Qeiza mendorong dada bidang Arlando dengan kuat. "Apa-apaan sih kamu ini, sakit hidungku! Itu badan atau tembok, keras banget!"Tangan yang melingkari pinggang Qeiza terlepas, tubuh Arlando telentang karena dorongan tangan Qeiza, tapi mata Arlando tetap tertutup. Bahkan dengkuran halus ke luar dari bibirnya. "Ih, tidur kayak orang mati!" Qeiza perlahan bangun. Selimut yang menutupi tubuh langsung disingkirkannya. Wangi sup ayam begitu menggugah selera, hidung Qeiza kembang kempis duduk menghadap nampan berisi semangkuk sup ayam dan segelas air putih serta beberapa irisan buah-buahan. "Perutku jadi lapar, dari kemarin sore belum makan," gumam Qeiza lalu tatapannya melihat beberapa pil dan sebotol obat. "Punya siapa ini?" Diambilnya botol kecil obat, namanya tertera. "Ini punyaku?!" "Semalaman kamu demam," Arlando sudah duduk bersandar pada kepala tempat tidur."Sakit?! Aku?!" tunjuknya pada dada sendiri. "Aku baik-baik saja, tidak sakit apa-apa!""Dasar amnesia! Lalu obat itu ada
Tuan Theo menatap putranya dan Jo bergantian. "Ditanya malah bisik-bisik. Mana berkas hasil meeting kemarin?!"Jo sekali lagi menyenggol lengan Arlando, tapi yang disenggol malah menghindar. "Tanya ke Jo, semuanya dia yang simpan." Selesai bicara Arlando pergi ke luar membawa senyum tipis tersungging di bibirnya."Hah," mata Jo nyaris ke luar. "Bos! Kok tanya saya?! Bos!" panggil Jo.Arlando dalam hati tertawa. "Rasain! Apa guna, digaji gede kalau tidak bisa menghadapi Papi. Ha-ha-ha.""Selamat pagi Pak Presdir.""Pagi, Sinta," jawab Arlando menghentikan langkah, di depannya berdiri asisten pribadi si Jo.Seorang gadis muda berpakaian seksi dengan riasan wajah tebal tersenyum menggoda. "Bagaimana undangannya, apa sudah disebar?!" tanya Arlando."Beres Bos!" jawab Sinta manja sambil memainkan ujung rambutnya sendiri."Good!" Arlando hendak melanjutkan lagi langkahnya, tapi Sinta dengan nada manja kembali bicara, "Bos, kok lesu amat?!" "Lesu?!" Sinta mengangguk. "Iya. Jadi pengantin
Wajah Qeiza pucat, matanya melotot. "Aaa!" jeritnya kencang memecah kesunyian dalam kegelapan. Suara langkah kaki terdengar dari berbagai arah berlarian ke dapur."Ada apa?!"Arlando yang pertama kali datang, disusul Papi, Mami, Bibi dan dua orang penjaga yang bertugas di depan. "Ha-han-tuuu," jawab Qeiza gagap, ketakutan melihat benda putih di depannya bergerak-gerak.KLIK!Ruangan jadi terang benderang setelah Mami menekan stop kontak. "Qei?!" Mami mendekati menantunya. "Ada apa?!" "Ha-hantu, Mam!" tunjuk Qeiza dengan wajah ketakutan. Semua orang melihat ke arah yang ditunjuk Qeiza, nampak sopir pribadi mereka sedang berdiri memakai kain sarung menutupi kepala dan sebagian tubuhnya."Hantu apa?! Itu Mang Udin!" tegas Mami.Mang Udin membuka kain sarung yang menutupi kepalanya. "Ini saya Non, Mang Udin," ucapnya dengan logat Sunda.Qeiza melihat Mang Udin dari atas sampai bawah. "Bukan hantu toh?!""He-he. Bukan Non! Saya orang, bukan hantu. Ini lihat," Mang Ujang menunjuk pada k
Armand mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. "Coba buka sepatumu sebentar.""Buka sepatu?!" tanya Qeiza bingung. "Untuk apa?!""Lukamu itu nanti bertambah perih kalau tidak diobati bahkan bisa infeksi," jawab Armand bangun dari duduk."Eh, kamu mau apa?!" tanya Qeiza kaget melihat Armand jongkok di depannya meraih kaki."Aku mau mengobati lukamu dengan plester ini." Armand memperlihatkan plester kecil di tangan kemudian tanpa rasa canggung sedikitpun membuka sepatu high heels yang Qeiza pakai. "Lukamu bisa bertambah besar kalau tidak dipasang plester."Semua yang dilakukan Armand pada Qeiza tak luput dari penglihatan Arlando. Berdiri di depan pintu toko perhiasan. "Terima kasih," ucap Qeiza begitu Armand selesai memasang plester dan duduk kembali di sampingnya."Sepertinya kamu tidak terbiasa berjalan jauh," ucap Armand."Aku jarang berjalan jauh," jawab Qeiza kembali memakai sepatu. "Kebanyakan semua aktifitasku hanya di butik."Setelah Qeiza merasa nyaman dan kakinya tidak pegal lag
"Kok tidak tahu!" seru Mami. "Istrinya sendiri kok tidak tahu.""Memang aku tidak tahu," jawab Arlando melengos. "Suami yang aneh!" Mami kemudian pergi ke luar kamar untuk menemui menantunya. "Bukannya dicari istrinya tidak keluar-keluar, ini malah ke sini!"Pintu kamar tertutup rapat begitu Mami sampai di depan kamar Qeiza. Tok tok tok tok!"Sayang!" panggil Mami nyaring. "Buka pintunya."Tak lama pintu dibuka dari dalam. "Kamu sudah selesai ...?!" Kalimat Mami terjeda, takjub melihat menantunya dari atas sampai bawah. "Kamu cantik banget. Mami pangling melihatmu."Qeiza berdiri depan pintu. "Apa gaun malam ini tidak terlalu terbuka Mi?!" tanyanya memutar tubuh memperlihatkan bagian punggung yang terbuka."Ya tidak dong sayang. Kamu kan desainer, jadi paham betul dengan baju yang seperti ini. Kamu cantik memakai baju ini. Mami sangat yakin, Arlando pasti sangat menyukainya melihatmu seperti ini.""Tapi Mam, apa aku tidak bakalan masuk angin?!" tanya Qeiza dengan polosnya.Mami ter
Qeiza mencari suaminya yang tak kunjung ketemu padahal tadi Sinta bilang suaminya sedang berbincang dengan tamu undangan. "Di mana si Arlando ini?!" Mata yang dihiasi bulu-bulu lentik mencari ke segala arah. "Tadi katanya jangan jauh-jauh darinya, tapi dia sendiri yang menghilang!"Senyum simpul menyapa Qeiza dari kejauhan tatkala kedua bola matanya bertabrakan dengan Tuan Evan, pemilik perusahaan yang bergerak dalam bidang properti.Sebagai tuan rumah yang baik, mau tidak mau Qeiza membalas senyum Tuan Evan. "Sayang," suara Mami memanggil dari belakang tubuh Qeiza."Mam," Qeiza membalikkan tubuhnya. "Kok sendirian?!" tanya Mami. "Di mana Arlando?!" "Aku sedang mencarinya Mam," jawab Qeiza kesal. "Entah ada di mana putramu itu," bisik hati Qeiza hanya berani diucapkan dalam hati."Sebentar lagi acara akan dimulai. Mami akan minta orang untuk mencari suamimu." Mami lalu memanggil salah satu orang kepercayaannya untuk mencarikan Tuan Arlando.Telah tiba waktunya, acara yang dihadiri
Alunan biola kembali mengalun begitu Arlando ke luar dari lantai dansa. "Sayang," Mami dan Papi datang mendekati putranya."Mana istrimu?!" tanya Papi. Arlando melengos, belum hilang rasa kesalnya pada Damar, sekarang Papinya malah menanyakan keberadaan Qeiza.Mami melihat ke arah lantai dansa. Sekarang baru paham kenapa wajah Arlando tidak enak dilihat. Mami menyenggol lengan suaminya agar melihat ke tempat dansa.Papi mengerti, senyum meledek terbersit di bibirnya. Bahu putra semata wayangnya ditepuk pelan. "Sabar Pak Presdir Meshach, jadilah tuan rumah yang baik. He-he. Menurut Papi, harusnya kamu bangga karena punya istri yang begitu mempesona."Arlando mendelik pada Papi. "Bangga sih bangga, tapi melihat seperti itu?! Suami mana yang tidak kesal?!"Tuan Theo malah terkekeh, "he-he-he. Kamu cemburu ya."Bibir Arlando diam, tapi di dalam hati bersuara. "Cemburu? Apa aku cemburu? Tapi atas dasar apa aku cemburu?! Bukankah, tidak ada cinta di hatinya pada Qeiza atau jangan-jangan?!
DREET!DREET!Ponsel di saku celana Damar bergetar. Seulas senyum terbersit di bibir begitu melihat nama siapa yang tertera, "Ririn."Setelah itu, Damar pergi ke luar dari apartemen Sinta menuju ke tempat di mana Ririn memintanya untuk datang.TING!TONG!Bel ditekan Damar begitu sampai di depan pintu. Tak lama kemudian muncul Ririn, tubuh sintalnya hanya tertutup handuk sebatas dada. Membuka pintu lebar-lebar mempersilahkan Damar masuk.Damar menghempaskan tubuh lelah ke sofa, menatap Ririn dari atas sampai bawah yang berdiri di depan mata. "Ada apa kamu memintaku datang?!" Dengan gerakan sensual, Ririn duduk di depan Damar. "Apa kamu tidak merindukan aku?!"Ririn sengaja membusungkan dada sehingga dua bukit kembar besar miliknya hampir terlihat setengahnya menempel di tangan Damar. Entah baru menyadarinya sekarang atau memang dua bukit kembar Ririn sudah besar dari dulu, Damar tertegun melihatnya. "Buset dah, gede juga bolanya. Empuk banget kalau aku pegang."Mendapat respon dari D