Share

BAB 4

Aera mengerjapkan matanya pelan. Aroma karbol yang kuat membuatnya mendesah. Walau belum sadar sempurna, tetapi ia dapat mengetahui di mana keberadaannya saat ini.

Ada sedikit nyeri di bagian belakang kepalanya. Ia yakin, bahwa kepalanya terbentur cukup keras sebelum dirinya kehilangan kesadaran. Lengan kirinya terasa berdenyut saat ia mencoba mengangkat tangannya. Sebuah selang infus terpasang sempurna yang membuatnya meringis.

“Kau sudah sadar?”

Secara otomatis ia menghadap pintu masuk. Seorang pria berjubah putih mendekatinya. Itu wajah yang familiar, yang sudah lama tidak ia lihat karena kesibukan.

“Menurutmu? Apakah aku terlihat sedang sekarat saat ini?” jawab Aera kepadanya sambil kembali memejamkan mata.

“Sepertinya kau sudah membaik. Aku akan mengijinkanmu untuk pulang,” seloroh pria itu lagi sambil dengan cermat memperhatikan laju cairan infus. “Apa yang kau rasakan sekarang?”

“Badanku seperti babak belur. Seluruh tubuhku terasa nyeri.”

Pria itu mengangguk. “Sebentar,” ucapnya kemudian melakukan pemeriksaan menyeluruh kepada Aera.

“Kak Seojin.”

Seojin, sepupu Aera yang juga merupakan seorang dokter umum, hanya menggumam sambil terus melanjutkan pemeriksaannya.

“Apakah Sagara tahu aku masuk rumah sakit?”

Pertanyaan Aera membuat Seojin berhenti sejenak, namun gelengan dari pria itu berhasil membuat Aera bernapas lega.

“Sebegitu takutnya kau jika sampai membuat Sagara khawatir?” Seojin selesai dengan pemeriksaannya, dan menarik sebuah kursi hingga sampai di samping tempat Aera terbaring.

Aera mengalihkan pandangannya. “Aku hanya tidak ingin dia membuat kegaduhan. Apalagi ini adalah akibat kecerobohanku sendiri.”

Sebuah jentikan tepat di dahinya membuat Aera terkejut dan meringis. “Aw!”

“Kau tidak perlu mengkhawatirkan Sagara. Justru kau harus khawatir pada dirimu sendiri.”

Aera memandang kakak sepupunya itu dengan tatapan tidak mengerti. Apakah sakitnya separah itu?

“Apakah aku akan segera meninggal?”

Dugaannya semakin kuat ketika Seojin tidak memberikan reaksi apapun. Pria itu hanya menatapnya.

“Kak, berbicaralah.”

Aera sangat takut mendengar apa yang ingin dikatakan Seojin. Pria itu memang terkesan agak sedikit konyol, tetapi justru itu yang membuat ketika Seojin sudah serius mengeluarkan aura menakutkan.

“Kau hamil.”

Aera bergeming. Lidahnya terasa kelu. Berita tentang penyakit ganas yang mengerogotinya terdengar lebih baik daripada apa yang barusan yang ia dengar dari Seojin.

“Sekarang kau tidak hanya bertanggung jawab pada dirimu sendiri. Ada makhluk hidup lain yang bersamamu, jadi—"

“Sebentar,” potong Aera. “Aku… apa?”

Seojin terdiam sejenak, dan melanjutkan ucapannya tadi. “Usianya tiga minggu. Kau hampir membunuhnya dengan alkohol kemarin.”

Dengan gemetar, Aera mengelus perutnya yang masih rata dengan tangan kanannya yang bebas. Bulir bening tak dapat lagi ia tahan. Mengapa dia hadir di saat yang tepat? Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang?

“Dan kau juga harus memberitahu Sagara.”

Deg.

Mendengar hal itu, tangis Aera semakin pecah. Ia benar-benar merasa hancur. Ia tidak punya keberanian untuk berharap Sagara mau menerima kehamilannya.

Apalagi kenyataan yang baru ia ketahui akhir-akhir ini. Sagara sering meninggalkannya, berkata kasar, bahkan… dia sudah punya anak dengan wanita lain.

‘Maafkan Mama, Nak… kau hadir dengan keadaanku yang seperti ini….”

Hampir satu jam Aera menangis seorang diri, dan Seojin hanya berdiri di sana sambil memeluknya tanpa bicara apa pun. Baru ketika Aera mulai tenang, Seojin menodongkan susu pisang kesukaan Aera.

Hingga saat ini, Sagara belum menghubungi Aera. Begitu pun sebaliknya. Aera tidak mau menghubungi Sagara. Semua situasi ini pasti sudah memberikan petunjuk bagi Seojin, walaupun pria itu tidak bertanya.

“Aku mau pergi dari kota ini,” ucap Aera dingin.

Seojin menatap Aera bingung. Namun, manik cokelat itu tidak terlihat keraguan sedikit pun. “Kau serius? Bagaimana dengan Sagara?”

“Aku akan meninggalkannya.”

“Aera, ini bukan hal kecil. Walau kau bisa dan mampu menghidupi anakmu kelak, namun Sagara juga harus bertanggung jawab.”

Aera menatap Seojin dengan tatapan yang tak terartikan. “Walau dia sudah mengkhianatiku? Walau dia sudah memiliki wanita dan anak yang lain?”

“Apa maksudnya?” Seojin mengerutkan dahi.

Walaupun tersendat akibat isak, Aera berusaha menceritakan semuanya pada Seojin. Mulai dari hubungan mereka yang merenggang setelah hari jadi kesepuluh, tindakan kasar Sagara yang tiba-tiba, sampai kenyataan pahit yang ia temukan di supermarket.

Terlihat gelegak amarah menyelimuti Seojin. Pria yang memiliki aura tenang itu mengepalkan diam-diam kedua tangannya. Sejak awal ia memang tidak menyukai Sagara. Namun, apalah daya dirinya jika Aera sangat menyukai Sagara.

“Kumohon, Kak….” Aera menatap Seojin dengan tatapan berkaca-kaca. “Jangan suruh aku bersabar dan bertahan… aku lelah….”

Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis keras. Benar, ini keputusannya demi si calon anak. Ia tidak mau dia hadir tanpa kasih sayang orang tuanya.

“Aera,” panggil Seojin. “Aku akan membantumu untuk pergi dari kota ini.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status