Share

SURAT PERJANJIAN

Bab 5

“Arghhhh ….” Aku mengacak rambut dengan frustrasi. Lalu meremas kertas di atas meja, membuangnya ke tempat sampah yang bahkan sudah penuh dengan benda serupa. Entah sudah berapa banyak kertas-kertas tak bersalah itu kuremas kasar dan dilempar begitu saja. Rasanya sangat sulit menyusun kalimat untuk poin-poin perjanjian pernikahan itu.

Ya, aku kini tengah menyusun surat perjanjian kontrak dengan laki-laki bernama Samudra Hanggara yang tiba-tiba saja menjadi calon suamiku.

Apa harus hidup selawak ini?

Kemarin calon suamiku masih Bastian pemuda tampan yang dipuja banyak wanita, hari ini tiba-tiba semua berubah. Tiba-tiba saja mempelaiku berganti menjadi laki-laki tua yang menurut ibu dan saudara tiriku makhluk jadi-jadian dari planet lain.

Aku mengusap wajah dengan kasar. Entah kalimat apa lagi yang harus kutulis dalam surat perjanjian itu. Bayangan wujud Samudra yang ‘ajaib’ membuatku tidak bisa fokus, padahal biasanya aku pandai merangkai kata. Dan anehnya aku harus menyusun surat itu sendirian. Bukankah seharusnya kami membuatnya berdua?

“Terserah poin apa pun yang ingin kau masukkan. Aku hanya minta satu syarat tadi karena itu permintaan ibuku.” Itu jawaban makhluk jadi-jadian itu saat aku meminta pendapatnya perihal surat  itu.

Saat itu tentu saja aku mencebik. Dia ingin anak dariku katanya. Aku langsung menyetujui syarat itu.

Kenapa?

Tentu saja karena aku yakin laki-laki itu tidak akan bisa melakukannya. Bastian sudah bilang ia tidak menyukai perempuan. Jadi, aku sangat yakin jika ia tidak akan mampu melakukannya. Ia tidak akan pernah menyentuhku selama pernikahan kami.

**

Aku berjalan menyusuri koridor rumah besar milik keluarga Hanggara dengan tangan memeluk berkas di dada. Aku ingin kami, maksdunya aku dan Samudra menandatangani surat perjanjian ini sekarang juga sebelum aku pulang. Hari pernikahan kami hanya tinggal menghitung jam, dan mungkin kami tidak akan bertemu lagi sampai hari itu. Jadi, aku ingin semua clear sebelum hari itu agar tidak ada ganjalan di hati.

Aku berjalan agak mengendap untuk kembali menemui Samudra. Jangan sampai Nenek Widya atau siapa pun tahu jika kami membuat sebuah perjanjian.

Aku hampir mencapai ruangan yang tadi dipakai pertemuan antara aku dan calon suami jadi-jadian itu saat sebuah tepukan mampir di pundak. Lalu disusul tarikan di pergelangan tangan. Aku memekik dan hampir berteriak kaget saat tubuh ini disudutkan di dinding dengan seseorang kini mengungkung tubuh ini. Namun, suaraku tak keluar karena mulut ini sudah dibekap lebih dulu.

Kedua bola mataku membola saat mendapati jika yang melakukan semua ini adalah mantan calon suami yang di mataku sekarang sangat memuakkan. Aku meronta ingin terlepas.

“Jangan berteriak, Mentari. Ini aku,” bisiknya yang perlahan membuka bekapan tangannya saat melihatku tak lagi meronta.

“Mau apa lagi kamu?” desisku dengan napas tersengal. Kulirik salah satu tangannyanya yang memenjarakan tubuh ini di dinding. Sungguh, aku tidak nyaman dengan posisi ini. Tubuhnya berada sangat dekat hingga hampir menempel.

Meski pernah merencanakan pernikahan, aku belum pernah sedekat ini dengan Bastian sebelumnya. Aku sangat menjaga jarak dan tidak mau disentuh sebelum pernikahan, dan ia menghargai itu. Ia belum pernah bersikap tidak sopan seperti saat ini. Itu yang membuat aku begitu respect padanya dulu.

Walaupun kenyataannya ….

“Aku mau kamu memikirkan lagi pernikahan dengan Om Sam, Tari. Kamu tidak benar-benar menerima keputusan Nenek, kan?”

“Apa maksudmu?” Aku mendesis lagi. Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan Bastian.

“Tari, sudah kukatakan jika Om Sam itu laki-laki payah, dia tidak akan mampu menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami. Nanti kamu menderita nikah sama dia. Kamu tidak akan mengenal sama sekali kebahagiaan.”

Mataku memicing. “Jangan sok tahu. Apa kamu yang menentukan kebahagiaanku?” Aku kembali mendesis. Kali ini seraya mendorong dadanya agar tidak terlalu dekat. Untunglah sejak tadi tanganku memeluk map di dada.

“Tentu saja aku tahu. Aku sangat mengenal Om Sam. Dia adik ayahku. Dia tidak akan membuatmu bahagia.”

“Lalu, siapa yang bisa membuatku bahagia? Kamu?” Aku menantang matanya.

“Ya. Hanya aku yang bisa membuatmu bahagia, Tari. Aku tahu kamu sangat mencintaiku. Batalkan pernikahan dengan Om Sam dan menikahlah denganku. Aku berjanji akan membahagiakanmu.”

Aku tersenyum miring. Entah apa yang laki-laki ini pikirkan. Kenapa ia begitu ngotot ingin pernikahan kami tetap berjalan. Aku yakin bukan karena ia mencintaiku. Karena aku tidak menemukan setitik pun binar cinta di matanya untukku. Bahkan mungkin sejak dulu. Aku saja yang bodoh baru menyadarinya sekarang.

“Ayo, Tari. Batalkan pernikahanmu dengan Om Sam dan kita lanjutkan pernikahan kita. Jika kamu yang minta pada Nenek, maka wanita tua itu akan mengabulkannya.”

Mataku melebar mendengar ucapan Bastian. Satu hal yang aku tangkap, jika Bastian tidak sesopan yang aku kira selama ini. Mungkin selama ini mataku dibutakan cinta hingga tidak bisa melihat jelas siapa laki-laki ini. Atau karena ia yang sangat pintar bersandiwara?

“Wanita tua?” gumamku dengan mata memicing. Lalu kembali mendorong dadanya yang mendekat lagi.

“Kau menyebut nenekmu dengan sebutan itu? Apa kau sadar dengan apa yang kau ucapkan?”

Bastian terhenyak, tetapi hanya sekejap.

“Ah, sudahlah. Kau ini terlalu banyak bicara, Mentari.” Wajah tampan itu tiba-tiba merengut. Kini bukan hanya sebelah tangannya, tetapi tangan yang satunya juga ikut mendorong dinding hingga tubuh ini benar-benar terpenjara di antara kedua tangannya.

Aku semakin tidak nyaman dan bahkan mulai ketakutan. Posisi kami saat ini akan membuat siapa pun yang melihat berpikiran buruk. Aku berusaha melepaskan diri dengan mendorong lagi dadanya yang rasanya terlalu kuat. Tapi aku harus melakukannya sebelum siapa pun melihat kami.

Kudorong kuat tubuhnya agar menjauh. Kali ini tangan yang memegang map ikut melakukannya, hingga isi map jatuh dan berhamburan di lantai.

Mataku membola karenanya. Surat perjanjian kontrak itu jatuh. Dan entah apa yang akan dipikirkan Bastian jika sampai ia membacanya. Ia pasti akan mentertawakanku dan merasa semakin di atas angin.

Bastian sendiri terlihat heran melihat kertas berjatuhan dari dalam map yang kupegang. Perhatian laki-laki itu teralih. Kedua tangannya terlepas dari dinding. Dan selanjutnya laki-laki itu membungkukkan badan guna meraih salah satu kertas yang paling dekat dengan kakinya.

Jantungku terasa berhenti berdetak.

 

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Yoono Ayahnya Ammar
waw... apakah yang bakalan terjadi..
goodnovel comment avatar
Junot Albi
mentariiiiiii
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
Mentari GOBLOOOOOOOOOOK DUNGU
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status