“Tari, ini Samudra, calon suamimu.”
Ingin rasanya aku pingsan lagi dan lagi mendengar penjelasan Nenek Widya.
Bagaimana tidak? Aku yang kini duduk di sebuah sofa empuk, diperkenalkan dengan lelaki menyeramkan yang tadi menangkap tubuh ini sebagai calon suamiku.
Semua bayangan buruk yang tadi sempat terlintas tentang kepribadian Samudra langsung menempel begitu saja karena sosoknya yang sangat ajaib ini. Tinggi besar—walaupun mungkin tingginya hanya seratus delapan puluh centimeter, tetapi bagiku yang berperawakan mungil, ia sangat tinggi. Menjadi sangat menyeramkan karena rambut gondrongnya yang hanya diikat asal.
Jangan lupakan juga bulu-bulu di wajahnya yang dibiarkan tumbuh liar. Bahkan aku yakin jika kulitnya tak pernah bersentuhan dengan pisau cukur selama berbulan-bulan.
Jangankan untuk berjabat tangan dengannya, aku bahkan takut untuk sekadar mengangkat wajah dan meliriknya.
Alhasil aku hanya menunduk sambil memilin jemari satu sama lain. Tubuhku terasa menggigil berada di ruangan yang sebenarnya bersuhu normal ini.
Tadi aku pingsan saking kaget melihat rupa Samudra, dan saat sadar sudah berada di ruangan ini dengan Samudra yang duduk bersebelahan dengan Nenek Widya, plus ibu dan saudara tiriku yang yang terus saja cekikikan. Entah mentertawakan apa.
Anehnya mereka akan berhenti cekikikan dan terdiam kaku, jika Samudra menoleh dan menghunjamkan tatapannya.
Samudra? Laki-laki tua menyeramkan itu calon suamiku?
Ya Tuhan, pernikahan seperti apa yang akan aku jalani nanti? Aku bahkan takut untuk sekadar melihat wajah calon suamiku ini.
“Tari, karena kamu sudah sadar dan sudah bertemu Samudra, silakan bicara berdua. Mungkin ada yang ingin kalian diskusikan. Gunakan waktu singkat ini untuk saling mengenal satu sama lain.”
Aku menelan ludah dengan susah payah mendengar ucapan Nenek Widya. Diskusi katanya? Tubuhku bahkan sudah gemetar duluan membayangkan harus duduk berdua dalam satu ruangan dengan laki-laki itu.
Terasa sentuhan di pundak, lalu usapan lembut. Aku mendongak dengan ragu, lalu mendapati wajah elegan itu mengangguk dan tersenyum tipis. Entah itu sebuah dukungan atau ejekan, yang pasti setelah itu Nenek Widya yang selalu ditemani seorang ajudan perempuan, langsung berjalan menuju pintu. Meninggalkan diri ini yang semakin ketakutan.
Dua langkah kaki mendekat setelahnya. Aku tahu itu ibu dan saudara tiriku. Kepalaku semakin menunduk karena yakin mereka hanya ingin mengolok.
“Selamat menikmati hari-hari menyeramkan bersama makhluk jadi-jadian, Tari.” Salah satu dari mereka berbisik dramatis hingga menciptakan ketakutan yang lebih gila dalam dada.
“Kuatkan dirimu sejak saat ini, karena mungkin kau akan mati jantungan di hari pertama menjadi istri makhluk jadi-jadian itu. Atau … dia akan merubahmu menjadi makhluk jadi-jadian juga setelahnya. Ups,” bisik yang lainnya.
Keduanya lalu mengusap pundakku lembut seperti yang dilakukan Nenek Widya. Namun, efeknya amat berbeda, sangat sukses menjatuhkan mentalku sampai titik terendah.
Kepalaku semakin tertunduk dalam pasca kepergian Novita dan ibunya. Sadar jika hanya ada aku dan laki-laki bernama Samudra di ruangan ini, dadaku mulai sesak. Tubuhku kian menggigil. Padahal ruangan ini sangat luas dan nyaman.
Untuk beberapa lama hanya keheningan dan napas beratku yang tertangkap telinga. Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan Samudra saat ini.
Apa ia sedang menatapku seperti singa lapar karena menganggapku korban empuk kanibalisme?
Ya Tuhan, apa hidupku harus berakhir mengenaskan di tangan–
“Sampai mana persiapan pernikahan?”
Aku mengerjap saat mendengar pertanyaan dari suara yang terdengar sangat … maskulin di telinga.
Apa itu suara Samudra? Kenapa suaranya tidak semenakutkan wajahnya?
Tapi jika bukan suaranya, suara siapa lagi? Hanya ada kami berdua di sini.
“Apa semua sudah cocok denganmu?” Lagi, sebuah pertanyaan mengalun dari suara yang sama. Ingin aku mendongak untuk memastikan jika itu benar suaranya, tapi rasa takut terlalu mendominasi.
“Barangkali ada yang kurang cocok dengan seleramu, konsep resepsi mungkin, kita bisa mengubahnya. Mumpung masih ada waktu.” Lagi suara itu bicara, kali ini lebih panjang. Mungkin karena aku masih juga diam.
Kali ini dengan menguatkan hati, aku mencoba mendongak. Rasa penasaran mengalahkan ketakutan.
Namun, hanya sekejap saja aku mampu mengangkat wajah. Gegas kembali menunduk saat tatapan kami bertemu karena ternyata ia pun tengah menatapku.
Aneh memang, tatapannya tak segarang rupanya. Bahkan terkesan … teduh dan damai.
Meskipun tetap saja aku merasa takut.
“Katakan saja jika ada yang ingin kamu ubah atau tambahi, aku akan—”
“Kenapa Om mau menikah denganku?” Akhirnya kuberanikan diri bertanya untuk menyela ucapannya. Tak ayal dada ini berdebar keras, takut ia marah dengan pertanyaanku.
Tidak ada jawaban, dan itu menarik kepalaku agar mendongak lagi. Lagi-lagi aku kembali menunduk dengan cepat karena ia tengah menatapku dalam diam.
“Karena kamu tidak mau menikah dengan Bastian.” Jawabannya ambigu walaupun memang benar. Tapi bukan jawaban itu yang ingin aku dengar.
Aku heran kenapa kenapa ia menerima pernikahan ini begitu saja. Kenapa tidak menolak? Bukankah ia tidak menyukai perempuan?
“Apa kamu mau tetap menikah dengan Bastian?”
Aku langsung menggeleng kuat mendengar pertanyaan itu. Tentu saja aku tidak mau.
“Lalu kamu mau menikah dengan siapa? Kakakku Benny? Ayah Bastian?”
Aku mendongak lagi. Pertanyaan macam apa itu? Aku pikir ia sedang bercanda, tetapi raut menakutkan itu sangat serius.
“Kakakku Benny sudah menikah, kamu tidak mau menikah dengan Bastian. Hanya tersisa aku, bukan?”
Aku memejam seraya menggigit bibir. Kenapa aku harus menanyakan pertanyaan bodoh? Tentu saja Om Samudra juga sama sepertiku, terpaksa karena orang tua. Perjodohan yang menyusahkan memang.
Yang aku heran, kenapa ia tidak menolak? Atau itu sudah dilakukannya, hanya saja Nenek Widya memaksa dengan berbagai ancaman?
“Tapi Om kan tidak suka perempuan, kenapa mau dipaksa menikah?” Entah keberanian dari mana pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut ini. Benar-benar lancang. Aku gegas memukul mulut berulang kali. Takut ia tersinggung.
Anehnya saat aku memberanikan diri meliriknya, tidak kudapati raut marah, kesal atau apa pun di sana. Hanya raut datar yang bagiku tetap saja menakutkan.
Setelahnya aku tidak bicara apa pun lagi. Aku tidak tahu harus berkata apa. Satu yang kupikirkan, aku tidak mungkin menjalani pernikahan dengan laki-laki ini.
“Apa kamu tidak mau bertanya tentang aku?”
Tunggu! Apa pertanyaan itu tidak terlalu percaya diri? Siapa yang mau mengenal Om-om payah yang menakutkan seperti ini? Aku bahkan sudah bertekad tidak ingin menjalani penikahan yang sesungguhnya sejak awal melihatnya.
“Tidak perlu, Om. Itu tidak perting. Toh, kita tidak benar-benar akan menikah, bukan?”
“Maksud kamu?”
“Maksudku ….” Aku menelan ludah. Sudah kutekadkan jika aku dan dia hanya akan menggugurkan kewajiban terhadap orang tua atas perjodohan ini. Tidak ada perjanjian jika aku dan keturunan keluarga Hanggara harus terikat seumur hidup, bukan? Kami menikah dan bisa berpisah kapan saja. Dengan alasan tidak cocok, kami bisa bercerai di kemudian hari.
Aku yakin Om Samudra akan setuju karena sama sepertiku, ia tidak menginginkan pernikahan ini.
“Maksudku, ayo kita buat surat pejanjian pernikahan.” Entah keberanian dari mana. Kini aku tidak setakut tadi. Bicaraku sudah lumayan lancar, tidak gagap seperti di awal.
“Surat perjanjian?” Om Samudra mengulang ucapanku.
“Ya, kita menikah hanya di atas kertas, kan? Kita tidak sungguh-sungguh menikah, kan? Aku yakin jika Om juga terpaksa menikahiku. Om tidak pernah menginginkan perempuan. Aku ingin kita membuat surat perjanjian pernikahan sampai kita bercerai nanti.”
Laki-laki itu terdiam beberapa saat. Aku tidak dapat menerka apa yang sedang ia pikiran. Selain hanya meliriknya sebentar-sebentar, mimik wajahnya yang tetap dibuat datar, membuatku tidak mudah menebak apa yang dipikirkannya.
“Oke, aku setuju,” ujarnya akhirnya.
Aku tersenyum tipis. Ternyata bicara dengannya tidak sesulit yang aku bayangkan, walaupun ketakutan itu masih ada, terutama jika menatap wajahnya yang sangat berantakan. Namun, ia termasuk kooperatif. Mungkin kami memang bisa bekerja sama mengelabui orang tua demi bisa menggugurkan kewajiban itu.
Siapa juga yang mau menghabiskan hidup dengan Om-om payah yang menakutkan ini. Aku masih muda dan normal, aku ingin menikah dengan laki-laki normal juga. Punya banyak anak dan hidup bahagia.
“Aku setuju, tapi ada satu syarat yang ingin aku ajukan dalam perjanjian itu,” lanjutnya ringan tanpa beban setelah beberapa lama.
“Syarat?” Keningku berkerut. “Syarat apa?”
Dia terdiam lagi beberapa saat. Hanya saja seperti tadi, wajahnya tetap datar.
“Syaratnya … sesuai yang ibuku pinta. Kita harus memberinya cucu dulu, baru kita bisa bercerai.”
“Apa?”
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau