Share

Bab 6

SUAMI ONLINE 6

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

   Perasaan memang bisa hadir karena terbiasa berjumpa dan saling menggoda. Begitu juga cemburu. Ia bisa hadir tanpa melihat waktu dan tempat. Meskipun terkadang merasa kewalahan karena selalu hadir di saat akal hilang kesadaran.

Kenes mulai merasa aneh melihat tatapan Silviana yang tertuju pada Danesh. Nada bicaranya seakan begitu mengenal suaminya.

Akan tetapi, mendengar kejujuran Danesh yang tidak menyembunyikan statusnya membuat satu kebanggan tersendiri di hati Kenes. 

Mungkin seharusnya ia juga ikut membuka diri untuk kehadiran Danesh yang memang telah resmi menjadi pasangan hidupnya. Ia sudah menghilangkan julukan perawan tua darinya.

Wajah Silviana nampak meredup mendengar jawaban Danesh. Ada binar yang memudar di sorot matanya.

"Jadi kamu beneran menerima perjodohan dari mamamu?" Silvi bertanya seakan meminta penjelasan.

"Iya. Maaf ya ... aku yakin kamu bisa mendapat pria yang lebih baik lagi dariku," jawab Danesh. Lalu menatap Kenes yang kemungkinan mulai bertanya-tanya akan hubungan mereka.

"It's oke. Tidak apa. Selamat ya ...." 

"Makasih. Ya udah, aku mau lanjut jalan lagi. Bye ...."

Danesh langsung menarik lengan Kenes agar melanjutkan langkahnya sampai ke tempat penitipan motor. Ia memilih pergi meninggalkan Silviana demi keputusan memiliki Kenes.

Kenes mencoba menahan semua pertanyaan yang membuat kepalanya hampir meledak. Rasanya ia ingin cepat sampai rumah dan tiduran di kamar. Logikanya mencegah untuk bertanya tapi hatinya menjerit ingin tahu. Kan, membuat kepala pusing.

"Aku mau pulang," ucap Kenes lirih. Ia merasa bingung dengan hatinya sendiri. Ada cemburu di antara gengsi dan bimbang.

Danesh menatap lekat wanita yang kini resmi menjadi miliknya. Ia tahu, kalau Kenes pasti sudah tidak berselera lagi setelah bertemu Silviana. Entah apa yang ia pikirkan tentangnya. Ia akan membahasnya di rumah saja. Malu, kalau harus bertengkar di depan umum.

"Katanya mau ke warung dulu? Nggak jadi?" tanya Danesh mengingatkan tujuan lainnya keluar malam ini.

"Enggak. Sekalian aja besok hari Senin. Sekarang aku mau pulang." Kenes tiba-tiba merasa lelah. Hatiya mendadak lemas karena hal yang belum ia tahu.

Akalnya yang mati-matian menolak hubungan ini berbanding terbalik dengan logikanya yang mulai merasa tidak rela ia berdekatan dengan wanita lain.

Apa terlalu serakah? Bukankah sebagai istri juga memiliki hak untuk melarang suami berhaha hihi dengan wanita selain dirinya? Ya ... meskipun perasaannya saat ini belum yakin sepenuhnya.

Kenes menghentakkan ujung sandalnya di aspal berkali-kali. Ia berharap rasa dalam dada sedikit berkurang. Akan tetapi, masih sama saja.

Danesh masih menerka sikap Kenes yang mulai berubah pendiam. Tidak secerewet sebelumnya. 

"Kamu marah?" tanya Danesh yang tak tahan melihat sikap Kenes.

Kenes terdiam. Ada sesuatu yang menghujam ulu hatinya. Kenes sengaja menantang sorot mata kehitaman milik Danesh. Ia ingin mencari arti tentangnya.

'Benarkah dunia dalam matanya itu milikku?' tanyanya dalam hati.

"Ken-ken ... kamu marah?" Danesh mengulang pertanyaan yang sama. Karena ia masih melihatnya mematung.

"Aku nggak marah. Kamu bebas, kok, mau bicara sama siapa pun. Sekarang aku mau pulang. Cepetan!" jawab Kenes langsung naik ke boncengan. Ia mengalihkan segera tatapan matanya.

Danesh hanya bisa menghela napas dalam. Menghadapi wanita memang rumit. Semua serba salah di matanya jika menyangkut tentang hati.

Padahal belum tentu apa yang ia lihat dan ia dengar adalah sebuah kebenaran. Bisa saja hanya untuk menjaga keakraban dan sopan santun.

"Ya udah. Kita pulang. Lagian udah malem," jawab Danesh tak ingin membuat masalah ini semakin panjang. Ia hanya ingin perasaannya  yang bertambah panjang dan semakin sayang.

Motor melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan Alun-Alun kota yang masih ramai. Ketika memasuki area perumahan, Kenes tidak bicara sedikit pun selama perjalanan. Ia diam membisu dengan seribu bahasanya.

Bahkan sesampai di rumah kontrakan, ia hanya membuka kunci garasi tanpa kata. Kemudian berlalu ke kamar tanpa menunggu Danesh memarkir motor.

"Ternyata begini rasanya kalau lagi didiemin sama wanita. Ngeri. Apa-apa ditinggal. Untung sayang, coba kalau enggak ... aku pasti udah ngacir," ucap Danesh lirih.

Perjuangannya membuka jalan agar pernikahan ini bisa tetap berlanjut masih panjang. Danesh harus bisa lebih kuat mental menghadapi Kenes. 

Ia harus membuatnya jatuh hati, juga membuat Kenes kembali seperti semula. Cerewet dan galak. Dengan begitu ia menjadi seperti diri sendiri.

Danesh melangkah ke kamar setelah memastikan motor dalam keadaan terkunci. Takut ada maling berkeliaraan. 

Ketika pintu terbuka, Danesh melihat Kenes tidur menghadap arah yang berlawanan dengannya. Ia mungkin masih belum mau bertatap muka.

"Ken ... Kenes ... kamu udah bobo?" tanya Danesh lembut sembari duduk di tepi ranjang.

Tidak ada sahutan apalagi jawaban. Sepertinya dia benar-benar tidak ingin melihatnya. Apa segitu marah-kah?

"Kalau kamu nggak mau lihat aku, kamu cukup denger aja apa yang mau aku omongin. Kamu gak perlu menjawab. Tapi aku harap kamu mau memikirkannya." Danesh menjeda ucapannya sejenak. Mengumpulkan sedikit kekuatan untuk   sebuah pembenaran akan kenyataan.

Kenes masih terdiam. Ia pura-pura tidur, padahal memasang telinganya dengan benar agar mendengar semua kebenaran yang ingin disampaikan.

"Silviana adalah temen sekolahku dulu. Entah kenapa aku selalu menolak meski dia terus menerus menyatakan isi hati. Dan saat aku dijodohkan, ia pun tahu. Aku menerima semua ini karena memang sudah menyukai saat pertama kali melihat fotomu. Aku ingin menjalani pernikahan ini seperti pasangan yang lain. Aku tahu, di antara kita belum ada cinta, tapi aku pastikan akan segera ada. Percayalah, Ken," terang Danesh yang masih belum mendapat respon apa pun. Kenes masih saja tidur miring tanpa ada gerakan.

"Kalau kamu belum mau menerima, aku tidak mengapa ... aku akan menunggu," imbuh Danesh lagi. 

Ia kemudian ikut merebahkan diri di samping Kenes dengan jarak yang sengaja dibuat jauh. Danesh tidak sampai hati mendekati wanita yang tengah berdiam diri.

Setiap kata yang terucap dari Danesh semakin terasa menghujam ulu hati. Bahkan hingga ke jantung. Rasanya sakit tapi tidak tahu penyebabnya. Ingin marah tapi pada siapa.

Lain dengan yang dirasakan Danesh. Ingin berpikir kalau tidak ada yang patut untuk disalahkan, itu tidak mungkin. Karena setiap diamnya seseorang pasti akan ada alasannya. Atau mungkin ini salahnya tidak memberitahukan siapa dirinya yang sebenarnya.

'Aku janji, setelah kamu mulai merasa yakin akan hatimu, aku akan memberitahu siapa aku, Ken. Tapi tidak untuk hari ini. Aku takut kamu berlari dan pergi tanpa pernah kembali,' batin  Danesh dalam hati. Kemudian memejamkan kedua mata untuk bersiap menyambut hari baru. Hari di mana ia akan berusaha lebih sabar dan lebih kuat.

Tidur saling membelakangi membuat  perasaan seolah sedang bertengkar. Padahal mereka hanya saling meminta waktu untuk berdamai dengan hati dan juga keadaan.

Kenes menutup kedua matanya agar terlihat terlelap. Meskipun pikiran dan hatinya masih saja terbuka lebar. Ia masih berusaha menyelami semua ucapan yang dikatakan Danesh hingga mendapatkan pembenaran. Pembenaran yang membuat hati merasa yakin.

Kenes perlahan memejamkan matanya dibarengi menghilangnya semua gundah dalam dada. Mencoba sejenak bermimpi akan hidupnya sendiri.

~~

Suara alarm ponsel bergetar di meja samping tempat tidur. Danesh memaksa membuka kedua matanya. Ia menatap sekilas jam di ponselnya. Jam ternyata sudah menunjukkan setengah lima pagi. 

Danesh merasa ada sesuatu di atas tubuhnya. Dan ternyata, satu kaki Kenes berada manis di atas tubuhnya. Ia melirik wajah Kenes yang terlihat manis saat tertidur. Lalu menatap tangan kecil Kenes yang memeluk perutnya. Seulas senyum menghiasi pipi, ketika melihat wajah Kenes yang begitu alami.

Kata orang jaman dulu, kecantikan alami seorang wanita adalah saat bangun dari tidurnya.

Dan Kenes ... terlihat begitu cantik. 

Danesh lagi dan lagi tersenyum bisa melihat wanita yang masih acuh padanya bisa terlelap dengan memeluknya tanpa kesadaran. Rasanya ia ingin mengecup pucuk kepalanya. Karena ia tidak melakukan ritual itu saat menikah. Ia hanya bisa melihat wajah Kenes dari layar ponsel. 

Mumpung tidak sadar, ia bisa mencuri satu kecupan. Perlahan, Danesh mendekatkan wajahnya.

Cup!

Danesh mengecup lembut keningnya. Lama. Merasa ada pergerakan, ia pun dengan segera menjauhkan diri dan mencoba bangkit dari tempat tidur.

Danesh meninggalkan Kenes yang masih terlelap setenang mungkin. Ia tidak tega untuk membangunkannya. 

Ia berjalan jinjit sampai ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menunaikan salat dua rekaatnya. 

Ia merasa sangat segar. Bangun pagi dalam keadaan berbeda. Mulai dari status dan juga tempat tinggal. Semua berbeda. Meskipun berbeda, tetapi ia merasa kerasan dan betah.

Danesh bergegas menuju dapur. Memeriksa apa ada bahan makanan yang bisa diolah menjadi sarapan. Matanya memindai isi lemari pendingin dengan teliti. Hanya ada telur dan beberapa sayuran seperti wortel dan kubis.

Sebelumnya, Danesh sudah menanak nasi terlebih dulu di rice cooker. Setelah itu membuat telur dadar sayur.

Ketika Danesh tengah bergelut dengan dapur, Kenes mulai terbangun karena mencium aroma yang sangat menggugah selera.  

Ia segera menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Kebetulan Kenes masih ada tamu bulanan, jadi ia melewatkan dua rekaatnya. Saat mengganti roti tawar, kepalanya mengingat mendapat kecupan mesra dari Danesh. 

Rasanya hangat. Persis seperti nyata. Sesekali, Kenes menyentuh pucuk kepalanya. Mencari bekas kecupan Danesh yang begitu nyata. Akan tetapi, tidak ada sama sekali.

'Bekasnya nggak ada. Tapi, kok, rasanya kayak bukan mimpi,' batin Kenes masih belum percaya.

Kenes mengganti baju sembari berusaha mencari jawaban atas ingatannya. Namun, tetap saja tidak menemukan kepingan ingatan itu.

Ketika tangan membuka lemari, mata Kenes langsung melebar. Ada yang berbeda di lemarinya.

"Mas Danesh ...!" 

Kenes berteriak mendapati baju-bajunya berantakan dan bertumpuk dengan asal. Hal itu membuat rasa kesal tiba-tiba memuncak.

Danesh yang baru saja selesai membuat telur dadar langsung berlari menghampiri Kenes ke kamarnya.

"Ada apa, Dek? Kok, teriak-teriak?" tanya Danesh bingung. Ia masih berdiri menatap wajah Kenes yang memerah.

Kenes melirik tajam ke arah suami online-nya. 

"Kenapa bajuku jadi berantakan gini, Mas?!" tanyanya bercampur emosi.

'Astaga ... dipanggil cuma buat tanya baju. Emang semua serba salah kalau di mata wanita,'  batinnya dalam hati.

-------***--------

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status