Sabtu sore.
Raya berdiri di depan cermin dengan napas tersengal.
Dia baru sadar dari semua jenis siksaan dalam kontrak pernikahan palsu arisan keluarga adalah yang paling brutal.
“Kenapa aku harus dandan segini niatnya?” gumamnya sambil menata jilbab.
Dian, yang duduk di ranjang sambil mainan dasi kupu-kupu milik sepupunya, menjawab santai,
“Karena kamu harus kelihatan bahagia meskipun kamu terjebak sama suami kontrak.”
“Jangan bilang gitu ah entar aku baper.”
Dian terkekeh. “Berarti kamu mulai nyaman jadi istri pura-pura?”
Raya diam, pura-pura sibuk merapikan alis.
Saat tiba di rumah keluarga besar Tante Retha, suasana seperti pesta 17-an. Ibu-ibu pakai daster modis dengan motif bunga segede kelapa, bapak-bapak duduk melingkar sambil ngeteh dan bahas harga solar.
Semua mata langsung menoleh ke arah Raya dan Dian.
“Lihat tuh! Pasangan baru!”
“Eh, cocok ya mereka. Laki-lakinya kalem, istrinya kelihatan galak pas banget!”
“Kapan punya momongan, Dek?”
Raya nyaris tersedak bala-bala.
Dian dengan sigap menenangkan, “Doain aja, Tante-tante. Kami masih menikmati fase eh pengenalan biologis.”
Seluruh ibu-ibu tertawa girang. Raya cuma bisa tersenyum palsu sambil berpikir
“Biologis dari Hong Kong.”
Lalu, datanglah masalah berikutnya.
Seorang pria berdiri di ambang pintu, membawa piring puding dan tatapan kaget:
Fajar. Mantan pacar Raya.
“Ra, kamu?”
Raya menelan ludah. Dian langsung berdiri mendekat, menggandeng tangan Raya dan mencium keningnya dengan dramatis.
“Iya, ini istriku, Fajar,” katanya. “Kamu siapa ya?”
Raya hampir ingin tertawa karena ekspresi Dian terlalu sinetron, tapi Fajar justru memasang wajah sinis.
“Aku teman lama Raya.”
Dian mengangguk penuh pengertian.
“Oh. Teman lama, ya. Yang nggak cukup niat buat nikahin dia.”
Boom.
Pecah sudah ketegangan di arisan keluarga.
Ibu-ibu langsung bisik-bisik, beberapa anak kecil terdiam sambil menggenggam es mambo.
Di pojokan dapur, Raya menarik Dian menjauh.
“Kenapa kamu bilang kayak gitu tadi?!”
“Karena dia kelihatan masih suka sama kamu.”
“Lah terus? Kamu cemburu?”
Dian nyengir. “Enggak. Aku cuma profesional. Masa kontrak kita keganggu sama pihak ketiga? Ini kayak sinetron jam lima sore, Ra.”
Raya mendesah. Tapi dalam hati dia senyum sedikit.
Setelah adegan sinetron tadi, arisan tetap berjalan. Tapi suasana jelas berubah.
Di pojok teras, Fajar duduk sambil menyeruput es kelapa muda tatapannya tak lepas dari Raya.
Di sisi lain, Dian sedang dikerubungi ibu-ibu.
“Mas Dian, kamu kerjanya apa ya? Raya nggak pernah cerita tuh.”
Dian tersenyum sok misterius. “Saya bagian memanaskan suasana.”
“Hah?”
“Maksud saya, teknisi mesin boiler, Tante.”
“Wah, cocok banget sama Raya! Dia kan panas juga, ya?”
Ibu-ibu langsung cekikikan. Dian tertawa palsu sambil melirik ke arah Raya yang sedang ditarik Fajar ke dapur.
“Ra, aku nggak nyangka kamu nikah buru-buru. Kenapa nggak bilang?”
Raya memutar mata. “Karena aku nggak perlu izin kamu, Faj.”
Fajar mendekat, suaranya lebih pelan, lebih dalam.
“Kamu yakin dia suami yang baik? Aku tahu kamu. Kamu nggak mungkin senyum semanis itu kalau lagi beneran bahagia.”
Raya mendadak lemas.
Tapi tiba-tiba suara sendok jatuh menggelegar.
Dian berdiri di pintu dapur, dengan gayanya yang tenang tapi mata setajam drama Korea.
“Sayang, kamu kebelet ya? Tadi kamu bisik mau ke kamar mandi, tapi aku cari-cari malah di sini.”
Fajar tersenyum sinis. “Wah, posesif juga ya, Mas Suami.”
Dian menghampiri Raya, menggandeng tangannya dan menatap Fajar.
“Bukan posesif, Mas. Cuma nggak enak ada orang masa lalu yang nongol tanpa undangan kayak nyamuk malam Jumat.”
Fajar mengernyit, tapi sebelum sempat membalas, Dian menarik Raya keluar dari dapur.
Di halaman belakang, ibu-ibu sudah siap menggiring mereka ke sesi tanya jawab.
“Raya, Mas Dian, ayo duduk bareng! Kalian harus jawab tantangan arisan hari ini!”
“Aduh, apa lagi nih?” desis Raya.
“Main tebak-tebakan pasangan. Pertanyaan pertama.”
Ibu Retha memegang kertas dan membacakan, “Apa warna kesukaan pasanganmu?”
Raya dan Dian saling melirik.
“Hitam,” jawab mereka bersamaan.
“Horee cocok!”
“Pertanyaan kedua posisi tidur pasangan kalian gimana?”
Raya nyaris batuk.
Dian dengan cepat menjawab, “Raya suka peluk guling, aku peluk dia. Gulingnya tersisih.”
Seluruh ibu-ibu langsung riuh.
“Uuuuuu romantiiis!”
Raya cemberut, tapi tidak membantah.
Dia mulai berpikir: kok jawabannya terasa tulus, ya?
Lalu pertanyaan ketiga datang:
“Kapan pertama kali kalian ehm tidur bareng?”
(Tante Rini bacanya sambil batuk-batuk biar nggak ketahuan nakal.)
Raya dan Dian terdiam.
Jawabannya tidak pernah, karena mereka masih tidur pisah kamar.
Tapi sebelum keheningan jadi curiga, Dian menjawab, “Malam pertama langsung saya nggak bisa tidur karena dia ngorok kayak mesin air.”
Raya spontan meninju bahunya.
“Ih, bohong! Aku nggak ngorok!”
Tawa meledak dari semua sisi.
Saat semua tertawa, Fajar hanya menatap dari kejauhan.
Dia tahu, ada sesuatu yang janggal dalam pernikahan ini. Tapi tak bisa membuktikannya.
Dan dia belum menyerah.
Acara arisan semakin kacau. Ibu-ibu mulai sibuk mengunggah hasil tebak-tebakan pasangan ke status W******p dan grup RT. Tapi yang membuat suasana semakin panas adalah satu tantangan tambahan dari Bu RW foto mesra wajib, buat diunggah ke akun resmi arisan komplek.
“Kami mau dokumentasi cinta dari pasangan paling hits hari ini Mas Dian dan Mbak Raya! Ayo berdiri! Kita butuh lima gaya!”
Raya melotot. “Lima?!”
Dian masih bisa tersenyum. “Tenang, Sayang. Kita kan pasangan paling harmonis di semesta galaksi.”
Raya mendesis pelan. “Sumpah, kalau bukan karena duit.”
Tapi sebelum bisa protes lebih lanjut, Dian menarik tangannya dengan percaya diri.
Foto pertama. Raya duduk, Dian berdiri di belakangnya sambil memegang bahunya.
Wajah mereka tegang. Ibu-ibu kecewa. “Kurang cinta tuh.”Foto kedua. Dian memegang tangan Raya, matanya menatap penuh cinta.
Raya mencoba menahan tawa. “Geli aku liat tatapanmu,” bisiknya.Foto ketiga. Dian berdiri di samping Raya, lalu dengan ringan menyenderkan kepalanya ke bahu perempuan itu.
Ibu-ibu berseru, “Aaaaaa sweet!”Raya mematung. Tapi yang mengejutkan adalah.
Foto keempat. Saat Bu RW bilang, “Cium pipinya, Mas Dian!”
Raya spontan mundur.
Dian menatapnya, lirih, “Tenang, cuma pura-pura.”
Dia mendekat.
Tapi entah kenapa, bukan pipi yang disentuh. Melainkan kening. Sebuah kecupan ringan yang walaupun tipis dan singkat membuat jantung Raya berdetak lebih cepat.Hening.
Ibu-ibu langsung histeris. “CIUUMMM!! AAAAA!!”
Raya masih terpaku. Matanya menatap kosong ke depan.
Kenapa dada ini deg-degan?
Dian juga tampak kaku. Entah kenapa, bibirnya bergerak pelan: “Maaf.”
Raya mendongak. “Kenapa minta maaf?”
Dian menatapnya lama. “Karena tadi aku lupa kalau ini kontrak.”
Raya menelan ludah.
Sial. Kenapa tatapan itu kayak beneran?
Foto kelima gagal.
Karena Fajar tiba-tiba menyela acara.“Boleh tanya sesuatu, Bu RW?” katanya, berdiri di depan semua orang.
“Boleh dong, Mas Fajar!”
Fajar tersenyum datar. Matanya langsung ke Dian.
“Mas Dian, saya dengar-dengar, kalian nikahnya mendadak banget. Saya bahkan nggak diundang. Tapi ya, namanya cinta, siapa tahu jodoh ya.”
Dian hanya mengangguk.
“Tapi sebagai mantan, saya penasaran. Kalian udah tinggal serumah kan? Raya itu punya kebiasaan aneh pas malam hari.”
Semua mata langsung tertuju ke mereka.
Raya menegang. Dian menatap Fajar tajam.“Kamu tahu kebiasaan dia? Bagus,” katanya datar. “Berarti kamu juga tahu, kalau setiap malam dia suka nyelipin kakinya ke paha orang. Dan sekarang, tiap malam saya yang jadi korbannya.”
Tawa meledak.
Bahkan Raya tak bisa menyembunyikan tawa juga.
Fajar terdiam, kalah untuk kali ini.
Di perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa aneh.
Sunyi.“Ciuman tadi,” kata Dian tiba-tiba.
Raya cepat-cepat menyela. “Kontrak.”
Dian tertawa kecil. “Iya. Tapi kayaknya berhasil bikin Fajar emosi.”
Raya mengangguk. “Iya. Tapi juga berhasil bikin jantungku ngaco.”
Ups.
Dia buru-buru menutup mulut.
Dian menoleh. “Apa?”
“Enggak. Maksudku itu efek gula darah rendah.”
“Yakin?”
“Yakin banget.”
Tapi senyum tipis di wajah Dian menunjukkan dia tak percaya.
Dan di balik pandangan mata mereka, ada sesuatu yang mulai tumbuh…
Tapi mereka berdua belum siap mengakuinya.
Bersambung
Pagi itu, langit Jakarta terlihat pucat. Gedung-gedung tinggi di luar jendela ruang rapat lantai 38 seperti siluet yang terbungkus kabut tipis. Di dalam, pendingin ruangan berhembus lembut, tapi udara di antara orang-orang yang hadir terasa berbeda.Raya melangkah masuk bersama Dian. Tubuhnya tegak, langkahnya mantap, blazer hitamnya membentuk siluet tegas. Senyumnya tipis, seperti dinding kaca yang licin tak ada yang bisa menebak apa yang ada di baliknya. Dian berjalan setengah langkah di belakang, tapi sorot matanya menyapu ruangan, seperti sedang menghitung siapa kawan dan siapa lawan.Di ujung meja rapat, Daniel Wiratama sudah duduk. Rautnya netral, tapi jemarinya mengetuk-ngetuk meja seolah tidak sabar. Di sampingnya, duduklah seorang wanita dengan gaun krem sederhana tapi mahal, rambut disanggul rapi, bibir berwarna merah muda pucat Rara.“Raya lama sekali kita tidak bertemu,” suara Rara terdengar lembut, hampir terlalu lembut.Ia bangkit, tersenyum lebar seperti menyambut kakak
Pesan itu masih terpatri di layar ponsel Raya."Kamu tidak tahu siapa sebenarnya Dian. Dia bukan orang yang kamu kira."Tulisan singkat itu terasa seperti duri yang menancap di tengkuknya. Tidak ada nama pengirim hanya nomor tak dikenal. Raya sudah menutup aplikasi, membukanya lagi, berharap tulisan itu menghilang. Tapi tetap ada, seolah menunggu untuk meracuni pikirannya.Di meja makan, Dian sedang memotong buah. Gerakannya santai, bahkan sambil bersiul kecil.“Buah pagi bikin mood bagus,” katanya tanpa menoleh.Raya mengamati punggungnya. Ada sesuatu tentang pria ini tentang caranya masuk ke hidupnya begitu cepat, lalu mengisi ruang-ruang yang dulu kosong. Tapi pesan itu apa maksudnya?“Mas,” panggil Raya akhirnya.“Hm?”“Kamu pernah kenal orang dari industri hiburan?”Dian berhenti sejenak. “Kenal? Banyak. Kenapa?”“Tidak, cuma penasaran aja.” Raya menelan kata-kata selanjutnya. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi suaranya seperti terhenti di tenggorokan.Dian tersenyum tipis, lalu
Dian tak pernah menyangka bahwa yang paling menakutkan dari pernikahan kontrak bukanlah akting sebagai suami sayang, melainkan kunjungan mendadak dari ibu mertua.“Raya, tolong bilang itu bukan nyokap kamu yang barusan ngetok-ngetok pagar sambil teriak ‘DIAN, KAMU DI MANA ANAKKU?’,” desis Dian dari balik lemari, sambil mengenakan kaus kaki belang dan mukanya masih setengah bantal.Raya malah santai di meja makan, memotong semangka. “Itu emang Mama. Cepet mandi. Dia pikir kamu udah biasa bangun jam lima pagi buat siapin sarapan.”“Jam lima pagi?” Dian menelan ludah. “Aku biasanya baru mimpi naik helikopter jam segitu.”Dari luar terdengar suara Bu Ayu, sang mertua, memanggil-manggil dengan gaya khas emak-emak sinetron: dramatis dan penuh semangat.“Rayaaaa! Suamimu mana? Mama bawa rawon! Jangan sampe dia makan mie instan lagi ya!”Raya terkekeh, sementara Dian lari ke kamar mandi seperti hendak disiram air suci.Lima belas menit kemudian, Dian muncul dengan kemeja batik kedodoran, ramb
Sabtu sore.Raya berdiri di depan cermin dengan napas tersengal.Dia baru sadar dari semua jenis siksaan dalam kontrak pernikahan palsu arisan keluarga adalah yang paling brutal.“Kenapa aku harus dandan segini niatnya?” gumamnya sambil menata jilbab.Dian, yang duduk di ranjang sambil mainan dasi kupu-kupu milik sepupunya, menjawab santai,“Karena kamu harus kelihatan bahagia meskipun kamu terjebak sama suami kontrak.”“Jangan bilang gitu ah entar aku baper.”Dian terkekeh. “Berarti kamu mulai nyaman jadi istri pura-pura?”Raya diam, pura-pura sibuk merapikan alis.Saat tiba di rumah keluarga besar Tante Retha, suasana seperti pesta 17-an. Ibu-ibu pakai daster modis dengan motif bunga segede kelapa, bapak-bapak duduk melingkar sambil ngeteh dan bahas harga solar.Semua mata langsung menoleh ke arah Raya dan Dian.“Lihat tuh! Pasangan baru!”“Eh, cocok ya mereka. Laki-lakinya kalem, istrinya kelihatan galak pas banget!”“Kapan punya momongan, Dek?”Raya nyaris tersedak bala-bala.Dian
Pagi itu, suara alarm ponsel Raya nyaring seperti sirine kebakaran.Dian menggeliat di kasur, rambutnya acak-acakan, selimut sudah nyaris jatuh ke lantai.Sementara Raya masih berdiri kaku di depan kaca, menatap dirinya sendiri.Bukan karena galau. Tapi karena semalam mereka tidur sekasur.Dan Dian sempat walau setengah tidur meluk dia erat seperti guling."Raya." Dian bergumam lirih sambil membalik badan.Raya langsung meloncat menjauh."Hah? Aku nggak ngapa-ngapain! Demi Tuhan! Tanganmu yang duluan!"Dian masih merem. "Hah? Aku cuma ngomong nama kamu, bukan nuduh kamu nyolong sendal masjid."Raya menepuk dahinya. "Kenapa kamu bisa sesantai itu sih tidur bareng cewek?"Dian membuka satu mata, mengerjap. "Karena kamu udah resmi jadi istri kontrak, bukan?""Justru karena itu! Kita nggak boleh kelewatan!"Dian menguap. "Lho, tadi malam aku cuma tidur, bukan ngajak nonton film 18+."Setelah mandi, Raya turun ke dapur. Dia menemukan Dian lagi ngaduk kopi sambil berdendang lagu lawas:"Cin
Satu minggu setelah wawancara paling aneh dalam hidup Raya, keputusan besar diambil.Hari ini, kontrak pernikahan mereka akan ditandatangani.Ya, secara hukum, mereka akan menikah. Raya punya pengacara pribadi yang bisa merapikan dokumen seakan semuanya terjadi karena cinta. Padahal, ya jelas-jelas ini cinta settingan. Fake love, real akting, high gaji.Dian datang ke apartemen Raya pagi-pagi, membawa ransel besar dan wajah lebih gugup dari peserta ujian SIM.“Permisi ini saya Dian. Calon suami, ya, hehe,” sapanya sambil mengangkat dua kantong kresek: satu berisi mie instan, satu lagi penuh bantal kecil.Raya membuka pintu, mengenakan piyama satin biru, dan memelototi bantal berbentuk karakter kartun ayam.“Itu apa?”“Bantal kesayangan. Nggak bisa tidur tanpa ini, Mbak Raya. Namanya Kukuk.”Raya nyaris mengurungkan niat menikah hanya karena alasan Kukuk si bantal. Tapi dia tarik napas. Fokus. Ini semua demi Ibunya, demi warisan, demi reputasi. Bukan demi bantal ayam.Mereka duduk di r