Share

PRIA PAYAH ITU BERNAMA SAMUDRA

Bab 4

“Tari, ini Samudra, calon suamimu.”

Ingin rasanya aku pingsan lagi dan lagi mendengar penjelasan Nenek Widya.

Bagaimana tidak? Aku yang kini duduk di sebuah sofa empuk, diperkenalkan dengan lelaki menyeramkan yang tadi menangkap tubuh ini sebagai calon suamiku.

Semua bayangan buruk yang tadi sempat terlintas tentang kepribadian Samudra langsung menempel begitu saja karena sosoknya yang sangat ajaib ini. Tinggi besar—walaupun mungkin tingginya hanya seratus delapan puluh centimeter, tetapi bagiku yang berperawakan mungil, ia sangat tinggi. Menjadi sangat menyeramkan karena rambut gondrongnya yang hanya diikat asal.

Jangan lupakan juga bulu-bulu di wajahnya yang dibiarkan tumbuh liar. Bahkan aku yakin jika kulitnya tak pernah bersentuhan dengan pisau cukur selama berbulan-bulan.

Jangankan untuk berjabat tangan dengannya, aku bahkan takut untuk sekadar mengangkat wajah dan meliriknya.

Alhasil aku hanya menunduk sambil memilin jemari satu sama lain. Tubuhku terasa menggigil berada di ruangan yang sebenarnya bersuhu normal ini.

Tadi aku pingsan saking kaget melihat rupa Samudra, dan saat sadar sudah berada di ruangan ini dengan Samudra yang duduk bersebelahan dengan Nenek Widya, plus ibu dan saudara tiriku yang yang terus saja cekikikan. Entah mentertawakan apa.

Anehnya mereka akan berhenti cekikikan dan terdiam kaku, jika Samudra menoleh dan menghunjamkan tatapannya.

Samudra? Laki-laki tua menyeramkan itu calon suamiku?

Ya Tuhan, pernikahan seperti apa yang akan aku jalani nanti? Aku bahkan takut untuk sekadar melihat wajah calon suamiku ini.

“Tari, karena kamu sudah sadar dan sudah bertemu Samudra, silakan bicara berdua. Mungkin ada yang ingin kalian diskusikan. Gunakan waktu singkat ini untuk saling mengenal satu sama lain.”

Aku menelan ludah dengan susah payah mendengar ucapan Nenek Widya. Diskusi katanya? Tubuhku bahkan sudah gemetar duluan membayangkan harus duduk berdua dalam satu ruangan dengan laki-laki itu.

Terasa sentuhan di pundak, lalu usapan lembut. Aku mendongak dengan ragu, lalu mendapati wajah elegan itu mengangguk dan tersenyum tipis. Entah itu sebuah dukungan atau ejekan, yang pasti setelah itu Nenek Widya yang selalu ditemani seorang ajudan perempuan, langsung berjalan menuju pintu. Meninggalkan diri ini yang semakin ketakutan.

Dua langkah kaki mendekat setelahnya. Aku tahu itu ibu dan saudara tiriku. Kepalaku semakin menunduk karena yakin mereka hanya ingin mengolok.

“Selamat menikmati hari-hari menyeramkan bersama makhluk jadi-jadian, Tari.” Salah satu dari mereka berbisik dramatis hingga menciptakan ketakutan yang lebih gila dalam dada.

“Kuatkan dirimu sejak saat ini, karena mungkin kau akan mati jantungan di hari pertama menjadi istri makhluk jadi-jadian itu. Atau … dia akan merubahmu menjadi makhluk jadi-jadian juga setelahnya. Ups,” bisik yang lainnya.

Keduanya lalu mengusap pundakku lembut seperti yang dilakukan Nenek Widya. Namun, efeknya amat berbeda, sangat sukses menjatuhkan mentalku sampai titik terendah.

Kepalaku semakin tertunduk dalam pasca kepergian Novita dan ibunya. Sadar jika hanya ada aku dan laki-laki bernama Samudra di ruangan ini, dadaku mulai sesak. Tubuhku kian menggigil. Padahal ruangan ini sangat luas dan nyaman.

Untuk beberapa lama hanya keheningan dan napas beratku yang tertangkap telinga. Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan Samudra saat ini.

Apa ia sedang menatapku seperti singa lapar karena menganggapku korban empuk kanibalisme?

Ya Tuhan, apa hidupku harus berakhir mengenaskan di tangan–

“Sampai mana persiapan pernikahan?”

Aku mengerjap saat mendengar pertanyaan dari suara yang terdengar sangat … maskulin di telinga.

Apa itu suara Samudra? Kenapa suaranya tidak semenakutkan wajahnya?

Tapi jika bukan suaranya, suara siapa lagi? Hanya ada kami berdua di sini.

“Apa semua sudah cocok denganmu?” Lagi, sebuah pertanyaan mengalun dari suara yang sama. Ingin aku mendongak untuk memastikan jika itu benar suaranya, tapi rasa takut terlalu mendominasi.

“Barangkali ada yang kurang cocok dengan seleramu, konsep resepsi mungkin, kita bisa mengubahnya. Mumpung masih ada waktu.” Lagi suara itu bicara, kali ini lebih panjang. Mungkin karena aku masih juga diam.

Kali ini dengan menguatkan hati, aku mencoba mendongak. Rasa penasaran mengalahkan ketakutan.

Namun, hanya sekejap saja aku mampu mengangkat wajah. Gegas kembali menunduk saat tatapan kami bertemu karena ternyata ia pun tengah menatapku.

Aneh memang, tatapannya tak segarang rupanya. Bahkan terkesan … teduh dan damai.

Meskipun tetap saja aku merasa takut.

“Katakan saja jika ada yang ingin kamu ubah atau tambahi, aku akan—”

“Kenapa Om mau menikah denganku?” Akhirnya kuberanikan diri bertanya untuk menyela ucapannya. Tak ayal dada ini berdebar keras, takut ia marah dengan pertanyaanku.

Tidak ada jawaban, dan itu menarik kepalaku agar mendongak lagi. Lagi-lagi aku kembali menunduk dengan cepat karena ia tengah menatapku dalam diam.

“Karena kamu tidak mau menikah dengan Bastian.” Jawabannya ambigu walaupun memang benar. Tapi bukan jawaban itu yang ingin aku dengar.

Aku heran kenapa kenapa ia menerima pernikahan ini begitu saja. Kenapa tidak menolak? Bukankah ia tidak menyukai perempuan?

“Apa kamu mau tetap menikah dengan Bastian?”

Aku langsung menggeleng kuat mendengar pertanyaan itu. Tentu saja aku tidak mau.

“Lalu kamu mau menikah dengan siapa? Kakakku Benny? Ayah Bastian?”

Aku mendongak lagi. Pertanyaan macam apa itu? Aku pikir ia sedang bercanda, tetapi raut menakutkan itu sangat serius.

“Kakakku Benny sudah menikah, kamu tidak mau menikah dengan Bastian. Hanya tersisa aku, bukan?”

Aku memejam seraya menggigit bibir. Kenapa aku harus menanyakan pertanyaan bodoh? Tentu saja Om Samudra juga sama sepertiku, terpaksa karena orang tua. Perjodohan yang menyusahkan memang.

Yang aku heran, kenapa ia tidak menolak? Atau itu sudah dilakukannya, hanya saja Nenek Widya memaksa dengan berbagai ancaman?

“Tapi Om kan tidak suka perempuan, kenapa mau dipaksa menikah?” Entah keberanian dari mana pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut ini. Benar-benar lancang. Aku gegas memukul mulut berulang kali. Takut ia tersinggung.

Anehnya saat aku memberanikan diri meliriknya, tidak kudapati raut marah, kesal atau apa pun di sana. Hanya raut datar yang bagiku tetap saja menakutkan.

Setelahnya aku tidak bicara apa pun lagi. Aku tidak tahu harus berkata apa. Satu yang kupikirkan, aku tidak mungkin menjalani pernikahan dengan laki-laki ini.

“Apa kamu tidak mau bertanya tentang aku?”

Tunggu! Apa pertanyaan itu tidak terlalu percaya diri? Siapa yang mau mengenal Om-om payah yang menakutkan seperti ini? Aku bahkan sudah bertekad tidak ingin menjalani penikahan yang sesungguhnya sejak awal melihatnya.

“Tidak perlu, Om. Itu tidak perting. Toh, kita tidak benar-benar akan menikah, bukan?”

“Maksud kamu?”

“Maksudku ….” Aku menelan ludah. Sudah kutekadkan jika aku dan dia hanya akan menggugurkan kewajiban terhadap orang tua atas perjodohan ini. Tidak ada perjanjian jika aku dan keturunan keluarga Hanggara harus terikat seumur hidup, bukan? Kami menikah dan bisa berpisah kapan saja. Dengan alasan tidak cocok, kami bisa bercerai di kemudian hari.

Aku yakin Om Samudra akan setuju karena sama sepertiku, ia tidak menginginkan pernikahan ini.

“Maksudku, ayo kita buat surat pejanjian pernikahan.” Entah keberanian dari mana. Kini aku tidak setakut tadi. Bicaraku sudah lumayan lancar, tidak gagap seperti di awal.

“Surat perjanjian?” Om Samudra mengulang ucapanku.

“Ya, kita menikah hanya di atas kertas, kan? Kita tidak sungguh-sungguh menikah, kan? Aku yakin jika Om juga terpaksa menikahiku. Om tidak pernah menginginkan perempuan. Aku ingin kita membuat surat perjanjian pernikahan sampai kita bercerai nanti.”

Laki-laki itu terdiam beberapa saat. Aku tidak dapat menerka apa yang sedang ia pikiran. Selain hanya meliriknya sebentar-sebentar, mimik wajahnya yang tetap dibuat datar, membuatku tidak mudah menebak apa yang dipikirkannya.

“Oke, aku setuju,” ujarnya akhirnya.

Aku tersenyum tipis. Ternyata bicara dengannya tidak sesulit yang aku bayangkan, walaupun ketakutan itu masih ada, terutama jika menatap wajahnya yang sangat berantakan. Namun, ia termasuk kooperatif. Mungkin kami memang bisa bekerja sama mengelabui orang tua demi bisa menggugurkan kewajiban itu.

Siapa juga yang mau menghabiskan hidup dengan Om-om payah yang menakutkan ini. Aku masih muda dan normal, aku ingin menikah dengan laki-laki normal juga. Punya banyak anak dan hidup bahagia.

“Aku setuju, tapi ada satu syarat yang ingin aku ajukan dalam perjanjian itu,” lanjutnya ringan tanpa beban setelah beberapa lama.

“Syarat?” Keningku berkerut. “Syarat apa?”

Dia terdiam lagi beberapa saat. Hanya saja seperti tadi, wajahnya tetap datar.

“Syaratnya … sesuai yang ibuku pinta. Kita harus memberinya cucu dulu, baru kita bisa bercerai.”

“Apa?”

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Junot Albi
setuju lanjutkan samudra...
goodnovel comment avatar
nurdianis
setuju, hadiah kan cucu utk nenek..
goodnovel comment avatar
Dg intan Beta
cukup menyebalkn wanita ini... seharusnya keberaniannya dipake hadapi saudara tirinya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status