihan. Mama pasti akan muncul tiba-tiba lagi. Kita nggak bisa terus-terusan kelabakan kayak tadi.”

Dian yang sedang duduk santai di sofa, mengunyah sisa cake dari meja tamu, langsung mengangguk. “Latihan? Maksudnya pelukan beneran? Atau kita simulasi malam pertama juga?”

“Omong kosong kamu kebanyakan!” bentak Raya.

Dian tertawa pelan, lalu bangkit berdiri. “Oke. Jadi kita mulai dari mana, Bu Direktur?”

“Panggil aku ‘Sayang’.”

“Sekarang?”

“Iya. Sekarang.”

Dian mendekat satu langkah, wajahnya dibuat sedrama mungkin. “Sayang.”

“Jangan kayak aktor sinetron jam dua siang!”

“Oke, oke.” Dian menghela napas, lalu mencoba lagi. “Sayang, kamu capek hari ini? Aku buatin teh, ya.”

Raya mengangguk pelan. “Lumayan. Sekarang coba panggil aku dengan manja, tapi jangan lebay.”

Dian merenung sejenak. Lalu dengan suara pelan dan lembut, ia berkata, “Sayaaangg."

Raya langsung merinding. Tapi bukan karena terpesona. “Kamu kedengarannya kayak anak minta susu jam tiga pagi!”

“Ya ampun, susah banget jadi suami kontrak ini ya,” gumam Dian sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.

---

Raya mengambil dua bantal dari sofa. “Oke, sekarang coba latihan posisi nonton TV bareng. Nggak perlu peluk, cukup duduk bersebelahan dan kelihatan akrab.”

Dian duduk duluan, lalu menepuk sebelahnya. Raya duduk di situ dengan kaku. Bahu mereka nyaris bersentuhan. Tapi dari aura saja, sudah jelas keduanya lebih mirip pasangan musuhan.

“Bisa lebih natural dikit, nggak?” tanya Raya.

Dian mengangguk. Lalu ia mendekat sedikit sedikit hingga akhirnya ia menyandarkan kepala ke bahu Raya.

Raya langsung kaku. “Kamu kamu ngapain?”

“Biar terlihat romantis,” bisik Dian.

“Tapi bahu gue kesemutan!”

Dian tidak bergeming. “Sabar. Demi akting kita di hadapan Mama. Awas kalau ketahuan, bisa-bisa gue beneran jadi suami kamu seumur hidup.”

Raya memutar bola matanya. “Itu ancaman atau doa?”

“Bisa dua-duanya.”

---

Beberapa menit mereka duduk begitu saja. Sunyi. Dian malah mendengkur pelan, membuat Raya semakin frustrasi.

“Hoi, bangun! Latihannya belum selesai!”

Dian membuka mata perlahan. “Aduh, enak banget bahu kamu. Lembut, kayak bantal hotel bintang lima.”

Raya mendorong kepalanya dengan bantal sungguhan. “Kepalamu itu isinya gombal semua, ya?”

Dian tertawa geli. Tapi tawa itu langsung mereda ketika ia menyadari Raya sedang menatapnya serius.

“Dian kalau kita terlalu sering begini, kamu nggak bakal baper, kan?”

Dian mengangkat satu alis. “Kenapa? Kamu takut aku jatuh cinta sama kamu?”

Raya terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, “Aku takut kamu mengacaukan hidupku yang sudah terlalu rumit.”

Suasana mendadak hening. Dian tidak menanggapi dengan candaan lagi. Ia menatap Raya dalam-dalam, kali ini tanpa senyum konyol di bibirnya.

“Tenang aja, Raya. Aku mungkin kelihatan bercanda terus, tapi aku tahu batas. Ini cuma kontrak. Aku ngerti kok.”

Raya mengangguk pelan, lalu berdiri. “Bagus kalau kamu ngerti. Sekarang ke kamarmu. Kita nggak tidur sekamar.”

“Yakin nggak ada latihan malam?” goda Dian, senyum jahilnya kembali.

Raya menatap tajam. “Latihan tendangan ke perut kamu juga boleh.”

Dian langsung berlari ke kamarnya sambil tertawa keras.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 7 PERANG DINGIN DENGAN PELAKOR

    Pagi itu, langit Jakarta terlihat pucat. Gedung-gedung tinggi di luar jendela ruang rapat lantai 38 seperti siluet yang terbungkus kabut tipis. Di dalam, pendingin ruangan berhembus lembut, tapi udara di antara orang-orang yang hadir terasa berbeda.Raya melangkah masuk bersama Dian. Tubuhnya tegak, langkahnya mantap, blazer hitamnya membentuk siluet tegas. Senyumnya tipis, seperti dinding kaca yang licin tak ada yang bisa menebak apa yang ada di baliknya. Dian berjalan setengah langkah di belakang, tapi sorot matanya menyapu ruangan, seperti sedang menghitung siapa kawan dan siapa lawan.Di ujung meja rapat, Daniel Wiratama sudah duduk. Rautnya netral, tapi jemarinya mengetuk-ngetuk meja seolah tidak sabar. Di sampingnya, duduklah seorang wanita dengan gaun krem sederhana tapi mahal, rambut disanggul rapi, bibir berwarna merah muda pucat Rara.“Raya lama sekali kita tidak bertemu,” suara Rara terdengar lembut, hampir terlalu lembut.Ia bangkit, tersenyum lebar seperti menyambut kakak

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 6 JEJAK YANG DISEMBUNYIKAN

    Pesan itu masih terpatri di layar ponsel Raya."Kamu tidak tahu siapa sebenarnya Dian. Dia bukan orang yang kamu kira."Tulisan singkat itu terasa seperti duri yang menancap di tengkuknya. Tidak ada nama pengirim hanya nomor tak dikenal. Raya sudah menutup aplikasi, membukanya lagi, berharap tulisan itu menghilang. Tapi tetap ada, seolah menunggu untuk meracuni pikirannya.Di meja makan, Dian sedang memotong buah. Gerakannya santai, bahkan sambil bersiul kecil.“Buah pagi bikin mood bagus,” katanya tanpa menoleh.Raya mengamati punggungnya. Ada sesuatu tentang pria ini tentang caranya masuk ke hidupnya begitu cepat, lalu mengisi ruang-ruang yang dulu kosong. Tapi pesan itu apa maksudnya?“Mas,” panggil Raya akhirnya.“Hm?”“Kamu pernah kenal orang dari industri hiburan?”Dian berhenti sejenak. “Kenal? Banyak. Kenapa?”“Tidak, cuma penasaran aja.” Raya menelan kata-kata selanjutnya. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi suaranya seperti terhenti di tenggorokan.Dian tersenyum tipis, lalu

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 5 MAKAN MALAM, MERTUA DAN MUKA BANTAL

    Dian tak pernah menyangka bahwa yang paling menakutkan dari pernikahan kontrak bukanlah akting sebagai suami sayang, melainkan kunjungan mendadak dari ibu mertua.“Raya, tolong bilang itu bukan nyokap kamu yang barusan ngetok-ngetok pagar sambil teriak ‘DIAN, KAMU DI MANA ANAKKU?’,” desis Dian dari balik lemari, sambil mengenakan kaus kaki belang dan mukanya masih setengah bantal.Raya malah santai di meja makan, memotong semangka. “Itu emang Mama. Cepet mandi. Dia pikir kamu udah biasa bangun jam lima pagi buat siapin sarapan.”“Jam lima pagi?” Dian menelan ludah. “Aku biasanya baru mimpi naik helikopter jam segitu.”Dari luar terdengar suara Bu Ayu, sang mertua, memanggil-manggil dengan gaya khas emak-emak sinetron: dramatis dan penuh semangat.“Rayaaaa! Suamimu mana? Mama bawa rawon! Jangan sampe dia makan mie instan lagi ya!”Raya terkekeh, sementara Dian lari ke kamar mandi seperti hendak disiram air suci.Lima belas menit kemudian, Dian muncul dengan kemeja batik kedodoran, ramb

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 4 MANTAN MENYEBALKAN DAN GOSIP IBU-IBU

    Sabtu sore.Raya berdiri di depan cermin dengan napas tersengal.Dia baru sadar dari semua jenis siksaan dalam kontrak pernikahan palsu arisan keluarga adalah yang paling brutal.“Kenapa aku harus dandan segini niatnya?” gumamnya sambil menata jilbab.Dian, yang duduk di ranjang sambil mainan dasi kupu-kupu milik sepupunya, menjawab santai,“Karena kamu harus kelihatan bahagia meskipun kamu terjebak sama suami kontrak.”“Jangan bilang gitu ah entar aku baper.”Dian terkekeh. “Berarti kamu mulai nyaman jadi istri pura-pura?”Raya diam, pura-pura sibuk merapikan alis.Saat tiba di rumah keluarga besar Tante Retha, suasana seperti pesta 17-an. Ibu-ibu pakai daster modis dengan motif bunga segede kelapa, bapak-bapak duduk melingkar sambil ngeteh dan bahas harga solar.Semua mata langsung menoleh ke arah Raya dan Dian.“Lihat tuh! Pasangan baru!”“Eh, cocok ya mereka. Laki-lakinya kalem, istrinya kelihatan galak pas banget!”“Kapan punya momongan, Dek?”Raya nyaris tersedak bala-bala.Dian

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 3 GELI-GELI SERIUS

    Pagi itu, suara alarm ponsel Raya nyaring seperti sirine kebakaran.Dian menggeliat di kasur, rambutnya acak-acakan, selimut sudah nyaris jatuh ke lantai.Sementara Raya masih berdiri kaku di depan kaca, menatap dirinya sendiri.Bukan karena galau. Tapi karena semalam mereka tidur sekasur.Dan Dian sempat walau setengah tidur meluk dia erat seperti guling."Raya." Dian bergumam lirih sambil membalik badan.Raya langsung meloncat menjauh."Hah? Aku nggak ngapa-ngapain! Demi Tuhan! Tanganmu yang duluan!"Dian masih merem. "Hah? Aku cuma ngomong nama kamu, bukan nuduh kamu nyolong sendal masjid."Raya menepuk dahinya. "Kenapa kamu bisa sesantai itu sih tidur bareng cewek?"Dian membuka satu mata, mengerjap. "Karena kamu udah resmi jadi istri kontrak, bukan?""Justru karena itu! Kita nggak boleh kelewatan!"Dian menguap. "Lho, tadi malam aku cuma tidur, bukan ngajak nonton film 18+."Setelah mandi, Raya turun ke dapur. Dia menemukan Dian lagi ngaduk kopi sambil berdendang lagu lawas:"Cin

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 2 TANDA TANGAN KONTRAK, TAPI KOK?

    Satu minggu setelah wawancara paling aneh dalam hidup Raya, keputusan besar diambil.Hari ini, kontrak pernikahan mereka akan ditandatangani.Ya, secara hukum, mereka akan menikah. Raya punya pengacara pribadi yang bisa merapikan dokumen seakan semuanya terjadi karena cinta. Padahal, ya jelas-jelas ini cinta settingan. Fake love, real akting, high gaji.Dian datang ke apartemen Raya pagi-pagi, membawa ransel besar dan wajah lebih gugup dari peserta ujian SIM.“Permisi ini saya Dian. Calon suami, ya, hehe,” sapanya sambil mengangkat dua kantong kresek: satu berisi mie instan, satu lagi penuh bantal kecil.Raya membuka pintu, mengenakan piyama satin biru, dan memelototi bantal berbentuk karakter kartun ayam.“Itu apa?”“Bantal kesayangan. Nggak bisa tidur tanpa ini, Mbak Raya. Namanya Kukuk.”Raya nyaris mengurungkan niat menikah hanya karena alasan Kukuk si bantal. Tapi dia tarik napas. Fokus. Ini semua demi Ibunya, demi warisan, demi reputasi. Bukan demi bantal ayam.Mereka duduk di r

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status