Share

Bab 2

"Cendol! Dol, dol, dol."

"Bang, beli," panggil Bu Vani sambil melambaikan tangannya. Semoga saja pelanggan yang satu ini benar-benar membeli.

"Mau beli cendol?" tanya Dio kepada pelanggan setia yang sudah sejak tadi menunggu kedatangan Dio.

"Ya, iya lah. Beli cendol! masa mau beli pizza. Kan gak mungkin," ketus Bu Vani dengan mendelikkan matanya.

"Ah. Ibu, bisa aja," balas Dio senyum manis sambil meracik cendol dalam cup.

"Dio dulu kamu tampan, tapi sekarang kamu dekil. Udah dekil miskin lagi," celetuk Bu Aida yang sedang menunggu Dio meracik cendol untuknya.

Entah apa maksud omongan Bu Aida, apa pantas hinaan keji seperti itu dijadikan candaan. Hujatan dan hinaan sudah terbiasa jadi lalapan untuk Dio setiap hari. Tak apalah kalau memang mereka merasa bahagia, Dio rela di jadikan bahan tertawaan.

"Iya, benar! Sekarang kamu hitam dan juga dekil Dio," timpal Bu Vani mencermati wajah Dio sambil tertawa renyah.

"Mau gak hitam gimana bu wajah saya, toh saya tiap hari panas-panasan," Jawab Dio dengan sabar menghadapi celetukan ibu-ibu yang memang menguji kesabaran.

Mau bagaimanapun mereka tetap pelanggan setia Dio, jadi apalah daya hanya bisa tabah sambil mengusap dada. Memang mereka berbicara jujur apa adanya hanya saja terlalu pedas untuk didengar.

"Terimakasih bu," ucap Dio yang baru saja menerima uang dari Bu Vani dan Bu Aida.

Dio pun melanjutkan keliling lagi dengan raut wajah yang lumayan lelah, namun rasa lelah akan kalah ketika menerima pundi-pundi rupiah walaupun tak seberapa.

Panas yang begitu terik membuat keringat Dio bercucuran, Dio pun mengusap Keringat yang membasahi dahinya dengan handuk kecil yang menyampai di bahu.

Untuk sejenak Dio pun berhenti mengistirahatkan kakinya yang mulai terasa pegal dan lelah.

Di bawah pohon rindang yang menyejukan Dio berteduh dengan mengipasi leher dan wajahnya oleh topi yang ia pakai, Dio termenung memikirkan hidupnya yang pilu, ekonomi semakin hari semakin menghimpit.

Dio mengintip uang yang berada di dalam tas selempang yang dikenakan di pinggang.

"Alhamdulillah." Tak hentinya Dio mengucap syukur dengan pendapatan hari ini walaupun tidak banyak. Namun, setidaknya bisa membeli beras untuk makan sekeluarga.

***

Kondisi Marisa semakin siang semakin memburuk, demamnya makin meninggi. Kepalanya terasa pusing disertai rasa mual yang memaksanya ingin mengeluarkan isi perutnya dari mulut.

Marisa berusaha meraih gelas yang berada di atas nakas di sebelahnya karena merasa haus. Namun, naas, ketika tangan Marisa mencoba menjangkau gelas tersebut, benda itu malah jatuh ke lantai dan pecah berserakan.

"Tasya, Tasya," panggil Marisa dengan suaranya yang serak, tapi Tasya tak menyahuti sama sekali. Entah ke mana gadis kecil itu.

Tenggorokan Marisa terasa kering dan sakit. Bisa jadi itu akibat demam yang sedang dialami. Wanita muda itu pun perlahan bangkit berdiri dari pembaringan walaupun beberapa kali ia hampir terjatuh karena lemas dan pusing. Marisa terus berusaha, sebelah tangannya berpegangan pada dinding sambil berjalan perlahan-lahan.

Sesekali jalannya sering sempoyongan, penglihatannya buram tak jelas sama sekali. Hal itu membuat langkah kaki Marisa tak terkendalikan, hingga akhirnya ia terjatuh karena terpeleset lantai yang basah oleh air yang tak sengaja ditumpahkan Tasya. Kepala Marisa terbentur ujung meja yang tajam hingga berdarah karena benturan yang cukup keras.

"Auw!" jerit Marisa.

Marisa pun jatuh tergeletak di lantai dengan bercak darah yang keluar dari kepalanya. Lambat laun ia pun tak sadarkan diri.

Tasya terperanjat kaget, ketika sedang menjemur pakaian yang barusan dicuci, telinganya mendengar jelas suara jeritan.

Memang Tasya masih berusia 5 tahun. Namun, ia sudah diajarkan mandiri oleh Marisa dan Dio. Semua itu bertujuan agar ketika mempunyai seorang adik, Tasya sudah bisa mandiri.

"Suara apaan, tuh? Jangan-jangan .…" Tasya dengan tergesa berlari untuk melihat ibu sambungnya.

Terlihat daun pintu kamar sudah terbuka lebar, itu artinya ibunya sudah keluar dari kamar. Tasya memperhatikan dalam kamar secara saksama. Ternyata benar, ibunya sudah tidak lagi berbaring di kasur.

"Ibu di mana?" Tasya mencari ke seluruh penjuru ruangan, tak sengaja bola matanya melihat sang ibu sambung yang sudah tergeletak dan tak sadarkan diri.

"Ibu! Ibu, bangun!" Tasya mencoba mengguncang-guncangkan tubuh ibunya yang belum juga siuman. Gadis kecil itu bingung harus meminta tolong siapa sedangkan rumahnya agak jauh dari kerumunan rumah warga, dan di rumah hanya ada Tasya seorang diri. Ia pun panik bukan kepalang. Ya, seorang anak kecil hanya bisa menangis sambil memanggil ibunya yang tak kunjung sadar.

"Ibu, bangun, Bu ...," rengek anak kecil itu begitu panik. Dia terus mencoba membangunkan ibunya. Air mata Tasya terus mengalir membanjiri pipinya yang mungil itu. Gadis kecil tersebut menangis terisak-isak.

Tasya lalu beranjak meninggalkan Ibunya untuk mencari bantuan. Ketika pintu utama dibuka mata Tasya terbelalak saat mendapati tamu yang datang entah siapa.

Terdapat wanita paruh baya dengan wajah galak dan tatapan tajam bersama perempuan remaja yang sama-sama terlihat judes di sana.

Tatapan tajam kedua orang di hadapannya membuat gadis kecil itu beringsut mundur dua langkah ke belakang.

"Sudah besar juga kamu sekarang," cetus wanita paruh baya sembari memindai Tasya.

Tatapan itu susah diartikan. Namun, Tasya tahu bahwa itu tatapan tidak suka.

"Siapa dia, Bu?" tanya Keke, adik kandung dari Marisa.

"Mungkin anak si Dio, lelaki miskin gak tahu diri," jawab Bu Minah.

Ucapan itu membuat Tasya ketakutan, tubuhnya gemetaran atas penghinaan terhadap ayahnya.

"I-ibu dan kakak siapa?" tanya Tasya dengan gugup.

Bu Minah berjongkok menghadap Tasya dan menatapnya dengan sinis, "Dasar anak haram!"

Cercaan keras itu membuat Tasya terpukul dan menangis. Walaupun Tasya belum mengerti apa-apa, tapi setidaknya tatapan Bu Minah sangatlah menakutkan.

"Mana ibu kamu?!" tanya Bu Minah pada Tasya dengan nada ketus.

"I-ibu …." Tasya menunjuk ke arah dapur sambil menangis tersedu-sedu.

Kebetulan rumah Dio hanya ada 5 ruangan. Yakni ruang tamu, dapur, 2 kamar dan kamar mandi yang sempit.

Keke duduk dengan kaki selonjoran dan menyimpan tas gendongnya di meja. Sudah menjadi kebiasaan gadis muda itu berperilaku tidak sopan. Sedangkan Bu Minah mengikuti Tasya yang menangis ke arah dapur.

Demi apa! mata Bu Minah terbelalak ketika memandang tubuh anaknya yang tergeletak begitu saja di atas lantai.

"Marisa!" serunya kaget bukan kepalang.

Anak yang sudah lama tidak bertemu, sudah hampir satu tahun lebih itu tidak sadarkan diri. Bu Minah dan Marisa tidak bertemu semenjak dia minggat dan kawin lari dengan Dio. Dan hari ini Bu Minah bertemu di saat anaknya lemah tak berdaya. Betapa kesal dan emosinya Bu Minah kepada Dio yang tak bisa menjaga anaknya dengan baik.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Umi Ica
bagus sekali novelnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status