Pagi itu, suara alarm ponsel Raya nyaring seperti sirine kebakaran.
Dian menggeliat di kasur, rambutnya acak-acakan, selimut sudah nyaris jatuh ke lantai.
Sementara Raya masih berdiri kaku di depan kaca, menatap dirinya sendiri.Bukan karena galau. Tapi karena semalam mereka tidur sekasur.
Dan Dian sempat walau setengah tidur meluk dia erat seperti guling."Raya." Dian bergumam lirih sambil membalik badan.
Raya langsung meloncat menjauh.
"Hah? Aku nggak ngapa-ngapain! Demi Tuhan! Tanganmu yang duluan!"Dian masih merem. "Hah? Aku cuma ngomong nama kamu, bukan nuduh kamu nyolong sendal masjid."
Raya menepuk dahinya. "Kenapa kamu bisa sesantai itu sih tidur bareng cewek?"
Dian membuka satu mata, mengerjap. "Karena kamu udah resmi jadi istri kontrak, bukan?"
"Justru karena itu! Kita nggak boleh kelewatan!"
Dian menguap. "Lho, tadi malam aku cuma tidur, bukan ngajak nonton film 18+."
Setelah mandi, Raya turun ke dapur. Dia menemukan Dian lagi ngaduk kopi sambil berdendang lagu lawas:
"Cinta datang tiba-tiba, tanpa pernah kau sangka.""Uhuk." Raya berdeham. "Mas Dian. Kita butuh aturan."
"Aturan apa lagi? Ini rumah, bukan kantor polisi."
Raya duduk di kursi makan, menatapnya serius.
"Kita nggak boleh tidur sekasur lagi. Kalau perlu, aku tidur di sofa."
Dian mendecak. "Oke. Tapi kamu yang nanti encok, ya."
“Lagian,” lanjut Dian, “kamu pikir aku kuat godaan? Aku ini pria sopan.”
“Justru itu masalahnya!” sahut Raya. “Kamu terlalu sopan tapi bisa berubah kalau lagi tidur!”
Saat sarapan, mereka membahas pembagian tugas rumah.
“Piring kamu, baju aku. WC gantian,” kata Dian.
“Gantian gimana maksudnya?”
“Gantian bersihin. Bukan gantian makai.”
Raya menghela napas. Hidup satu rumah dengan lelaki asing memang bukan hal gampang.
Apalagi kalau lelaki itu kadang manis, kadang ngeselin, dan suka banget godain pakai humor receh.Siangnya, ibu kos datang.
“Raya, kamu udah nikah, ya? Kemarin saya lihat foto kalian di I*******m. Lucu banget!”
Raya membeku. Dian muncul dari balik pintu dengan baju rumah dan senyum menawan.
“Iya, Bu. Kami baru nikah minggu lalu,” jawab Dian sambil merangkul Raya dan Raya tidak bisa menolak karena ibu kos sudah bahagia setengah mati.
“Duh, semoga langgeng ya. Kamu, Raya, jadi makin bersinar. Ada auranya pengantin baru!”
Setelah ibu kos pergi, Raya menatap Dian dengan wajah penuh syak wasangka.
“Kamu update foto kita di I*******m?”
Dian cengar-cengir. “Emang kenapa? Biar semua mantanmu tahu kamu sudah laku.”
“Aku nggak punya mantan.”
“Berarti makin spesial! Pertama dan terakhir... sama aku.”
Sore hari, mereka belanja ke mini market.
Dian iseng menaruh satu pak kondom di keranjang belanja.“Eh!” Raya panik. “Buat apa ini?”
Dian nyengir. “Biar kasirnya makin percaya kita pasangan beneran.”
“Mas, ini keterlaluan.”
“Kamu mau orang curiga nikah kita bohongan? Ya ini langkah preventif,” katanya bangga.
Raya langsung ambil dan taruh balik. “Kita cukup beli sabun cuci piring aja.”
“Tapi sabun nggak bisa menutupi cinta kita yang murni,” jawab Dian dengan dramatis.
“Mas, sabun ini lebih bisa cuci dosa kamu,” sahut Raya sambil memukul lengannya pakai bungkus spons.
Malamnya, Raya duduk di kamar sambil mengetik jurnal harian:
“Hari ke-3 sebagai istri kontrak. Pria ini terlalu nyaman untuk jadi bohongan. Tapi terlalu bahaya untuk jadi kenyataan. Aku takut perasaanku mulai main serius.”
Setelah seminggu jadi pasangan kontrak, hal-hal aneh mulai terasa normal bagi Raya.
Tidur bareng tapi jaga jarak. Sarapan bareng tapi debat soal sereal duluan atau kopi duluan. Semua berjalan nyaris nyaman.Tapi sore itu, sesuatu atau seseorang mengusik ketenangan.
TING TONG!
Dian membuka pintu dengan wajah malas. Tapi begitu lihat siapa yang berdiri di depan dia langsung tegang.
"Larissa?"
Raya, yang sedang ngelap meja makan, sontak berdiri. Cewek tinggi, cantik, dan berdandan seperti siap pergi kondangan sendirian, melangkah masuk dengan percaya diri.
“Hai, Mas Dian. Masih suka lupa balas chat aku ya?” ucap Larissa sambil senyum lebar.
Raya langsung merasa seperti figuran di sinetron.
Dian mengusap tengkuknya. “Kamu ngapain ke sini?”
Larissa tak menggubris, malah menatap Raya dari ujung kepala sampai kaki.
“Ini yang katanya istri kamu? Nikah beneran atau nikah sambilan?”Raya menaikkan satu alis. "Maaf, saya full time."
Larissa tertawa, tapi matanya tajam. “Hebat, ya. Baru beberapa minggu, langsung ganti status.”
Raya mendekat dan menggandeng lengan Dian tanpa permisi.
“Dian sekarang suami saya. Dan kamu siapa ya? Penggemar?”
Dian nyengir kecut, antara kagum dan takut.
Larissa mendengus. “Oke. Aku cuma mampir. Toh, Mas Dian dulu bilang ‘nggak bakal nikah dalam waktu dekat’. Ternyata maksudnya nikah dadakan.”
Setelah Larissa pergi, Raya melipat tangan di dada.
“Jadi, dia siapa?”
“Teman kampus. Mantan, temen deket. Tapi mantan.”
“Dan dia nggak tahu kamu nikah?”
“Baru tahu sekarang. Dan sepertinya dia agak nyolot, ya?”
“Agak?” Raya melotot.
Dian tertawa kecil. “Tenang, kamu tadi keren. Aku hampir jatuh cinta beneran.”
Raya menjitak bahunya pelan. “Jatuh cinta boleh. Tapi hati-hati, jangan kepleset di mantan.”
Malam harinya, suasana jadi canggung.
Dian sibuk di dapur bikin mie rebus dua mangkuk. Saat dia menyodorkan semangkuk ke Raya, cewek itu hanya menatap kosong.“Kenapa? Bukan mie kesukaan kamu?”
“Bukan itu.”
“Terus?”
“Gimana kalau besok ada mantan kamu lain yang datang? Yang lebih galak? Yang nuntut hak waris?”
Dian tergelak. “Kamu ngarang skrip sinetron?”
“Mas.”
Nada suara Raya berubah lembut.
“Aku tahu kita cuma kontrak. Tapi tetap saja, aku nggak suka merasa kayak pelindung palsu di depan tamu asli dari masa lalu kamu.”
Dian terdiam sebentar. Lalu duduk di sebelahnya.
"Raya, kamu bener. Aku salah nggak kasih tahu dia sejak awal. Tapi percayalah, aku nggak main-main soal bikin kamu nyaman di sini."
“Walau cuma kontrak?”
“Kontrak tetap perlu dihormati. Apalagi kalau isi kontraknya mulai bikin aku susah tidur mikirin kamu.”
Raya menoleh cepat. “Apa?!”
Dian bangkit, pura-pura santai bawa mangkuk mie ke wastafel.
“Tadi mie-nya kepedasan. Lidahku kebakar. Jadi agak ngelantur.”Di balik sikap kocak Dian, Raya tahu
ada sesuatu yang mulai tumbuh.Dan dia takut bukan karena cinta itu salah tapi karena kalau ini berakhir
Dia yang paling rugi. Karena hatinya mulai berpihak. Sementara mereka belum tentu satu pihak.Jam 10 malam.
Raya sudah cuci muka, pakai piyama, dan duduk gelisah di kursi depan TV. Tapi bukan karena drama Korea yang diputar, melainkan karena satu pesan dari Dian yang baru pulang rapat kantor:
“Kita harus nginap di rumah Tante Retha malam ini. Katanya wajib. Ada urusan keluarga. Dia nyuruh kita datang berdua. Dan tidur di kamar pengantin.”
Raya langsung membeku.
Kamar pengantin?
Mereka bahkan belum pernah tidur di kasur yang sama. Selama ini dia lebih suka pakai sofa. Sekalinya bareng, itu juga hanya pura-pura pas foto keluarga kemarin.
Kini harus nginap di tempat tante?
Dan pura-pura mesra?
Dunia benar-benar kejam terhadap istri kontrak.
Setelah 40 menit perjalanan, mereka sampai di rumah besar bergaya kolonial milik Tante Retha. Wanita paruh baya itu langsung menyambut dengan antusias.
“Akhirnya datang juga! Duh, kalian makin cocok aja! Wajahnya udah mirip, tahu!”
Raya senyum kecut. “Mungkin karena sama-sama stres, Tante.”
Tante Retha ngakak. “Bisa aja. Nah, ayo naik ke kamar pengantin ya. Tante udah siapin!”
Raya melirik Dian dengan tatapan “Tolong, bantu aku kabur lewat genteng”, tapi Dian malah pasang senyum palsu yang lebih parah.
Kamar pengantin itu seperti jebakan modern.
Dinding pastel pink, kelambu renda-renda, dan kamera CCTV kecil di pojok langit-langit.
“Dian,” bisik Raya, “itu beneran kamera?”
Dian mendekat dan menatap kamera dengan ekspresi netral.
“Kita pura-pura aja. Tante kamu kayaknya fans drama.”
“Kalau dia streaming ke keluarga besar gimana?”
“Tenang. Aku ahli akting.”
“Ya, tapi aku nggak!”
Beberapa menit kemudian, mereka sudah di atas kasur. Raya duduk kaku di pinggir, masih pakai hoodie dan celana training. Dian malah santai selonjoran, baca buku resep yang entah kenapa ada di sana.
“Kamu kok tenang banget sih?” bisik Raya.
“Karena aku tahu cara menyelamatkan kita.”
Dian bangun, lalu menyusun guling di antara mereka.
“Ini guling batas negara. Kamu di Zona Aman. Aku di Zona Bebas.”
“Kamu yakin Tante Retha nggak akan curiga?”
“Justru kalau kita terlalu romantis, dia curiga. Kita harus pasang ekspresi pasangan yang udah menikah satu tahun agak bosan tapi masih peduli.”
Raya nyengir. “Itu ekspresi gimana?”
“Kayak kamu lihat aku buka baju tapi lebih tertarik nonton TikTok.
Malam pun bergulir.
Lampu dimatikan. CCTV masih menyala dengan lampu merah kecil yang menyala menusuk rasa malu.
Dian tidur dengan satu tangan di atas kepala, mulut sedikit terbuka, dan sesekali mengorok pelan.
Raya memeluk bantal, menghadap dinding.
Tapi dia tidak bisa tidur.
Ada sesuatu yang membuatnya gelisah.
Bukan karena kasur baru. Bukan karena Tante Retha yang super dramatis.
Tapi karena pria di sebelahnya yang seharusnya cuma suami kontrak membuatnya nyaman tanpa alasan.
Jam 2 pagi.
“Kamu masih bangun?” tanya Dian, lirih.
Raya pelan menoleh. “Iya. Aku mikir.”
“Mikir kontrak kita?”
“Sedikit.”
Dian mendekat masih ada guling di antara mereka dan bertanya hati-hati,
“Raya kalau misalny kontrak ini berjalan lebih lama dari rencana, kamu keberatan?”
“Kenapa?”
“Karena aku baru sadar aku suka cara kamu nyuruh aku nyuci piring.”
Raya tertawa pelan. “Itu bukan alasan yang sehat untuk jatuh cinta, Mas.”
“Siapa bilang aku jatuh cinta?”
Raya terdiam. Hatinya deg-degan tanpa ritme.
Dian menambahkan,
“Cuma kalaupun iya, kamu nggak akan tahu. Karena aku akan sembunyikan lebih baik daripada CCTV Tante Retha.”
Keesokan paginya.
Tante Retha masuk ke kamar sambil bawa dua gelas susu hangat.
Tapi saat lihat guling panjang di tengah kasur, dia cemberut.
“Lho! Kalian tidur kayak pagar pemisah gitu? Ini kamar pengantin, bukan asrama mahasiswa!”
Raya langsung bangun dan menjawab cepat,
“Tante, itu buat dekorasi! Biar estetik.”
Dian ikut-ikutan, “Iya, kita tidur berpelukan kok tapi abis itu Raya mendorong aku karena katanya aku ngorok kayak truk mundur.”
Tante Retha menatap curiga.
“Hmm, oke. Tapi nanti sore, kalian ikut arisan keluarga ya. Biar semua orang tahu kalau kalian bukan pasangan bohongan.”
Ups.
Pagi itu, langit Jakarta terlihat pucat. Gedung-gedung tinggi di luar jendela ruang rapat lantai 38 seperti siluet yang terbungkus kabut tipis. Di dalam, pendingin ruangan berhembus lembut, tapi udara di antara orang-orang yang hadir terasa berbeda.Raya melangkah masuk bersama Dian. Tubuhnya tegak, langkahnya mantap, blazer hitamnya membentuk siluet tegas. Senyumnya tipis, seperti dinding kaca yang licin tak ada yang bisa menebak apa yang ada di baliknya. Dian berjalan setengah langkah di belakang, tapi sorot matanya menyapu ruangan, seperti sedang menghitung siapa kawan dan siapa lawan.Di ujung meja rapat, Daniel Wiratama sudah duduk. Rautnya netral, tapi jemarinya mengetuk-ngetuk meja seolah tidak sabar. Di sampingnya, duduklah seorang wanita dengan gaun krem sederhana tapi mahal, rambut disanggul rapi, bibir berwarna merah muda pucat Rara.“Raya lama sekali kita tidak bertemu,” suara Rara terdengar lembut, hampir terlalu lembut.Ia bangkit, tersenyum lebar seperti menyambut kakak
Pesan itu masih terpatri di layar ponsel Raya."Kamu tidak tahu siapa sebenarnya Dian. Dia bukan orang yang kamu kira."Tulisan singkat itu terasa seperti duri yang menancap di tengkuknya. Tidak ada nama pengirim hanya nomor tak dikenal. Raya sudah menutup aplikasi, membukanya lagi, berharap tulisan itu menghilang. Tapi tetap ada, seolah menunggu untuk meracuni pikirannya.Di meja makan, Dian sedang memotong buah. Gerakannya santai, bahkan sambil bersiul kecil.“Buah pagi bikin mood bagus,” katanya tanpa menoleh.Raya mengamati punggungnya. Ada sesuatu tentang pria ini tentang caranya masuk ke hidupnya begitu cepat, lalu mengisi ruang-ruang yang dulu kosong. Tapi pesan itu apa maksudnya?“Mas,” panggil Raya akhirnya.“Hm?”“Kamu pernah kenal orang dari industri hiburan?”Dian berhenti sejenak. “Kenal? Banyak. Kenapa?”“Tidak, cuma penasaran aja.” Raya menelan kata-kata selanjutnya. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi suaranya seperti terhenti di tenggorokan.Dian tersenyum tipis, lalu
Dian tak pernah menyangka bahwa yang paling menakutkan dari pernikahan kontrak bukanlah akting sebagai suami sayang, melainkan kunjungan mendadak dari ibu mertua.“Raya, tolong bilang itu bukan nyokap kamu yang barusan ngetok-ngetok pagar sambil teriak ‘DIAN, KAMU DI MANA ANAKKU?’,” desis Dian dari balik lemari, sambil mengenakan kaus kaki belang dan mukanya masih setengah bantal.Raya malah santai di meja makan, memotong semangka. “Itu emang Mama. Cepet mandi. Dia pikir kamu udah biasa bangun jam lima pagi buat siapin sarapan.”“Jam lima pagi?” Dian menelan ludah. “Aku biasanya baru mimpi naik helikopter jam segitu.”Dari luar terdengar suara Bu Ayu, sang mertua, memanggil-manggil dengan gaya khas emak-emak sinetron: dramatis dan penuh semangat.“Rayaaaa! Suamimu mana? Mama bawa rawon! Jangan sampe dia makan mie instan lagi ya!”Raya terkekeh, sementara Dian lari ke kamar mandi seperti hendak disiram air suci.Lima belas menit kemudian, Dian muncul dengan kemeja batik kedodoran, ramb
Sabtu sore.Raya berdiri di depan cermin dengan napas tersengal.Dia baru sadar dari semua jenis siksaan dalam kontrak pernikahan palsu arisan keluarga adalah yang paling brutal.“Kenapa aku harus dandan segini niatnya?” gumamnya sambil menata jilbab.Dian, yang duduk di ranjang sambil mainan dasi kupu-kupu milik sepupunya, menjawab santai,“Karena kamu harus kelihatan bahagia meskipun kamu terjebak sama suami kontrak.”“Jangan bilang gitu ah entar aku baper.”Dian terkekeh. “Berarti kamu mulai nyaman jadi istri pura-pura?”Raya diam, pura-pura sibuk merapikan alis.Saat tiba di rumah keluarga besar Tante Retha, suasana seperti pesta 17-an. Ibu-ibu pakai daster modis dengan motif bunga segede kelapa, bapak-bapak duduk melingkar sambil ngeteh dan bahas harga solar.Semua mata langsung menoleh ke arah Raya dan Dian.“Lihat tuh! Pasangan baru!”“Eh, cocok ya mereka. Laki-lakinya kalem, istrinya kelihatan galak pas banget!”“Kapan punya momongan, Dek?”Raya nyaris tersedak bala-bala.Dian
Pagi itu, suara alarm ponsel Raya nyaring seperti sirine kebakaran.Dian menggeliat di kasur, rambutnya acak-acakan, selimut sudah nyaris jatuh ke lantai.Sementara Raya masih berdiri kaku di depan kaca, menatap dirinya sendiri.Bukan karena galau. Tapi karena semalam mereka tidur sekasur.Dan Dian sempat walau setengah tidur meluk dia erat seperti guling."Raya." Dian bergumam lirih sambil membalik badan.Raya langsung meloncat menjauh."Hah? Aku nggak ngapa-ngapain! Demi Tuhan! Tanganmu yang duluan!"Dian masih merem. "Hah? Aku cuma ngomong nama kamu, bukan nuduh kamu nyolong sendal masjid."Raya menepuk dahinya. "Kenapa kamu bisa sesantai itu sih tidur bareng cewek?"Dian membuka satu mata, mengerjap. "Karena kamu udah resmi jadi istri kontrak, bukan?""Justru karena itu! Kita nggak boleh kelewatan!"Dian menguap. "Lho, tadi malam aku cuma tidur, bukan ngajak nonton film 18+."Setelah mandi, Raya turun ke dapur. Dia menemukan Dian lagi ngaduk kopi sambil berdendang lagu lawas:"Cin
Satu minggu setelah wawancara paling aneh dalam hidup Raya, keputusan besar diambil.Hari ini, kontrak pernikahan mereka akan ditandatangani.Ya, secara hukum, mereka akan menikah. Raya punya pengacara pribadi yang bisa merapikan dokumen seakan semuanya terjadi karena cinta. Padahal, ya jelas-jelas ini cinta settingan. Fake love, real akting, high gaji.Dian datang ke apartemen Raya pagi-pagi, membawa ransel besar dan wajah lebih gugup dari peserta ujian SIM.“Permisi ini saya Dian. Calon suami, ya, hehe,” sapanya sambil mengangkat dua kantong kresek: satu berisi mie instan, satu lagi penuh bantal kecil.Raya membuka pintu, mengenakan piyama satin biru, dan memelototi bantal berbentuk karakter kartun ayam.“Itu apa?”“Bantal kesayangan. Nggak bisa tidur tanpa ini, Mbak Raya. Namanya Kukuk.”Raya nyaris mengurungkan niat menikah hanya karena alasan Kukuk si bantal. Tapi dia tarik napas. Fokus. Ini semua demi Ibunya, demi warisan, demi reputasi. Bukan demi bantal ayam.Mereka duduk di r