Pagi di apartemen mewah Raya biasanya tenang sarapan rapi di meja makan, kopi panas di cangkir keramik putih, dan musik instrumental lembut dari speaker. Tapi pagi ini suasana damai itu sirna.
Raya berdiri di dapur dengan wajah memanas, memandangi layar tablet. Terpampang di sana foto dirinya di lampu merah kemarin. Dian mencium punggung tangannya, lengkap dengan ekspresi manis yang seolah direkam untuk iklan drama romantis.
Judul berita di portal gosip online “CEO Cantik Raya Pramudita Pamer Kemesraan dengan Pria Tampan Misterius!”
Komentar warganet berderet:“Pria misterius apanya, itu suaminya, kan?”
“Couple goals banget!” “Kok suaminya ganteng sih, iri.”Raya menghela napas panjang, lalu menoleh tajam ke arah ruang makan. “Dian!”
Dian keluar dari kamar, rambut acak-acakan, masih mengenakan kaos longgar dan celana santai. Dia menguap lebar sambil berjalan santai menuju meja makan. “Pagi, Sayang,” ucapnya enteng, mengambil roti panggang.
“Jangan ‘Sayang-Sayang’ sama aku. Lihat ini!” Raya menyodorkan tablet.
Dian melirik sekilas, lalu tersenyum santai. “Oh, ternyata angle-nya bagus juga. Aku kelihatan romantis banget, ya?”
“Romantis apanya? Gara-gara ini, semua orang ngomongin kita!” Raya menahan diri untuk tidak membentak.
Dian mengangkat bahu. “Bagus dong. Pernikahan kita jadi kelihatan nyata. Kan itu tujuan kontrak ini.”
Sebelum Raya sempat membalas, ponselnya berdering. Nama Mama muncul di layar. Raya mendesah, lalu mengangkat panggilan itu.
“Raya! Mama lihat berita pagi ini!” suara mamanya terdengar bersemangat. “Astaga, kalian itu bener-bener pasangan idaman! Mama bangga sekali. Mama udah kirim fotonya ke grup arisan, semua teman Mama bilang kalian serasi banget!”
“Mama,” Raya memijit pelipisnya.
“Bahkan Bu Reni bilang, kalian cocok banget kayak artis drama Korea. Aduh, Mama jadi makin nggak sabar mau gendong cucu!”
Raya menatap Dian dengan tatapan menusuk. Pria itu pura-pura sibuk mengoles selai di roti, padahal sudut bibirnya terangkat nakal.
“Mama, kita bahas nanti ya. Aku ada urusan,” Raya buru-buru menutup telepon sebelum mamanya mulai menceramahi tentang program cepat punya anak.
Begitu telepon dimatikan, Dian tertawa pelan. “Wah, Mama kamu fans berat kita sekarang.”
Raya mendengus. “Fans apanya? Semua ini gara-gara kamu. Kalau kemarin kamu nggak.”
“Nggak mencium tangan istri sendiri?” potong Dian sambil menaikkan alis, nada suaranya pura-pura polos. “Raya, kita ini pasangan suami-istri di mata semua orang. Kalau aku nggak tunjukkin kemesraan, kontrak ini nggak akan terlihat meyakinkan.”
“Suami-istri kontrak,” Raya menegaskan.
Dian menyandarkan tubuh di kursi dan menatapnya dengan santai. “Ya, tapi kontrak ini harus dimainkan sepenuh hati kalau mau berhasil. Dan aku pemain yang totalitas.”
Raya ingin membalas, tapi ponsel Dian bergetar. Dia mengangkatnya sambil berdiri.
“Halo? Ya, benar saya. Oh, wawancara? Bisa. Oke, nanti saya kirim alamatnya.”Begitu telepon ditutup, Raya langsung curiga. “Siapa itu?”
“Wartawan,” jawab Dian santai.
“APA?!” Raya hampir tersedak kopinya.
“Kita bakal bikin wawancara eksklusif. Foto itu cuma pemanasan. Wawancara ini akan jadi momen kita mengontrol cerita yang beredar,” kata Dian sambil meneguk kopinya tenang.
Raya menatapnya tak percaya. “Dian, ini bukan drama TV. Ini dunia nyata.”
Dian menyeringai. “Justru karena dunia nyata penuh drama, kita harus mainkan peran kita dengan sempurna.”
Raya terdiam. Di satu sisi, idenya terdengar konyol. Tapi di sisi lain ada logika yang sulit ia bantah.
Siang itu, apartemen mewah Raya berubah jadi set panggung wawancara. Sebuah tim media gosip ternama datang lengkap dengan kamera, mikrofon, dan pencahayaan.
Raya duduk di sofa putihnya, mengenakan gaun pastel sederhana, tapi tetap elegan. Sementara itu, Dian duduk santai di sebelahnya, mengenakan kemeja biru muda yang digulung sampai siku penampilan yang seperti sengaja dipilih untuk membuatnya terlihat boyfriend material.
“Terima kasih sudah menerima kami,” kata reporter wanita yang duduk di seberang mereka. “Kami semua gempar melihat foto mesra kalian kemarin. Bisa diceritakan, bagaimana awal pertemuan kalian?”
Raya membuka mulut untuk menjawab, tapi Dian lebih dulu menyela.
“Awalnya aku menabrak dia,” kata Dian sambil tersenyum hangat ke arah Raya. “Bukan secara harfiah, tapi… aku masuk ke hidupnya seperti hujan deras di tengah musim kemarau.”
Reporter langsung berseru, “Wah, romantis sekali!”
Raya menoleh cepat, menatap Dian tajam. Hujan deras apanya? pikirnya. Kenyataannya, mereka bertemu karena urusan bisnis dingin, bukan adegan film romantis.
“Lalu,” lanjut Dian tanpa memberi kesempatan Raya mengklarifikasi, “aku tahu sejak awal… dia akan jadi wanita yang ingin kulindungi. Bukan cuma karena dia cantik, tapi karena dia kuat. Dan wanita kuat itu layak punya pria yang siap berdiri di sampingnya.”
Reporter tersenyum terpesona. Kamera terus merekam.
Raya ingin protes, tapi semua mata tertuju pada mereka. Kalau dia menyangkal di depan wartawan, citra “pasangan mesra” yang sudah terlanjur viral bisa runtuh. Dia hanya bisa tersenyum tipis, walau dalam hati mendidih.
Pertanyaan berikutnya datang. “Bagaimana kehidupan rumah tangga kalian? Apa ada hal lucu atau kebiasaan yang bikin gemas?”
Dian mengangguk mantap. “Banyak sekali. Misalnya, Raya ini punya kebiasaan tidur miring ke kanan. Kalau aku sudah masuk kamar, dia otomatis merapat. Kayak magnet.”
Apa?! Raya hampir terlonjak. Dia tidak pernah tidur merapat seperti itu.
“Serius?” Reporter ikut terkikik.
“Iya,” jawab Dian penuh keyakinan. “Kadang dia ngigau. Pernah, dia nyebut-nyebut kata ‘kopi’ tiga kali sambil tidur. Aku sampai tertawa sendiri.”
Tim kameramen ikut tersenyum. Semua ini jelas menghibur mereka.
Raya berusaha tetap tenang. Kalau dia meledak di sini, justru akan menambah bumbu gosip. Tapi matanya sudah menatap Dian dengan ancaman diam-diam: Kita akan ngobrol serius setelah ini.
Reporter lalu bertanya, “Apa rencana kalian ke depan? Ada bulan madu?”
Dian tersenyum misterius. “Kami belum memutuskan… tapi aku pribadi ingin ke tempat yang jauh dari keramaian. Supaya kami bisa punya waktu berdua, tanpa gangguan.”
Raya menahan napas. Perkataannya sengaja dibuat ambigu, dan pasti akan membuat warganet berspekulasi macam-macam.
Wawancara pun selesai setelah hampir satu jam. Reporter pamit sambil membawa rekaman penuh “momen manis” yang sebenarnya adalah hasil improvisasi sepihak dari Dian.
Begitu pintu apartemen tertutup, Raya langsung berbalik. “Kamu sengaja bikin semuanya terlihat seperti seperti.”
“Seperti pasangan yang saling mencintai?” potong Dian dengan senyum tipis. “Iya. Itu memang tujuannya.”
“Dian! Kamu bilang ke seluruh negeri aku tidur merapat ke kamu?!”
Dian mendekat, menatap matanya. “Kalau kamu protes terlalu keras, orang-orang akan mengira kamu berusaha menutupi sesuatu. Lebih baik kita mainkan peran ini dengan total. Percaya sama aku, Ray.”
Raya terdiam. Logika Dian terdengar masuk akal, tapi harga dirinya berontak. “Kalau ini berlanjut, aku bisa gila.”
Dian tersenyum lebar. “Nggak apa-apa, aku akan ada di sini untuk memastikan kamu gila-nya cuma sama aku.”
Raya menatapnya tajam, tapi jantungnya berdebar tak karuan. Dia membenci fakta bahwa tatapan itu membuat pipinya sedikit panas.
Dua hari setelah wawancara, video mereka sudah tayang di kanal YouTube resmi media gosip itu. Judulnya membuat jantung Raya berdegup kencang.
"Cinta Sejati CEO Cantik dan Suami Misterius. Kisah Romantis Raya & Dian!"
Thumbnail-nya? Foto Dian sedang menatapnya dengan penuh “cinta” saat wawancara, lengkap dengan efek hati merah di sudut gambar.
Raya mengetuk-ngetuk meja kerjanya dengan gusar. “Apa-apaan ini,” gumamnya.
Ia mencoba membaca komentar, tapi langsung menyesal.
“Mas Dian so sweet banget. Aku nangis lihat cara dia mandang istrinya.”
“Duh, kayak drama Korea asli! Semoga langgeng ya, kalian goals!”
“Aku yakin, mereka tiap malam pasti you know what I mean 😉🔥”
Raya menutup laptop cepat-cepat, pipinya panas membaca komentar terakhir.
Teleponnya berdering. Nomor tak dikenal. Begitu diangkat, suara serak terdengar.
“Bu Raya? Ini dari La Belle, brand perhiasan. Kami ingin menjadikan Anda dan suami sebagai brand ambassador pasangan romantis. Honor besar, kontrak panjang.”
Raya tertegun. Sebelum ia bisa menolak, suara itu menambahkan, “Tapi kami ingin foto kemesraan baru. Lebih intim dari wawancara kemarin. Kalau bisa, yang ada sentuhan fisik lebih banyak.”
“Sentuhan fisik?” Raya hampir tersedak. “Maksudnya?”
“Pegangan tangan, pelukan mungkin cium kening. Santai saja, Bu. Semua untuk kebutuhan promosi.”
Raya menutup telepon sambil memijit pelipis. Ini pasti ulah Dian!
Tak lama, pintu apartemen terbuka. Dian masuk sambil membawa kantong belanja. “Kita dapat tawaran kerja sama, ya? Bagus dong.”
Raya melotot. “Kamu sengaja, kan? Bikin wawancara itu kayak adegan drama biar kita dapat tawaran begini?”
Dian hanya tersenyum tenang. “Kalau mau dapat uang besar, kita harus investasi di citra. Anggap saja ini kerja sama bisnis yang kebetulan melibatkan sedikit pelukan.”
“Sedikit?” Raya mendengus. “Tunggu sampai mereka minta kita ciuman bibir di depan kamera.”
Dian mendekat, menaruh kantong belanja di meja, lalu menatapnya dengan tatapan yang terlalu santai untuk situasi ini. “Kalau itu membuat kontrak kita sukses apa kamu keberatan?”
Raya tercekat. Ia ingin menjawab tegas “ya”, tapi lidahnya membeku. Matanya mengalihkan pandang ke jendela, tapi ia tahu Dian sedang tersenyum di belakangnya.
Ponsel Raya berdering lagi kali ini dari mamanya. “Nak! Mama lihat wawancara kemarin! Kalian chemistry-nya luar biasa. Mama udah siap jadi babysitter cucu Mama!”
Raya hampir menjerit. “Ma! Tolong, ini belum saatnya.”
“Belum saatnya apanya? Mama yakin kalian udah latihan tiap malam.”
Klik. Raya memutuskan telepon secepat mungkin.
Dian yang mendengar sebagian percakapan itu hanya terkekeh. “Latihan tiap malam, ya?”
“Dian.” Suaranya peringatan, tapi rona merah di pipinya membuatnya kalah sebelum perang dimulai.
Mobil sedan hitam berhenti perlahan di depan lobi apartemen mewah tempat Raya tinggal. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, namun lampu-lampu kota masih terang benderang. Ibu Ayu duduk di kursi penumpang dengan wajah masih menyimpan keterkejutan, sementara Dian yang menyetir tampak tenang meskipun dalam dadanya tersimpan badai rencana.Sejak mereka meninggalkan gedung pusat Wiratama Group, suasana di dalam mobil itu dipenuhi diam yang panjang. Ibu Ayu masih berusaha mencerna semua yang baru saja ia dengar dan lihat.Perusahaan sebesar itu, nama yang begitu harum di dunia bisnis, yang ia kira dipimpin oleh seorang taipan tua nan misterius, ternyata milik menantunya sendiri.Tangannya meremas tas di pangkuan, bibirnya bergetar. “Dian… jadi… kamu… pemilik Wiratama Group itu?” suaranya akhirnya pecah, lirih, tapi penuh tekanan.Dian melirik sekilas, lalu mengangguk. “Iya, Mama. Maaf karena aku baru mengatakannya sekarang.”Ibu Ayu menatap Dian tidak percaya. Matanya membesar, lalu b
Pagi itu, cahaya matahari menyelinap masuk melalui tirai apartemen mewah di lantai 25. Raya menggeliat perlahan, kepalanya masih terasa berat setelah semalam hampir tidak bisa tidur nyenyak. Tangannya meraih sisi tempat tidur, biasanya di sana tubuh hangat Dian selalu ada. Namun kali ini, kosong.“Dian?” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban.Ia bangun setengah duduk, mengucek matanya, lalu menoleh ke seluruh ruangan. Sepi. Tidak ada suara ketikan laptop, tidak ada aroma kopi yang biasanya dibuat Dian setiap pagi. Bahkan sandal rumah yang biasa dipakai pria itu tidak ada di depan kamar. Raya mengernyit.Dengan cepat ia turun dari ranjang, membuka pintu kamar tamu. Mama-nya, Bu Ayu, juga tidak ada. Tempat tidur sudah rapi, seolah-olah memang tidak ditiduri semalaman.“Kenapa pergi tidak bilang-bilang?” gumam Raya, cemas sekaligus heran.Baru saja ia ingin mengambil ponselnya untuk menelpon, layar ponsel menyala. Sebuah notifikasi rapat mendadak masuk. Dari sekretaris dewan direksi:“Rapa
Rumah keluarga Miranda selalu tampak seperti galeri pameran, bukan sekadar tempat tinggal. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya yang membuat marmer lantai berkilau. Vas bunga impor, lukisan-lukisan abstrak, dan perabotan mewah dipajang di setiap sudut, seolah-olah Miranda ingin menegaskan satu hal: status sosialnya tidak boleh dipandang rendah.Di ruang tamu yang luas, Miranda duduk anggun di sofa berlapis beludru merah, mengenakan gaun satin ungu yang baru saja dikirim dari butik langganannya. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel, membalas pesan dari grup sosialita. Sesekali ia tertawa kecil, tertawa yang lebih mirip pamer ketimbang benar-benar bahagia.“Mir, kamu ini kalau terus-terusan main ponsel, nanti matamu rusak,” suara Arman terdengar dari balik koran yang ia baca. Ia duduk di kursi seberang, mengenakan piyama sutra yang jelas-jelas dipilihkan Miranda. Wajahnya datar, lebih mirip seseorang yang sekadar ‘ikut alur’.Miranda melirik sekilas. “A
Malam itu apartemen terasa lebih hangat dari biasanya. Raya sudah terlelap di kamarnya, kelelahan setelah seharian mengurus laporan dan presentasi. Suara kipas angin berputar pelan di kamar tamu, tempat Mama berbaring sambil mengoles balsem ke kakinya.Ketukan pelan terdengar di pintu. Tok tok“Mama, boleh bicara sebentar?” suara Dian terdengar hati-hati.Mama mengerutkan kening, lalu buru-buru merapikan daster yang agak kusut. “Masuk saja, Nak.”Dian masuk dengan wajah serius, berbeda dari biasanya yang selalu tenang dan sedikit usil. Ia duduk di kursi kecil dekat ranjang Mama, menunduk sejenak sebelum membuka suara.“Ma, aku mau jujur. Tentang pernikahan aku sama Raya…”Mama langsung menegakkan badan. “Hah? Jangan bilang kamu mau cerai besok pagi. Astaga, ini drama macam apa lagi?”“Bukan, Ma. Bukan itu,” Dian buru-buru menggeleng. “Aku cuma harus bilang sejujurnya. Pernikahan ini sebenarnya bukan pernikahan sungguhan. Kami aku dan Raya sepakat untuk nikah kontrak.”Mama melongo. “K
Apartemen milik Raya malam itu terasa berbeda. Biasanya ruangan modern bergaya minimalis itu hanya diisi keheningan, suara AC, dan lampu kota yang berkelap-kelip dari balik jendela kaca besar. Namun kini, ruang tamu yang biasanya rapi bak majalah interior dipenuhi suara tawa dan komentar dari Mama Raya, yang baru saja pulang dari rumah sakit.“Wahhh, apartemen kamu keren sekali ya, Nak. Lihat tuh, pemandangan kota malamnya kayak di drama Korea. Cocok banget buat hmm.” Mama menoleh ke Dian yang sibuk membereskan tas belanja kecil. “cocok buat pasangan muda yang lagi manis-manisnya.”Raya menutup wajah dengan tangan. “Ma baru juga pulang dari rumah sakit, kok langsung heboh.”“Hei, jangan dibilang heboh. Ini namanya semangat hidup!” sahut Mama, lalu duduk santai di sofa empuk sambil menyilangkan kaki. “Lagipula, Mama senang sekali bisa tinggal sama kalian. Bosan di rumah cuma ditemani pembantu, apalagi Papa kamu sibuk sama ya kamu tahu sendiri lah.” Nada suaranya sempat menurun, tapi ce
Raya baru saja menutup rapat daring dengan investor Jepang ketika ponselnya berdering. Nama “Mama” muncul di layar. Awalnya ia pikir sekadar telepon rutin menanyakan kabar, tapi begitu diangkat, suara Mama terdengar lirih penuh drama.“Raya, Mama di rumah sakit.”Raya langsung berdiri. “Apa? Mama kenapa?!”“Kolesterol Mama naik lagi perawat bilang karena kemarin Mama makan sate kambing, rendang, sama gulai.” Suaranya dibuat sengau seolah mau pingsan.Raya menepuk dahi. “Mama! Itu kan makanan pantangan semua! Siapa suruh makan?”“Loh, masa Mama dilarang menikmati hidup? Lagian siapa tahu umur Mama nggak panjang.”“Mama!” Raya nyaris menjerit.Tepat saat itu Dian masuk ke ruang kerja dengan dua cangkir kopi. Melihat wajah Raya pucat, ia langsung menaruh cangkir di meja. “Ada apa?”“Mama masuk rumah sakit!” Raya buru-buru menjelaskan.Tanpa pikir panjang, Dian meraih kunci mobil. “Ayo, kita ke sana sekarang.”Suasana Rumah SakitBegitu sampai di ruang perawatan, Raya langsung berlari. Ma