Share

Bab 2

Author: Azril
last update Last Updated: 2023-08-07 20:56:21

"Cendol! Dol, dol, dol."

"Bang, beli," panggil Bu Vani sambil melambaikan tangannya. Semoga saja pelanggan yang satu ini benar-benar membeli.

"Mau beli cendol?" tanya Dio kepada pelanggan setia yang sudah sejak tadi menunggu kedatangan Dio.

"Ya, iya lah. Beli cendol! masa mau beli pizza. Kan gak mungkin," ketus Bu Vani dengan mendelikkan matanya.

"Ah. Ibu, bisa aja," balas Dio senyum manis sambil meracik cendol dalam cup.

"Dio dulu kamu tampan, tapi sekarang kamu dekil. Udah dekil miskin lagi," celetuk Bu Aida yang sedang menunggu Dio meracik cendol untuknya.

Entah apa maksud omongan Bu Aida, apa pantas hinaan keji seperti itu dijadikan candaan. Hujatan dan hinaan sudah terbiasa jadi lalapan untuk Dio setiap hari. Tak apalah kalau memang mereka merasa bahagia, Dio rela di jadikan bahan tertawaan.

"Iya, benar! Sekarang kamu hitam dan juga dekil Dio," timpal Bu Vani mencermati wajah Dio sambil tertawa renyah.

"Mau gak hitam gimana bu wajah saya, toh saya tiap hari panas-panasan," Jawab Dio dengan sabar menghadapi celetukan ibu-ibu yang memang menguji kesabaran.

Mau bagaimanapun mereka tetap pelanggan setia Dio, jadi apalah daya hanya bisa tabah sambil mengusap dada. Memang mereka berbicara jujur apa adanya hanya saja terlalu pedas untuk didengar.

"Terimakasih bu," ucap Dio yang baru saja menerima uang dari Bu Vani dan Bu Aida.

Dio pun melanjutkan keliling lagi dengan raut wajah yang lumayan lelah, namun rasa lelah akan kalah ketika menerima pundi-pundi rupiah walaupun tak seberapa.

Panas yang begitu terik membuat keringat Dio bercucuran, Dio pun mengusap Keringat yang membasahi dahinya dengan handuk kecil yang menyampai di bahu.

Untuk sejenak Dio pun berhenti mengistirahatkan kakinya yang mulai terasa pegal dan lelah.

Di bawah pohon rindang yang menyejukan Dio berteduh dengan mengipasi leher dan wajahnya oleh topi yang ia pakai, Dio termenung memikirkan hidupnya yang pilu, ekonomi semakin hari semakin menghimpit.

Dio mengintip uang yang berada di dalam tas selempang yang dikenakan di pinggang.

"Alhamdulillah." Tak hentinya Dio mengucap syukur dengan pendapatan hari ini walaupun tidak banyak. Namun, setidaknya bisa membeli beras untuk makan sekeluarga.

***

Kondisi Marisa semakin siang semakin memburuk, demamnya makin meninggi. Kepalanya terasa pusing disertai rasa mual yang memaksanya ingin mengeluarkan isi perutnya dari mulut.

Marisa berusaha meraih gelas yang berada di atas nakas di sebelahnya karena merasa haus. Namun, naas, ketika tangan Marisa mencoba menjangkau gelas tersebut, benda itu malah jatuh ke lantai dan pecah berserakan.

"Tasya, Tasya," panggil Marisa dengan suaranya yang serak, tapi Tasya tak menyahuti sama sekali. Entah ke mana gadis kecil itu.

Tenggorokan Marisa terasa kering dan sakit. Bisa jadi itu akibat demam yang sedang dialami. Wanita muda itu pun perlahan bangkit berdiri dari pembaringan walaupun beberapa kali ia hampir terjatuh karena lemas dan pusing. Marisa terus berusaha, sebelah tangannya berpegangan pada dinding sambil berjalan perlahan-lahan.

Sesekali jalannya sering sempoyongan, penglihatannya buram tak jelas sama sekali. Hal itu membuat langkah kaki Marisa tak terkendalikan, hingga akhirnya ia terjatuh karena terpeleset lantai yang basah oleh air yang tak sengaja ditumpahkan Tasya. Kepala Marisa terbentur ujung meja yang tajam hingga berdarah karena benturan yang cukup keras.

"Auw!" jerit Marisa.

Marisa pun jatuh tergeletak di lantai dengan bercak darah yang keluar dari kepalanya. Lambat laun ia pun tak sadarkan diri.

Tasya terperanjat kaget, ketika sedang menjemur pakaian yang barusan dicuci, telinganya mendengar jelas suara jeritan.

Memang Tasya masih berusia 5 tahun. Namun, ia sudah diajarkan mandiri oleh Marisa dan Dio. Semua itu bertujuan agar ketika mempunyai seorang adik, Tasya sudah bisa mandiri.

"Suara apaan, tuh? Jangan-jangan .…" Tasya dengan tergesa berlari untuk melihat ibu sambungnya.

Terlihat daun pintu kamar sudah terbuka lebar, itu artinya ibunya sudah keluar dari kamar. Tasya memperhatikan dalam kamar secara saksama. Ternyata benar, ibunya sudah tidak lagi berbaring di kasur.

"Ibu di mana?" Tasya mencari ke seluruh penjuru ruangan, tak sengaja bola matanya melihat sang ibu sambung yang sudah tergeletak dan tak sadarkan diri.

"Ibu! Ibu, bangun!" Tasya mencoba mengguncang-guncangkan tubuh ibunya yang belum juga siuman. Gadis kecil itu bingung harus meminta tolong siapa sedangkan rumahnya agak jauh dari kerumunan rumah warga, dan di rumah hanya ada Tasya seorang diri. Ia pun panik bukan kepalang. Ya, seorang anak kecil hanya bisa menangis sambil memanggil ibunya yang tak kunjung sadar.

"Ibu, bangun, Bu ...," rengek anak kecil itu begitu panik. Dia terus mencoba membangunkan ibunya. Air mata Tasya terus mengalir membanjiri pipinya yang mungil itu. Gadis kecil tersebut menangis terisak-isak.

Tasya lalu beranjak meninggalkan Ibunya untuk mencari bantuan. Ketika pintu utama dibuka mata Tasya terbelalak saat mendapati tamu yang datang entah siapa.

Terdapat wanita paruh baya dengan wajah galak dan tatapan tajam bersama perempuan remaja yang sama-sama terlihat judes di sana.

Tatapan tajam kedua orang di hadapannya membuat gadis kecil itu beringsut mundur dua langkah ke belakang.

"Sudah besar juga kamu sekarang," cetus wanita paruh baya sembari memindai Tasya.

Tatapan itu susah diartikan. Namun, Tasya tahu bahwa itu tatapan tidak suka.

"Siapa dia, Bu?" tanya Keke, adik kandung dari Marisa.

"Mungkin anak si Dio, lelaki miskin gak tahu diri," jawab Bu Minah.

Ucapan itu membuat Tasya ketakutan, tubuhnya gemetaran atas penghinaan terhadap ayahnya.

"I-ibu dan kakak siapa?" tanya Tasya dengan gugup.

Bu Minah berjongkok menghadap Tasya dan menatapnya dengan sinis, "Dasar anak haram!"

Cercaan keras itu membuat Tasya terpukul dan menangis. Walaupun Tasya belum mengerti apa-apa, tapi setidaknya tatapan Bu Minah sangatlah menakutkan.

"Mana ibu kamu?!" tanya Bu Minah pada Tasya dengan nada ketus.

"I-ibu …." Tasya menunjuk ke arah dapur sambil menangis tersedu-sedu.

Kebetulan rumah Dio hanya ada 5 ruangan. Yakni ruang tamu, dapur, 2 kamar dan kamar mandi yang sempit.

Keke duduk dengan kaki selonjoran dan menyimpan tas gendongnya di meja. Sudah menjadi kebiasaan gadis muda itu berperilaku tidak sopan. Sedangkan Bu Minah mengikuti Tasya yang menangis ke arah dapur.

Demi apa! mata Bu Minah terbelalak ketika memandang tubuh anaknya yang tergeletak begitu saja di atas lantai.

"Marisa!" serunya kaget bukan kepalang.

Anak yang sudah lama tidak bertemu, sudah hampir satu tahun lebih itu tidak sadarkan diri. Bu Minah dan Marisa tidak bertemu semenjak dia minggat dan kawin lari dengan Dio. Dan hari ini Bu Minah bertemu di saat anaknya lemah tak berdaya. Betapa kesal dan emosinya Bu Minah kepada Dio yang tak bisa menjaga anaknya dengan baik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Umi Ica
bagus sekali novelnya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • SUAMI MELARATKU TERNYATA KONGLOMERAT   Bab 114

    Melihat tindakan Kania itu membuat Bu Sonia iba memandang air matanya yang tidak henti mengucur deras.Hampir saja Bu Sonia memaafkan Kania namun dengan tiba-tiba Salsa datang bersama pria yang saat itu bersama Kania, yaitu Hendra."Jangan biarkan Ibu memaafkan dia Bu, air mata Kania tidak tulus sama sekali. Itu hanyalah sandiwara semata," sahut Salsa."Diam kamu Salsa kamu tidak apa-apa dengan urusanku!" sentak Kania pada Salsa.Kania tercengang kala melihat Hendra sudah berada di samping Salsa. 'Mengapa Hendra ada disini? Untuk apa dia bersama Salsa?' batin Kania bertanya seraya ada rasa cemas di benaknya."Jangan kamu bilang aku tidak tau urusanmu Kania. Jelas aku sangat tahu betul siapa kamu dan anak siapa yang kamu kandung itu, dulu kamu menghancurkan hidup aku dengan memfitnah berselingkuh dengan Diki, sekarang tak akan ku biarkan kamu melakukan itu lagi pada siapapun Kania!" tunjuk Salsa pada perut Kania.Aku dan Mas Dio juga mertuaku merasa heran. Apa yang dimaksud Salsa sebe

  • SUAMI MELARATKU TERNYATA KONGLOMERAT   Bab 113

    "Mama." Suara seruan anak kecil membuyarkan lamunan Salsa yang sedang termenung duduk di kursi halaman rumahnya.Salsa menoleh ke arah suara anak yang memanggilnya Mama barusan."Tasya," sahut Salsa. Bibir wanita itu membentuk senyuman manis di bibirnya. Tak terkira sama sekali di benaknya bahwa dia akan di panggil Mama oleh anak yang selama ini di tinggalkannya bertahun-tahun.Tasya berlari untuk memeluk sang Mama. Begitu Salsa merentangkan tangan seraya memeluk dengan erat Sanga anak."Nak Mama kangen padamu," bisiknya kala memeluk Tasya. Air matanya begitu deras mengucur membasahi pipi.Dio sungguh terharu tatkala melihat Tasya dan Salsa saling berpelukan. Ternyata tidak ada yang bisa memisahkan ibu dan anak kandung. Berdosakah Dio kerana terlalu melarang Marisa untuk mendekatkan Salsa dan Tasya."Ma, jangan tinggalin Salsa lagi ya, Mama mending tinggal bareng aja sama Papa Dio dan Tasya disana juga ada Ibu Marisa. Pasti Mama betah." Keinginan anak itu begitu polos."Mama tidak bis

  • SUAMI MELARATKU TERNYATA KONGLOMERAT   Bab 112

    Ketika Salsa memilih pulang saja karena Tasya sudah dibawa pergi oleh Bu Sonia. Begitu kejamnya wanita paruh baya itu hingga kini dia masih membenciku dan tidak mau memaafkan ku. Padahal aku dulu di jebak oleh Kania bukan keinginanku untuk berselingkuh dengan Diki -adik ipar Dio.Di tengah perjalan Salsa begitu lesu, anak kandungnya kini malah menjauh akibat dijauhkan oleh mertuanya itu. Bahkan Tasya pun tak merespon sama sekali pada Salsa.Entah harus melakukan apa lagi agar anak semata wayangnya itu tau dan aku menerima Salsa sebagai ibu kandungnya."Aku menyesal Nak, dulu telah meninggalkanmu dengan nenekmu yang jahat ini. Tapi kalau aku bawa kamu pergi dengan Mama. Aku takut tidak bisa merawatnya dan tidak bisa membahagiakannya. Setelah orang tuaku meninggal aku tidak tau harus bagaimana. Aku menyesal!" ungkap Salsa di sela perjalanan ia menangis histeris.Namun Salsa terus saja melangkah walaupun langkahnya begitu berat. Pada saat akan mengembang jalan Salsa melihat Sang anak yan

  • SUAMI MELARATKU TERNYATA KONGLOMERAT   Bab 111

    "Mas, a-aku boleh minta sesuatu dari kamu lagi?" ucap Kania ketika melihat Dio yang telah sibuk dengan laptop di hadapannya."Minta apa? Kalau untuk minta uang maaf aku tidak bisa kasih," sergah Dio.Belum juga Kania berbicara tapi Dio sudah terus terang berbicara seperti itu, seolah sudah tahu kalau Kania akan meminta uang."Mas, tapi aku sangat butuh uang itu sekarang, bolehkan aku minta lagi," bujuk Kania ketika Dio tidak mau memberinya."Kania, kemarin kamu minta uang. Dan sekarang kamu minta uang lagi, kamu pikir gampang cari uang tinggal manjat gitu, aku juga harus kerja keras untuk mendapatkan uang banyak!" gerutu Dio."Mas kok kamu pelit banget sih, aku ini sedang hamil anak kamu! Pengeluaran aku banyak harusnya kamu mengerti dengan keadaan aku yang saat ini berbadan dua!" Kania kembali menggerutu Dio balik."Pokoknya Mas sekarang tidak mau memberimu uang lagi, pengeluaran kamu sekarang semakin banyak tapi Mas tidak tahu uang itu kamu pakai untuk apa?!""Ya untuk keperluan aku

  • SUAMI MELARATKU TERNYATA KONGLOMERAT   Bab 110

    "Mana sih tuh orang jam segini masih belum datang juga! Katanya butuh duit! Malah gue yang harus nunggu!" gerutu Kania pada Hendri. Pria yang di tunggunya belum kunjung datang juga.Wanita itu terus saja celingukan sambil sesekali melirik ponsel untuk melihat jam.Salsa tak sengaja lewat melihat Kania sedang gelisah menunggu seseorang. Akhirnya Salsa berniat menemui Kania yang berada di restoran tersebut."Panik bener wajahnya," sindir Salsa ketika menghampiri Kania yang telah duduk di kursi dalam restoran tersebut.Kania menyimpan ponsel yang baru saja ia ambil. Kania menoleh ke arah Salsa. Wanita itu nampak kesal saat yang di tunggu Hendra yang datang malah musuh bebuyutannya."Heh ngapai Lo disini? Kasihan banget gak diakui sama anak sendiri emangnya enak. Makannya Lo jagain anak Lo dari bayi, biar gak di gondok sama si Marisa. Lo tu insaf jangan mesum mulu. Jadinya begini anak sendiri aja gak mau mengakui kalau Lo adalah ibu kandung yang udah ngelahirin dia. Kasihan, kasihan, kasi

  • SUAMI MELARATKU TERNYATA KONGLOMERAT   Bab 109

    Ting! Benda pipih yang yang tergeletak di atas meja terus saja berbunyi, namun tak ada satupun orang yang mengangkatnya. Entah ponsel siapa? Ku hampiri ponsel yang tersimpan di atas meja itu, memastikan. Dan ternyata adalah ponsel maduku sendiri.Awalnya aku tak ingin mengambilnya, apalagi harus diantarkan pada Kania, rasanya malas sekali. Namun suara deringan ponsel itu tak berhenti membuat berisik.Tak ada pilihan lain, tak ada salahnya kalau aku berikan ponsel miliknya Kania itu. Siapa itu memang telepon penting."Kania, Kania," seruku di balik pintu, namun tak ada sahutan sama sekali. Entah di mana keberadaan wanita itu. Kebetulan pintu kamarnya tidak tertutup rapat, apakah mungkin di dalam kamar mandi. Lalu ku memberanikan diri masuk ke dalam bilik kamarnya."Kalau ku angkat, takutnya penting. Apalagi nomornya dari nomor baru, tapi kalau dibiarkan suara dering nya cukup mengganggu," gumamku seraya mencari keberadaan maduku.Saat mata ini tak sengaja melihat ke halaman belakang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status