Satu minggu setelah wawancara paling aneh dalam hidup Raya, keputusan besar diambil.
Hari ini, kontrak pernikahan mereka akan ditandatangani.
Ya, secara hukum, mereka akan menikah. Raya punya pengacara pribadi yang bisa merapikan dokumen seakan semuanya terjadi karena cinta. Padahal, ya jelas-jelas ini cinta settingan. Fake love, real akting, high gaji.
Dian datang ke apartemen Raya pagi-pagi, membawa ransel besar dan wajah lebih gugup dari peserta ujian SIM.
“Permisi ini saya Dian. Calon suami, ya, hehe,” sapanya sambil mengangkat dua kantong kresek: satu berisi mie instan, satu lagi penuh bantal kecil.
Raya membuka pintu, mengenakan piyama satin biru, dan memelototi bantal berbentuk karakter kartun ayam.
“Itu apa?”
“Bantal kesayangan. Nggak bisa tidur tanpa ini, Mbak Raya. Namanya Kukuk.”
Raya nyaris mengurungkan niat menikah hanya karena alasan Kukuk si bantal. Tapi dia tarik napas. Fokus. Ini semua demi Ibunya, demi warisan, demi reputasi. Bukan demi bantal ayam.
Mereka duduk di ruang tamu. Meja kecil di tengah sudah diisi dokumen pernikahan dan satu kontrak tebal.
Dian membaca halaman pertama, lalu mengangkat alis. “Ini serasa mau kerja di BUMN. Tebalnya segini?”
Raya menatapnya tajam. “Ini bukan sekadar kawin-kawinan, ini kontrak profesional. Jangan sampai nanti kamu baper. Apalagi jatuh cinta beneran.”
Dian buru-buru angkat tangan, “Saya? Jatuh cinta? Sama Mbak Raya yang galaknya setengah dewa? Nggak lah!”
“Bagus,” kata Raya, walau agak tersinggung juga disebut galak setengah dewa.
Ia mulai membacakan isi kontrak.
Pernikahan ini akan berlangsung selama 12 bulan.
Tidak ada kontak fisik yang tidak disetujui sebelumnya (alias nggak boleh ngelunjak).
Dian tidak boleh membocorkan rahasia ini pada siapa pun.
Dian akan menerima gaji bulanan sebesar 10 juta rupiah.
Tugas harian termasuk akting sebagai suami manis di depan Ibu Raya dan tetangga.
Tambahan 2 juta jika berhasil membuat Ibu Raya tertawa.
Dian langsung nyengir. “Wah, berarti saya bisa lembur kalau bikin Bu Raya ketawa tiap hari? Ada bonus tahunan nggak?”Raya menahan napas. Dia nggak siap menghadapi suami kontrak yang ngarep THR.
“Ada. Tapi hanya kalau kamu berhasil bikin saya tidak membunuhmu sampai kontrak habis.”
“Oh. Deal, Mbak!”
Mereka menandatangani kontrak. Raya dengan gaya CEO, Dian dengan gaya mahasiswa dapat beasiswa. Dan begitu semuanya selesai.
TING TONG.
Bel rumah berbunyi.
Raya langsung membelalak. “Itu pasti Mama!”
Dian panik. “Saya belum latihan manggil ‘sayang’!”
“Gak perlu! Cukup diam dan ikut saja!”
Pintu dibuka. Seorang wanita setengah baya masuk dengan gaya elegan dan ekspresi seperti bisa mencium drama dari satu kilometer.
“Anakku sayang mana calon mantu Mama?”
Dian langsung melangkah maju, lalu secara spontan memeluk Raya dari samping.
“Mama! Terima kasih sudah datang! Saya suami kontrak eh, suami calon mantu Mama!” katanya dengan nada campuran gugup dan norak.
Raya kaku seperti tiang listrik yang kesamber kejutan. Dalam hati, dia menjerit:
“INI NGGAK ADA DI SKRIP!!!”
“Eh, Mama, maksudnya ini suami calon mantu Mama,” Dian buru-buru meralat kalimatnya sambil tersenyum penuh ketegangan.
Raya ingin menendang kakinya, tapi tidak bisa karena Bu Ayu menatap mereka dengan mata penuh kecurigaan.
“Wah, pelukan tadi manis banget,” ucap Bu Ayu sambil duduk di sofa. “Mama nggak nyangka kamu bisa cepat dapet pasangan, Ray. Dan ini suami kamu? Namanya siapa?”
“Dian, Bu,” jawab Dian cepat. “Dian Prasetya. Saya eh, kerja freelance. Kadang barista, kadang admin online shop. Pokoknya serabutan, Bu, tapi yang penting halal!”
Raya memejamkan mata, menahan diri agar tidak menggebrak meja. Freelance? Barista? Admin online shop? Suami kontrak itu seharusnya tidak punya CV campur aduk kayak menu kafe!
“Oh, jadi kamu nggak kerja kantoran?” tanya Bu Ayu.
“Enggak, Bu. Tapi saya bisa bikin kopi enak. Mau saya buatin?” Dian bangkit, siap ke dapur.
“Duduk!” Raya menahan suara. “Duduk aja, Mamaku nggak boleh minum kopi sore-sore.”
Dian pun duduk dengan patuh, sambil senyum canggung.
Mama Mulai Menggoda
“Raya, duduk deket suamimu dong. Kok jauh-jauhan gitu? Mama kayak liat dua orang lagi demo, bukan pengantin baru,” sindir Bu Ayu.
Raya menelan ludah. Ia terpaksa mendekat ke Dian. Dian tersenyum, seperti anak kecil yang baru dapat permen.
“Boleh pegang tangan kamu nggak, Mbak eh, Sayang?” bisik Dian pelan.
“Pegang tangan gue kalau pengen mati muda,” bisik Raya balik. Tapi Bu Ayu sudah memperhatikan mereka dengan tatapan penuh harapan. Akhirnya Raya menarik napas dalam, lalu memegang tangan Dian.
“Aww.” Bu Ayu tersenyum bahagia. “Mama seneng liat kalian mesra. Semoga langgeng, ya.”
Dian mendadak lebay, menatap Raya dengan mata berbinar. “Amin, Sayang eh, iya kan, Sayang?”
Raya menoleh sekilas. “Iya, Sayang,” jawabnya dengan nada seperti ingin meremukkan sendok di tangan.
Tes Kemesraan Lanjutan
Tak berhenti di situ, Bu Ayu memutuskan untuk mengetes mereka.
“Ray, suap suamimu dong. Biar Mama liat, pasangan ini romantis apa nggak.”
“Apa?!” Raya hampir terbatuk.
“Mama kan mau pastiin kamu bahagia. Coba suapin dia, dong.”
Dian langsung menoleh dengan mata berbinar. “Boleh juga, Bu. Saya lapar, tadi cuma sarapan roti tawar setengah potong.”
Raya menatap Dian seperti ingin melemparnya dengan kursi. Tapi karena ini demi “misi pura-pura”, dia akhirnya mengambil sepotong cake di meja, menusukkan garpu, lalu menyodorkannya ke mulut Dian.
“Cepet makan!” bisiknya.
Dian menggigit cake itu dengan ekspresi dramatis. “Hmm, enak, Sayang tangan kamu emang paling manis.”
Bu Ayu menahan tawa. “Wah, kayaknya Mama bakal dapet cucu cepet deh ini.”
Raya nyaris tersedak. “CUCU?!”
“Ya iya lah, masa nikah cuma buat foto?” Bu Ayu menjawab santai.
Aduh, Hampir Ketahuan!
Setelah satu jam obrolan penuh kepura-puraan, Bu Ayu akhirnya pergi. Tapi sebelum keluar pintu, beliau menoleh lagi.
“Dian, jagain Raya, ya. Jangan bikin dia nangis. Kalau bikin nangis, Mama bawa golok, lho!”
Dian refleks menegakkan badan seperti prajurit. “Siap, Bu!”
Begitu pintu tertutup, Raya langsung melepaskan tangannya dari Dian.
“Kamu tuh ya, tadi aktingnya lebay banget!”
Dian mengangkat alis. “Lah, yang penting Mama seneng. Lagian tadi kamu juga manis kok, Sayang.”
“Jangan panggil gue sayang di luar skenario!”
“Tapi barusan Mama bilang kita cocok. Kayaknya kontrak ini gampang deh,” kata Dian dengan nada polos.
“Gampang? Kamu pikir pura-pura jadi suami itu mudah?” Raya menatapnya tajam. “Besok Mama mau datang lagi. Kita harus latihan biar nggak ketahuan.”
“Latihan gimana?”
“Latihan kemesraan.”
Dian tersenyum jahil. “Latihan pelukan?”
“Pelukan kepala kamu ke dinding juga bisa kalau bikin macem-macem!” bentak Raya.
Raya berdiri dengan tangan disilangkan di dada. “Kita perlu latihan. Mama pasti akan muncul tiba-tiba lagi. Kita nggak bisa terus-terusan kelabakan kayak tadi.”
Dian yang sedang duduk santai di sofa, mengunyah sisa cake dari meja tamu, langsung mengangguk. “Latihan? Maksudnya pelukan beneran? Atau kita simulasi malam pertama juga?”
“Omong kosong kamu kebanyakan!” bentak Raya.
Dian tertawa pelan, lalu bangkit berdiri. “Oke. Jadi kita mulai dari mana, Bu Direktur?”
“Panggil aku ‘Sayang’.”
“Sekarang?”
“Iya. Sekarang.”
Dian mendekat satu langkah, wajahnya dibuat sedrama mungkin. “Sayang.”
“Jangan kayak aktor sinetron jam dua siang!”
“Oke, oke.” Dian menghela napas, lalu mencoba lagi. “Sayang, kamu capek hari ini? Aku buatin teh, ya.”
Raya mengangguk pelan. “Lumayan. Sekarang coba panggil aku dengan manja, tapi jangan lebay.”
Dian merenung sejenak. Lalu dengan suara pelan dan lembut, ia berkata, “Sayaaangg."
Raya langsung merinding. Tapi bukan karena terpesona. “Kamu kedengarannya kayak anak minta susu jam tiga pagi!”
“Ya ampun, susah banget jadi suami kontrak ini ya,” gumam Dian sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
---Raya mengambil dua bantal dari sofa. “Oke, sekarang coba latihan posisi nonton TV bareng. Nggak perlu peluk, cukup duduk bersebelahan dan kelihatan akrab.”
Dian duduk duluan, lalu menepuk sebelahnya. Raya duduk di situ dengan kaku. Bahu mereka nyaris bersentuhan. Tapi dari aura saja, sudah jelas keduanya lebih mirip pasangan musuhan.
“Bisa lebih natural dikit, nggak?” tanya Raya.
Dian mengangguk. Lalu ia mendekat sedikit sedikit hingga akhirnya ia menyandarkan kepala ke bahu Raya.
Raya langsung kaku. “Kamu kamu ngapain?”
“Biar terlihat romantis,” bisik Dian.
“Tapi bahu gue kesemutan!”
Dian tidak bergeming. “Sabar. Demi akting kita di hadapan Mama. Awas kalau ketahuan, bisa-bisa gue beneran jadi suami kamu seumur hidup.”
Raya memutar bola matanya. “Itu ancaman atau doa?”
“Bisa dua-duanya.”
---Beberapa menit mereka duduk begitu saja. Sunyi. Dian malah mendengkur pelan, membuat Raya semakin frustrasi.
“Hoi, bangun! Latihannya belum selesai!”
Dian membuka mata perlahan. “Aduh, enak banget bahu kamu. Lembut, kayak bantal hotel bintang lima.”
Raya mendorong kepalanya dengan bantal sungguhan. “Kepalamu itu isinya gombal semua, ya?”
Dian tertawa geli. Tapi tawa itu langsung mereda ketika ia menyadari Raya sedang menatapnya serius.
“Dian kalau kita terlalu sering begini, kamu nggak bakal baper, kan?”
Dian mengangkat satu alis. “Kenapa? Kamu takut aku jatuh cinta sama kamu?”
Raya terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, “Aku takut kamu mengacaukan hidupku yang sudah terlalu rumit.”
Suasana mendadak hening. Dian tidak menanggapi dengan candaan lagi. Ia menatap Raya dalam-dalam, kali ini tanpa senyum konyol di bibirnya.
“Tenang aja, Raya. Aku mungkin kelihatan bercanda terus, tapi aku tahu batas. Ini cuma kontrak. Aku ngerti kok.”
Raya mengangguk pelan, lalu berdiri. “Bagus kalau kamu ngerti. Sekarang ke kamarmu. Kita nggak tidur sekamar.”
“Yakin nggak ada latihan malam?” goda Dian, senyum jahilnya kembali.
Raya menatap tajam. “Latihan tendangan ke perut kamu juga boleh.”
Dian langsung berlari ke kamarnya sambil tertawa keras.
Bersambung
Mobil sedan hitam berhenti perlahan di depan lobi apartemen mewah tempat Raya tinggal. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, namun lampu-lampu kota masih terang benderang. Ibu Ayu duduk di kursi penumpang dengan wajah masih menyimpan keterkejutan, sementara Dian yang menyetir tampak tenang meskipun dalam dadanya tersimpan badai rencana.Sejak mereka meninggalkan gedung pusat Wiratama Group, suasana di dalam mobil itu dipenuhi diam yang panjang. Ibu Ayu masih berusaha mencerna semua yang baru saja ia dengar dan lihat.Perusahaan sebesar itu, nama yang begitu harum di dunia bisnis, yang ia kira dipimpin oleh seorang taipan tua nan misterius, ternyata milik menantunya sendiri.Tangannya meremas tas di pangkuan, bibirnya bergetar. “Dian… jadi… kamu… pemilik Wiratama Group itu?” suaranya akhirnya pecah, lirih, tapi penuh tekanan.Dian melirik sekilas, lalu mengangguk. “Iya, Mama. Maaf karena aku baru mengatakannya sekarang.”Ibu Ayu menatap Dian tidak percaya. Matanya membesar, lalu b
Pagi itu, cahaya matahari menyelinap masuk melalui tirai apartemen mewah di lantai 25. Raya menggeliat perlahan, kepalanya masih terasa berat setelah semalam hampir tidak bisa tidur nyenyak. Tangannya meraih sisi tempat tidur, biasanya di sana tubuh hangat Dian selalu ada. Namun kali ini, kosong.“Dian?” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban.Ia bangun setengah duduk, mengucek matanya, lalu menoleh ke seluruh ruangan. Sepi. Tidak ada suara ketikan laptop, tidak ada aroma kopi yang biasanya dibuat Dian setiap pagi. Bahkan sandal rumah yang biasa dipakai pria itu tidak ada di depan kamar. Raya mengernyit.Dengan cepat ia turun dari ranjang, membuka pintu kamar tamu. Mama-nya, Bu Ayu, juga tidak ada. Tempat tidur sudah rapi, seolah-olah memang tidak ditiduri semalaman.“Kenapa pergi tidak bilang-bilang?” gumam Raya, cemas sekaligus heran.Baru saja ia ingin mengambil ponselnya untuk menelpon, layar ponsel menyala. Sebuah notifikasi rapat mendadak masuk. Dari sekretaris dewan direksi:“Rapa
Rumah keluarga Miranda selalu tampak seperti galeri pameran, bukan sekadar tempat tinggal. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya yang membuat marmer lantai berkilau. Vas bunga impor, lukisan-lukisan abstrak, dan perabotan mewah dipajang di setiap sudut, seolah-olah Miranda ingin menegaskan satu hal: status sosialnya tidak boleh dipandang rendah.Di ruang tamu yang luas, Miranda duduk anggun di sofa berlapis beludru merah, mengenakan gaun satin ungu yang baru saja dikirim dari butik langganannya. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel, membalas pesan dari grup sosialita. Sesekali ia tertawa kecil, tertawa yang lebih mirip pamer ketimbang benar-benar bahagia.“Mir, kamu ini kalau terus-terusan main ponsel, nanti matamu rusak,” suara Arman terdengar dari balik koran yang ia baca. Ia duduk di kursi seberang, mengenakan piyama sutra yang jelas-jelas dipilihkan Miranda. Wajahnya datar, lebih mirip seseorang yang sekadar ‘ikut alur’.Miranda melirik sekilas. “A
Malam itu apartemen terasa lebih hangat dari biasanya. Raya sudah terlelap di kamarnya, kelelahan setelah seharian mengurus laporan dan presentasi. Suara kipas angin berputar pelan di kamar tamu, tempat Mama berbaring sambil mengoles balsem ke kakinya.Ketukan pelan terdengar di pintu. Tok tok“Mama, boleh bicara sebentar?” suara Dian terdengar hati-hati.Mama mengerutkan kening, lalu buru-buru merapikan daster yang agak kusut. “Masuk saja, Nak.”Dian masuk dengan wajah serius, berbeda dari biasanya yang selalu tenang dan sedikit usil. Ia duduk di kursi kecil dekat ranjang Mama, menunduk sejenak sebelum membuka suara.“Ma, aku mau jujur. Tentang pernikahan aku sama Raya…”Mama langsung menegakkan badan. “Hah? Jangan bilang kamu mau cerai besok pagi. Astaga, ini drama macam apa lagi?”“Bukan, Ma. Bukan itu,” Dian buru-buru menggeleng. “Aku cuma harus bilang sejujurnya. Pernikahan ini sebenarnya bukan pernikahan sungguhan. Kami aku dan Raya sepakat untuk nikah kontrak.”Mama melongo. “K
Apartemen milik Raya malam itu terasa berbeda. Biasanya ruangan modern bergaya minimalis itu hanya diisi keheningan, suara AC, dan lampu kota yang berkelap-kelip dari balik jendela kaca besar. Namun kini, ruang tamu yang biasanya rapi bak majalah interior dipenuhi suara tawa dan komentar dari Mama Raya, yang baru saja pulang dari rumah sakit.“Wahhh, apartemen kamu keren sekali ya, Nak. Lihat tuh, pemandangan kota malamnya kayak di drama Korea. Cocok banget buat hmm.” Mama menoleh ke Dian yang sibuk membereskan tas belanja kecil. “cocok buat pasangan muda yang lagi manis-manisnya.”Raya menutup wajah dengan tangan. “Ma baru juga pulang dari rumah sakit, kok langsung heboh.”“Hei, jangan dibilang heboh. Ini namanya semangat hidup!” sahut Mama, lalu duduk santai di sofa empuk sambil menyilangkan kaki. “Lagipula, Mama senang sekali bisa tinggal sama kalian. Bosan di rumah cuma ditemani pembantu, apalagi Papa kamu sibuk sama ya kamu tahu sendiri lah.” Nada suaranya sempat menurun, tapi ce
Raya baru saja menutup rapat daring dengan investor Jepang ketika ponselnya berdering. Nama “Mama” muncul di layar. Awalnya ia pikir sekadar telepon rutin menanyakan kabar, tapi begitu diangkat, suara Mama terdengar lirih penuh drama.“Raya, Mama di rumah sakit.”Raya langsung berdiri. “Apa? Mama kenapa?!”“Kolesterol Mama naik lagi perawat bilang karena kemarin Mama makan sate kambing, rendang, sama gulai.” Suaranya dibuat sengau seolah mau pingsan.Raya menepuk dahi. “Mama! Itu kan makanan pantangan semua! Siapa suruh makan?”“Loh, masa Mama dilarang menikmati hidup? Lagian siapa tahu umur Mama nggak panjang.”“Mama!” Raya nyaris menjerit.Tepat saat itu Dian masuk ke ruang kerja dengan dua cangkir kopi. Melihat wajah Raya pucat, ia langsung menaruh cangkir di meja. “Ada apa?”“Mama masuk rumah sakit!” Raya buru-buru menjelaskan.Tanpa pikir panjang, Dian meraih kunci mobil. “Ayo, kita ke sana sekarang.”Suasana Rumah SakitBegitu sampai di ruang perawatan, Raya langsung berlari. Ma