Home / Rumah Tangga / SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK! / BAB 3 SUAMI KONTRAK VS MANTAN SUAMI

Share

BAB 3 SUAMI KONTRAK VS MANTAN SUAMI

Author: Febra Raas
last update Huling Na-update: 2025-07-27 16:20:37

Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, membentuk garis keemasan di lantai kayu apartemen mewah itu. Dari jendela setinggi langit-langit, pemandangan kota terlihat masih berbalut kabut tipis.

Raya membuka mata perlahan, matanya langsung menangkap interior ruang tamunya yang serba rapi sofa abu-abu, rak buku dengan koleksi impor, dan vas bunga segar di sudut ruangan. Semua tertata sempurna kecuali satu hal.

Dian.

Pria itu sedang duduk santai di sofa, rambutnya sedikit acak-acakan, kaus putihnya nyaris kebesaran. Di pangkuannya, ada nampan berisi dua cangkir kopi dan piring roti panggang. Seolah dia pemilik apartemen ini, bukan sekadar suami kontrak.

“Kamu bangun juga,” katanya tanpa menoleh. “Aku kira CEO bangunnya jam sebelas.”

Raya mengerjap, mencoba mengingat semalam. Mereka sampai di apartemen setelah perjalanan panjang. Saat Bu Ayu menelepon menanyakan kabar, Raya menjawab semua baik-baik saja tanpa menyebut bahwa mereka tidur di kamar terpisah.

“Jam setengah tujuh, Mas. Normal. Dan… ini apartemenku, bukan kos. Jadi jangan bersikap seperti tuan rumah.” Raya berjalan menuju meja makan.

Dian hanya mengangkat bahu, lalu mendorong salah satu cangkir kopi ke arahnya. “Kopi hitam, tanpa gula. Sama seperti yang kamu pesan di kafe waktu kita pertama ketemu.”

Raya menatapnya heran. “Kamu ingat?”

“Aku kan dibayar untuk mengingat detail kecil tentang istriku,” jawab Dian sambil menyeringai.

Mereka makan dalam diam beberapa menit. Tapi suasana tak benar-benar hening ada rasa canggung yang belum sepenuhnya hilang sejak pernikahan kemarin.

Tiba-tiba ponsel Raya bergetar. Sebuah pesan masuk dari sekretarisnya:

Meeting jam sembilan. Dan, maaf, Pak Daniel juga hadir.

Raya menggenggam ponselnya lebih erat. Daniel. Mantan suaminya.

Dian melihat perubahan ekspresinya dan mengangkat alis. “Masalah?”

“Bukan urusanmu,” jawab Raya cepat. Tapi matanya berkata lain ada badai yang siap pecah hari ini.

Lift apartemen berhenti di lobi, dan langkah Raya terdengar tegas di atas lantai marmer. Dian berjalan di sebelahnya, mengenakan kemeja putih yang digulung rapi di lengan. Wajahnya santai, seolah tidak tahu kalau pagi ini Raya akan bertemu pria yang pernah memporak-porandakan hidupnya.

Di parkiran, Dian membuka pintu mobil sport Raya. “Aku ikut,” katanya singkat.

“Tidak perlu.” Raya memasang wajah dingin.

“Kontrak kita bilang ‘tampil mesra di depan publik’. Meeting kantor itu publik juga, kan?” Senyum tipisnya mengisyaratkan bahwa dia tahu Raya tak bisa membantah.

Setengah jam kemudian, mereka tiba di ruang rapat lantai 35. Dinding kaca menampilkan panorama kota, meja panjang penuh dengan direktur dan manajer. Tapi yang langsung mencuri perhatian Raya adalah sosok di ujung meja.

Daniel.

Jas hitamnya masih sama seperti dulu elegan, rapih, tapi mata itu mata yang dulu membuat Raya merasa kecil.

“Raya,” sapanya datar. “Lama tak bertemu.”

Raya menarik kursi, duduk dengan punggung tegak. “Daniel.”

Sebelum ketegangan menguasai ruangan, Dian bergerak. Ia duduk di samping Raya, meraih tangannya, lalu berkata cukup keras agar semua orang mendengar, “Maaf telat sedikit. Istri saya agak susah dibangunkan pagi ini.”

Beberapa direktur tersenyum kaku. Daniel menatap tangan mereka yang saling menggenggam, rahangnya mengeras.

Meeting berjalan, tapi tatapan Daniel ke arah Raya dan Dian tak pernah surut. Dian, entah sengaja atau tidak, sesekali menyandarkan bahunya pada Raya sambil membisikkan komentar konyol tentang slide presentasi.

Saat rapat berakhir, Daniel mendekat. “Boleh bicara sebentar?”

Raya membuka mulut untuk menolak, tapi Dian lebih dulu menjawab, “Tentu. Tapi saya ikut.”

Nada suaranya santai, tapi di balik senyum itu ada kewaspadaan.

Daniel menatapnya sebentar, lalu beralih ke Raya. “Aku hanya ingin mengingatkan ada hal-hal yang tidak bisa kamu sembunyikan selamanya.”

Raya menahan napas. Dian memandang Daniel tajam, seakan menantang: Coba saja.

Pintu lift kantor menutup, meninggalkan keheningan di antara mereka. Raya berjalan cepat menuju parkiran, tumit sepatunya beradu dengan lantai beton.

Dian mengikuti di belakang, langkahnya santai seperti biasa. “Kamu tahu nggak, tatapan mantan suamimu barusan itu kayak singa kelaparan. Untung aku ada di sana.”

Raya menoleh, mendelik. “Kamu ada di sana justru bikin aku nggak fokus. Setiap kali dia bicara, kamu bisik-bisik komentar nggak penting.”

“Eh, itu teknik distraksi. Biar kamu nggak grogi.” Dian mengangkat bahu, lalu menekan tombol remote mobil. “Kalau aku nggak gitu, mungkin kamu udah terpancing emosi.”

Raya mendesah panjang, masuk ke mobil. Tapi sebelum menghidupkan mesin, ia menatap Dian serius. “Jangan campuri urusan pribadiku.”

“Kontrak kita bilang aku harus jadi suami yang terlihat nyata. Bagian dari itu ya menjaga kamu, Ray.”

Nada suara Dian kali ini tidak main-main. Tatapannya menusuk, membuat Raya sedikit tertegun.

Mobil melaju keluar dari gedung. Beberapa menit mereka hanya terdiam, sampai Dian tiba-tiba bertanya, “Dia mantan suamimu itu, nyakitin kamu, ya?”

Raya memalingkan wajah ke jendela. “Itu masa lalu. Dan masa lalu bukan urusanmu.”

Dian menatap jalan, tapi sudut bibirnya terangkat tipis. “Kalau dia macam-macam lagi, masa lalumu bisa jadi urusanku. Bahkan hobi baruku.”

Raya menghela napas, mencoba menahan senyum yang hampir muncul. Sialnya, pria ini tahu cara melucuti pertahanannya tanpa dia sadari.

Mereka berhenti di lampu merah. Di sebelah, sebuah motor berhenti, pengemudinya menatap mereka dan berbisik pada temannya. Mungkin mengenali wajah Raya dari berita perusahaan.

Tanpa pikir panjang, Dian meraih tangan Raya dan mengecup punggungnya dengan dramatis. “Biar gosipnya langsung tersebar,” katanya pelan.

Raya terbelalak. “Kamu.”

Lampu hijau menyala, dan Dian tancap gas, meninggalkan Raya yang masih syok sekaligus heran, kenapa jantungnya berdebar begitu cepat.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    Kebenaran Terungkap

    Mobil sedan hitam berhenti perlahan di depan lobi apartemen mewah tempat Raya tinggal. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, namun lampu-lampu kota masih terang benderang. Ibu Ayu duduk di kursi penumpang dengan wajah masih menyimpan keterkejutan, sementara Dian yang menyetir tampak tenang meskipun dalam dadanya tersimpan badai rencana.Sejak mereka meninggalkan gedung pusat Wiratama Group, suasana di dalam mobil itu dipenuhi diam yang panjang. Ibu Ayu masih berusaha mencerna semua yang baru saja ia dengar dan lihat.Perusahaan sebesar itu, nama yang begitu harum di dunia bisnis, yang ia kira dipimpin oleh seorang taipan tua nan misterius, ternyata milik menantunya sendiri.Tangannya meremas tas di pangkuan, bibirnya bergetar. “Dian… jadi… kamu… pemilik Wiratama Group itu?” suaranya akhirnya pecah, lirih, tapi penuh tekanan.Dian melirik sekilas, lalu mengangguk. “Iya, Mama. Maaf karena aku baru mengatakannya sekarang.”Ibu Ayu menatap Dian tidak percaya. Matanya membesar, lalu b

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    Kekalahan Raya

    Pagi itu, cahaya matahari menyelinap masuk melalui tirai apartemen mewah di lantai 25. Raya menggeliat perlahan, kepalanya masih terasa berat setelah semalam hampir tidak bisa tidur nyenyak. Tangannya meraih sisi tempat tidur, biasanya di sana tubuh hangat Dian selalu ada. Namun kali ini, kosong.“Dian?” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban.Ia bangun setengah duduk, mengucek matanya, lalu menoleh ke seluruh ruangan. Sepi. Tidak ada suara ketikan laptop, tidak ada aroma kopi yang biasanya dibuat Dian setiap pagi. Bahkan sandal rumah yang biasa dipakai pria itu tidak ada di depan kamar. Raya mengernyit.Dengan cepat ia turun dari ranjang, membuka pintu kamar tamu. Mama-nya, Bu Ayu, juga tidak ada. Tempat tidur sudah rapi, seolah-olah memang tidak ditiduri semalaman.“Kenapa pergi tidak bilang-bilang?” gumam Raya, cemas sekaligus heran.Baru saja ia ingin mengambil ponselnya untuk menelpon, layar ponsel menyala. Sebuah notifikasi rapat mendadak masuk. Dari sekretaris dewan direksi:“Rapa

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 23 AMBISI RARA DAN MAMINYA

    Rumah keluarga Miranda selalu tampak seperti galeri pameran, bukan sekadar tempat tinggal. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya yang membuat marmer lantai berkilau. Vas bunga impor, lukisan-lukisan abstrak, dan perabotan mewah dipajang di setiap sudut, seolah-olah Miranda ingin menegaskan satu hal: status sosialnya tidak boleh dipandang rendah.Di ruang tamu yang luas, Miranda duduk anggun di sofa berlapis beludru merah, mengenakan gaun satin ungu yang baru saja dikirim dari butik langganannya. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel, membalas pesan dari grup sosialita. Sesekali ia tertawa kecil, tertawa yang lebih mirip pamer ketimbang benar-benar bahagia.“Mir, kamu ini kalau terus-terusan main ponsel, nanti matamu rusak,” suara Arman terdengar dari balik koran yang ia baca. Ia duduk di kursi seberang, mengenakan piyama sutra yang jelas-jelas dipilihkan Miranda. Wajahnya datar, lebih mirip seseorang yang sekadar ‘ikut alur’.Miranda melirik sekilas. “A

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 22 OPERASI MENYATUKAN RAYA DAN DIAN

    Malam itu apartemen terasa lebih hangat dari biasanya. Raya sudah terlelap di kamarnya, kelelahan setelah seharian mengurus laporan dan presentasi. Suara kipas angin berputar pelan di kamar tamu, tempat Mama berbaring sambil mengoles balsem ke kakinya.Ketukan pelan terdengar di pintu. Tok tok“Mama, boleh bicara sebentar?” suara Dian terdengar hati-hati.Mama mengerutkan kening, lalu buru-buru merapikan daster yang agak kusut. “Masuk saja, Nak.”Dian masuk dengan wajah serius, berbeda dari biasanya yang selalu tenang dan sedikit usil. Ia duduk di kursi kecil dekat ranjang Mama, menunduk sejenak sebelum membuka suara.“Ma, aku mau jujur. Tentang pernikahan aku sama Raya…”Mama langsung menegakkan badan. “Hah? Jangan bilang kamu mau cerai besok pagi. Astaga, ini drama macam apa lagi?”“Bukan, Ma. Bukan itu,” Dian buru-buru menggeleng. “Aku cuma harus bilang sejujurnya. Pernikahan ini sebenarnya bukan pernikahan sungguhan. Kami aku dan Raya sepakat untuk nikah kontrak.”Mama melongo. “K

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 21 SEKAMAR LAGI, MAMA NGINAP

    Apartemen milik Raya malam itu terasa berbeda. Biasanya ruangan modern bergaya minimalis itu hanya diisi keheningan, suara AC, dan lampu kota yang berkelap-kelip dari balik jendela kaca besar. Namun kini, ruang tamu yang biasanya rapi bak majalah interior dipenuhi suara tawa dan komentar dari Mama Raya, yang baru saja pulang dari rumah sakit.“Wahhh, apartemen kamu keren sekali ya, Nak. Lihat tuh, pemandangan kota malamnya kayak di drama Korea. Cocok banget buat hmm.” Mama menoleh ke Dian yang sibuk membereskan tas belanja kecil. “cocok buat pasangan muda yang lagi manis-manisnya.”Raya menutup wajah dengan tangan. “Ma baru juga pulang dari rumah sakit, kok langsung heboh.”“Hei, jangan dibilang heboh. Ini namanya semangat hidup!” sahut Mama, lalu duduk santai di sofa empuk sambil menyilangkan kaki. “Lagipula, Mama senang sekali bisa tinggal sama kalian. Bosan di rumah cuma ditemani pembantu, apalagi Papa kamu sibuk sama ya kamu tahu sendiri lah.” Nada suaranya sempat menurun, tapi ce

  • SUAMI KONTRAK, TAPI TIAP MALAM MINTA HAK!    BAB 20 MAMA MINTA CUCU

    Raya baru saja menutup rapat daring dengan investor Jepang ketika ponselnya berdering. Nama “Mama” muncul di layar. Awalnya ia pikir sekadar telepon rutin menanyakan kabar, tapi begitu diangkat, suara Mama terdengar lirih penuh drama.“Raya, Mama di rumah sakit.”Raya langsung berdiri. “Apa? Mama kenapa?!”“Kolesterol Mama naik lagi perawat bilang karena kemarin Mama makan sate kambing, rendang, sama gulai.” Suaranya dibuat sengau seolah mau pingsan.Raya menepuk dahi. “Mama! Itu kan makanan pantangan semua! Siapa suruh makan?”“Loh, masa Mama dilarang menikmati hidup? Lagian siapa tahu umur Mama nggak panjang.”“Mama!” Raya nyaris menjerit.Tepat saat itu Dian masuk ke ruang kerja dengan dua cangkir kopi. Melihat wajah Raya pucat, ia langsung menaruh cangkir di meja. “Ada apa?”“Mama masuk rumah sakit!” Raya buru-buru menjelaskan.Tanpa pikir panjang, Dian meraih kunci mobil. “Ayo, kita ke sana sekarang.”Suasana Rumah SakitBegitu sampai di ruang perawatan, Raya langsung berlari. Ma

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status